Manunggaling Kawula Gusti
ꦩꦤꦸꦁꦒꦭꦶꦁꦏꦮꦸꦭꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶ
Secara keseluruhan, Manunggaling Kawula Gusti dimaknai sebagai suatu keadaan menyatunya manusia dengan Tuhan.
Piwulang Manunggaling Kawula Gusti (Ajaran Bersatunya Manusia dengan Tuhan) adalah ajaran Jawa tentang tanggapan diri pribadi manusia (ciptaan) atas belas kasih atau welas asih Tuhan (Pencipta) yang berkenan menyertai setiap hati sejati manusia (Manunggaling Kawula Gusti).
Diyakini bahwa karena belas kasih-Nya maka sejak manusia diciptakan, Tuhan selalu menyertai manusia sebagai ciptaan paling sempurna yang diutus menjadi kepanjangan tangan Tuhan supaya hidup rukun dengan sesama dan alam semesta sebagaimana diteladankan Tuhan, untuk memuliakan nama-Nya. Karena kasih-Nya (katresnan Dalem Gusti), Tuhan tidak otoriter tetapi menghargai manusia sebagai pribadi utuh yang diberi kebebasan. Kebebasan inilah yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi berbeda satu dengan yang lain.
Upaya diri pribadi manusia yang terbuka hatinya menanggapi Manunggaling Gusti Kawula ini dilakukan secara sendiri-sendiri atau berkelompok dengan laku glenikan sehingga menghasilkan ngelmu klenik yang disebut ajaran (piwulang atau kawruh) Manunggaling Kawula Gusti, sebagai berikut :
1. Sesungguhnya pengetahuan manusia tentang “dirinya sendiri” masih sangat dangkal daripada “diri sendiri sejati” yang diberikan Sang Pencipta. Atau dengan kata lain Sang Pencipta mengenal diri manusia lebih baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada manusia lebih daripada manusia mengasihi dirinya sendiri.
2. Bahwa perbuatan yang selama ini dilakukan kepada Tuhan, sesama dan alam semesta yang menurut manusia sudah baik ternyata masih sebatas ragawi yang kasad mata penuh pamrih dan pilih kasih (mbancindhe mbansiladan) hanya untuk kepentingan manusia (dirinya sendiri).
Contoh : Ketika seseorang beribadah kepada Tuhan menganggap yang dilakukan sudah cukup (karena sikap dan perbuatannya tidak berubah), tetap melakukan kekerasan phisik / non phisik, pemarah, dlsb karena dilakukan secara normatif, agamis tanpa hati sejati. Demikian pula ketika perbuatan baik kepada sesama tidak mendapatkan balasan, tanggapan semestinya atau bahkan sama sekali tidak ditanggapi menjadi kecewa, marah, tersinggung, dlsb. Padahal kasih yang diteladankan Tuhan tidak pernah menuntut balas dan pilih kasih : tanah yang dicangkul malah memberikan tanaman untuk dikonsumsi, oksigen untuk bernapas manusia, hangatnya matahari, segarnya air hujan diberikan kepada setiap orang secara cuma-cuma tanpa membedakan status, etnis/ warna kulit, agama, layaknya sinar bulan yang menerangi bumi tanpa terkecuali yang merupakan bentuk dari laku welas asih dan tulus..
3. Untuk menggali kesadaran diri hati sejati diperlukan percaya sejati kepada Tuhan. Percaya sejati berarti berserah diri tanpa reserve, melepaskan nafsu ingin memiliki dan kemauan sendiri kepada kehendak Tuhan, semua yang ada dipersembahkan sebagai alat-Nya memuliakan nama-Nya.
4. Niat berserah diri atau pasrah kepada Tuhan hanya dapat diwujudkan dengan laku batin meneng atau diam terpusat di hati : tersenyum, rileks melepaskan semua ketegangan tubuh dan pikiran. Laku meneng mengarahkan hati kepada Tuhan dilakukan secara tekun tanpa target, tanpa pamrih dan tidak memaksakan diri, batin menjadi wening (jernih). Rasa ati wening ini menumbuhkan kesadaran hati sejati bahwa Tuhan sungguh hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati sejati menjadi dunung (mengerti) bahwa hidupnya harus menyatu dengan Sang Pencipta. (makna kebatinan).
5. Kesadaran Manunggaling Kawula Gusti berarti harus mau meneladani kasih-Nya yang diungkapkan dalam hidup sehari-hari semakin berbelas kasih sejati kepada sesama dan alam semesta ; memaafkan kesalahan, menyesal dan mohon maaf kepada Tuhan dan sesama atas segala kesalahan (yang sering membuat tertekan hatinya), menerima orang lain dan keadaan / peristiwa seperti apa adanya, tidak akan mempengaruhi orang lain dengan paksa, merubah sikap kekerasan menjadi tanpa kekerasan, dari permusuhan menjadi damai, dari hidup dengan berbagai kepalsuan menjadi jujur dan apa adanya, dari sombong, egois dan menonjolkan diri menjadi rendah hati dan peka akan perasaan orang lain, dari serakah menjadi ikhlas untuk berbagi, berbela rasa, melestarikan alam semesta, tidak pernah mengadili orang lain, mengritik, memaksakan kehendak, dlsb. Relasi spiritual Kawula Gusti ini harus bermuara pada sikap hormat atau ngajeni sesamining gesang. Sikap ini membuahkan relasi welas asih sejati dalam persaudaraan.
6. Laku batin mutlak harus dilakukan, karena tanpa laku batin terpusat di hati (bukan konsentrasi pikiran yang menegangkan) maka orang hanya mengerti sebatas wacana tetapi tidak menghayati. Tuhan hanya dapat diabdi dengan cinta dalam perbuatan nyata, tidak hanya dipikirkan. Hanya dengan perbuatan belas kasih sejati Tuhan dapat diperoleh, tetapi dengan pikiran tidak mungkin. Sebagai pengandaian, untuk memperoleh prestasi olah raga diperlukan ketekunan latihan, demikian pula untuk dapat menanggapi kasih-Nya diperlukan ketekunan olah batin yang diawali dengan senyum, sikap rileks menghilangkan ketegangan tubuh dan pikiran tanpa memaksakan diri, untuk dapat menyadari kehadiran-Nya.
7. Sikap percaya dan berserah diri manunggal dengan Tuhan ini bisa diandaikan sebagai hak dan kewajiban, ketika orang telah memenuhi kewajibannya dengan baik pasti haknya akan diperoleh. Apabila orang sungguh percaya kepada Tuhan, mengarahkan hati sejati kepada-Nya yang diungkapkan dengan perbuatan baik penuh welas asih, maka orang akan dengan tegar dapat menerima setiap keadaan tanpa harus melawan dengan memaksakan kehendak, segala sesuatu yang negatif dari luar dirinya diterima dengan senyum sebagai hiburan, karena percaya bahwa kuasa welas asih & katresnan Dalem Gusti yang berkarya, diiringi ucapan syukur. Tidak ada rasa irihati, sombong, takut, kuatir, tegang, dihantui rasa bersalah, melainkan percaya Tuhan pasti akan mengatur memberikan kesejahteraan sejati bagi hidupnya. Demikian juga ketika berdoa memohon kepada-Nya, yakin segala permohonannya telah dikabulkan. Semua ini membuahkan rasa hati gembira, berani menghadapi kenyataan hidup, dalam segala hal selalu bersyukur (sumringah bingah, menapa-menapa wantun, syukur lan beja ingkang langgeng).
8. Seseorang yang sudah mampu menjalani hidup menyatu dengan Tuhan atau “Manunggaling Kawula Gusti” berarti sudah menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” dengan baik. Buahnya orang menjadi sehat secara psikis karena selalu berpikir positip dan tenang atau sareh. Secara emosi menjadi lebih sabar, tidak pemarah, tidak akan putus asa, kecewa dan tidak mudah tersinggung karena yakin semua yang negatif dari luar tidak akan mempengaruhi dirinya (nyawang karep). Secara sosial menjadi mudah bergaul dan menerima orang lain dan keadaan seperti apa adanya tanpa menimbulkan emosi negatip. Akhirnya, dengan didukung pola makan yang benar dan gerak badan cukup, semua sikap tersebut menyehatkan raga karena metabolisme tubuh normal tanpa diganggu emosi negatip yang mengakibatkan peredaran darah tidak lancar, detak jantung tidak teratur, tekanan darah naik.
9. Meskipun ajaran ini tentang relasi pribadi manusia dengan Tuhan, tetapi memiliki nilai sosial dan kemanusiaan tinggi, karena sikap berserah diri kepada Tuhan selalu diungkapkan dengan perbuatan belas kasih kepada sesama dan alam semesta, dengan hati sejati sebagai nakhodanya. Ajaran ini juga upaya mengakhiri kekerasan, karena sesungguhnya kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru.
Ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” ini sangat pas untuk bekal hidup jaman ini dimana orang hanya dibiasakan menggunakan otak kiri / kognisi yang menarik manusia kepada hitung-hitungan tambah dan kurang, konsumerisme, hedonisme, normatif yang hanya ragawi dan kasad mata tanpa hati sejati. Akibatnya orang ingin cepat memperoleh hasil secara instant mengabaikan proses, untung rugi, yang disadari atau tidak mempengaruhi hidup spiritual keagamaan, persaingan, kalah menang, pembenaran diri, egoisme yang berbuntut konflik dengan kedok agama, suku dan ras, penguasaan sumberdaya alam tanpa ada kemauan melestarikan dan berbagi, kekerasan dlsb yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan sejati yang adil dan beradab.
Dalam tataran keilmuan orang jawa ada beberapa hal yang harus ditempuh jika seseorag ingin mencapai kesempurnaan hidup,salah satunya tataran yang harus dilewati tertuang dalam kitab baswalingga karya tataran keilmuan adalah tentang sastra jendra hayuningrat.
Bahwasannya sastra jendra hayuningrat adalah jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan hidup berdasarkan falsafah ajaran laku hidup sejati, dan apabila semua orang menaati semua ajaran sastra tadi niscaya bumi akan sejahtera, nama lain dari sastra jendra hayuningrat adalah sastra cetha alias sastra tanpa papan dan sastra tanpa tulis, bunyi tanpa suara walaupun tanpa tulis dan papan tapi maknanya terang alias cetha dan bisa digunakan sebagai serat papakem paugeraning gesang.
Untuk mencapai sastra cetha ada 7 tahapan yang kudu dilalui yakni :
1. Tapaning jasad.
Mengendalikan atau menghentikan gerak tubuh dan gerak fisik lainnya, lakunya tidak dendam, sakit hati, semua hal diterima dengan legawa-tabah dengan kesungguhan hati alis tan milih tan nolak
2. Tapaning budhi.
Artinya menghilangkan perbuatan yang hina (nista) dan hal-hal yang tidak jujur
3. Tapaning hawa nafsu.
Mengendalikan nafsu atau sifat angkara murka dari pribadi kita, lakunya sabar dan selalu berusaha menyucikan diri, punya perasaan dalam, mudah memberi maaf dan taat pada tuhan yang maha esa.
4. Tapaning cipta.
Artinya memperhatikan perasaan secara sungguh sungguh atau dalam bahasa Jawanya ngesti sarasaning raos ati, berusaha sekuat tenaga menuju heneng-meneng-khusyuk-tumaknina, sehingga hasilnya tidak akan diombang ambingkan oleh siapapun dan apapun dan yang akhir selalu hening-wening atau waspada supaya bisa konsentrasi ke Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa
5. Tapaning sukma.
Dalam tahapan ini kita fokus ke ketenangan jiwa, amalnya ikhlas dan memperluas rasa kedermawanan kita dengan memberi derma kepada fakir miskin secara iklas
6. Tapaning cahya.
Maknanya dalam tataran ini selalu eling,awas dan waspada sehingga hasilnya kita mempunyai daya meramalkan sesuatu secara tepat alis waskitha, amal eling dan waspada diikuti dengan menghindari hal hal yang bersifat glamour dunia atau memabukan yang mengakibatkan batin kita menjadi samar.
7. Tapaning gesang.
Dalam tahapan akhir ini kita berusaha sekuat tenaga dengan hati hati menuju kesempurnaan hidup dan taat pada Tuhan Yang Mahaesa.
Ilmu sastra jendra diatas berdasarkan kebatinan jawa,sastra ini bermakna mantra berdasarkan ilmu pengetahuan dengan kata lain ilmu untuk memupuk kesejahteraan dunia (memayu hayuning bawana). yang berasal dari bathara indra yang juga bermakna endra loka alias pusat tubuh manusia yang berada di dalam rongga dada (jantung), pusat dalam kaitan diatas bermakna sumber atau rasa sejati-ambang batas.hayu-ing-rat artinya menuju keselamatan dunia.
Manunggaling Kawula Gusti artinya setiap mahluk pada akhirnya akan kembali menyatu kepada Tuhan sebagai sang pencipta.
Manunggal berarti kembali bersatu kepada Sanghyang Tunggal, Ida Sanghyang Widhi Wasa (moksa) untuk mencapai kebahagiaan abadi.
Kawula diartikan sebagai hamba, mahluk atau ciptaanNya.
Gusti diterjemahkan sebagai Tuhan, Dzat Yang Maha Menciptakan yaitu Beliau yang sangat dekat yang ada di dalam diri kita, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita.
Dalam Hindu Dharma, ajaran ini sama halnya seperti kita memahami tentang moksa yaitu bersatunya Atman dengan Brahma kembali.
Ilmu ini bukan belajar untuk menjadi Gusti atau Tuhan.
Namun mempelajari ilmu Manunggaling Kawula Gusti ini adalah belajar mengenal, mengerti, memahami, dan memanfaatkan potensi maksimal dari keberadaan Dzat Gusti yang ada dalam diri setiap makhluk untuk kemaslahatan alam semesta, dan mahlukNya.
Ketika seseorang memahami dengan sepenuhnya bahwa dalam diri setiap makhluk itu ada keberadaan Dzat Gusti, maka dengan otomatis, dia tidak akan mampu untuk menyakiti makhluk lainnya, meskipun dirinya sendiri disakiti terlebih dahulu.
Bagaimana dia mampu menyakiti makhluk lain jika menyakiti seseorang yang terdapat keberadaan Gusti di dalamnya dapat diartikan dengan ia menentang keberadaan Gusti itu sendiri ?
Lalu Bagaimana kalo sudah Manunggal ?
Manunggal berarti Diam.
Tak ada lagi kata-kata yang kita mampu untuk menggambarkannya.
Pahami bahwa pada hakekatnya pencapaian terindah dan syahdu dalam Ketuhanan adalah Diam, hening.
Lalu menuju Suwung (Sunia Loka).
Pada konsep yang lebih jauh, memahami keberadaan Dzat Gusti di dalam diri kita, dapat digunakan untuk menuntun kita dalam menjalani hidup dengan damai, tenang dan lebih berkesadaran.
Maka hidup akan menjadi lebih mudah, dan indah karena kita selalu diperkaya dengan welas asih dan kasih sayang.
Manunggaling Kawula Gusti merupakan suatu asas dasar yang dihidupi secara spiritual dalam masyarakat Jawa, hingga akhirnya turut melahirkan berbagai etika, moral dan cara pandang masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-harinya. Lebih mendalam lagi, Manunggaling Kawula Gusti merupakan salah satu inti atau pokok pengajaran dalam falsafah Jawa yang menjadi titik acuan penting dalam cara hidup masyarakat Jawa. Manunggaling Kawula Gusti memiliki arti dari beberapa kata yakni manunggal-ing yang berarti menyatu, Kawula yang berarti hamba atau diartikan sebagai aku, dan Gusti yang bermakna Tuhan. Secara keseluruhan, Manunggaling Kawula Gusti dimaknai sebagai suatu keadaan menyatunya manusia dengan Tuhan.
Untuk memahami Manunggaling Kawula Gusti, tentu tidak dapat dilepaskan dari narasi yang menjadi pusat tuntunan dan spiritualitas kehidupan masyarakat Jawa, yakni Serat Dewa Ruci. Dalam pandangan mistik Jawa, terdapat kesadaran tentang kesatuan diri sebagai mikrokosmos yang disebut sebagai jagad cilik dan alam semesta sebagai makrokosmos yaitu jagad gedhe. Ini dapat dilihat melalui kisah Bima dalam perjalanannya mencari air kehidupan hingga perjumpaannya dengan Dewa Ruci yang tak lain tak bukan berarti Bima sedang mencari makna atas dirinya dan sadar bahwa dirinya berhadapan dengan Sang Hyang Murbengrat sebagai gambaran atas dirinya sendiri. Arti dari pencarian air kehidupan oleh Bima ini dapat dimaknai dengan sebuah pengertian bahwa manusia harus sampai kepada sumber air hidupnya apabila ia mau mencapai kesempurnaan, dan dengan demikian sampai pada realitasnya yang paling mendalam. Titik penentu dari narasi dalam Serat Dewa Ruci ini adalah perjumpaan Bima dengan Dewa Ruci, di mana perjumpaan ini dihayati bagaikan “penyataan yang ilahi” kepada Bima selaku hambanya. Dari sinilah pokok ajaran hidup dari Serat Dewa Ruci bermakna bahwa mencapai paran atau tujuan hidup yang sebenarnya seharusnya diraih sejak keberadaan hidup di dunia ini.
Konsep Kesatuan dan Kosmomonisme.
Menjadi menarik oleh karena sejatinya, dalam falsafah kehidupan Jawa tidak mengenal konsep dosa atau bahkan konsep keselamatan yang berkaitan dengan “surga” dan “neraka” seperti halnya pemahaman yang umum diterima dalam agama-agama Abrahamik seperti Yahudi, Kristen, maupun Islam. Melalui keberadaan hidup yang manunggal atau bersekutu dengan Sang Khalik, setiap manusia dipanggil untuk mengarahkan dan mengelola hidupnya berdasarkan keberadaan menyatunya diri dengan Sang Khalik.
Segala sesuatu berasal dan menuju kembali kepada Sang Hyang, segala sesuatu yang ada di semesta ini telah ditentukan oleh Sang Khalik, baik berkenaan dengan waktu dan tempatnya. Masyarakat Jawa menghayati kehidupan sebagai satu kesatuan yang manunggal, yakni satu realitas tunggal dalam tata tertib yang harmonis dalam tatanan kosmis. Dalam hal ini, masyarakat Jawa dapat digolongkan sebagai suatu kebudayaan yang memiliki pemahaman kosmomonisme, yang berarti terdapat satu realitas tunggal dalam tata tertib yang harmonis atau kosmos. Hanya ada satu realitas tunggal di dalam kehidupan semesta, dengan demikian setiap unsur yang ada di dalamnya memiliki tempat dan perannya sendiri dalam keselarasan di kehidupan. Sebagai realitas tunggal, Tuhan dan alam semesta beserta segala isinya memiliki tata tertibnya, dan ketertiban atau keselarasan ini pertama-tama dimanifestasikan pertama-tama pada perputaran musim atau mangsa yang bergerak secara dinamis. Prinsip ini dikenal dengan semboyan hidup “samubarang iku gilir gumanti” atau yang berarti segala sesuatu bergilir atau berganti sesuai dengan prinsip harmoni.
Dosa dan Pengendalian Diri.
Kendati manusia Jawa tidak mengenal konsep dosa sebagaimana dalam pandangan agama-agama besar lainnya, manusia Jawa memaknai bahwa keselarasan dan harmoni dalam kehidupan merupakan sesuatu yang harus dicapai. Dosa berarti berjalan tidak selaras dengan apa yang sudah pada tempatnya dan pada perannya, atau merusak harmoni yang harusnya diraih tersebut. Dalam Jawa juga terdapat suatu distingsi antara dua segi fundamental realitas, yaitu segi lahir dan segi batin. Segi lahir manusia terbangun dari sifat jasmaninya, yakni atas tindakan-tindakan, gerakan-gerakan, ucapannya, lakunya, dan sebagainya. Sementara di balik segi lahir, terselubung segi batin yang menyatakan diri dalam kehidupan sebagai kesadaran subjektif.
Dengan mencapai kesadaran akan keberadaan hidup yang manunggal atau bersekutu dengan Sang Khalik, maka pribadi harus memiliki kesadaran pengendalian diri dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Seperti di dalam kisah Bima mencari air kehidupan dalam Serat Dewa Ruci, sewaktu Bima memasuki batinnya sendiri ia menemukan kekosongan di dalam dirinya dan mencapai sukma sebagai dasar batin dari dirinya sebagai manusia. Pada dasar batinnya ini lah Bima mampu berjumpa dengan Yang Ilahi, dengan melepaskan belenggu-belenggu yang mengikatnya pada alam lahir. Contohnya, dalam kebudayaan Jawa, terdapat konsep Molimo yang merupakan lima perkara yang dilarang dalam kehidupan. Lima perkara tersebut adalah :
1. Emoh Main (tidak mau berjudi),
2. Emoh Ngombe (tidak mau minum yang memabukkan),
3. Emoh Madat (tidak mau menghisap candu atau ganja),
4. Emoh Maling (tidak mau mencuri atau kolusi), dan
5. Emoh Madon (tidak mau berzina).
Melalui pengendalian batin, manusia dapat menghindari lima perkara terlarang dalam kehidupan tersebut. Sehingga meraih kesadaran diri merupakan titik penting dalam pengertian atau kawruh pengajaran falsafah kehidupan Jawa.
Daftar Pustaka :
- Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987)
- Yusak Tridarmanto, Serba-Serbi Di Sekitar Kehidupan Orang Jawa : Sebagai Konteks Berteologi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2013)
Imajiner Nuswantoro