Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
ꦩꦼꦩꦪꦸꦲꦪꦸꦤꦶꦁꦧꦮꦤ꧈ꦄꦩ꧀ꦧꦿꦱ꧀ꦠꦣꦸꦂꦲꦁꦏꦫ
Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
Maksudnya Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Memayu hayuning bawana, secara harfiah memayu artinya memperindah, hayuning artinya keindahan, dan bawana artinya dunia. Sehingga makna gramatikal memayu hayuning bawana adalah menebar kebaikan untuk kemakmuran dunia. Sedangkan ungkapan ambrasta dur hangkara mempunyai makna memberantas sifat kemungkaran.
Memayu hayuning bawana :
Dunia ini dihuni oleh mahluk-mahluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan dan alam. Dari mahluk-mahluk itu hanya manusialah yang dilengkapi oleh Tuhan dengan akal, nafsu, dan hati nurani. Dengan ketiga potensi itu manusia mempunyai kemampuan untuk memelihara atau bahkan sebaliknya merusak (kehidupan) dunia.
Tuhan menjadikan manusia sebagai khalifah (penguasa) atas mahluk lain di bumi ini, dan memberi tugas kepada manusia untuk mengelola dan mamakmurkan dunia agar tercipta suasana kehidupan yang tenang, tenteram, dan damai (hayuning bawana).
Agar tercipta suasana yang ideal itu (hayuning bawana) maka setiap manusia diminta untuk senantiasa berbuat baik terhadap sesama manusia maupun terhadap sesama mahluk hidup lainnya, yaitu hewan, tumbuhan dan alam. Manusia tidak boleh bersikap sewenang-wenang terhadap mahluk hidup lainnya. Manusia harus menjaga hak binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam.
Sebagai contoh manusia tidak boleh membunuh hewan dengan cara yang dapat merusak kelangsungan hidupnya, seperti meracun, bom ikan, dan sebagainya. Demikian pula dalam hal menebang pohon tidak boleh sembarangan.
Jika manusia tidak menjaga kesejahteraan dan keselarasan mahluk hidup justru akan menimbulkan dampak negatif pada manusia. Dalam khasanah agama Islam, Memayu Hayuning Bawono dikenal dengan “Rahmatan lil ‘alamin”, yaitu keberadaan manusia menjadi rahmat bagi alam semesta.
Ambrasta dur hangkara :
Ambrasta dur hangkara (memberantas sifat kemungkaran) mempunyai makna bahwa untuk dapat menjalani kehidupan dengan aman dan damai maka manusia hendaknya menjauhi serta mencegah kemungkaran (sifat negatif) yang merugikan, seperti perbuatan jahat, serakah, tamak, dan sebagainya.
Dalam agama Islam, dikenal dengan “Amar makruf nahi munkar”. Secara spesifik amar ma’ruf nahi munkar lebih ditekankan pada upaya menghilangkan kemunkaran, dengan tujuan utama menjauhkan setiap hal negatif di tengah masyarakat agar tidak menyakiti atau merugikan satu sala lainnya.
Nabi Muhammad Saw bersabda :
Hadits Al-Arbain An-Nawawiyah
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu dengan lisannya, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Makna dari “Memayu hayuning bawana, Ambrasta dur hangkara” adalah bahwa agar tercipta suasana aman, tenteram, damai dan sejahtera dalam kehidupan di dunia ini, maka manusia harus menjalankan prilaku kebajikan, serta menjauhi dan memberantas sifat kemungkaran. Memang tidaklah mudah untuk dilaksanakan, namun itulah pitutur yang baik sebagai pedoman hidup bagi seluruh manusia.
Sebuah peradaban yang tinggi akan memiliki pengalaman yang luas tentang arti dan makna kehidupan. Salah satu yang paling menonjol dari pengalaman itu adalah terdapatnya kemampuan dalam olah kata. Lihat saja bangsa Yunani yang memiliki kemampuan dalam ilmu sastra dan filsafat. Mereka dalam urusan ini tak perlu diragukan lagi dan memang sudah terkenal di seantero dunia. Begitu pula dengan bangsa Arab, Persia, Romawi, India, China, Indian, dll.
Tapi, bangsa kita khususnya orang Jawa pun memiliki kemampuan dalam olah kata (filsafat) ini. Ia tersebar di dalam beberapa media, termasuk yang termaktub di dalam serat-serat sejarah dan melalui tradisi lisan. Ini terjadi dengan sebuah kesadaran yang tinggi, karena memang sudah menjadi falsafah bangsa ini selama berabad-abad. Mereka tidak kalah dengan bangsa-bangsa lainnya, bahkan menurut saya lebih hebat dari semua bangsa di dunia.
Untuk membuktikan hal tersebut, mari ikuti penelurusan berikut ini :
1. Tentang konsep ketuhanan (tauhid) :
“Pangeran iku ora ono sing padho. Mulo ojo nggambar-ngambarake wujuding Pangeran”
꧋ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦆꦏꦸꦎꦫꦎꦤꦺꦴꦱꦶꦁꦥꦣꦺꦴ꧉ꦩꦸꦭꦺꦴꦎꦗꦺꦴꦔ꧀ꦒꦩ꧀ꦧꦂꦔꦩ꧀ꦧꦫꦏꦺꦮꦸꦗꦸꦣꦶꦁꦥꦔꦺꦫꦤ꧀
Artinya : Tuhan itu tak ada yang bisa menyamainya. Oleh sebab itu jangan menggambar-gambarkan wujud Tuhan.
“Pangeran iku dudu dewo utowo manungso, nanging sekabehing kang ono iku, uga dewa lan manungso asale soko Pangeran”
꧋ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦆꦏꦸꦣꦸꦣꦸꦣꦼꦮꦺꦴꦈꦠꦺꦴꦮꦺꦴꦩꦤꦸꦁꦱꦺꦴ꧈ꦤꦔꦶꦁꦱꦼꦏꦧꦺꦲꦶꦁꦏꦁꦎꦤꦺꦴꦆꦏꦸ꧈ꦈꦒꦣꦺꦮꦭꦤ꧀ꦩꦤꦸꦁꦱꦺꦴꦄꦱꦭꦺꦱꦺꦴꦏꦺꦴꦥꦔꦺꦫꦤ꧀
Artinya : Tuhan itu bukan dewa atau manusia, namun segala yang ada ini, termasuk dewa dan manusia itu berasal dari Tuhan.
“Pangeran iku biso ngawohi kahanan opo wae tan keno kinoyo ngopo”
artinya: Tuhan itu bisa mengubah segalanya tanpa mungkin dapat diperkirakan manusia.
“Pengeran iku kuaso tonpo piranti, mulo soko kuwi ojo darbe pengiro yen manungso iku biso dadi wakiling Pangeran”
꧋ꦥꦼꦔꦼꦫꦤ꧀ꦆꦏꦸꦏꦸꦮꦱꦺꦴꦠꦺꦴꦤ꧀ꦥꦺꦴꦥꦶꦫꦤ꧀ꦠꦶ꧈ꦩꦸꦭꦺꦴꦱꦺꦴꦏꦺꦴꦏꦸꦮꦶꦎꦗꦺꦴꦣꦂꦧꦺꦥꦼꦔꦶꦫꦺꦴꦪꦺꦤ꧀ꦩꦤꦸꦁꦱꦺꦴꦆꦏꦸꦧꦶꦱꦺꦴꦣꦝꦶꦮꦏꦶꦭꦶꦁꦥꦔꦺꦫꦤ꧀
Artinya : Tuhan itu berkuasa tanpa menggunakan alat pelengkap apa pun, oleh sebab itu jangan beranggapan manusia itu dapat mewakili Tuhan.
“Pangeran biso ngerusak kahanan kang wis ora diperlokake, lan biso gawe kahanan anyar kang diperlokake”
꧋ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦧꦶꦱꦺꦴꦔꦼꦫꦸꦱꦏ꧀ꦏꦲꦤꦤ꧀ꦏꦁꦮꦶꦱ꧀ꦎꦫꦣꦶꦥꦺꦂꦭꦺꦴꦏꦏꦺ꧈ꦭꦤ꧀ꦧꦶꦱꦺꦴꦒꦮꦺꦏꦲꦤꦤ꧀ꦄꦚꦂꦏꦁꦣꦶꦥꦺꦂꦭꦺꦴꦏꦏꦺ
Artinya : Tuhan itu bisa merusak sesuatu yang tidak diperlukan, dan bisa menciptakan sesuatu yang baru yang diperlukan.
“Ora ono kesakten sing mandhi papesthen, awit papesthen iku wis ora ono sing biso murungake”
꧋ꦎꦫꦎꦤꦺꦴꦏꦼꦱꦏ꧀ꦠꦺꦤ꧀ꦱꦶꦁꦩꦤ꧀ꦝꦶꦥꦥꦺꦱ꧀ꦛꦺꦤ꧀ꦄꦮꦶꦠ꧀ꦥꦥꦺꦱ꧀ꦛꦺꦤ꧀ꦆꦏꦸꦮꦶꦱ꧀ꦎꦫꦎꦤꦺꦴꦱꦶꦁꦧꦶꦱꦺꦴꦩꦸꦫꦸꦔꦏꦺ
Artinya : Tidak ada kesaktian yang bisa menyamai kepastian Tuhan, karena tidak ada yang dapat menggagalkan kepastian Tuhan.
“Owah ono gingasring kahanan iku soko kersaning Pangeran Kang Murbahing Jagad”
꧋ꦎꦮꦃꦎꦤꦺꦴꦒꦶꦔꦱꦿꦶꦁꦏꦲꦤꦤ꧀ꦆꦏꦸꦱꦺꦴꦏꦺꦴꦏꦼꦂꦱꦤꦶꦁꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦏꦁꦩꦸꦂꦧꦲꦶꦁꦗꦒꦣ꧀
Artinya: Perubahan itu hanya atas kehendak Tuhan Yang Menguasai Jagad (alam semesta).
2. Tentang konsep Tuhan dan manusia
“Weruh marang Pangeran iku ateges wis weruh marang awake dhewe. Lamun durung weruh awake dhewe, tangeh lamun weruh marang Pangeran”
Artinya : Mengakui adanya Tuhan berarti sudah mengenal dirinya sendiri. Jikalau belum mengetahui dirinya sendiri mustahil dapat mengenal Tuhan.
“Gusti iku sambatan naliko siro lagi nandhang kasengsaraan. Pujinen yen siro lagi nompo kanugerahing Gusti”
artinya: Sebutlah nama Tuhan jika engkau sedang menderita sengsara. Bersyukurlah pada-Nya jika engkau mendapat anugerah.
“Gusti iku dumunung ono jeneng siro pribadi, dene ketemune Gusti lamun siro tansah eling”
artinya: Tuhan itu ada dalam dirimu sendiri, dan pertemuan dengan-Nya akan terjadi jika engkau senantiasa ingat kepada-Nya.
“Ojo lali saben ari eling marang Pangeran niro. Jalaran sejatine siro ikuh tansah katunggon Pangeraniro”
artinya: Jangan lupa setiap hari untuk mengingat Tuhan. Sebab hakikatnya engkau selalu di jaga oleh Tuhanmu.
“Lamun ono jaman ora kepenak siro ojo lali nyuwun pangapuro marang Pangeran. Jalan Pangeraniro bakal aweh pitulungan”
artinya: Jikalau mengalami keadaan (zaman) yang tidak enak, jangan lupa memohon ampun kepada Tuhan. Karena Tuhan akan memberi pertolongan-Nya kepadamu.
“Sing sopo nyembah lelembut iku keliru. Jalaran lelembut iku sejatine rowangiro, lan ora perlu disembah koyo dene menembah marang Pangeran”
Artinya : Menyembah makhluk halus itu keliru. Sebab makhuk halus itu sebenarnya adalah temanmu, dan tidak perlu di sembah seperti Tuhan.
“Sing sopo seneng ngerusak katentremaning liyan bakal di bendu dening Pangeran lan dielehake dening tumindake dhewe”
artinya: Barang siapa suka merusak ketenteraman orang lain akan mendapatkan murka Tuhan, dan akan di gugat karena ulahnya sendiri.
3. Tentang hakekat diri
“Lamun siro kepengin wikan marang alam jaman kelanggenan, siro kudu weruh alamiro pribadi. Lamun siro durung mikani alamiro pribadi adoh ketemune”
artinya: Jikalau engkau ingin mengetahui alam abadi, engkau harus lebih dulu mengenali alam pribadimu. Kalau engkau belum mengetahui alam pribadimu, masih jauhlah alam abadi itu dari dirimu.
“Lamun siro durung wikan kadangiro pribadi, cubo dulunen siro pribadi”
artinya: Jikalau engkau belum mengetahui alam pribadimu, maka tanyakanlah kepada yang mengetahuinya.
“Lamun siro wis mikani alamiro pribadi, alam jalan kalanggengan iku cedhak tanpo senggolan, adoh tanpo wangean”
artinya: Jikalau engkau telah mengetahui alam pribadimu, alam abadi akan menjadi dekat tanpa dengan menyentuhnya, jauh dari dirimu tanpa ada yang membatasinya.
“Lamun siro wis mikani alamiro pribadi, mara siro mulango marang wong kag durung wikan”
artinya: Jikalau engkau telah mengetahui alam pribadimu, hendaklah engkau mengajarkannya kepada yang belum mengetahui.
“Kadangiro pribadi ora bedo karo jeneng siro pribadi, gelem nyambut gawe”
artinya: Terkadang pribadimu itu tidaklah berbeda dengan dirimu sendiri, suka bekerja.
“Kahanan kang ono iki ora suwe. Mesthi ngalami owah gingsir. Mulo ojo lali marang sapadha-padning timitah”
artinya: Keadaan yang ada ini tak lama. Pasti mengalami perubahan. Oleh karena itu jangan melupakan sesama hidup.
“Rame ing gawe, sepi ing pamrih”
artinya: Selalu rajin bekerja dan tidak mengharapkan pamrih.
“Kudu angon wektu”
artinya: Harus pandai memperhatikan suasana.
4. Tentang konsep hidup
“Donya iki dalan iyo kudu diambah mesthine. Amanging dudu benere yen dirungkebana. Sing sopo ngambah dalan kudu sumurup kang ono ing ngarepa sanadyan diparanono mung bakal diliwati bae”
artinya: Dunia ini ibarat jalan yang harus ditempuh apa mestinya. Tapi bukan kebenaran yang dituju. Siapa bakal menempuh jalan harus tahu yang di depannya, meskipun akan didatangi, hanya di lewati saja.
“Urip iku ing donya tan lami. Umpamane jibeng menyang pasar tan langgeng neng pada wae, tan wurung nuli mantuk raring wismane sangkane uni. Ing mengko ojo samar sangkan paranipun ing mengko podho weruh yen asale sangkan paran duking nguni ojo nganti kesasar”
artinya: Hidup di dunia itu tidak lama. Ibarat orang pergi ke pasar tak abadi di pasar saja, kemudian juga pulang pada rumah asalnya itu. Nantinya jangan cemas asal mulanya tadi pada saatnya sama tahu kalau asal mula kehidupan tersebut jangan sampai tersesat.
“Sing sopo mung arep gawe seriking liyan, kuwi uga arep memahi ciloko”
artinya: Barang siapa yang membuat sakit hati orang lain, ia juga akan celaka.
“Sing sopo seneng udur, iku bakal keno bebendu dening Pangeran”
artinya: Barang siapa yang suka bertengkar, akan terkena amarah/hukuman Tuhan.
“Wani marang penggawe kang ora bener, kuwi kaholong titah kang orang becik tumindahke”
artinya: Berani menjalankan perbuatan yang tidak baik, itu tergolong makhluk yang tidak baik tabiatnya.
“Mungsuh sing wis nungkul ojo dipateni”
artinya: Musuh yang sudah menyerah jangan di bunuh.
5. Tentang konsep keluarga
“Sing sopo mung arep oleh wae nanging emoh kangelan, iku aran wong kesed. Iku kabeh ojo ditiru, jalran keluarwargo lan bongso uga rugi”
artinya: Barang siapa yang hanya ingin enaknya saja, tapi tidak suka bekerja keras, itu orang yang malas. Itu semua jangan ditiru, sebab keluarga dan bangsa juga rugi.
“Wong tuo kudu memulung kang prayogo marang putra wayah”
artinya: Orang tua harus mengajarkan yang baik dan pantas kepada anak cucunya.
“Anane keluwargo baek margo wong-wonge batik. Mulo ojo darbe pengiro lamun wong-wonge podho olo kaluwargane bisa batik”
artinya: Kaluarga akan baik jika anggota keluargnya baik. Oleh karena itu jangan berpikir bahwa keluarga akan menjadi baik jika anggotanya tidak baik.
“Sedulur iku apik lamun kabeh darbe panjangka amrih rahayu”
artinya: Saudara itu baik kalau semuanya mencita-citakan kebahagiaan.
“Wong tuo ora keno dadi mungsuhe anake”
artinya: orang tua tidak boleh menjadi musuh anaknya.
“Cedhak keluwargo kang becik, enajan ketularan becik”
artinya: Dekat dengan keluarga yang baik, tentu akan ketularan yang baik.
“Mikul dhuwur, mendem jero”
artinya: memikul tinggi, memendam dalam (nasehat agar anak bisa menjaga nama baik keluarga dan menutup rapat aib keluarga)
6. Tentang konsep bertetangga
“Tonggo iku podho karo bapak biyung”
artinya: Tentanggga itu sama dengan bapak dan ibu.
“Sing sopo ora seneng tetanggan kelebu wong kang ora becik”
artinya: Barang siapa yang tidak suka hidup bertetangga tergolong orang yang tidak baik.
“Tonggo kang ora becik atine ojo dicedhaki, nanging oo dimusuhi”
artinya: Tetangga yang tidak baik hatinya jangan di dekati, tetapi jangan pula di musuhi.
“Tonggo iku singkirono lamun darbe sipat kang kurang prayogo”
artinya: Jauhi tetangga yang mempunyai sifat tidak sepantasnya.
“Tetangga iku kadyo ulo umpamane, keno diingu nanging yo gelem nyokot”
artinya: Tetangga itu seumpama ular, bisa dipelihara tapi juga mau menggigit.
“Tonggo sing gelem tetulung iku titenono. Yen mangku arep iku bakal ketoro. Nanging yen sarana bebarengan urip bakal dadi konco selawase”
artinya: Perhatikan tetangga yang suka menolong. Kalau punya pamrih pasti lekas terlihat. Tetapi kalau hanya sebagai sarana hidup bersama, akan menjadi teman selamanya.
7. Tentang konsep menuntut ilmu
“Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas. Tegese kas nyantosani. Setya budya pangekese dur angkoro”
artinya: Ilmu itu terwujud dengan laku. Di mulai dengan kemauan. Kemauan membuat sentosa. Budi setia penghancur nafsu angkara.
“Sasmitaning ngaurip puniki yekti ewuh yen nora weruha. Tan jumeneng ing uripe. Sakeh kang ngaku-aku pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu rasaning rasa punika. Upayanen darapon sampurneng dhiri ing kauripaniro”
artinya: Makna kehidupan itu sungguh sayang bila tak tahu. Tidak kokoh hidupnya. Banyak orang mengaku perasaaanya sudah utama, padahal belum tahu rasa, rasa yang sesungguhnya. Hakikat rasa itu adalah usahakan supaya diri sempurna dalam kehidupan.
“Yen siro nggeguru kaki amiliha manungsa kang nyoto. Ingkang becik martabate sarto kang weruh ing khukum. Kang ibadah lan kang wirangi sokur oleh wong topo. Iya kang wus mungkul tan mikir piwewehing liyan. Iku panyes yon den gurunono kaki sertane kawrihana”
artinya: Jika kamu berguru pilihlaj manusia nyata. Yang baik martabatnya serta tahu hukum. Yang beribadah dan sederhana syukur dapat bertapa. Yang sudah menanggalkan pamrih pemberian orang. Itu pantas kamu berguru serta ketahuilah.
“Lamun ono wong micoro ilmu, tan mufakat ing patang prekoro, ojo siro age-age. Anganggep nyatanipun saringono dipun bersih limbangen kang patang prekoro rumuhun dalili hadis lan ijmak lan kiyase papat iku salah siji adate kang mufakat”
artinya: Kalau ada orang yang bicara ilmu, tak setuju empat perkara, jangan cepat-cepat percaya padanya. Saringlah yang teliti, pertimbangkan empat hal perkara terdahulu, dalil hadits dan ijma` dan keempat Qiyas. Semua telah disepakati.
“Wong kang ahli sastra ingarane luhur sastrane. Layak yen mangsi lan kertas. Pantes yen luhur ngakal ning sastra suraosipun. Luhur sejatining sastra, sastra praboting negoro. Lumaku saben dino mang migar pradata hukum, sanadyan tan kanthi ngakal”
artinya: Orang yang ahli sastra disebut luhur sastranya. Tepat jika tinta dan kerta. Patas jika luhur akalnya pada satra maknanya. Luhur sejatinya sastra, sastra sarana negara. Berjalan tiap hari serta wujud perdata hukum, meskipun tiada dengan akal.
8. Tentang konsep kepemimpinan dan bernegara
“Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”
artinya: Seorang pemimpin itu harus bisa berada di depan sebagai suri tauladan, harus bisa berada di tengah untuk senantiasa membaur dengan rakyatnya dan sebagai pengayom, dan harus bisa berada di belakang sebagai motivator demi kemajuan yang dipimpinnya.
“Lamun ono penguasane asale soko wong olo, iku ora luwes bakal konangan alane. Sebab kabeh mau wis kewoco soko tumindhake panguasa mau”
artinya: Jikalau ada penguasa yang tidak berasal dari orang yang baik, tiada lama pastinya akan ketahuan jeleknya. Sebab akan tampak dari tindakan si penguasa itu.
“Janma iku tan keno kiniro kinoyo ngopo. Mula ojo siro seneng ngaku lan rumongso pinter dhewe”
artinya: Manusia walau bagaimanapun tidak bisa diterka. Oleh karena itu janganlah engkau suka mengaku dan merasa paling pandai.
“Ratu iku durung mesthi kepenak uripe, lamun ora biso ngaweruhi kawulane”
artinya: Penguasa itu belum tentu enak hidupnya, bila tak mengetahui aspirasi rakyatnya.
“Ratu kang mung seneng uripe margo akeh bandane, ing tembe matine orang kajen. Mulo dadi rata ojo sawiyah-wiyah marang kawulane”
artinya: Penguasa yang enak hidupnya hanya karena banyak harta benda kelak matinya tak akan terhormat. Oleh sebab itu jangan kejam dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
“Ratu kang murang sarak iku ojo diajeni, jalaran ratu kang koyo mengkono iku gawe rusaking negoro”
artinya: Penguasa yang kejam dan serakah jangan dihormati, sebab penguasa yang seperti itu akan merusak negara.
“Ratu iku kudu gawe tentrem poro kawulane, mergo yen ora mengkono biso dadi kawulane ngrebut negoro”
artinya: Penguasa itu harus bisa membuat tenteram rakyanya, karena jika tidak rakyatnya akan merebut kekuasaan dalam negara itu.
“Pathokaning negoro iku dumunung ono angger-anggering negoro”
artinya: Tiang sebuah negara itu terletak pada undang-undang negara.
“Dhasaring negoro iku ono limo, kapisan paserah anane negara iki marang kang Murbeng Dumadhi. Kapindo percoyo marang anane manungso iku soko kang Murbeng Dumadhi. Kaping telu ojo siro ngilwatake bongso niro pribadi. Kaping papat siro ojo mung kepingin menang dhewe, mulo perlu rerembungan amrih becike. Kaping limo kewajiban aweh sandhang kalawan pangan lan uga njogo katentraman lehir kalawan batin”
artinya: Dasar sebuat negara itu adal lima. Pertama, pasrah adanya negara kepada Tuhan. Kedua, percaya bahwa manusia itu adanya dari Tuhan. Ketiga, jangan mengabaikan bangsamu sendiri. Keempat, engkau jangan ingin menang sendiri, karena itu harus suka bermusyawarah bagaimana baiknya. Kelima, berkewajiban memberi sandang dan papan serta ketenteraman lahir batin.
“Bongso iku minangka sarana kuwating negoro. Mulo ojo ngiwarake kebangsaniro pribadi. Supoyo kenugerhan bongso kang handana warih”
artinya: Bangsa itu sebagai sarana kuatnya negara. Oleh karena itu janganlah mengabaikan rasa kebangsaanmu sendiri, agar memiliki bangsa yang berjiwa kesatria.
“Para muda ojo ngungkurake kawruh kang nyoto, amrih karya ungguling bongso lan biso gawe rahayuning sesama”
artinya: Para pemuda jangan mengabaikan ilmu pengetahuan yang nyata, agar negaranya menjadi makmur dan dapat membuat keselamatan sesamanya.
Memayu Hayuning Bawana Ambrasta Dur Hangkara. Manusia Menjunjung Tinggi Keselamatan, Kesejahteraan Dan Memberantas Angkara Murka (Versi Jeng Sunan Kalijaga)
Sunan Kalijaga seorang tokoh wali sembilan yang dikeramatkan orang-orang jawa mewariskan nasihat kehidupan yang dikenal dengan dasa pitutur. Diantarannya adalah Nasihat mengenai bagaimana melakoni hidup ini menjadi bagian dari pitutur jawa kepada para generasi penerus bangsa.
Salah satu pitutur Jawa dari dasa pitutur peninggalan Sunan Kalijaga yakni memayu hayuning bawana ambrasta dur hangkara yang artinya (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
Sunan Kalijaga memang dikenal sebagai salah satu wali songo yang memiliki cara khas dalam berdakwah, karena menggunakan budaya setempat agar lebih dekat dengan masyarakat. "Sebagai manusia hidup di dunia apalagi yang dicari jika bukan kebahagiaan? Maka jauh jauhlah dari sifat angkara murka, serakah dan tamak,"
Memayu Hayuning Bawana memiliki relevansi dengan wawasan kosmologi Jawa atau kosmologi kejawen. Kejawen memiliki wawasan kosmos yang tidak lain sebagai perwujudan konsep memayu hayuning bawana. Memayu hayunig bawana adalah ihwal space culture atau ruang budaya dan sekaligus spiritual culture atau spiritualitas budaya.
Dipandang dari sisi space culture, ungkapan ini memuat serentetan ruang atau bawana. Bawana adalah dunia dengan isinya. Bawana adalah kawasan kosmologi Jawa. Sebagai wilayah kosmos, bawana justru dipandang sebagai jagad rame. Jagad rame adalah tempat manusia hidup dalam realitas. Bawana merupakan tanaman, ladang dan sekaligus taman hidup setelah mati. Orang yang hidupnya di jagad rame menanamkan kebaikan kelak akan menuai hasilnya.
Selain itu, memayu hayuning bawana juga menjadi spiritualitas budaya. Spiritualitas budaya adalah ekspresi budaya yang dilakukan oleh orang Jawa di tengah-tengah jagad rame (space culture). Pada tataran ini, orang Jawa menghayati laku kebatinan yang senantiasa menghiasi kesejahteraan dunia. Realitas hidup di jagad rame perlu mengendapkan nafsu agar lebih terkendali dan dunia semakin terarah. Realitas hidup tentu ada tawar-menawar, bias dan untung rugi. Hanya orang yang luhur budinya yang dapat memetik keuntungan dalam realitas hidup. Dalam proses semacam itu, orang Jawa sering melakukan ngelmu titen dan petung demi tercepainya bawana tentrem atau kedamaian dunia. Keadaan inilah yang dimaksudkan sebagai hayu atau selamat tanpa ada gangguan apapun. Suasana demikian oleh orang Jawa disandikan ke dalam ungkapan memayu hayuning bawana.
Memayu hayuning bawana memang upaya melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin. Orang Jawa merasa berkewajiban untuk memayu hayuning bawana atau memperindah keindahan dunia, hanya inilah yang memberi arti dari hidup. Di satu fisik secara harafiah, manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya. Sedangkan di pihak lain secara abstrak, manusia juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spritualnya. Pandangan tersebut memberikan dorongan bahwa hidup manusia tidak mungkin lepas dari lingkungan. Orang Jawa menyebutkan bahwa manusia hendaknya arif lingkungan, tidak merusak dan berbuat semena-mena.
Dalam pandangan islam bahwa memayu hayuning bawana ambrasta dur hangkara memilikimakna dan penafsiran sebagaimana berikut: Pertama, manusia harus selalu menjaga maqosidul syariah artinya manusia harus selalu menjaga keselamatan agama, jiwa, harta, aqal dan keturunan, Al- qur’an secara jelas menyatakan manusia harus dilindungi harkat dan martabatnya menuju insan kamil.
Kedua, Kesejahteraan merupakan tujuan dari ajaran Islam dalam bidang ekonomi. Kesejahteraan merupakan bagian dari rahmatan lil alamin yang diajarkan oleh Agama Islam ini. Namun kesejahteraan yang dimaksudkan dalam Al-Qur'an bukanlah tanpa syarat untuk mendapatkannya, tetapi kesejahteraan terbebasnya seseorang dari jeratan kemiskinan, kebodohan dan rasa takut sehingga dia memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram secara lahiriah maupun batiniah.
Ketiga, Dalam Islam, kemungkaran sangat dilarang atau diharamkan. Bahkan dalam beberapa surat Al-Qur’an dan hadis juga menjelaskan untuk wajib memeranginya. Untuk itu, perlu mengetahui cara mencegah perbuatan kemungkaran ada pada diri sendiri.
Kemungkaran adalah semua perkara yang diingkari, dilarang, dan dicela pelakunya oleh syariat, maka masuk di dalamnya semua bentuk maksiat, bid’ah, dan yang paling jeleknya adalah kesyirikan kepada Allah SWT. Keempat, Tamak sama dengan serakah yang berarti berlebih-lebihan dalam mencari harta. Azab yang diganjar bagi pelaku sifat tamak ialah dicabutnya keberkahan hidup. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Imam Bukhari. Makna dari hilangnya keberkahan pada hadits di atas ialah dicabutnya rasa cukup dalam hati seseorang.
Imajiner Nuswantoro