Wayang Kulit Purwa Golongan Dewa
ar’e purwa iku digawe mbedakno wayang jenis iki ambek wayang kulit liyane.Akeh wayang kulit iku koyok wayang wahyu ,wayang sadat ,wayang gedhog ,wayang kancil,wayang pncasila lan liyan-liyane.Purwa berarti wiwit , wayang purwa diperkirakno duweni umur paling tuo ing antarane wayang kulit liyane . Kemungkinane wacana onok e wayang kulit purwa iso didelok onoke prasasti ing abad 11 yaiku pas zamane pemerintahan Erlangga seng nyebutna
Aksara Jawanipun :
꧋ꦄꦂ’ꦄꦼꦥꦸꦂꦮꦆꦏꦸꦣꦶꦒꦮꦺꦩ꧀ꦧꦼꦣꦏ꧀ꦤꦺꦴꦮꦪꦁꦗꦼꦤꦶꦱ꧀ꦆꦏꦶꦄꦩ꧀ꦧꦼꦏ꧀ꦮꦪꦁꦏꦸꦭꦶꦠ꧀ꦭꦶꦪꦤꦺ꧉ꦄꦏꦺꦃꦮꦪꦁꦏꦸꦭꦶꦠ꧀ꦆꦏꦸꦏꦺꦴꦪꦺꦴꦏ꧀ꦮꦪꦁꦮꦲꦾꦸ꧈ꦮꦪꦁꦱꦣꦠ꧀ꦮꦪꦁꦒꦼꦣꦺꦴꦒ꧀ꦮꦪꦁꦏꦚ꧀ꦕꦶꦭ꧀ꦮꦪꦁꦥ꧀ꦚ꧀ꦕꦱꦶꦭꦭꦤ꧀ꦭꦶꦪꦤ꧀ꦭꦶꦪꦤꦺ꧉ꦥꦸꦂꦮꦧꦼꦫꦂꦠꦶꦮꦶꦮꦶꦠ꧀ꦮꦪꦁꦥꦸꦂꦮꦣꦶꦥꦺꦂꦏꦶꦫꦏ꧀ꦤꦺꦴꦣꦸꦮꦺꦤꦶꦈꦩꦸꦂꦥꦭꦶꦁꦠꦸꦮꦺꦴꦆꦁꦄꦤ꧀ꦠꦫꦤꦺꦮꦪꦁꦏꦸꦭꦶꦠ꧀ꦭꦶꦪꦤꦺ꧉ꦏꦼꦩꦸꦁꦏꦶꦤꦤꦺꦮꦕꦤꦎꦤꦺꦴꦏ꧀ꦄꦼꦮꦪꦁꦏꦸꦭꦶꦠ꧀ꦥꦸꦂꦮꦆꦱꦺꦴꦣꦶꦣꦼꦭꦺꦴꦏ꧀ꦎꦤꦺꦴꦏꦺꦥꦿꦱꦱ꧀ꦠꦶꦆꦁꦄꦧꦣ꧀꧇꧑꧑꧇ꦪꦻꦏꦸꦥꦱ꧀ꦗ꦳ꦩꦤꦺꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦲꦤ꧀ꦄꦼꦂꦭꦁꦒꦱꦺꦁꦚꦼꦧꦸꦠ꧀ꦤ
HANONTON RINGGIT MANANGIS ASEKEL MUDA HIDEPAN, HUWUS WRUH TOWIN JAN WALULANGAN INUKIR MOLAH ANGUCAP
꧋ꦲꦤꦺꦴꦤ꧀ꦠꦺꦴꦤ꧀ꦫꦶꦁꦒꦶꦠ꧀ꦩꦤꦔꦶꦱ꧀ꦄꦱꦺꦏꦺꦭ꧀ꦩꦸꦣꦲꦶꦣꦺꦥꦤ꧀ꦲꦸꦮꦸꦱ꧀ꦮꦿꦸꦃꦠꦺꦴꦮꦶꦤ꧀ꦗꦤ꧀ꦮꦭꦸꦭꦔꦤ꧀ꦆꦤꦸꦏꦶꦂꦩꦺꦴꦭꦃꦄꦔꦸꦕꦥ꧀
Sing artine :
Onok wong delok wayang iku sampek nangis , lan ngersula atine . Masio dekweke wes mangerteni sing didelok iku kulit seng di ukir bentuk uwong sing iso wicara lan gerak
Wayang purwa iku biasane nggunakno crita Ramayana lan Mahabarata , lha lek wes maerambat ing crita Panji biasane disajaekno ambek wayang Gedhog . Wayang kulit purwa iku onok sing tekan gagrak kayata :
1. Gagrak Kasunan
2. Gagrak Mangku negaran
3. Gagrak Ngayogyakarta
4. Gagrak Banyumasan
5. Gagrak Jawatimuran, Lan liyan – liyane
Wayang kuit purwa kuwi saka kulite kerbau seng ditata lan diwenei werna seng cocok karo kaidah pulasane wayang pedalangan , diwenehi tangkai saka bahan tanduk e kerbau bule ,terus diolah seng didadekna asmane cempurit yaiku saka tuding lan gapit. Wektu masa perkembangane bentuk bangunan wayang iki ngerasakna perkembangan pergeseran saka tradisi sing anyar . Pas wektu zamane Keraton Surakarta wes jaya – jayane nggawe wayang sing ukurane luweh gedhe seng diwenehi jeneng Kyai Kadung , paling seng ngalami para dalang –dalang iku khususe Surakata . Kayata Alm . Ki Mulyanto Mangkudarsono dari Sregen, Jawa Tengah nggawe raksasa sing ukurane 2meter ambek bahan 1 lembar kulit kebo gedhe. Karya iki diturunake ambek Dalang Enom laine sing termasuk iku Ki Entus saka Tegal, K Purba Asmara saka Surakarta, Ki Sudirman Ska Sragen lan liyan liyane.
Beberapa dalang wayang kulit terkenal yang masih aktif dan dikenal hingga tahun 2025 antara lain Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedharsono, dan Ki Nartosabdo (meskipun Nartosabdo sudah meninggal, ia adalah maestro legendaris yang terus dikenang). Selain itu, ada juga dalang-dalang lain yang dikenal di berbagai daerah seperti Ki Eko Kondho Prisdianto dan Ki Dalang Minto Dharsono di Jawa Timur, serta dalang-dalang muda yang terus aktif melestarikan seni wayang kulit.
Dalang Terkenal dan Legendaris
- Ki Nartosabdo: Merupakan dalang legendaris yang sangat terkenal dengan julukan maestro wayang dan juga seorang pencipta lagu-lagu Jawa.
- Ki Anom Suroto: Dalang asal Juwiring, Klaten, yang dikenal luas hingga mendunia dan merupakan seorang maestro wayang kulit.
- Ki Manteb Soedharsono: Dalang asal Sukoharjo yang sangat dikenal berkat jargon "pancen oye".
- Slamet Gundono: Dalang dari Tegal yang juga dikenal sebagai dalang wayang suket dengan gaya nyentrik dan jenaka.
Dalang Terkemuka di Jawa Timur
- Ki Eko Kondho Prisdianto: Dalang asal Tulungagung yang mulai dikenal pada tahun 1993.
- Ki Dalang Minto Dharsono: Dalang terkemuka lainnya dari Tulungagung, Jawa Timur.
- Ki Dalang Suwoto Ghozali: Dalang kondang asal Porong, Sidoarjo, yang piawai memainkan tokoh wayang dan membuat alur cerita.
- Ki Dalang Sorwedi: Dalang asal Sidoarjo yang gigih melestarikan kesenian wayang Jawa Timuran.
Dalang Muda dan Penerus
- Ki Elginara Sidqi: Salah satu dalang cilik yang tampil dalam peringatan Hari Wayang Nasional di Batang untuk menarik generasi muda.
- Ki Ananta Oryza Ardian: Dalang cilik lainnya dari SMPN 3 Batang yang ikut memeriahkan acara serupa.
- Ki Bayu Aji: Dalang yang tampil bersama Ki Anom Suroto pada acara di Pendapa Ageng Solo.
Wayang ialah suatu bentuk pementasan tradisional yang disajikan oleh seorang pencerita atau biasa disebut dengan dalang, dengan memakai boneka dan sejenisnya sebagai media pementasan. Wayang adalah seni pertunjukan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan ini juga populer di beberapa daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu. Jenis dari wayang sendiri ada beberapa, dan setiap jenisnya memiliki keunikan tersendiri.
Indonesia sebenarnya memiliki banyak jenis Wayang Kulit, diantaranya Wayang Beber, Wahyu, Wayang Sadat, Wayang Gedhog, Wayang Kancil, Wayang Pancasila, dan lain sebagainya. Sahabat Javanologi Diantara jenis wayang yang ada di Indonesia salah satu Wayang yang paling dikenal oleh masyarakat adalah Wayang kulit Purwa. Saking populernya jenis wayang ini, jika seseorang menyebutkan kata wayang maka orang akan menganggap yang dimaksudkan bukan jenis wayang lain akan tetapi tertuju langsung pada Wayang kulit Purwa.
Pertunjukan wayang purwa biasanya mengambil kisah dari cerita Mahabarata dan Ramayana. Sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji, biasanya dengan menggunakan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa terdiri dari beberapa gaya atau gagrak, ada gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogyakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainnya.
Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau yang ditatah, diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
Ditinjau dari bentuk bangunnya wayang kulit purwa dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain :
- Wayang Kidang kencana, boneka wayang berukuran sedang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil, sesuai dengan kebutuhan untuk mendalang (wayang pedalangan).
- Wayang Ageng yaitu boneka wayang yang berukuran besar, terutama anggota badannya di bagian lambung dan kaki melebihi wayang biasa, wayang ini disebut wayang jujudan
- Wayang kaper yaitu wayang yang berukuran lebih kecil daripada wayang biasa.
- Wayang Kateb yaitu wayang yang ukuran kakinya terlalu panjang tidak seimbang dengan badannya.
Seiring waktu perkembangannya, Wayang Purwo kemudian dijadikan sebagai salah satu media penyebaran agama Islam di Indonesia. Para Walisongo menggunakan Wayang Purwa untuk menyebarkan agama Islam dengan cara akulturasi budaya Jawa dengan ajaran Islam. Proses akulturasi tersebut telah menjadikan Wayang Purwa semakin berkembang dan menjadi suatu karya seni yang tinggi nilainya. Pada masa Islam penggunaan kulit sebagai bahan baku wayang yang sebelumnya belum disebutkan secara jelas, tetapi pada masa ini digunakan kulit binatang kerbau. Stilasi bentuk wayang kulit purwa sudah sangat jauh dari sumbernya, namun demikian bentuk wayang kulit masih dapat dikenali bagian-bagiannya. Bentuk wayang kulit purwa yang telah digayakan sedemikian jauh itu membuat sangat berbeda dengan wujud manusia.
Hal tersebut dimaksudkan agar wayang kulit purwa dapat tampil dengan baik dan tidak melanggar ajaran agama Islam, dengan demikian wayang kulit purwa sudah dapat diterima dalam agama Islam, karena tidak lagi menggambarkan manusia atau binatang secara realistis.
Wayang kulit purwa yang diwujudkan dalam masa Islam di Indonesia ini berkembang di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Madura, dan Yogyakarta, serta daerah lain yang mendapat pengaruh agama Islam.
Wayang purwa atau wayang kulit purwa adalah wayang Sepuh yang berasal dari Ponorogo yang masih eksis hingga saat ini. Kata Purwa (pertama) dipakai untuk membedakan wayang jenis ini dengan wayang kulit yang lainnya. Banyak jenis wayang kulit mulai dari Wayang Bali, Wayang Sasak, Wayang Banjar, Wayang Suluh, wayang wahyu, wayang sadat, wayang gedhog, wayang kancil, wayang pancasila dan sebagainya. Purwa berarti awal, wayang purwa diperkirakan mempunyai umur yang paling tua di antara wayang kulit lainnya.
Sejarah
Kemungkinan mengenai berita adanya wayang kulit purwa dapat dilihat dari adanya prasasti di abad ke 11 pada zaman pemerintahan Sri Kanjeng Maharaja Prabu Airlangga Wisnumurti yang menyebutkan :
Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap
Aksara Jawanipun :
꧋ꦲꦤꦺꦴꦤ꧀ꦠꦺꦴꦤ꧀ꦫꦶꦁꦒꦶꦠ꧀ꦩꦤꦔꦶꦱ꧀ꦄꦱꦺꦏꦺꦭ꧀ꦩꦸꦣꦲꦶꦣꦺꦥꦤ꧀ꦲꦸꦮꦸꦱ꧀ꦮꦿꦸꦃꦠꦺꦴꦮꦶꦤ꧀ꦗꦤ꧀ꦮꦭꦸꦭꦁꦆꦤꦸꦏꦶꦂꦩꦺꦴꦭꦃꦄꦔꦸꦕꦥ꧀
Artinya:
Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara
Petikan di atas adalah bait 59 dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa (1030), salah satu sumber tertulis tertua dan autentik tentang pertunjukan wayang kulit yang mulai dikenal di Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Sri Maharaja Dharmawangsateguh dan Airlangga di Kerajaan Kediri.
Wayang purwa sendiri biasanya menggunakan ceritera Ramayana dan Mahabarata, sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji biasanya disajikan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari beberapa gaya atau gagrak seperti gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogyakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainya.
Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau yang ditatah dan diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
Ditinjau dari bentuk bangunnya wayang kulit purwa dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain:
- Wayang Kidang kencana, boneka wayang berukuran sedang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil, sesuai dengan kebutuhan untuk mendalang (wayang pedalangan).
- Wayang Ageng yaitu boneka wayang yang berukuran besar, terutama anggota badannya di bagian lambung dan kaki melebihi wayang biasa, wayang ini disebut wayang jujudan.
- Wayang kaper yaitu wayang yang berukuran lebih kecil daripada wayang biasa.
- Wayang Kateb yaitu wayang yang ukuran kakinya terlalu panjang tidak seimbang dengan badannya.
Pada perkembangannya bentuk bangun wayang kulit ini mengalami perkembangan bahkan pergeseran dari yang tradisi menjadi kreasi baru. Pada zaman Keraton Surakarta masih berjaya dibuat wayang dalam ukuran yang sangat besar yang kemudian diberi nama Kyai Kadung, hal ini yang mungkin mengilhami para dalang khususnya Surakarta untuk membuat wayang dengan ukuran lebih besar lagi. Misalnya Alm. Ki Mulyanto Mangkudarsono dari Sragen, Jawa Tengah membuat Raksasa dengan ukuran 2 meter, dengan bahan 1 lembar kulit kerbau besar dan masih harus disambung lagi. Karya ini yang kemudian ditiru oleh Dalang Muda lainnya termasuk Ki Entus dari Tegal, Ki Purbo Asmoro dari Surakarta, Ki Sudirman dari Sragen dan masih banyak lagi dalang lainnya
Pengembangan
Wayang Purwa dikembangkan oleh beberapa dalang menjadi Wayang Suluh yang di mana terdapat wayang dengan tokoh kartun seperti superman, batman, ksatria baja hitam, robot, dinosaurus, dan wayang Rai- Wong (bermuka orang) - tokoh George Walker Bush, Saddam Hussein, sampai pada tokoh-tokoh pejabat pemerintah.
Penambahan tokoh wayang dalam pergelaran wayang kulit purwa juga semakin marak, misalnya dengan ditambahkannya berbagai boneka wayang dari tokoh polisi, Helikopter, ambulans, barisan Tentara, Pemain drum band, sampai tokoh Mbah Marijan.
Panakawan Tokoh Wayang Purwa Jawa.
.
Di dalam pewayangan purwa Jawa, dikenal panakawan yang mengiringi raja atau ksatria ‘berkelakuan baik’ dan ada panakawan yang – di dalam cerita diposisikan – mengiringi raja atau ksatria ‘berkelakuan buruk’. Di simpingan pakeliran ( jajaran wayang kulit yang ditancapkan di sisi kanan dan kiri kelir / layar ) tokoh ‘berkelakuan baik’ diletakkan di sisi kanan layar, sedangan tokoh ‘berkelakuan buruk’ diletakkan di sisi kiri layar. Baiklah, mari kita sebut saja ada panakawan ‘kanan’ dan panakawan ‘kiri’.
Panakawan tidak dikenal di pewayangan India. Panakawan merupakan tokoh ciptaan kaum Jawa yang kemudian dicangkokkan ke pewayangan. Tidak diketahui pasti siapa empu atau pujangga yang menciptakan panakawan, jadi bisa disebut panakawan adalah kreasi kaum Jawa berjamaah. Hasil resultan kolektif karya kreatif kaum Jawa.
Ada tidak hanya satu versi cerita mengenai kelahiran panakawan, semuanya berbau ‘mistik’ Jawa. Gubahan cerita kehadiran panakawan berada di semua era lakon wayang, mulai dari era Arjunasasrabahu sampai era Parikesit, bahkan masih muncul di Wayang Madya – cerita wayang sesudah lakon era Parikesit. Namun tidak jelas diketahui kapan dan bagaimana kematian panakawan. Rasanya, pesan para leluhur Jawa pada gubahan cerita kehadiran panakawan sepanjang era wayang adalah pamomong sebagai pengawal ‘kehidupan baik’ harus hadir di sepanjang masa selama masih ada kehidupan manusia.
(Saya jadi ingat juga tokoh wayang kera putih Anoman. Di pewayangan Jawa, Anoman yang sakti tidak hanya hidup di era Ramayana, dia masih ada di gubahan lakon era Mahabarata. Bagi kaum Jawa, alasannya adalah Anoman bertugas mengawal ‘kehidupan baik’ .
Catatan lain : Anoman adalah salah satu kadang Bayu – tokoh yang diberkahi dan dilindungi oleh Bathara Bayu – dewa Angin.)
Panakawan sebetulnya adalah pribadi yang unggul dalam ilmu, kesaktian, ber wawasan luas, mumpuni dalam masalah kehidupan serta bijaksana. Sampai suatu ketika mereka membuat keputusan untuk keluar dari hal-hal yang bersifat keduniawian , harta kekayaan dan pangkat. Mereka memilih hidup sederhana sebagai orang kebanyakan, namun tetap dengan kehidupan sehat senang sejahtera mulia.
Sosok panakawan kental diselubungi falsafah hidup orang Jawa. Banyak perwujudan anggauta badannya yang tidak sewajarnya orang , namun dibalik itu kaum Jawa menitipkan pesan falsafah dan nasehat moral. Kira-kira pesan moralnya : Carilah makna-makna di balik segala sesuatu. Janganlah hanya terpesona keindahan wujud wadag. Manusia selayaknya belajarmembaca bahasa lambang. Dibalik wujud luar yang kelihatan kurang atau tidak sempurna, tersimpan beragam rahasia kehidupan.
Panakawan ‘kanan’.
Panakawan, di dalam pewayangan Jawa, berperan tidak hanya sekedar abdi /pelayan, melainkan pamomong ( dalam bahasa Indonesia, mungkin padanan yang mendekati adalah pengasuh total ). Mereka – meskipun memiliki wawasan, ilmu dan kesaktian yang tinggi – tidak mau menyejajarkan diri dengan yang dimong /diasuh, yang di dalam pewyangan disebut bendara. Mereka menempatkan diri sebagai ‘orang kebanyakan’ / orang biasa yang karena tugasnya senantiasa tut wuri dalam perjalanan hidup, perkembangan jiwa raga bendara nya. Memberi pendapat, nasehat, wawasan ketika ditanya maupun – dengan meminta ijin dahulu – ketika tidak ditanya. Juga menghibur di kala duka. Selalu mengingatkan ketika bendara khilaf atau melakukan kesalahan.
Dan kadang kala terjun langsung berkiprah membela bendara nya di kala hal itu memang sangat diperlukan ; hal ini jarang terjadi karena pamomong selalu mengutamakan mendorong, membesarkan hati serta menyemangati agar sang bendara mandiri dan mampu mengatasi masalah mereka sendiri.
(Pada suatu saat, ketika terjadi penyimpangan ‘kehidupan baik’ yang keterlaluan, jika terpaksa, panakawan menunjukkan kesaktiannya mengalahkan segala sesuatu penyebab penyimpangan sehingga kehidupan kembali ke jalan yang baik. Tidak peduli yang melakukan penyimpangan dewa sekalipun.)
Panakawan ‘kanan’ ada empat orang. Yaitu Semar, sang ayah , dan tiga orang anak nya Gareng, Petruk dan Bagong. Ada versi yang menceritakan bahwa Bagong sebenarnya adalah bayangan Semar yang kemudian diwujudkan jadi bangsa manusia sebagai anak nomor tiga.
Ada semacam panakawan wanita yaitu Cangik, sang ibu dan anaknya Limbuk ; yang diceritakan mengiringi para ratu atau putri.
Para Pembaca, bisa membaca uraian tentang penampilan Semar, Gareng, Petruk di file digital PDF konservasi tulisan “ Pacandra Warnane Semar,Gareng, Petruk “ tulisan R. Tanojo – yang merupakan bagian akhir dari buku “ Sadjarah Pandawa lan Korawa” – terbit di era tahun 1960 an yang bisa Anda unduh melalui info URL di posting blog Wayang Pustaka .
Selanjutnya di posting berikut ini masing-masing tokoh panakawan akan ditampilkan fotonya, diawali dengan panyandra panakawan versi almarhum Ki Hadi Sugito ditulis Bp Al Nurbandana, Jakarta di Facebook group Ki Hadi Sugito Dalangku. Bp Al adalah ‘juru kunci’ group tersebut, beliau seorang penikmat dan pemerhati gaya pakeliran wayang purwa Jawa gagrag Yogyakarta khususnya gaya Ki Hadi Sugito.
(panyandra (bahasa Jawa) kira-kira berarti menguraikan penampilan suatu tokoh)
Panakawan ‘kiri’.
Sebenarnya panakawan ‘kiri’ ini tidak terimbas berbuat ‘kiri’ / tidak baik. Ndilalah saja dalam cerita wayang dia selalu diposisikan – kalau boleh malah dikatakan : ditugaskan oleh kaum Jawa – mengiringi raja atau ksatria ‘berkelakuan buruk’ atau yang ada di simpingan kiri, untuk mengusahakan perubahan kelakuan bendara nya.
Ada dua tokoh yaitu Togog dan Bilung (sering disebut juga Sarawita).
Meskipun keberadaannya di atmosfer ‘kiri’ , mereka tetap mempunyai misi – dan tidak henti hentinya – menyuarakan ‘kehidupan baik’ dengan memberi nasehat kepada bendara nya yang ‘berkehidupan buruk’. Namun di dalam cerita nasehat mereka selalu tidak digubris. Ya namanya cerita wayang – yang memang disajikan dengan muatan tuntunan – seperti biasa menceritakan yang buruk dan yang baik. Yang buruk keras kepala sampai kena batunya.
(Catatan : Penulis novel Pitoyo Amrih di lamannya Dunia Wayang memberi nama Panakawan Sabrang. Hal ini karena biasanya tokoh-tokoh ‘berkelakuan buruk’ biasa disebut ‘ Ratu Sabrang ‘ , raja dari suatu negara ‘ di seberang sana’ / ‘di luar sana ‘. Jadi panakawannya juga disebut Panakawan Sabrang).
Serba-Serbi tentang Wayang Purwa
Wayang merupakan bentuk konsep berkesenian yang kaya akan cerita falsafah hidup sehingga masih bertahan di kalangan masyarakat jawa hinggga kini.
Disaat pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang awalnya merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang yang berceritera, adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.
Seni pewayangan tersebut digelar dalam bentuk yang dinamakan Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari kitab Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk.
Semasa Sri Susuhunan X di Solo seni Pakeliran berkembang medianya setelah didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.
Seniman keturunan Cina yang berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina.
Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).
Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput
Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dilaog dialur cerita yang ditampilkan.
Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan"
Khusus Wayang Purwo
Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.
Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut.
Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk wayang pun berubah, misalnya, bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk selanjutnya diberi pewarna.
Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.
Langkah penyempurnaan di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati pemiliknya.
Pengaturan wayang
Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya. Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan. Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri.
Simpingan Kiri
1. Buto raton (Kumbakarno)
2. Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra)
3. Rahwana dengan beberapa wanda
4. Wayang Bapang (ratu sabrang)
5. Wayang Boma (Bomanarakasura)
6. Indarajit
7. Trisirah
8. Trinetra dan sejenisnya
9. Prabu Baladewa dengan beberapa wanda
10. Raden Kakrasana
11. Prabu Salya
12. Prabu Matswapati
13. Prabu Duryudana
14. Prabu Salya
15. Prabu Salya
16. Prabu Matswapati
17. Prabu Duryudana
18. Raden Setyaki
19. Raden Samba
20. Raden Narayana
Keterangan :
Pada contoh diatas hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama tokoh yang tidak di cantumkan.
* Wayang Eblekan :
Yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak ikut disimping.
Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan (hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-lain.
* Wayang dudahan :
Yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang.
Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang yang akan digunakan didalam pakeliran.
Simpingan Kanan
Dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang yang disimping adalah sebagai berikut :
1. Prau Tuguwasesa (Tuhuwasesa)
2. Werkudara dari beberapa macam wanda
3. Bratasena dari beberapa macam wanda
4. Rama Parasu
5. Gatotkaca dari beberapa macam wanda
6. Ontareja
7. Anoman dari beberapa macam wanda
8. Kresna dari beberapa macam wanda
9. Prabu Rama
10. Prabu Arjuna Sasra
11. Pandhu
12. Arjuna
13. Abimanyu
14. Palasara
15. Sekutrem
16. Wayang putran
17. Bati
Keterangan :
Wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas. Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang putren.
Simpingan sebelah kiri terdiri atas :
1. Buta raton
2. Wayang buta enom (raksasa muda)
3. Wayang boma
4. Wayang Sasra
5. Wayang Satria
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut dibawah ini :
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa:
Lakon-lakon: Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung, Wisnupati, Prabu Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang Sakutrem, Bambang Sakri, Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma, Basudewa Rabi, Gandamana Sakit, Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena, Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura, Lisah Tala, Obong-obongan Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal Bilawa, Babad Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi, Alap-alapan
Surtikanthi, Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit, Gandamana, Kresna Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten, Partakrama, Gathutkaca Lair, Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader Bang (43 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Wayang Purwa I:
Ki Prawirasudirja Surakarta.
Lakon-lakon: Angruna Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi, Hendrasena, Ramaparasu, Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta, Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar, Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar Widabrata, Samba Rabi, Partajumena Rabi, Calunthang dan Carapang.
Cerita Wayang dan Wanita
Kunti adalah sosok seorang ibu yang sangat setia terhadap putra-putranya, hal ini diperlihatkan ketika putranya ( Pandawa ) Menjalani pembuangan di alasa atau hutan Amarta, akibat tipu daya kalah judi dengan saudaranya Kurawa. Kunti sebagai figur seorang ibu raja yang lingkungan hidupnya penuh kemewahan rela mengikuti putra-putranya dalam penderitaan di pembuangan tersebut.
Diceritakan dalam pembuangan tersebut :
Putranya yang masih kecil yaitu: Nakula dan Sadewa mengalami kelaparan akibat kehabisan makanan selama dua minggu tidak pernah meminum susu dan madu lagi, yang biasanya diberikan, sehingga ibu Kunti memerintahkan Arjuna untuk mencarikan kebutuhan tersebut bagi sang putra. Dalam perjalanan mencari susu dan madu Arjuna dikagetkan oleh seorang putri, putri yang amat jelita yang berlari menuju sang Arjuna untuk mengabdikan diri bila sang Arjuna mau menolong dirinya dari kejaran sang lurah yang buruk rupa namun sakti yang ingin mengawininya.
Ketika Arjuna bertemu ki lurah tersebut, dengan bahasa yang santu memohon kepada Arjuna agar sang putri tersebut boleh dimintanya. Dengan rasa haru Arjuna menyanggupi agar si putri mau kembali dan mau diperistri ki lurah tersebut. Ketika Arjuna menyanggupinya, ki lurah berjanji akan memberikan jiwa dan raga bahkan apapun yang diminta oleh Arjuna. Kemudian ki lurah diminta kembali ke padepokannya kemudian Arjuna menemui sang putri sambil berkata " memang sudah kebetulan bahwa Arjuna diperintahkan mencari putri yang cantik yang akan dipersembahkan untuk sang maha raja agar menjadi santapannya "
Mendengar ucapan tersebut sang putri lari ketakutan dan kembali ke padepokan memeluk ki lurah untuk mendapatkan perlindungan karena akan dijadikan santapan ( padahal sebelumnya putri tersebut merasa amat jijik )
Saking senangnya ki lurah buru-buru menjumpai kembali sang Arjuna sambil mengucapkan terima kasih lalu memohon untuk menyatakan : Imbalan apa yang ingin Arjuna ingingkan ? dijawab oleh Arjuna, bahwa ia hanya menginginkan madu dan susu.
Oleh ki lurah dipilihkan madu dan susu yang sangat istimewa, bahkan ki lurah berjanji jika kelak di perang " mahabarata " ki lurah akan mempertaruhkan jiwa dan raga demi keluarga Pandawa. Setelah mendapatkan susu dan madu sang Arjuna menemui kembali sang ibu Kunti, untuk menyampaikan apa yang diperintahkannya. Dengan senang sang ibu menerima apa yang dibawa oleh Arjuna, sambil bertanya dimanakah gerangan engkau mendapatkan susu dan madu sebaik ini. Setelah diceritakan cara mendapatkannya, dengan marah sang ibu berkata untuk tidak melakukan perbuatan ini lagi bahkan membuangnya susu dan madu tadi dengan alasan apabila ini diminumkan kepada adikmu hai Arjuna akan menimbulkan malapetaka kelak dikemudian hari, karena susu dan madu tersebut didapat dengan jalan tidak halal ( ksatria ) yaitu dengan cara memanipulasi.
"Sang Arjuna pun menyesal dan memohon ampun serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi di kemudian hari".
Kesimpulan :
1. Disinilah letak seorang ibu yang dinilai sangat bijaksana dalam memilih makanan pun diperhitungkan bagaimana cara mendapatkannya.
2. Kunti adalah sosok seorang ibu yang penuh pengabdian dan kasih sayang, dan tanggung jawab yang teramat besar terhadap putra-putranya.
3. Kunti adalah ibu yang bijaksana yang dapat memilah dan mimilih mana yang semestinya dan mana yang tidak untuk diberikan kepada putra-putranya.
Golongan dewa
1. Sanghyang Wenang
Sanghyang Wenang adalah nama seorang dewa senior dalam tradisi pewayangan Jawa. Ia dianggap sebagai leluhur Bathara Guru, pemimpin Kahyangan Suralaya.
Bertempat tinggal : Kahyangan Awang Awang Kumitir
Ayah : Sanghyang Nurasa
Ibu : Dewi Sarwati
Aji aji :
- Kitab Pustaka Darya Pusaka dan ajimat berupa Kayu Rewan
- Lata Maha Usadi
- Cupu Manik Astaginna
- Cupu Retnadumilah
Sekilas cerita :
Sanghyang Wenang adalah putra Sanghyang Nurasa (putra Sanghyang Nurcahya) dengan permaisuri Dewi Sarwati, Putri Prabu Rawangin (Raja Jin di Pulau Darma). Sanghyang Wenang lahir berwujud sotan (suara yang samar samar) bersama adik kembarnya yang bernama Sanghyang Wening. Dalam pedalangan, Sanghyang Wenang dikenal pula dengan nama Sanghyang Jatiwisesa. Saudara kandung lainnya adalah Sanghyang Darmajaka kakaknya, sedangkan adiknya bernama Sanghyang Taya atau Sanghyang Pramanawisesa yang berwuud akyan atau badan halus / jin.
Setelah Sanghyang Wenang dewasa, Sanghyang Nurasa kemudian manuksuma (Hidup dalam satu jiwa) ke dalam diri Sanghyang Wenang setelah menyerahkan benda benda pusaka : Kitab Pustaka Darya Pusaka dan ajimat berupa Kayu Rewan, Lata Maha Usadi, Cupu Manik Astaginna dan Cupu Retnadumilah.
Sanghyang Wenang menikah dengan Dewi Sati (Dewi Sahoti), putri Prabu Hari raja negeri Keling. Dari perkawinannya dianugerahi 5 putra yang kesemuanya berwujud akyan (badan halus) yaitu Sanghyang tunggal, Dewi Suyati, Bathara Nioya, Bathara Herumaya dan Bathara Senggana. Setelah Sanghyang Tunggal dewasa, maka Sanghyang Wenang menyerahkan tahta kerajaan dan segenap pasukaannya kepada Sanghyang Tunggal.
2. Sanghyang Tunggal
Nama lain : Sanghyang Jatiwisesa
Bertempat di negara : Kahyangan Jonggringsalaka atau Kahyangan Suralaya
Ayah : Sanghyang Wenang
Ibu : Dewi Sati
Istri : Dewi Darmani dan Dewi Wirandi
Sekilas cerita :
Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Darmani putri Sanghyang Darmajaka raja Kahyangan Keling yang tidak lain adalah kakak kandung Sanghyang Wenang.
Lalu Sanghyang Tunggal dinobatkan menjadi raja di Kahyangan Keling menggantikan Sanghyang Darmajaka.
Dari perkawinannya dengan Dewi Darmani, Sanghyang Tunggal dikaruniai beberapa orang anak dalam wujud akyan (badan halus) mereka adalah Sanghyang Rudra / Dewa Esa, Sanghyang Dewanjali dan Sanghyang Darmastuti.
Sanghyang Tunggal yang gemar membaca Serat (Kitab) Pustaka Darya yang berwujud suara tanpa sastra (tanpa tulis) itu menjadi tertarik dengan kisah perjalanan Sanghyang Nurcahya, kakek buyutnya. Ia memutuskan untuk meniru sang kakek buyut, yaitu bertapa untuk mencapai cita citanya menjadi penguasa di tiga lapisan dunia (Tribuana atau Triloka). Kahyangan Keling pun ia serahkan kepada putera sulungnya yaitu Sanghyang Rudra.
Sanghyang Tunggal kemudian bertapa tidur di atas sebuah Batu Datar. Begitu heningnya ia bertapa, ketika ia terbangun ia telah berada di sebuah istana indah di dasar samudra. Tanpa sadar sebenarnya Sanghyang Tunggal telah diculik oleh raja siluman kepiting bernama Sanghyang Rekatama (Sanghyang Yuyut) untuk dinikahkan dengan putrinya. Putri Sanghyang Rekatama yang bernama Dewi Wirandi (Dewi Rekawati) mengaku pernah bertemu dengan Sanghyang Tunggal di alam mimpi dan jatuh cinta kepandanya. Karena itu adalah jalan untuk mewujudkan cita citanya, maka Sanghyang Tunggal menerima lamaran tersebut.
Sang Hyang Tunggal lalu membawa Dewi Wirandi ke istana Kahyangan Suralaya di Gunung Tengguru untuk mendapat restu dari ayahnya. Kemudian Sanghyang Wenang menyerahkan Kahyangan Suralaya kepada Sanghyang Tunggal. Lalu Sanghyang Wenang moksa, tinggal di Swargaloka Awang Awang Kumitir.
Sanghyang Tunggal kini bersemayam di Kahyangan Suralaya bersama kedua istrinya. Saat itu Kahyangan Suralaya masih belum berpenghuni selain mereka bertiga.
Pada suatu ketika, Dewi Wirandi yang hamil besar itu melahirkan, namun yang dilahirkan oleh sang dewi bukanlah sesosok bayi, tapi ia melahirkan sebutir telur.
Sanghyang Tunggal bersemedi untuk masuk ke Swargaloka Awang Awang Kumitir. Dihadapan Sanghyang Wenang, ia menceritakan perihal telur yang dilahirkan oleh istrinya. Sanghyang Wenang memberi petunjuk dan memberikan air kehidupan “Tirta Kamandalu” kepada Sanghyang Tunggal.
Sesuai petunjuk ayahnya telur itu ia puja hingga meretak dan pecah menjadi tiga bagian, kulit telur, putih telur dan kuning telur. Lalu ia menyiramkan air kehidupan “Tirta Kamandalu”secara bersamaan kepada bagian telur yang tercerai berai. Secara ajaib ketiga bagian telur tersebut berubah menjadi tiga sosok bayi.
Sanghyang Tunggal memberi nama masing masing bayi, yang kulit telur diberi nama Sanghyang Antaga , yang putih telur diberi nama Sanghyang Ismaya dan yang kuning telur diberi nama Sanghyang Manikmaya (Bathara Guru). Kelak ketiga putra Sanghyang Tunggal mempunyai peran penting dalam Jagad Pramuditya (Wayang).
3. Sanghyang Ismaya
Nama lain : Sanghyang Punggung (Purwakandha)
Ayah : Sanghyang Tunggal
Ibu : Dewi Wirandi
Istri : Dewi Senggani
sekilas cerita :
Sanghyang Ismaya merupakan anak kedua dari Sanghyang Tunggal. Dan juga mempunyai 5 orang saudara yaitu Sanghyang Antaga dan Sanghyang Manikmaya (dari Dewi Wirandi), juga sanghyang Rudra, Sanghyang Dewanjali dan Sanghyang Darmastuti (dari Dewi Darmani).
Sanghyang Ismaya menikah dengan Dewi Senggani, putri Sanghyang Wening. Dari perkawinan tersebut ia mendapatkan 9 orang putra dan 1 orang putri masing masing bernama Bathara Wungkuam, Bathara Tembora, Bathara Kuwera, Bathara Wrahaspati, Bathara Syiwah, Bathara Surya, Bathara Chandra, Bathara Yamadipati, Bathara Kamajaya dan Bathari Darmastutri.
Sanghyang Ismaya berwajah tampan. Suatu ketika ia berkelahi dengan Sanghyang Antaga karena memperebutkan siapa yang tertua diantara mereka dan yang berhak menjadi Tribuana. Akibatnya wajah mereka menjadi jelek. Oleh Sanghyang Tunggal mereka diberitahu, bahwa dahulu mereka lahir berwujud telur. Yang tertua Sanghyang Antaga (dari kulit telur) kemudian Sanghyang Ismaya (dari putih telur) dan Sanghyang Manikmaya (dari kuning telur).
Karena kesalahannya itu, Sanghyang Ismaya dan Sanghyang Antaga karus turun ke Marcapada. Sanghyang Antaga mendapat tugas memberi tuntunan para angkara dan berganti nama mnejadi Togog. Sanghyang Ismaya mendapat tugas menjadi pamong trah Witaradya. Ia turun ke pertapaan Paremana menjelma pada cucunya sendiri Semar putra Bathara Wungkuan, yang menjadi saudara ipar Resi Manumanasa.
4. Sanghyang Manikmaya (Bathara Guru)
Nama lain :
- Sanghyang Nilakantha,
- Hyang Catur Buja,
- Jagad Girinata Hodipati,
- Sanghyang Pratingkah,
- Hyang Purbawasesa
Bertempat di negara : Suralaya Jonggringsaloka
Ayah : Sanghyang Tunggal
Ibu : Dewi Wirandi
Istri :
a) Dewi Uma yang berputra Bathara Indra, Bathara Bayu, Bathara Wisnu, Bathara Brama, Bathara Sambo, Bathara Kala.
b) Dewi Umarakti yang berputra Bathara Cakra, Bathara Mahadewa, Bathara Asmara.
Sifat : Tidak teguh pendirian, sombong dan congkak.
Sekilas cerita :
Bathara Guru sakti dan sering menjadi manusia. Memiliki aji aji yaitu Aji Kawrastawa, Aji Pangabaran, Aji Silih Warna. Memiliki senjata Trisula dan Cis Kalaminta.
Bersabdalah Sanghyang Tunggal bahwa Bathara Guru kelak akan menguasai alam ini karena kesktian dan ketampanannya. Setelah Manikmaya menerima sabda yang demikian itu, dia pun merasa bangga dan merasa dirinya tiada cacadnya. Perasaan ini diketahui dari Hyang Tunggal dan dia pun bersabda “Hai, Manikmaya, ketahuilah, bahwa engkau akan mendapatkan cacad pada dirimu, ialah berupa belang di leher, lemah di kaki, caling di mulut dan bertangan empat.”
Manikmaya menyesal dan merasa bersalah, bahwa dia telah merasa begitu takabur di dalam hati. Sabda Hyang Tunggal memang menjadi kenyataan.
Menurut kepercayaan jawa, lebih lebih lagi kepercayaan dalang maka wayang Bathara Guru sangat dihormati dan dianggap sebagai wayang yang paling keramat. Oleh karena itu pun wayang Bathara Guru dibedakan dari wayang wayang lainnya. Misalnya saja hanya wayang Bathara Guru lah yang diselubungi kain indah. Demikian pula sebelum dimainkan, wayyang ini dikenakan asap dupa lebih dulu dan orang pun takut melangkahi batang pisang bekas menancapkan Bathara Guru.
5. Bathari Durga
Nama lain : Dewi Uma / Umayi
Ayah : Prabu Umaran
Ibu : Dewi Nurweni
Suami : Bathara Guru
Watak : tanggung jawab pada keluarga, sabar, halus, tajam perasaannya
Bertempat di negara : Sentragandamayit
Sekilas cerita :
Waktu ia masih berwajah cantik bernama Dewi Uma. Suatu sore Bathara Guru dan Dewi Uma pergi menunggang Lembu Andhini melihat lihat pemandangan alam. Sewaktu angin sejuk semilir Bathara Guru terpesona oleh kecantikan istrinya, ia lalu mengajak memadu kasih saat itu juga. Namun Dewi Uma menolak, Bathara Guru tidak menghiraukan penolakan istrinya sedangkan Dewi Uma terus berusaha menghindar. Karena tak lagi dapat menahan hasratnya, maka jatuhlah benih hasrat cinta Bathara Guru ke laut yang menjadi kobaran api dan menjelma jadi Bathara Kala. Terjadilah saling mengutuk di antara mereka, Bathara Guru dikutuk bertaring sedangkan Dewi Uma dikutuk jadi Raksesi.
6. Bathara Brama
Ayah : Bathara Guru
Ibu : Dewi Uma
Istri : dewi Saci, dewi Saraswati, Dewi Rarasati
Sekilas cerita :
Di antara banyak anaknya, yang paling terkenal adalah dewi dresnala yang diperistri arjuna. Perkawinan ini menghasilakn seorang cucu bagi Bathara Brama, yakni Bambang Wisanggeni.
Bathara Brama pernah melakukan tindakan yang tidak bijaksana dengan menceraikan dewi dresnala dari arjuna. Dewi dresnala kemudian diberikan kepada Dewasrani, meskipun dia sedang hamil tua. Tindakan Bathara Brama ini akibat bujukan dan hasutan Bathari Durga. Namun akhirnya Bathara Brama menyadari kesalahannya.
Menjelang Barathayuda, Bathra Brama mendapat tugas berat dari Bathara Guru. Karena para dewa menilai tidak ada satu makhlukpun di dunia yang sanggup menandingi kesaktian Wisanggeni anak dari Arjuna. Bathara Brama mendapat tugas berat untuk membunuh Wisanggeni. Lalu Bathara Brama bertanya kepada Wisanggeni apakah Wisanggeni bersedia berkorban bagi kemenangan para Pandawa dalam perang Baratayuda. Wisanggeni menyatakan sanggup.
Bathara Brama lalu menyuruh cucunya memandang salah satu titik diantara mata Bathara Brama. Seketika itu juga tubuh Wisanggeni mengecil sampai menjadi debu. Dalam Mahabarata, tokoh Wisanggeni tidak ada.
7. Bathara Indra
Nama lain :
- Maharaja Sakra
- Sang Hyang Surapat
- Sang Hyang Cakra
- Sang Hyang Resi Upadya
Ayah : Bathara Guru
Ibu : Dewi Uma
Istri : Dewi Wiyati
Bertempat di negara : Kahyangan Kaendran Rinjamaya
Sifat : jujur, suka keindahan, pemberani, pembela keutamaan
Sekilas cerita :
Bathara Indra juga adalah dewa pembawa pahala untukdibagi bagikan kepada manusia yang berbuat kebaikan, menurut cerita dia juga adalah dewa cuaca dan ia adalah dewa penguasa petir.
Dalam kitab Brahma Waiwartapurna, setelah mengalahkan Wreta, Indra menjadi angkuh dan meminta Wiswakrama, arsitek para dewa untuk membangun suatu kediaman megah untuknya. Indra kurang puas dengan pekerjaannya sehingga Indra tidak mengijinkannya pergi sebelum ia mampu menyelesaikan pekerjaannya. Wisakrama memohon bantuan Dewa Brahma agar ia terbebas dari jerat Indra. Brahma pun meminta bantuan Wisnu, sehingga Wisnu menemui Indra sebelumnya tidak memiliki kediaman semegah itu. Karena tidak memahamimaksudnya Indra pun bertanya tentang Indra sebelumnya. Wisnu menjelaskan bahwa dalam setiap alam semesta, ada satu Indra berkuasa dengan umur 70 yuga sehingga jumlah Indra tak terhitung. Kemudian tampak serombongan semut lewat dan Wisnu berkata mereka adalah reinkarnasi Indra pada masa lampau. Indra sekarangpun sadar bahwa kemewahan yang dimilikinya tidak berarti sehingga ia membiarkan Wisakrama pergi.
8. Bathara Bayu
Nama lain :
- Sang Hyang Pawana
- Resi Boma
Ayah : Bathara Guru
Ibu : Dewi Uma
Bertempat di negara : Kahyangan Argamaruta
Sifat : tekadnya kuat, jujur, suka membela kebenaran
sekilas cerita :
Bathara Bayu mempunyai saudara saudara tunggal bayu, sama sama berkekuatan angin, yaitu Anoman, Werkudara, Wil Jajahwreka, Begawan Maenaka, Liman Satubanda (Gajah Sena).
Di dalam lakon Begawan Palasara Krama (kawin), Bathara Bayu datang sebagai pemisah perselisihan paham antara Palasara dan Sentanu dalam memperebutkan kemuliaan di Marcapada (dunia) dan Palasara memilih kemuliaan di Kahyangan (akhirat). Selain di dalam lakon ini, Bathara Bayu juga kerap kali datang di Marcapada sebagai pemisah, apabila terjadi suatu perselisihan paham.
Ketika perang Baratayuda semakin dekat, para Dewa turun ke negara Astina untuk memisahkan Pandawa dan Kurawa yang bersengketa. Bathara Bayu pun ikut turun. Namun segala daya upaya para Dewa tak berhasil dan perang akhirnya pecah jugalah.
Di dalam pewayangan, pada perang yang penghabisan yang lazim disebut perang sampak, Werkudara umumnya menyebabkan musuhnya mati. Setiap kali musuh mati, menarilah Werkudara dan tariannya itu disebut tari Tayungan. Tetapi kalau musuhnya orang Kurawa, musuhnya itu tidak mati, sebab orang orang Kurawa hanya akan mati kelak dalam Perang Baratayuda.
9. Bathara Wisnu
Nama lain :
- Ahuta,
- Cakrawati,
- Sanghyang Suman,
- Madusadana,
- Idowati
Ayah : Bathara Guru
Ibu : Dewi Uma
Istri : Dewi Sri Sekar, Dewi Sri Pujayanti, Dewi Pertiwi
Bertempat di negara : Kahyangan Utarasegara
Sifat : bertekad kuat, jujur, adil
Senjata : Cakra Baskara, Sekar Wijayakusuma
Sekilas cerita :
Mereka yang mendapat titisan Bathara Wisnu menjadi orang yang sakti dan waspada. Yang mendapat titisan Bathara Wisnu ialah Prabu Arjuna Sasrabahu, Patih Suwanda, Sri Rama, Arjuna, Prabu Kresna. Ketika dewa ini dilahirkan, bumi terpengaruh hingga bergetar sampai Bathara Guru pun jatuh terpelanting.
Bathara Wisnu bisa tiwikrama menjadi raksasa yang tidak terhingga besarnya dan memiliki senjata cakra yang sangat sakti. Kesaktian dari senjata cakra itu digunakan oleh titisan Wisnu sebagai bukti bahwa mereka memang titisannya Bathara Wisnu.
Ketika bathara wisnu akan kawin dengan Dewi Pertiwi, maka bunga Wijayakusuma tersebut dipinjam oleh Bathara Wisnu untuk digunakan sebagai jujur. Tetapi untuk lengkapnya, siapa memiliki bunga itu harus memiliki kulitnya dan kulit itu dimiliki oleh Prabu Wisnudewa dari negara Garbapitu.
Kulit bunga yang bertempat di dalam mulut seekor banteng dapat direbut oleh Bathara Wisnu dari mulut banteng itu. Terkabulah perkawinan Bathara Wisnu karena bisa mengadakan jujur yang diminta.
10. Bathara Yamadipati
Nama lain : -
Ayah : Sanghyang Ismaya
Ibu : Dewi Senggani
Istri : Dewi Mumpuni
Bertempat di negara : Yomaniloka / Sela Mangupeng / Parang Gumiwang.
Sifat : Bengis, menakutkan ( mencabut nyawa manusia dan menjaga neraka)
Sekilas cerita :
Bathara Yamadipati adalah dewa akhirat dalam agama Hindhu. Menurut kepercayaan umat Hindhu, dialah dewa yang pertama kali dijumpai oleh roh orang mati saat berangkat menuju wilayah surgawi, sehingga dia juga bergelar dewa kematian. Tugasnya yang utama adalah mengadili roh orang mati, dengan didampingi oleh asistennya yang disebut Citragupta, pencatat karma manusia. Karena keadilannya , ia disebut pula Dharmaraja.
Bathara Yanadipati memiliki kakak bernama Waiwaswata Manu dan saudara kembar perempuan bernama Yamuna. Selain itu, ia memiliki ibu tiri bernama Radnyi, Praba, dan Caya. Karena Caya lebih memperhatikan anak kandungnya sendiri daripada anak tirinya, Yamadipati menendang kakinya. Hal itu membuatnya dikutuk bahwa kakinya akan digerogoti oleh cacing. Cacing cacing tersebut juga akan menyebabkan kakinya bernanah dan berdarah.
Untuk mengurangi kutukan tersebut, Bathara Surya memberikan seekor burung kepada Bathara Yamadipati untuk memakan cacing cacing tersebut. Kemudian Bathara Yamadipati memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat suci yang bernama Gokarna. Disana ia memuja Dewa Siwa dengan cara bertapa selama ribuan tahun. Dewa Siwa kemudian berkenan dengan tapa yang dilakukan Bathara Yamadipati, lalu ia diangkat sebagai dewa kematian. Ia diberi hak untuk menjatuhkan hukuman kepada orang orang yang melakukan dosa dan memberikan berkah kepada orang orang yang berbuat kebajikan.
Bathara Yamadipati seorang Dewa dan anak Semar. Dewa ini berkuasa memegang kunci Neraka dan berkuasa pula mencabut nyawa manusia.
11. Bathara Candra
Nama lain :-
Ayah : Sanghyang Ismaya
Ibu : Dewi Senggani
sekilas cerita :
Bathara Candra bertugas menerangi Arcapada (dunia) pada waktu malam hari, bergiliran dengan Bathra Surya kakaknya, yang bertugas pada siang hari. Dalam menerangi dunia, Bathara Candra bersama sama dengan Bathara Kartika memberikan sinar kesejukan pada perasaan dan pandangan makhluk di bumi pada waktu malam hari.
Bathara Candra mengetahui dimana Ditya Rembuculung bersembunyi pada waktu malam hari, setelah mencuri air penghidupan (banyu panguripan) dan memebritahukan kepada Dewata yang akhirnya Ditya Recumbulung dapat dipenggal lehernya dengan senjata cakra oleh Bathara Wisnu. Badannya jatuh di bumi dan berubah menjadi lesung tempat menumbuk padi, sedangkan kepalanya terus mengembara hidup di angkasa karena telah meminum air penghidupan serta mengancam akan menelan Bathara Candra dan Bathara Surya pada setiap waktu.
Pada saat Bathara Candra atau Bathara Surya termakan Ditya Recumbulung, dunia menjadi gelap, keadaan yang demikian disebut gerhana bulan atau matahari. Untuk keduanya segera terlepas dari mulut Ditya Recumbulung sehingga bumi menjadi terang kembali, maka pada zaman dahulu di Pulau Jawa ada adat memukul lesung jika terjadi gerhana.
12. Bathara Surya
Ayah : Sanghyang Ismaya
Ibu : Dewi Senggani
sekilas cerita :
Bathara Surya juga berarti dewa matahari. Dewa ini terkenal mempunyai banyak anak dari berbagai wanita. Diantaranya dari Dewi Kunthi yang melahirkan Adipati Karna dalam kisah Mahabarata.
Bathara Surya pernah berselisih dengan Anoman. Anoman menyalahkan Bathara Surya atas kejadian yang menimpa ibunya Dewi Anjani dan neneknya yang dikutuk menjadi tugu oleh suaminya sendiri. Anoman merasa Bathara Surya harus bertanggung jawab sehingga Anoman dengan ajiannya mengumpulkan awan dari seluruh dunia untuk menutupi bumi sehingga sinar sang Surya tidak bisa mencapai bumi. Untungnya kejadian ini dapat diselesaikan secara baik baik sehingga Anoman dengan sukarela menyingkirkan kembali awan awannya sehingga alam dunia terkena sinar mentari kembali.
Dalam Mahabharata, Kunti menerima sebuah mantra dari Resi Durwasa. Jika mantra itu diucapkan ia akan dapat memanggil setiap dewa dan melahirkan anak oleh dia. Percaya dengan kekuatan mantra ini, tanpa disadari Kunti telah memanggil Bathara Surya, tetapi ketikka Bathara Surya muncul, ia takut dan minta Bathara Surya untuk kembali. Namun Bathara Surya memiliki kewajiban untuk memenuhi mantra sebelum kembali. Bathara Surya secara ajaib membuat Dewi Kunthi untuk melahirkan anak, untuk mempertahankan kesuciannya, sebagai putri yang belum menikah maka lahirlah anak Kunthi melalui telinga yang kemudian diberi nama Karna. Kunthi merasa dipaksa untuk meninggalkan anaknya. Karna yang tumbuh menjadi besar lalu ikut keluarga Kurawa.
Wayang Kulit Purwa Golongan Dewa
ar’e purwa iku digawe mbedakno wayang jenis iki ambek wayang kulit liyane.Akeh wayang kulit iku koyok wayang wahyu ,wayang sadat ,wayang gedhog ,wayang kancil,wayang pncasila lan liyan-liyane.Purwa berarti wiwit , wayang purwa diperkirakno duweni umur paling tuo ing antarane wayang kulit liyane . Kemungkinane wacana onok e wayang kulit purwa iso didelok onoke prasasti ing abad 11 yaiku pas zamane pemerintahan Erlangga seng nyebutna
HANONTON RINGGIT MANANGIS ASEKEL MUDA HIDEPAN , HUWUS WRUH TOWIN JAN WALULANGAN INUKIR MOLAH ANGUCAP
Sing artine :
Onok wong delok wayang iku sampek nangis , lan ngersula atine . Masio dekweke wes mangerteni sing didelok iku kulit seng di ukir bentuk uwong sing iso wicara lan gerak
Wayang purwa iku biasane nggunakno crita Ramayana lan Mahabarata , lha lek wes maerambat ing crita Panji biasane disajaekno ambek wayang Gedhog . Wayang kulit purwa iku onok sing tekan gagrak kayata :
1. Gagrak Kasunan
2. Gagrak Mangku negaran
3. Gagrak Ngayogyakarta
4. Gagrak Banyumasan
5. Gagrak Jawatimuran
Lan liyan – liyane
Wayang kuit purwa kuwi saka kulite kerbau seng ditata lan diwenei werna seng cocok karo kaidah pulasane wayang pedalangan , diwenehi tangkai saka bahan tanduk e kerbau bule ,terus diolah seng didadekna asmane cempurit yaiku saka tuding lan gapit
Wektu masa perkembangane bentuk bangunan wayang iki ngerasakna perkembangan pergeseran saka tradisi sing anyar . Pas wektu zamane Keraton Surakarta wes jaya – jayane nggawe wayang sing ukurane luweh gedhe seng diwenehi jeneng Kyai Kadung , paling seng ngalami para dalang –dalang iku khususe Surakata . Kayata Alm . Ki Mulyanto Mangkudarsono dari Sregen , Jawa Tengah nggawe raksasa sing ukurane 2meter ambek bahan 1 lembar kulit kebo gedhe . Karya iki diturunake ambek Dalang Enom laine sing termasuk iku Ki Entus saka Tegal , K Purba Asmara saka Surakarta ,Ki Sudirman Ska Sragen lan liyan liyane.
Wayang ialah suatu bentuk pementasan tradisional yang disajikan oleh seorang pencerita atau biasa disebut dengan dalang, dengan memakai boneka dan sejenisnya sebagai media pementasan. Wayang adalah seni pertunjukan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan ini juga populer di beberapa daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu. Jenis dari wayang sendiri ada beberapa, dan setiap jenisnya memiliki keunikan tersendiri.
Indonesia sebenarnya memiliki banyak jenis Wayang Kulit, diantaranya Wayang Beber, Wahyu, Wayang Sadat, Wayang Gedhog, Wayang Kancil, Wayang Pancasila, dan lain sebagainya. Sahabat Javanologi Diantara jenis wayang yang ada di Indonesia salah satu Wayang yang paling dikenal oleh masyarakat adalah Wayang kulit Purwa. Saking populernya jenis wayang ini, jika seseorang menyebutkan kata wayang maka orang akan menganggap yang dimaksudkan bukan jenis wayang lain akan tetapi tertuju langsung pada Wayang kulit Purwa.
Pertunjukan wayang purwa biasanya mengambil kisah dari cerita Mahabarata dan Ramayana. Sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji, biasanya dengan menggunakan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa terdiri dari beberapa gaya atau gagrak, ada gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogyakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainnya.
Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau yang ditatah, diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
Ditinjau dari bentuk bangunnya wayang kulit purwa dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain:
– Wayang Kidang kencana; boneka wayang berukuran sedang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil, sesuai dengan kebutuhan untuk mendalang (wayang pedalangan).
– Wayang Ageng; yaitu boneka wayang yang berukuran besar, terutama anggota badannya di bagian lambung dan kaki melebihi wayang biasa, wayang ini disebut wayang jujudan
– Wayang kaper;yaitu wayang yang berukuran lebih kecil daripada wayang biasa.
– Wayang Kateb;yaitu wayang yang ukuran kakinya terlalu panjang tidak seimbang dengan badannya.
Sahabat Javanologi, Seiring waktu perkembangannya, Wayang Purwo kemudian dijadikan sebagai salah satu media penyebaran agama Islam di Indonesia. Para Walisongo menggunakan Wayang Purwa untuk menyebarkan agama Islam dengan cara akulturasi budaya Jawa dengan ajaran Islam. Proses akulturasi tersebut telah menjadikan Wayang Purwa semakin berkembang dan menjadi suatu karya seni yang tinggi nilainya. Pada masa Islam penggunaan kulit sebagai bahan baku wayang yang sebelumnya belum disebutkan secara jelas, tetapi pada masa ini digunakan kulit binatang kerbau. Stilasi bentuk wayang kulit purwa sudah sangat jauh dari sumbernya, namun demikian bentuk wayang kulit masih dapat dikenali bagian-bagiannya. Bentuk wayang kulit purwa yang telah digayakan sedemikian jauh itu membuat sangat berbeda dengan wujud manusia.
Hal tersebut dimaksudkan agar wayang kulit purwa dapat tampil dengan baik dan tidak melanggar ajaran agama Islam, dengan demikian wayang kulit purwa sudah dapat diterima dalam agama Islam, karena tidak lagi menggambarkan manusia atau binatang secara realistis.
Wayang kulit purwa yang diwujudkan dalam masa Islam di Indonesia ini berkembang di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Madura, dan Yogyakarta, serta daerah lain yang mendapat pengaruh agama Islam.
Wayang purwa atau wayang kulit purwa adalah wayang Sepuh yang berasal dari Ponorogo yang masih eksis hingga saat ini. Kata Purwa (pertama) dipakai untuk membedakan wayang jenis ini dengan wayang kulit yang lainnya. Banyak jenis wayang kulit mulai dari Wayang Bali, Wayang Sasak, Wayang Banjar, Wayang Suluh, wayang wahyu, wayang sadat, wayang gedhog, wayang kancil, wayang pancasila dan sebagainya. Purwa berarti awal, wayang purwa diperkirakan mempunyai umur yang paling tua di antara wayang kulit lainnya.
Sejarah
Kemungkinan mengenai berita adanya wayang kulit purwa dapat dilihat dari adanya prasasti di abad ke 11 pada zaman pemerintahan Sri Kanjeng Maharaja Prabu Airlangga Wisnumurti yang menyebutkan:
Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap
yang artinya:
Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara
Petikan di atas adalah bait 59 dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa (1030), salah satu sumber tertulis tertua dan autentik tentang pertunjukan wayang kulit yang mulai dikenal di Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Sri Maharaja Dharmawangsateguh dan Airlangga di Kerajaan Kediri.
Wayang purwa sendiri biasanya menggunakan ceritera Ramayana dan Mahabarata, sedangkan jika sudah merambah ke ceritera Panji biasanya disajikan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri terdiri dari beberapa gaya atau gagrak seperti gagrak Kasunanan, Mangkunegaran, Ngayogyakarta, Banyumasan, Jawatimuran, Kedu, Cirebon, dan sebagainya.
Wayang kulit purwa terbuat dari bahan kulit kerbau yang ditatah dan diberi warna sesuai dengan kaidah pulasan wayang pedalangan, diberi tangkai dari bahan tanduk kerbau bule yang diolah sedemikian rupa dengan nama cempurit yang terdiri dari tuding dan gapit.
Ditinjau dari bentuk bangunnya wayang kulit purwa dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain:
Wayang Kidang kencana; boneka wayang berukuran sedang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil, sesuai dengan kebutuhan untuk mendalang (wayang pedalangan).
Wayang Ageng; yaitu boneka wayang yang berukuran besar, terutama anggota badannya di bagian lambung dan kaki melebihi wayang biasa, wayang ini disebut wayang jujudan.
Wayang kaper;yaitu wayang yang berukuran lebih kecil daripada wayang biasa.
Wayang Kateb;yaitu wayang yang ukuran kakinya terlalu panjang tidak seimbang dengan badannya.
Pada perkembangannya bentuk bangun wayang kulit ini mengalami perkembangan bahkan pergeseran dari yang tradisi menjadi kreasi baru. Pada zaman Keraton Surakarta masih berjaya dibuat wayang dalam ukuran yang sangat besar yang kemudian diberi nama Kyai Kadung, hal ini yang mungkin mengilhami para dalang khususnya Surakarta untuk membuat wayang dengan ukuran lebih besar lagi. Misalnya Alm. Ki Mulyanto Mangkudarsono dari Sragen, Jawa Tengah membuat Raksasa dengan ukuran 2 meter, dengan bahan 1 lembar kulit kerbau besar dan masih harus disambung lagi. Karya ini yang kemudian ditiru oleh Dalang Muda lainnya termasuk Ki Entus dari Tegal, Ki Purbo Asmoro dari Surakarta, Ki Sudirman dari Sragen dan masih banyak lagi dalang lainnya
Pengembangan
Wayang Purwa dikembangkan oleh beberapa dalang menjadi Wayang Suluh yang di mana terdapat wayang dengan tokoh kartun seperti superman, batman, ksatria baja hitam, robot, dinosaurus, dan wayang Rai- Wong (bermuka orang) - tokoh George Walker Bush, Saddam Hussein, sampai pada tokoh-tokoh pejabat pemerintah.
Penambahan tokoh wayang dalam pergelaran wayang kulit purwa juga semakin marak, misalnya dengan ditambahkannya berbagai boneka wayang dari tokoh polisi, Helikopter, ambulans, barisan Tentara, Pemain drum band, sampai tokoh Mbah Marijan.
Panakawan Tokoh Wayang Purwa Jawa.
.
Di dalam pewayangan purwa Jawa, dikenal panakawan yang mengiringi raja atau ksatria ‘berkelakuan baik’ dan ada panakawan yang – di dalam cerita diposisikan – mengiringi raja atau ksatria ‘berkelakuan buruk’. Di simpingan pakeliran ( jajaran wayang kulit yang ditancapkan di sisi kanan dan kiri kelir / layar ) tokoh ‘berkelakuan baik’ diletakkan di sisi kanan layar, sedangan tokoh ‘berkelakuan buruk’ diletakkan di sisi kiri layar. Baiklah, mari kita sebut saja ada panakawan ‘kanan’ dan panakawan ‘kiri’.
Panakawan tidak dikenal di pewayangan India. Panakawan merupakan tokoh ciptaan kaum Jawa yang kemudian dicangkokkan ke pewayangan. Tidak diketahui pasti siapa empu atau pujangga yang menciptakan panakawan, jadi bisa disebut panakawan adalah kreasi kaum Jawa berjamaah. Hasil resultan kolektif karya kreatif kaum Jawa.
Ada tidak hanya satu versi cerita mengenai kelahiran panakawan, semuanya berbau ‘mistik’ Jawa. Gubahan cerita kehadiran panakawan berada di semua era lakon wayang, mulai dari era Arjunasasrabahu sampai era Parikesit, bahkan masih muncul di Wayang Madya – cerita wayang sesudah lakon era Parikesit. Namun tidak jelas diketahui kapan dan bagaimana kematian panakawan. Rasanya, pesan para leluhur Jawa pada gubahan cerita kehadiran panakawan sepanjang era wayang adalah pamomong sebagai pengawal ‘kehidupan baik’ harus hadir di sepanjang masa selama masih ada kehidupan manusia.
( Saya jadi ingat juga tokoh wayang kera putih Anoman. Di pewayangan Jawa, Anoman yang sakti tidak hanya hidup di era Ramayana, dia masih ada di gubahan lakon era Mahabarata. Bagi kaum Jawa, alasannya adalah Anoman bertugas mengawal ‘kehidupan baik’ . Catatan lain : Anoman adalah salah satu kadang Bayu – tokoh yang diberkahi dan dilindungi oleh Bathara Bayu – dewa Angin. )
Panakawan sebetulnya adalah pribadi yang unggul dalam ilmu, kesaktian, ber wawasan luas, mumpuni dalam masalah kehidupan serta bijaksana. Sampai suatu ketika mereka membuat keputusan untuk keluar dari hal-hal yang bersifat keduniawian , harta kekayaan dan pangkat. Mereka memilih hidup sederhana sebagai orang kebanyakan, namun tetap dengan kehidupan sehat senang sejahtera mulia.
Sosok panakawan kental diselubungi falsafah hidup orang Jawa. Banyak perwujudan anggauta badannya yang tidak sewajarnya orang , namun dibalik itu kaum Jawa menitipkan pesan falsafah dan nasehat moral. Kira-kira pesan moralnya : Carilah makna-makna di balik segala sesuatu. Janganlah hanya terpesona keindahan wujud wadag. Manusia selayaknya belajarmembaca bahasa lambang. Dibalik wujud luar yang kelihatan kurang atau tidak sempurna, tersimpan beragam rahasia kehidupan.
.
.
Panakawan ‘kanan’.
Panakawan, di dalam pewayangan Jawa, berperan tidak hanya sekedar abdi /pelayan, melainkan pamomong ( dalam bahasa Indonesia, mungkin padanan yang mendekati adalah pengasuh total ). Mereka – meskipun memiliki wawasan, ilmu dan kesaktian yang tinggi – tidak mau menyejajarkan diri dengan yang dimong /diasuh, yang di dalam pewyangan disebut bendara. Mereka menempatkan diri sebagai ‘orang kebanyakan’ / orang biasa yang karena tugasnya senantiasa tut wuri dalam perjalanan hidup, perkembangan jiwa raga bendara nya. Memberi pendapat, nasehat, wawasan ketika ditanya maupun – dengan meminta ijin dahulu – ketika tidak ditanya. Juga menghibur di kala duka. Selalu mengingatkan ketika bendara khilaf atau melakukan kesalahan.
Dan kadang kala terjun langsung berkiprah membela bendara nya di kala hal itu memang sangat diperlukan ; hal ini jarang terjadi karena pamomong selalu mengutamakan mendorong, membesarkan hati serta menyemangati agar sang bendara mandiri dan mampu mengatasi masalah mereka sendiri.
( Pada suatu saat, ketika terjadi penyimpangan ‘kehidupan baik’ yang keterlaluan, jika terpaksa, panakawan menunjukkan kesaktiannya mengalahkan segala sesuatu penyebab penyimpangan sehingga kehidupan kembali ke jalan yang baik. Tidak peduli yang melakukan penyimpangan dewa sekalipun. )
Panakawan ‘kanan’ ada empat orang. Yaitu Semar, sang ayah , dan tiga orang anak nya Gareng, Petruk dan Bagong. Ada versi yang menceritakan bahwa Bagong sebenarnya adalah bayangan Semar yang kemudian diwujudkan jadi bangsa manusia sebagai anak nomor tiga.
Ada semacam panakawan wanita yaitu Cangik, sang ibu dan anaknya Limbuk ; yang diceritakan mengiringi para ratu atau putri.
Anda bisa membaca uraian tentang penampilan Semar, Gareng, Petruk di file digital PDF konservasi tulisan “ Pacandra Warnane Semar,Gareng, Petruk “ tulisan R. Tanojo – yang merupakan bagian akhir dari buku “ Sadjarah Pandawa lan Korawa” – terbit di era tahun 1960 an yang bisa Anda unduh melalui info URL di posting blog Wayang Pustaka .
Selanjutnya di posting berikut ini masing-masing tokoh panakawan akan ditampilkan fotonya, diawali dengan panyandra panakawan versi almarhum Ki Hadi Sugito ditulis Bp Al Nurbandana, Jakarta di Facebook group Ki Hadi Sugito Dalangku. Bp Al adalah ‘juru kunci’ group tersebut, beliau seorang penikmat dan pemerhati gaya pakeliran wayang purwa Jawa gagrag Yogyakarta khususnya gaya Ki Hadi Sugito.
( panyandra (bahasa Jawa) kira-kira berarti menguraikan penampilan suatu tokoh )
Panakawan ‘kiri’.
Sebenarnya panakawan ‘kiri’ ini tidak terimbas berbuat ‘kiri’ / tidak baik. Ndilalah saja dalam cerita wayang dia selalu diposisikan – kalau boleh malah dikatakan : ditugaskan oleh kaum Jawa – mengiringi raja atau ksatria ‘berkelakuan buruk’ atau yang ada di simpingan kiri, untuk mengusahakan perubahan kelakuan bendara nya.
Ada dua tokoh yaitu Togog dan Bilung (sering disebut juga Sarawita).
Meskipun keberadaannya di atmosfer ‘kiri’ , mereka tetap mempunyai misi – dan tidak henti hentinya – menyuarakan ‘kehidupan baik’ dengan memberi nasehat kepada bendara nya yang ‘berkehidupan buruk’. Namun di dalam cerita nasehat mereka selalu tidak digubris. Ya namanya cerita wayang – yang memang disajikan dengan muatan tuntunan – seperti biasa menceritakan yang buruk dan yang baik. Yang buruk keras kepala sampai kena batunya.
( Catatan : Penulis novel Pitoyo Amrih di lamannya Dunia Wayang memberi nama Panakawan Sabrang. Hal ini karena biasanya tokoh-tokoh ‘berkelakuan buruk’ biasa disebut ‘ Ratu Sabrang ‘ , raja dari suatu negara ‘ di seberang sana’ / ‘di luar sana ‘. Jadi panakawannya juga disebut Panakawan Sabrang ).
kem dalam penempatan wayang, diambil dari http://www.radio-budayajawa.blogspot.com
Serba-Serbi tentang Wayang Purwa
Wayang merupakan bentuk konsep berkesenian yang kaya akan cerita falsafah hidup sehingga masih bertahan di kalangan masyarakat jawa hinggga kini.
Disaat pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang awalnya merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang yang berceritera, adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.
Seni pewayangan tersebut digelar dalam bentuk yang dinamakan Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari kitab Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk.
Semasa Sri Susuhunan X di Solo seni Pakeliran berkembang medianya setelah didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.
Seniman keturunan Cina yang berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina.
Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).
Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput
Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dilaog dialur cerita yang ditampilkan.
Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan"
KHUSUS WAYANG PURWA
Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.
Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut.
Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk wayang pun berubah, misalnya, bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk selanjutnya diberi pewarna.
Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.
Langkah penyempurnaan di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati pemiliknya.
Pengaturan wayang
Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya. Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan. Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri.
SIMPINGAN KIRI
1. Buto raton (Kumbakarno)
2. Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra)
3. Rahwana dengan beberapa wanda
4. Wayang Bapang (ratu sabrang)
5. Wayang Boma (Bomanarakasura)
6. Indarajit
7. Trisirah
8. Trinetra dan sejenisnya
9. Prabu Baladewa dengan beberapa wanda
10. Raden Kakrasana
11. Prabu Salya
12. Prabu Matswapati
13. Prabu Duryudana
14. Prabu Salya
15. Prabu Salya
16. Prabu Matswapati
17. Prabu Duryudana
18. Raden Setyaki
19. Raden Samba
20. Raden Narayana
Keterangan :
Pada contoh diatas hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama tokoh yang tidak di cantumkan.
* Wayang Eblekan :
Yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak ikut disimping.
Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan (hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-lain.
* Wayang dudahan :
Yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang.
Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang yang akan digunakan didalam pakeliran.
SIMPINGAN KANAN
Dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang yang disimping adalah sebagai berikut :
1. Prau Tuguwasesa (Tuhuwasesa)
2. Werkudara dari beberapa macam wanda
3. Bratasena dari beberapa macam wanda
4. Rama Parasu
5. Gatotkaca dari beberapa macam wanda
6. Ontareja
7. Anoman dari beberapa macam wanda
8. Kresna dari beberapa macam wanda
9. Prabu Rama
10. Prabu Arjuna Sasra
11. Pandhu
12. Arjuna
13. Abimanyu
14. Palasara
15. Sekutrem
16. Wayang putran
17. Bati
Keterangan :
Wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas. Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang putren.
Simpingan sebelah kiri terdiri atas:
1.Buta raton
2.Wayang buta enom (raksasa muda)
3.Wayang boma
4.Wayang Sasra
5.Wayang Satria
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut dibawah ini :
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa:
Lakon-lakon: Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung, Wisnupati, Prabu Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang Sakutrem, Bambang Sakri, Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma, Basudewa Rabi, Gandamana Sakit, Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena, Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura, Lisah Tala, Obong-obongan Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal Bilawa, Babad Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi, Alap-alapan
Surtikanthi, Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit, Gandamana, Kresna Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten, Partakrama, Gathutkaca Lair, Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader Bang (43 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Wayang Purwa I:
Ki Prawirasudirja Surakarta.
Lakon-lakon: Angruna Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi, Hendrasena, Ramaparasu, Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta, Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar, Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar Widabrata, Samba Rabi, Partajumena Rabi, Calunthang dan Carapang.
Cerita Wayang dan Wanita
Kunti adalah sosok seorang ibu yang sangat setia terhadap putra-putranya, hal ini diperlihatkan ketika putranya ( Pandawa ) Menjalani pembuangan di alasa atau hutan Amarta, akibat tipu daya kalah judi dengan saudaranya Kurawa. Kunti sebagai figur seorang ibu raja yang lingkungan hidupnya penuh kemewahan rela mengikuti putra-putranya dalam penderitaan di pembuangan tersebut.
Diceritakan dalam pembuangan tersebut :
Putranya yang masih kecil yaitu: Nakula dan Sadewa mengalami kelaparan akibat kehabisan makanan selama dua minggu tidak pernah meminum susu dan madu lagi, yang biasanya diberikan, sehingga ibu Kunti memerintahkan Arjuna untuk mencarikan kebutuhan tersebut bagi sang putra. Dalam perjalanan mencari susu dan madu Arjuna dikagetkan oleh seorang putri, putri yang amat jelita yang berlari menuju sang Arjuna untuk mengabdikan diri bila sang Arjuna mau menolong dirinya dari kejaran sang lurah yang buruk rupa namun sakti yang ingin mengawininya.
Ketika Arjuna bertemu ki lurah tersebut, dengan bahasa yang santu memohon kepada Arjuna agar sang putri tersebut boleh dimintanya. Dengan rasa haru Arjuna menyanggupi agar si putri mau kembali dan mau diperistri ki lurah tersebut. Ketika Arjuna menyanggupinya, ki lurah berjanji akan memberikan jiwa dan raga bahkan apapun yang diminta oleh Arjuna. Kemudian ki lurah diminta kembali ke padepokannya kemudian Arjuna menemui sang putri sambil berkata " memang sudah kebetulan bahwa Arjuna diperintahkan mencari putri yang cantik yang akan dipersembahkan untuk sang maha raja agar menjadi santapannya "
Mendengar ucapan tersebut sang putri lari ketakutan dan kembali ke padepokan memeluk ki lurah untuk mendapatkan perlindungan karena akan dijadikan santapan ( padahal sebelumnya putri tersebut merasa amat jijik )
Saking senangnya ki lurah buru-buru menjumpai kembali sang Arjuna sambil mengucapkan terima kasih lalu memohon untuk menyatakan : Imbalan apa yang ingin Arjuna ingingkan ? dijawab oleh Arjuna, bahwa ia hanya menginginkan madu dan susu.
Oleh ki lurah dipilihkan madu dan susu yang sangat istimewa, bahkan ki lurah berjanji jika kelak di perang " mahabarata " ki lurah akan mempertaruhkan jiwa dan raga demi keluarga Pandawa. Setelah mendapatkan susu dan madu sang Arjuna menemui kembali sang ibu Kunti, untuk menyampaikan apa yang diperintahkannya. Dengan senang sang ibu menerima apa yang dibawa oleh Arjuna, sambil bertanya dimanakah gerangan engkau mendapatkan susu dan madu sebaik ini. Setelah diceritakan cara mendapatkannya, dengan marah sang ibu berkata untuk tidak melakukan perbuatan ini lagi bahkan membuangnya susu dan madu tadi dengan alasan apabila ini diminumkan kepada adikmu hai Arjuna akan menimbulkan malapetaka kelak dikemudian hari, karena susu dan madu tersebut didapat dengan jalan tidak halal ( ksatria ) yaitu dengan cara memanipulasi.
"Sang Arjuna pun menyesal dan memohon ampun serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi di kemudian hari".
Kesimpulan :
1. Disinilah letak seorang ibu yang dinilai sangat bijaksana dalam memilih makanan pun diperhitungkan bagaimana cara mendapatkannya.
2. Kunti adalah sosok seorang ibu yang penuh pengabdian dan kasih sayang, dan tanggung jawab yang teramat besar terhadap putra-putranya.
3. Kunti adalah ibu yang bijaksana yang dapat memilah dan mimilih mana yang semestinya dan mana yang tidak untuk diberikan kepada putra-putranya.
Golongan dewa
1. Sanghyang Wenang
Sanghyang Wenang adalah nama seorang dewa senior dalam tradisi pewayangan Jawa. Ia dianggap sebagai leluhur Bathara Guru, pemimpin Kahyangan Suralaya.
Bertempat tinggal : Kahyangan Awang Awang Kumitir
Ayah : Sanghyang Nurasa
Ibu : Dewi Sarwati
Aji aji :
Ø Kitab Pustaka Darya Pusaka dan ajimat berupa Kayu Rewan
Ø Lata Maha Usadi
Ø Cupu Manik Astaginna
Ø Cupu Retnadumilah
sekilas cerita :
Sanghyang Wenang adalah putra Sanghyang Nurasa (putra Sanghyang Nurcahya) dengan permaisuri Dewi Sarwati, Putri Prabu Rawangin (Raja Jin di Pulau Darma). Sanghyang Wenang lahir berwujud sotan (suara yang samar samar) bersama adik kembarnya yang bernama Sanghyang Wening. Dalam pedalangan, Sanghyang Wenang dikenal pula dengan nama Sanghyang Jatiwisesa. Saudara kandung lainnya adalah Sanghyang Darmajaka kakaknya, sedangkan adiknya bernama Sanghyang Taya atau Sanghyang Pramanawisesa yang berwuud akyan atau badan halus / jin.
Setelah Sanghyang Wenang dewasa, Sanghyang Nurasa kemudian manuksuma (Hidup dalam satu jiwa) ke dalam diri Sanghyang Wenang setelah menyerahkan benda benda pusaka : Kitab Pustaka Darya Pusaka dan ajimat berupa Kayu Rewan, Lata Maha Usadi, Cupu Manik Astaginna dan Cupu Retnadumilah.
Sanghyang Wenang menikah dengan Dewi Sati (Dewi Sahoti), putri Prabu Hari raja negeri Keling. Dari perkawinannya dianugerahi 5 putra yang kesemuanya berwujud akyan (badan halus) yaitu Sanghyang tunggal, Dewi Suyati, Bathara Nioya, Bathara Herumaya dan Bathara Senggana. Setelah Sanghyang Tunggal dewasa, maka Sanghyang Wenang menyerahkan tahta kerajaan dan segenap pasukaannya kepada Sanghyang Tunggal.
2. Sanghyang Tunggal
Nama lain : Sanghyang Jatiwisesa
Bertempat di negara : Kahyangan Jonggringsalaka atau Kahyangan Suralaya
Ayah : Sanghyang Wenang
Ibu : Dewi Sati
Istri : Dewi Darmani dan Dewi Wirandi
sekilas cerita :
Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Darmani putri Sanghyang Darmajaka raja Kahyangan Keling yang tidak lain adalah kakak kandung Sanghyang Wenang.
Lalu Sanghyang Tunggal dinobatkan menjadi raja di Kahyangan Keling menggantikan Sanghyang Darmajaka.
Dari perkawinannya dengan Dewi Darmani, Sanghyang Tunggal dikaruniai beberapa orang anak dalam wujud akyan (badan halus) mereka adalah Sanghyang Rudra / Dewa Esa, Sanghyang Dewanjali dan Sanghyang Darmastuti.
Sanghyang Tunggal yang gemar membaca Serat (Kitab) Pustaka Darya yang berwujud suara tanpa sastra (tanpa tulis) itu menjadi tertarik dengan kisah perjalanan Sanghyang Nurcahya, kakek buyutnya. Ia memutuskan untuk meniru sang kakek buyut, yaitu bertapa untuk mencapai cita citanya menjadi penguasa di tiga lapisan dunia (Tribuana atau Triloka). Kahyangan Keling pun ia serahkan kepada putera sulungnya yaitu Sanghyang Rudra.
Sanghyang Tunggal kemudian bertapa tidur di atas sebuah Batu Datar. Begitu heningnya ia bertapa, ketika ia terbangun ia telah berada di sebuah istana indah di dasar samudra. Tanpa sadar sebenarnya Sanghyang Tunggal telah diculik oleh raja siluman kepiting bernama Sanghyang Rekatama (Sanghyang Yuyut) untuk dinikahkan dengan putrinya. Putri Sanghyang Rekatama yang bernama Dewi Wirandi (Dewi Rekawati) mengaku pernah bertemu dengan Sanghyang Tunggal di alam mimpi dan jatuh cinta kepandanya. Karena itu adalah jalan untuk mewujudkan cita citanya, maka Sanghyang Tunggal menerima lamaran tersebut.
Sang Hyang Tunggal lalu membawa Dewi Wirandi ke istana Kahyangan Suralaya di Gunung Tengguru untuk mendapat restu dari ayahnya. Kemudian Sanghyang Wenang menyerahkan Kahyangan Suralaya kepada Sanghyang Tunggal. Lalu Sanghyang Wenang moksa, tinggal di Swargaloka Awang Awang Kumitir.
Sanghyang Tunggal kini bersemayam di Kahyangan Suralaya bersama kedua istrinya. Saat itu Kahyangan Suralaya masih belum berpenghuni selain mereka bertiga.
Pada suatu ketika, Dewi Wirandi yang hamil besar itu melahirkan, namun yang dilahirkan oleh sang dewi bukanlah sesosok bayi, tapi ia melahirkan sebutir telur.
Sanghyang Tunggal bersemedi untuk masuk ke Swargaloka Awang Awang Kumitir. Dihadapan Sanghyang Wenang, ia menceritakan perihal telur yang dilahirkan oleh istrinya. Sanghyang Wenang memberi petunjuk dan memberikan air kehidupan “Tirta Kamandalu” kepada Sanghyang Tunggal.
Sesuai petunjuk ayahnya telur itu ia puja hingga meretak dan pecah menjadi tiga bagian, kulit telur, putih telur dan kuning telur. Lalu ia menyiramkan air kehidupan “Tirta Kamandalu”secara bersamaan kepada bagian telur yang tercerai berai. Secara ajaib ketiga bagian telur tersebut berubah menjadi tiga sosok bayi.
Sanghyang Tunggal memberi nama masing masing bayi, yang kulit telur diberi nama Sanghyang Antaga , yang putih telur diberi nama Sanghyang Ismaya dan yang kuning telur diberi nama Sanghyang Manikmaya (Bathara Guru). Kelak ketiga putra Sanghyang Tunggal mempunyai peran penting dalam Jagad Pramuditya (Wayang).
3. Sanghyang Ismaya
Nama lain : Sanghyang Punggung (Purwakandha)
Ayah : Sanghyang Tunggal
Ibu : Dewi Wirandi
Istri : Dewi Senggani
sekilas cerita :
Sanghyang Ismaya merupakan anak kedua dari Sanghyang Tunggal. Dan juga mempunyai 5 orang saudara yaitu Sanghyang Antaga dan Sanghyang Manikmaya (dari Dewi Wirandi), juga sanghyang Rudra, Sanghyang Dewanjali dan Sanghyang Darmastuti (dari Dewi Darmani).
Sanghyang Ismaya menikah dengan Dewi Senggani, putri Sanghyang Wening. Dari perkawinan tersebut ia mendapatkan 9 orang putra dan 1 orang putri masing masing bernama Bathara Wungkuam, Bathara Tembora, Bathara Kuwera, Bathara Wrahaspati, Bathara Syiwah, Bathara Surya, Bathara Chandra, Bathara Yamadipati, Bathara Kamajaya dan Bathari Darmastutri.
Sanghyang Ismaya berwajah tampan. Suatu ketika ia berkelahi dengan Sanghyang Antaga karena memperebutkan siapa yang tertua diantara mereka dan yang berhak menjadi Tribuana. Akibatnya wajah mereka menjadi jelek. Oleh Sanghyang Tunggal mereka diberitahu, bahwa dahulu mereka lahir berwujud telur. Yang tertua Sanghyang Antaga (dari kulit telur) kemudian Sanghyang Ismaya (dari putih telur) dan Sanghyang Manikmaya (dari kuning telur).
Karena kesalahannya itu, Sanghyang Ismaya dan Sanghyang Antaga karus turun ke Marcapada. Sanghyang Antaga mendapat tugas memberi tuntunan para angkara dan berganti nama mnejadi Togog. Sanghyang Ismaya mendapat tugas menjadi pamong trah Witaradya. Ia turun ke pertapaan Paremana menjelma pada cucunya sendiri Semar putra Bathara Wungkuan, yang menjadi saudara ipar Resi Manumanasa.
4. Sanghyang Manikmaya (Bathara Guru)
Nama lain :
Ø Sanghyang Nilakantha,
Ø Hyang Catur Buja,
Ø Jagad Girinata Hodipati,
Ø Sanghyang Pratingkah,
Ø Hyang Purbawasesa
Bertempat di negara : Suralaya Jonggringsaloka
Ayah : Sanghyang Tunggal
Ibu : Dewi Wirandi
Istri :
a) Dewi Uma yang berputra Bathara Indra, Bathara Bayu, Bathara Wisnu, Bathara Brama, Bathara Sambo, Bathara Kala.
b) Dewi Umarakti yang berputra Bathara Cakra, Bathara Mahadewa, Bathara Asmara.
Sifat : Tidak teguh pendirian, sombong dan congkak.
sekilas cerita :
Bathara Guru sakti dan sering menjadi manusia. Memiliki aji aji yaitu Aji Kawrastawa, Aji Pangabaran, Aji Silih Warna. Memiliki senjata Trisula dan Cis Kalaminta.
Bersabdalah Sanghyang Tunggal bahwa Bathara Guru kelak akan menguasai alam ini karena kesktian dan ketampanannya. Setelah Manikmaya menerima sabda yang demikian itu, dia pun merasa bangga dan merasa dirinya tiada cacadnya. Perasaan ini diketahui dari Hyang Tunggal dan dia pun bersabda “Hai, Manikmaya, ketahuilah, bahwa engkau akan mendapatkan cacad pada dirimu, ialah berupa belang di leher, lemah di kaki, caling di mulut dan bertangan empat.”
Manikmaya menyesal dan merasa bersalah, bahwa dia telah merasa begitu takabur di dalam hati. Sabda Hyang Tunggal memang menjadi kenyataan.
Menurut kepercayaan jawa, lebih lebih lagi kepercayaan dalang maka wayang Bathara Guru sangat dihormati dan dianggap sebagai wayang yang paling keramat. Oleh karena itu pun wayang Bathara Guru dibedakan dari wayang wayang lainnya. Misalnya saja hanya wayang Bathara Guru lah yang diselubungi kain indah. Demikian pula sebelum dimainkan, wayyang ini dikenakan asap dupa lebih dulu dan orang pun takut melangkahi batang pisang bekas menancapkan Bathara Guru.
5. Bathari Durga
Nama lain : Dewi Uma / Umayi
Ayah : Prabu Umaran
Ibu : Dewi Nurweni
Suami : Bathara Guru
Watak : tanggung jawab pada keluarga, sabar, halus, tajam perasaannya
Bertempat di negara : Sentragandamayit
sekilas cerita :
Waktu ia masih berwajah cantik bernama Dewi Uma. Suatu sore Bathara Guru dan Dewi Uma pergi menunggang Lembu Andhini melihat lihat pemandangan alam. Sewaktu angin sejuk semilir Bathara Guru terpesona oleh kecantikan istrinya, ia lalu mengajak memadu kasih saat itu juga. Namun Dewi Uma menolak, Bathara Guru tidak menghiraukan penolakan istrinya sedangkan Dewi Uma terus berusaha menghindar. Karena tak lagi dapat menahan hasratnya, maka jatuhlah benih hasrat cinta Bathara Guru ke laut yang menjadi kobaran api dan menjelma jadi Bathara Kala. Terjadilah saling mengutuk di antara mereka, Bathara Guru dikutuk bertaring sedangkan Dewi Uma dikutuk jadi Raksesi.
6. Bathara Brama
Ayah : Bathara Guru
Ibu : Dewi Uma
Istri : dewi Saci, dewi Saraswati, Dewi Rarasati
sekilas cerita :
Di antara banyak anaknya, yang paling terkenal adalah dewi dresnala yang diperistri arjuna. Perkawinan ini menghasilakn seorang cucu bagi Bathara Brama, yakni Bambang Wisanggeni.
Bathara Brama pernah melakukan tindakan yang tidak bijaksana dengan menceraikan dewi dresnala dari arjuna. Dewi dresnala kemudian diberikan kepada Dewasrani, meskipun dia sedang hamil tua. Tindakan Bathara Brama ini akibat bujukan dan hasutan Bathari Durga. Namun akhirnya Bathara Brama menyadari kesalahannya.
Menjelang Barathayuda, Bathra Brama mendapat tugas berat dari Bathara Guru. Karena para dewa menilai tidak ada satu makhlukpun di dunia yang sanggup menandingi kesaktian Wisanggeni anak dari Arjuna. Bathara Brama mendapat tugas berat untuk membunuh Wisanggeni. Lalu Bathara Brama bertanya kepada Wisanggeni apakah Wisanggeni bersedia berkorban bagi kemenangan para Pandawa dalam perang Baratayuda. Wisanggeni menyatakan sanggup.
Bathara Brama lalu menyuruh cucunya memandang salah satu titik diantara mata Bathara Brama. Seketika itu juga tubuh Wisanggeni mengecil sampai menjadi debu. Dalam Mahabarata, tokoh Wisanggeni tidak ada.
7. Bathara Indra
Nama lain :
Ø Maharaja Sakra
Ø Sang Hyang Surapat
Ø Sang Hyang Cakra
Ø Sang Hyang Resi Upadya
Ayah : Bathara Guru
Ibu : Dewi Uma
Istri : Dewi Wiyati
Bertempat di negara : Kahyangan Kaendran Rinjamaya
Sifat : jujur, suka keindahan, pemberani, pembela keutamaan
sekilas cerita :
Bathara Indra juga adalah dewa pembawa pahala untukdibagi bagikan kepada manusia yang berbuat kebaikan, menurut cerita dia juga adalah dewa cuaca dan ia adalah dewa penguasa petir.
Dalam kitab Brahma Waiwartapurna, setelah mengalahkan Wreta, Indra menjadi angkuh dan meminta Wiswakrama, arsitek para dewa untuk membangun suatu kediaman megah untuknya. Indra kurang puas dengan pekerjaannya sehingga Indra tidak mengijinkannya pergi sebelum ia mampu menyelesaikan pekerjaannya. Wisakrama memohon bantuan Dewa Brahma agar ia terbebas dari jerat Indra. Brahma pun meminta bantuan Wisnu, sehingga Wisnu menemui Indra sebelumnya tidak memiliki kediaman semegah itu. Karena tidak memahamimaksudnya Indra pun bertanya tentang Indra sebelumnya. Wisnu menjelaskan bahwa dalam setiap alam semesta, ada satu Indra berkuasa dengan umur 70 yuga sehingga jumlah Indra tak terhitung. Kemudian tampak serombongan semut lewat dan Wisnu berkata mereka adalah reinkarnasi Indra pada masa lampau. Indra sekarangpun sadar bahwa kemewahan yang dimilikinya tidak berarti sehingga ia membiarkan Wisakrama pergi.
8. Bathara Bayu
Nama lain :
Ø Sang Hyang Pawana
Ø Resi Boma
Ayah : Bathara Guru
Ibu : Dewi Uma
Bertempat di negara : Kahyangan Argamaruta
Sifat : tekadnya kuat, jujur, suka membela kebenaran
sekilas cerita :
Bathara Bayu mempunyai saudara saudara tunggal bayu, sama sama berkekuatan angin, yaitu Anoman, Werkudara, Wil Jajahwreka, Begawan Maenaka, Liman Satubanda (Gajah Sena).
Di dalam lakon Begawan Palasara Krama (kawin), Bathara Bayu datang sebagai pemisah perselisihan paham antara Palasara dan Sentanu dalam memperebutkan kemuliaan di Marcapada (dunia) dan Palasara memilih kemuliaan di Kahyangan (akhirat). Selain di dalam lakon ini, Bathara Bayu juga kerap kali datang di Marcapada sebagai pemisah, apabila terjadi suatu perselisihan paham.
Ketika perang Baratayuda semakin dekat, para Dewa turun ke negara Astina untuk memisahkan Pandawa dan Kurawa yang bersengketa. Bathara Bayu pun ikut turun. Namun segala daya upaya para Dewa tak berhasil dan perang akhirnya pecah jugalah.
Di dalam pewayangan, pada perang yang penghabisan yang lazim disebut perang sampak, Werkudara umumnya menyebabkan musuhnya mati. Setiap kali musuh mati, menarilah Werkudara dan tariannya itu disebut tari Tayungan. Tetapi kalau musuhnya orang Kurawa, musuhnya itu tidak mati, sebab orang orang Kurawa hanya akan mati kelak dalam Perang Baratayuda.
9. Bathara Wisnu
Nama lain :
Ø Ahuta,
Ø Cakrawati,
Ø Sanghyang Suman,
Ø Madusadana,
Ø Idowati
Ayah : Bathara Guru
Ibu : Dewi Uma
Istri : Dewi Sri Sekar, Dewi Sri Pujayanti, Dewi Pertiwi
Bertempat di negara : Kahyangan Utarasegara
Sifat : bertekad kuat, jujur, adil
Senjata : Cakra Baskara, Sekar Wijayakusuma
sekilas cerita :
Mereka yang mendapat titisan Bathara Wisnu menjadi orang yang sakti dan waspada. Yang mendapat titisan Bathara Wisnu ialah Prabu Arjuna Sasrabahu, Patih Suwanda, Sri Rama, Arjuna, Prabu Kresna. Ketika dewa ini dilahirkan, bumi terpengaruh hingga bergetar sampai Bathara Guru pun jatuh terpelanting.
Bathara Wisnu bisa tiwikrama menjadi raksasa yang tidak terhingga besarnya dan memiliki senjata cakra yang sangat sakti. Kesaktian dari senjata cakra itu digunakan oleh titisan Wisnu sebagai bukti bahwa mereka memang titisannya Bathara Wisnu.
Ketika bathara wisnu akan kawin dengan Dewi Pertiwi, maka bunga Wijayakusuma tersebut dipinjam oleh Bathara Wisnu untuk digunakan sebagai jujur. Tetapi untuk lengkapnya, siapa memiliki bunga itu harus memiliki kulitnya dan kulit itu dimiliki oleh Prabu Wisnudewa dari negara Garbapitu.
Kulit bunga yang bertempat di dalam mulut seekor banteng dapat direbut oleh Bathara Wisnu dari mulut banteng itu. Terkabulah perkawinan Bathara Wisnu karena bisa mengadakan jujur yang diminta.
10. Bathara Yamadipati
Nama lain : -
Ayah : Sanghyang Ismaya
Ibu : Dewi Senggani
Istri : Dewi Mumpuni
Bertempat di negara : Yomaniloka / Sela Mangupeng / Parang Gumiwang.
Sifat : Bengis, menakutkan ( mencabut nyawa manusia dan menjaga neraka)
sekilas cerita :
Bathara Yamadipati adalah dewa akhirat dalam agama Hindhu. Menurut kepercayaan umat Hindhu, dialah dewa yang pertama kali dijumpai oleh roh orang mati saat berangkat menuju wilayah surgawi, sehingga dia juga bergelar dewa kematian. Tugasnya yang utama adalah mengadili roh orang mati, dengan didampingi oleh asistennya yang disebut Citragupta, pencatat karma manusia. Karena keadilannya , ia disebut pula Dharmaraja.
Bathara Yanadipati memiliki kakak bernama Waiwaswata Manu dan saudara kembar perempuan bernama Yamuna. Selain itu, ia memiliki ibu tiri bernama Radnyi, Praba, dan Caya. Karena Caya lebih memperhatikan anak kandungnya sendiri daripada anak tirinya, Yamadipati menendang kakinya. Hal itu membuatnya dikutuk bahwa kakinya akan digerogoti oleh cacing. Cacing cacing tersebut juga akan menyebabkan kakinya bernanah dan berdarah.
Untuk mengurangi kutukan tersebut, Bathara Surya memberikan seekor burung kepada Bathara Yamadipati untuk memakan cacing cacing tersebut. Kemudian Bathara Yamadipati memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat suci yang bernama Gokarna. Disana ia memuja Dewa Siwa dengan cara bertapa selama ribuan tahun. Dewa Siwa kemudian berkenan dengan tapa yang dilakukan Bathara Yamadipati, lalu ia diangkat sebagai dewa kematian. Ia diberi hak untuk menjatuhkan hukuman kepada orang orang yang melakukan dosa dan memberikan berkah kepada orang orang yang berbuat kebajikan.
Bathara Yamadipati seorang Dewa dan anak Semar. Dewa ini berkuasa memegang kunci Neraka dan berkuasa pula mencabut nyawa manusia.
11. Bathara Candra
Nama lain :-
Ayah : Sanghyang Ismaya
Ibu : Dewi Senggani
sekilas cerita :
Bathara Candra bertugas menerangi Arcapada (dunia) pada waktu malam hari, bergiliran dengan Bathra Surya kakaknya, yang bertugas pada siang hari. Dalam menerangi dunia, Bathara Candra bersama sama dengan Bathara Kartika memberikan sinar kesejukan pada perasaan dan pandangan makhluk di bumi pada waktu malam hari.
Bathara Candra mengetahui dimana Ditya Rembuculung bersembunyi pada waktu malam hari, setelah mencuri air penghidupan (banyu panguripan) dan memebritahukan kepada Dewata yang akhirnya Ditya Recumbulung dapat dipenggal lehernya dengan senjata cakra oleh Bathara Wisnu. Badannya jatuh di bumi dan berubah menjadi lesung tempat menumbuk padi, sedangkan kepalanya terus mengembara hidup di angkasa karena telah meminum air penghidupan serta mengancam akan menelan Bathara Candra dan Bathara Surya pada setiap waktu.
Pada saat Bathara Candra atau Bathara Surya termakan Ditya Recumbulung, dunia menjadi gelap, keadaan yang demikian disebut gerhana bulan atau matahari. Untuk keduanya segera terlepas dari mulut Ditya Recumbulung sehingga bumi menjadi terang kembali, maka pada zaman dahulu di Pulau Jawa ada adat memukul lesung jika terjadi gerhana.
12. Bathara Surya
Ayah : Sanghyang Ismaya
Ibu : Dewi Senggani
sekilas cerita :
Bathara Surya juga berarti dewa matahari. Dewa ini terkenal mempunyai banyak anak dari berbagai wanita. Diantaranya dari Dewi Kunthi yang melahirkan Adipati Karna dalam kisah Mahabarata.
Bathara Surya pernah berselisih dengan Anoman. Anoman menyalahkan Bathara Surya atas kejadian yang menimpa ibunya Dewi Anjani dan neneknya yang dikutuk menjadi tugu oleh suaminya sendiri. Anoman merasa Bathara Surya harus bertanggung jawab sehingga Anoman dengan ajiannya mengumpulkan awan dari seluruh dunia untuk menutupi bumi sehingga sinar sang Surya tidak bisa mencapai bumi. Untungnya kejadian ini dapat diselesaikan secara baik baik sehingga Anoman dengan sukarela menyingkirkan kembali awan awannya sehingga alam dunia terkena sinar mentari kembali.
Dalam Mahabharata, Kunti menerima sebuah mantra dari Resi Durwasa. Jika mantra itu diucapkan ia akan dapat memanggil setiap dewa dan melahirkan anak oleh dia. Percaya dengan kekuatan mantra ini, tanpa disadari Kunti telah memanggil Bathara Surya, tetapi ketikka Bathara Surya muncul, ia takut dan minta Bathara Surya untuk kembali. Namun Bathara Surya memiliki kewajiban untuk memenuhi mantra sebelum kembali. Bathara Surya secara ajaib membuat Dewi Kunthi untuk melahirkan anak, untuk mempertahankan kesuciannya, sebagai putri yang belum menikah maka lahirlah anak Kunthi melalui telinga yang kemudian diberi nama Karna. Kunthi merasa dipaksa untuk meninggalkan anaknya. Karna yang tumbuh menjadi besar lalu ikut keluarga Kurawa.
Wisanggeni
Wisanggeni adalah tokoh pewayangan Jawa yang tidak ada dalam naskah Mahabharata asli, dikenal karena kesaktian luar biasa, keberanian, dan ketegasannya. Ia adalah putra Arjuna dari Dewi Dresanala dan memiliki kesaktian api dan kebal senjata, sehingga kehadirannya ditakutkan dapat mengakhiri Bharatayudha. Setelah meminta restu Sanghyang Wenang, ia bersama Antasena memilih mencapai moksa sebagai tumbal kemenangan Pandawa, bukan dengan ikut perang.
![]() |
Imajiner Nuswantoro