KERAJAAN LUWU (SULAWESI) SEJAK ABAD KE-10
(Kerajaan Luwu berada di Pulau Sulawesi, tepatnya di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan modern. Kerajaan ini dikenal sebagai kerajaan tertua dan terbesar di daratan Sulawesi, dengan pengaruh yang mencakup sebagian besar wilayah Sulawesi)
Awal Peradaban Kerajaan Luwu
Dari berbagai sumber sejarah dan Epos Lagaligo, diketahui bahwa Peradaban Luwu muncul dari Salu Pongko yakni di wilayah Wotu antara 3.000 hingga 2.000 tahun silam. Diduga, Wotu dahulu kala pernah didiami suku tertua yang bernamaTo Pongko, namun nama suku ini tidak lagi berhasil diidentifikasi oleh peneliti sejarah maupun sumber sejarah (penutur).
Dari To Pongko lahir 2 (dua) anak suku, yakni To Liu’ (Lowland) dan To Riu’ (Highland) antara 2.500 hingga 2.000 tahun silam. Ke-2 nama anak suku ini juga tak dapat diidentifikasi oleh peneliti sejarah maupun sumber sejarah, tetapi masih dapat diidentifikasi melalui Epos Lagaligo dengan term (istilah) yang berbeda.
Simpelnya,To Pongko (Wotu) melahirkan 2 (dua) anak suku utama. Suku pertama adalah sukuTo LIU’ (di kenal dalam Epos Lagaligo dengan nama Buriq Liu’) yang akhirnyalebih populer disebut dengan To Luwu. Suku ini berdiaspora dari Wotu ke MuaraSalu’ Pongko (sekarang Salo’ Bongko’) dan akhirnya membentuk sebuah peradaban Lowland (dataran rendah) di Pesisir Pantai Malangke, setelah merangkak perlahan melalui Pantai Lemo di Burau. Suku kedua adalah suku To RIU’ (dalam EposLagaligo dikenal dengan nama WAWENRIU’ singkatan dari Wawa INIA Rahampu’u), yang berdiaspora dari Wotu dan akhirnya berkumpul dan membentuk sebuah peradaban Highland (dataran tinggi) di sekitar Danau Matano, setelah merangkak perlahan melalui beberapa sungai, seperti sungai Manurung dan sungai Larona (keduanya di Luwu Timur sekarang).
Perkawinan Batara Guru (La Toge’ Langi’) dengan We Nyili’ Timo dianggap sebagai lambang reunifikasi (penyatuan kembali) 2 (dua) keluarga besar dari suku To RIU(WAWENRIU) dengan suku To LIU (LUWU) yang berasal dari satu nenek moyang ToPONGKO (Wotu), yang lama terpisah dan tercerai berai akibat diaspora (penyebaran penduduk/keturunan). Kelahiran BATARA LATTU dari Perkawinan ini dapat dianggap sebagai simbol lahirnya kembali (reinkarnasi) nenek moyang mereka ‘ToPONGKO’, sebagai manusia awal yang pernah mendiami Tana Luwu di Wotu. Karena itulah, Reunifikasi keluarga ini dikukuhkan dengan dijadikannya Wotu sebagai Ware’ (Kotaraja) Kerajaan Luwu yang pertama.
Kerajaan Luwu Tertua di Sulawesi Sejak Abad Ke-10
Kerajaan Luwu yang kita kenal sekarang telah memiliki sejarah yang sangat panjang sehingga dari sudut pandang geopolitik, para ahli terkadang dibingungkan oleh kemasyhuran Luwu sebagai sebuah kerajaan terbesar dan tertua di Sulawesi.
Bahkan menampakkan kesejajaran kronologis atau kemitraan horizontal dengan raksasa Majapahit. Dan dari sudut pandang ekonomi, sulit memahami bagaimana entitas politik ekonomi Luwu dapat memasuki kontak-kontak interregional dan internasional. Sementara dari sudut pandang letak geografisnya boleh dikatakan agak terpencil pada sebuah teluk yang jauh meletak membelah dua semenanjung selatan dan tenggara yang sempit dan runcing.
Kedatuan Luwu yang pernah besar pada suatu masa di mata nasional maupun internasional. Kajian tentang Kedatuan Luwu terutama pada wilayah proto sejarahnya yang begitu lambat dan ketinggalan oleh daerah lain diperparah lagi oleh kurangnya dorongan pemerintah setempat dalam mensosialisasikan kebesaran Kedatuan Luwu, padahal dalam kitab yang ditulis oleh sastrawan terkemuka Empu Prapanca dalam bukunya Dasa Wardana atau Nagara Kertagama yang ditulis pada 1365, Kedatuan Luwu sudah terjabarkan dengan sangat baik di sini.
Dalam periode-periode pemerintahan Kedatuan Luwu, pusat pemerintahan atau ibu kota disebut dengan Ware (pusat tanah Luwu) yang merupakan wilayah khusus dan istimewa sehingga itulah sebabnya Sawerigading juga bergelar Opunna Ware ( Rajanya Ware). Adapun periode pemerintahan Datu Luwu sebagai berikut:
Pada periode Pertama pusat Kerajaan Luwu (Ware Pertama) dimulai pada sekitar abad X hingga abad XIII, ketika itu Ware disekitar Ussu, yakni tempat asal mula turunnya Batara Guru ke permukaan bumi lengkap dengan istananya, kini daerah tersebut menjadi tabu untuk dimasuki oleh sembarang orang.
Pada periode Kedua dimulai ketika memasuki awal abad XIV pusat kerajaan Luwu (Ware Kedua) dipindahkan oleh Datu Luwu Anakaji, ke Mancapai, dekat Lelewawu, disebelah selatan Danau Towuti yang kini berada di Propinsi Sulawesi Tenggara.
Pada priode Ketiga pusat Kerajaan Luwu (Ware Ketiga) dimulai pada sekitar abad XV, dipindahkan oleh Datu Luwu yang bernama Dewaraja ke Kamanre, ditepi sungai Noling, atau sekitar 50 kilometer sebelah selatan kota Palopo. Adapun strategi perpindahan ini dilakukan dengan maksud memperluas kerajaan kesebelah selatan, tetapi sayangnya usaha tersebut terhalang dengan adanya perlawanan yang keras dari kerajaan Bone, yang mengakibatkan Kedatuan Luwu kehilangan wilayah Cenrana, Wage dan Laletonro.
Pada periode Ke empat pusat kerajaan Luwu (Ware Keempat) pada sekitar abad XVI Ware dipindahkan ke Pao, di Pattimang Malangke. Dan pada periode ini agama Islam masuk ke Luwu, yang diperkenalkan oleh Dato Pattimang sekitar tahun 1603. Pada saat Ware perpusat di Pao telah terjadi peristiwa perebutan tahta yang menimbulkan pertikaian antara putra mahkota Patiraja dan adiknya yang bernama Patipasaung.
Perang saudara tidak dapat terhindarkan, walaupun pada akhirnya dapat dipadamkan oleh Madika Bua, Madika Ponrang dan Makole Baebunta. Madika Bua telah berperan sebagai inisiator sekaligus ketua perdamaian. Perang saudara ini diakhiri dengan penyerahan kekuasaan kepada raja yang sah, Patipasaung, oleh kakaknya Patiraja.
Pada Periode Kelima pusat kerajaan Luwu (Ware Kelima) dipusatkan di Palopo sampai dengan sekarang. Dan atas jasa-jasanya meredam perang saudara di Pao, tiga kerajaan pendukung yaitu Bua, Ponrang dan Baebunta diangkat statusnya menjadi Anak Tellue atau tiga kerajaan utama di Luwu.
Sejarah Tanah Luwu
Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tanah Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang di tantang oleh hulubalang Kerajaa Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke Utara Poso. Dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tator. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja. Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu : Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling. Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo. Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo. Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu :
- Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
- Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
- Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
- Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
- Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Noppong, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah ” Kambo Opu Tenrisompa” kemudian diganti oleh putranya “Andi Jemma” . Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pejuang Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo:
Masamba, Malili, Tanatoraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka.
Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.Atas jasa-jasan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno.
Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara Kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan “Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia”.Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:Kewedanaan Palopo Kewedanaan Masamba dan Kewedanaan Malili. Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: - Wara - Larompong - Suli - Bajo - Bupon - Bastem - Walenrang - Limbong - Sabbang - Malangke - Masamba - Bone-bone - Wotu - Mangkutana - Malili - Nuha.
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratip (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata di lapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luasn wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994.
Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.Tepatnya pada tanggal 10 Pebruari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Pebruari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas :
I. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu :
- Kec.Lamasi
- Kec.Walenrang
- Kec.Pembantu Telluwanua
- Kec.Warautara
- Kec.Wara
- Kec.Pembantu Waraselatan
- Kec.Bua
- Kec.Pembantu Ponrang
- Kec.Bupon
- Kec.Bastem
- Kec. Pemb. Latimojong
- Kec.Bajo
- Kec.Belopa
- Kec.Suli
- Kec.Larompong
- Kec.Pembantu Larompongselatan
II. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu :
- Kec. Sabbang
- Kec. Pembantu Baebunta
- Kec. Limbong
- Kec. Pembantu Seko
- Kec. Malangke
- Kec. Malangkebarat
- Kec. Masamba
- Kec. Pembantu Mappedeceng
- Kec. Pembantu Rampi
- Kec. Sukamaju
- Kec. Bone-bone
- Kec. Pembantu Burau
- Kec. Wotu Kec. Pembantu Tomoni
- Kec. Mangkutana
- Kec. Pembantu Angkona
- Kec. Malili
- Kec. Nuha
- Kec. Pembantu Towuti III
Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan :
- Kecamatan Bara
- Kecamatan Cendana
- Kecamatan Mungkajang
- Kecamatan Telluwanua
- Kecamatan Telluwarue
- Kecamatan Wara
- Kecamatan Wara Barat
- Kecamaatan Wara Selatan
- Kecamatan Wara Timur
- Kecamatan Wara Utara IV.
Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:Angkona Burau Malili Mangkutana Nuha Sorowako Tomoni Tomoni Utara Towuti Wotu Setelah Pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2 Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2 Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2. Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.
Imajiner Nuswantoro