Lontar Wrhaspati Tattwa
Lontar Wrhaspati Tattwa adalah naskah kuno berbentuk dialog antara Sang Hyang Iswara dan Bhagawan Wrhaspati yang menguraikan ajaran Siwistik tentang kebenaran tertinggi (Tattwa) dalam 74 pasal/sloka menggunakan bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. Lontar ini berisi ajaran Samkhya dan Yoga yang membahas pembentukan alam semesta dan pengendalian diri, serta konsep-konsep seperti karma wasana, tri guna (satwam, rajas, tamas), dan tujuan mencapai kelepasan dari ikatan duniawi.
Isi dan Ajaran Lontar Wrhaspati Tattwa
1. Kebenaran Tertinggi (Tattwa).
Menguraikan kebenaran tertinggi yang bersifat Siwastik, yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang sifat dan peran Tuhan dalam penciptaan alam semesta.
2. Samkhya dan Yoga.
Bagian mengenai pembentukan alam semesta dan isinya menggunakan ajaran Samkhya, sementara bagian etika pengendalian diri mengambil ajaran Yoga.
3. Konsep Tri Guna.
Membahas tentang Satwam, Rajas, dan Tamas yang memengaruhi etika setiap individu.
4. Pengendalian Diri.
Mengajarkan cara untuk mengendalikan diri demi mencapai keselamatan dan kelepasan dari ikatan keduniawian.
5. Karya Dialog.
Disampaikan dalam bentuk dialog antara Sang Hyang Iswara (Tuhan) dan Bhagawan Wrhaspati (guru dunia), sehingga mudah dipahami.
6. Struktur dan Bahasa.
- Bentuk: Lontar Wrhaspati Tattwa terdiri dari 74 pasal atau sloka.
- Bahasa: Menggunakan kombinasi bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno.
Wrhaspati Tattwa adalah sebuah lontar yang tergolong tua usianya. Lontar ini menguraikan ajaran tentang kebenaran tertinggi yang bersifat Siwastik yang diuraikan secara sistematik. Wrhaspati Tattwa terdiri dari 74 pasal/sloka yang menggunakan bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Bahasa Sansekerta disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kuno disusun dalam bentuk bebas (Gancaran) yang dimaksudkan sebagai terjemahan atau penjelasan bahasa Sansekertanya. Lontar Wrhaspati Tattwa merupakan sebuah lontar mengandung ajaran samkya dan yoga. Bagian yang mengajarkan pembentukan alam semesta beserta isinya mengikuti ajaran samkya dan bagian yang mengajarkan etika pengendalian diri mengambil ajaran yoga.
Secara etimologi Wrhaspati Tattwa berasal dari kata “Whraspati” dan “Tattwa”, pengertian Wrhaspati adalah nama seorang Bhagawan di sorga, hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam Wrhaspati Tattwa Sloka 1 yang berbunyi sebagai berikut :
Irikang kala bana sira wiku ring swarga
Bhagawad Whraspati ngaran ira
Sira ta maso mapuja di Bhatara.
Terjemahan :
Pada saat itu ada seorang petapa di sorga bernama Wrhaspati, Ia datang dan memuja Hyang Iswara
Wrhaspati Tattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang Iswara dengan seorang sisya beliau yaitu Bhagawan Wrhaspati. Iswara dalam konsep pengider-ider di Bali adalah Dewa yang menempati arah timur. Iswara tidak lain adalah aspek dari Siwa sendiri. Di dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan bahwa Hyang Iswara berstana di puncak Gunung Kailasa yang merupakan puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan sebagai guru dunia (guru loka) berkedudukan di Sorga. Dalam dialog tersebut, Sang Hyang Iswara mencoba menjelaskan kebenaran tertinggi tentang Siwa kepada Bhagawan Wrhaspati dengan metode tanya jawab. Wrhaspati Tattwa merupakan naskah jawa kuno yang bersifat realistis. Di dalam menyajikan ajarannya dirangkum dalam suatu mitologi yang tujuannya untuk mempermudah ajaran itu dimengerti. Mengingat ajaran filsafat atau Tattwa yang tinggi seperti ini memang sulit untuk dimengerti.
Lontar Wrhaspati Tattwa dijelaskan terdiri atas 74 pasal dan menggunakan bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa Kuno.
Bahasa Sanskertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa Kunanya disusun dalam bentuk bebas (gancaran) yang dimaksud sebagai terjemahan/penjelasan Sanskertanya.
Dan Lontar ini digunakan salah satu sumber tattwa dalam Siwa Tattwa Di Bali, disebutkan Wrhaspati Tattwa berisikan dialog antara seorang guru spiritual yaitu :
- Sanghyang Iswara dengan seorang sisia (murid) spiritual yaitu Bhagawan Wrhaspati.
- Sanghyang Iswara berstana di pucak Gunung Kailasa yaitu sebuah puncak gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di sorga.
Secara garis besar ajaran-ajaran yang dijelaskan di dalam dialog itu adalah tentang kenyataan tertinggi itu ada dua yang disebut dengan Cetana dan Acetana.
Cetana, unsur kesadaran
Cetana adalah unsur kesadaran atau sifat yang sadar dan merupakan lawan dari ketidaksadaran (acetana). Istilah ini, yang umumnya diterjemahkan sebagai "niat" atau "kehendak" dalam Buddhisme, mendeskripsikan faktor mental yang mengarahkan pikiran ke arah objek atau tujuan tertentu, yang menjadi dasar untuk tindakan dan perilaku etis.
Keterangan mengenai cetana :
- Dalam Buddhisme.
Cetana adalah tindakan kehendak atau niat yang mendorong suatu perbuatan. Niat di balik tindakan dianggap sebagai karma, dan cetana sangat penting untuk memahami kualitas moral dari tindakan yang dilakukan.
- Dalam Filsafat Samkhya.
Cetana adalah sifat kesadaran yang dimiliki oleh puruṣa (kesadaran itu sendiri) sebagai lawan dari vyakta (yang terwujud/materi) dan avyakta (yang belum terwujud/materi), yang bersifat tidak sadar (acetana). Cetana juga digambarkan sebagai kemampuan untuk menjadi saksi atau pelihat (draṣṭā).
Fungsi Cetana.
Sebagai kekuatan pendorong di balik aktivitas mental, cetana memengaruhi pengambilan keputusan dan perilaku, yang menunjukkan perannya sebagai dasar bagi segala tindakan dan perbuatan
Acetana, unsur ketidaksadaran.
Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada.
Cetana itu ada tiga jenisnya yaitu :
1. Parama Śiwa Tattwa, tingkat kesadaran tertinggi.
2. Sada Śiwa Tattwa, tingkat kesadaran menengah
3. Śiwatma Tattwa, tingkat kesadaran yang terendah
Yang ketiganya juga disebut dengan Cetana Telu (tiga tingkatan kesadaran) yang tidak lain adalah Sanghyang Widhi itu sendiri yang telah berbeda tingkat kesadarannya.
Tinggi-rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung pada kuat tidaknya pengaruh māyā. Paramaśiwa bebas dari pengaruh māyā sedang-sedang saja, sedangkan Śiwatma mendapat pengaruh Māyā yang paling kuat.
Sanghyang Widhi Paramaśiwa sebagai kesadaran tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu mayā, karena itu Ia disebut “Nirguna Brahman”. Dan Ia merupakan perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, dan tanpa aktivitas.
Kemudian Paramaśiwa kesadarannya mulai tersentuh oleh māyā. Dan pada saat seperti itu, Ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna dan swabhawa yang merupakan hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Sadaśiwa. Yang memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan SthanaNya.
Pada tingkatan Paramaśiwa ini digambarkan sebagai perwujudan mantra disimbulkan dengan aksara suci AUM (OM) dengan :
1. Iswara (I) sebagai kepala,
2. Tatpurusa sebagai muka (TA),
3. Aghora (A) sebagai hati,
4. Bamadewa (BA) sebagai alat-alat rahasia,
5. Sadyojata (SA) sebagai badan.
Dengan Sakti, guna dan swabhawanya, Ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaanNya, karena itu, Ia disebut “Saguna Brahman”.
Pada tingkatan Śiwatma Tattwa, sakti, guna dan swabhawaNya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh māyā. Karena itu Śiwatma Tattwa disebut juga Māyā Sira Tattwa.
Berdasarkan tingkat pengaruh māyā terhadap Śiwatma Tattwa, Śiwatma Tattwa tersebut dibedakan atas delapan tingkatan yang disebut “Astawidyasana”.
Dapat dijelaskan juga disini bilamana pengaruh māyā sudah demikian besarnya terhadap Śiwatma menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi “Awidya”. Dan apabila kesadarannya terpecah-pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk didalamnya adalah manusia, maka Ia disebut Atma dan Jiwatman.
Meskipun Ātma merupakan bagian dari Sanghyang Widhi (ŚIWĀ), namun karena adanya belenggu Awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh Māyā (Prdhāna Tattwa), maka Ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan Ātma ada dalam lingkungan :
1. Sorga, alam swah loka.
2. Neraka, alam bhur loka.
3. Samsara secara berulang-ulang.
Ātma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran
1. Catur Iswarya,
2. Panca Yama Brata,
3. Panca Niyama Brata dan
4. Asta Siddhi.
Dan apabila dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran-ajaran tersebut tadi, maka Ātma akan tetap berada dalam lingkaran Samsara dan Reinkarnasi.
Bentruk atau wujud Reinkarnasi Ātma sangat banyak tergantung karma wasana-nya Ātma pada saat penjelmaannya terdahulu.
Salah satu bentuk Reinkarnasi itu adalah sebagai “Sthawara Janggama” yang disebutkan sebagai penjelmaan yang paling jelek.
Bentuk reinkarnasi seperti itu adalah suatu penderitaan luar biasa yang harus dihadiri. Untuk mengakhiri lingkaran samsara ini, Wrhaspati tattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari hakekat ketuhanan dalam dirinya, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan :
- Mempelajari segala tattwa (Jñanā bhyudreka)
- Tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriya yoga marga).
- Tidak terikat pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk (Trsnā dosaksaya).
Dan lain dari pada yang tersebut itu,
Wrhaspati Tattwa juga mengajukan jalan lain untuk mencapai Sanghyang Wisesa yaitu dengan selalu memusatkan pikiran pada Dia (yoga) melalui enam tahapannya yang disebut Sadangga Yoga, yaitu Yoga yang didasari dan dibangun oleh dasa sila (sepuluh prilaku yang baik).
Dalam beberapa pembahasan kajian Lontar Wrhaspati Tattwa Hinduism Generation disebutkan bahwa :
"Setiap perbuatan orang akan membuahkan Karma Wasana. Wasana yang telah mewarnai atman akan menghasilkan Karma Wasana dan Karman"
Dalam Dunia Komunikasi oleh AgusSedana disebutkan bahwa cetana sebagai unsur widya (unsur kesadaran), yaitu hakikat yang tidak terpengaruh oleh ketidaksadaran dan bersifar abadi, artinya bersifat kokoh tidak dapat digoyahkan, dan tidak dapat disembunyikan.
WRHASPATI TATTWA
Wrhaspati tattwa terdiri atas 74 pasal menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa kuna. Bahasa Sansekertanya disusun dalam bentuk sloka dan bahasa Jawakunanya disusun dalam bentuk gancaran yang dimaksudkan sebagai terjemahan / penjelasan bahasa Sansekertanya.
Wrhaspatitattwa berisi dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sanghyang Iswara berstana di puncak Gunung Kailasa yaitu sebuah puncak di Gunung Himalaya yang dianggap suci. Sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci yang merupakan guru dunia (guru loka) yang berkedudukan di surga.
Pada dasarnya Wrhaspatitattwa berisi ajaran tentang kamoksan atau kalepasan. Yang secara garis besar ajarannya adalah sebagai berikut.
Kenyataan tertinggi itu ada dua yang disebut dengan istilah Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur kesadaran. Acetana adalah unsur ketidaksadaran. Kedua unsur ini bersifat halus dan menjadi sumber segala yang ada.
Cetana (unsur kesadaran) itu ada tiga jenisnya yaitu paramasiwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa dan Siwatma Tattwa. Kemudian ketiganya disebut Cetana Telu, tiga tingkatan kesadaran. Ketiganya tidak lain adalah Sanghyang Widhi sebdiri yang telah berada tingkat kesadaranyya.
Pramasiwa memiliki tingkat kesadaran tertinggi. Sadasiwa menengah dan Siwatma terendah. Tinggi rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung pada kuat tidaknya pengaruh Maya. Paramasiwa bebas dari pengaruh Maya. Sadasiwa mendapat pengaruh sedang-sedang saja. Sedangkan Siwatma mendapat pngaruh paling kuat.
Sanghyang Widhi Paramasiwa adalah kesadaran tertinggi yang sama sekali tidak terjamah oleh belenggu maya, karena itu Ia disebut Nirguna Brahman. Ia adalah perwujudan sepi, suci mumi, kekal abadi, tanpa aktivitas.
Pramasiwa kemudian kesadarannya mulai tersentuh oleh Maya. Pada saat seperti itu, Ia mulai tersentuh oleh sakti, guna dan swabhawa yang meruoakan hokum kemahakuasaan Sang Hyang Widhi Sadasiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhi segala kehendaknya yang disimbulkan dengan bunga teratai yang merupakan sthananya.
Ia digambarkan sebagai perwujudan mantra yang disimbulkan dengan aksara AUM (OM) dengan Iswara (I) sebagai kepala, Tatpurusa (TA) sebagai muka, Aghora (A) sebagai hati, Bamadewa (BA) sebagai alat – alat rahasia, Sadyojata (SA) sebagai badan.
Dengan sakti, guna dan swabhawanya Ia aktif dengan segala ciptaan – ciptaanNya. Karena itu, Ia disebut Saguna Brahman.
Pada tingkatan Siwatma Tattwa, sakti, guna dan Swabhawanya sudah berkurang karena sudah dipengaruhi oleh Maya. Karena itu, Siwatma Tattwa disebut juga Mayasira Tattwa. Berdasarkan tingkat pengaruh Maya terhadap pengaruh Siwatma Tattwa, maka Siwatma Tattwa dibedakan atas delapan tingkatan yang disebut Astawidyasana.
Bila pengaruh Maya sudah demikian besarnya terhadap Siwatma, menyebabkan kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi awidya. Dan apabila kesadarannya terpecah – pecah dan menjiwai semua makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia, maka Ia disebut Atma atau Jiwatman.
Meskipun atma merupakan bagian dari Sanghyang Widhi (Siwa), namun karena adanya belenggu awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh Maya ( Pradhana Tattwa), maka Ia tidak lagi menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan ada dalam lingkaran sorga – neraka – samsara secara berulang ulang. Atma akan dapat bersatu kembali ke asalnya, apabila semua selaras dengan ajaran Catur Iswarya, Panca Yama Brata, Panca Niyama Brata, dan Astasiddhi. Bilaman dalam segala karmanya bertentangan dengan ajaran – ajaran tadi, maka atma akan tetap berada dalam lingkaran samsara, reinkarnasi.
Bentuk atau wujud reinkarnasi atma sangat banyak tergantung karma wasananya atma pada saat penjelmaannya terdahulu. Salah satu wujud reinkarnasi itu adalah sebagai Sthawara janggama yng disebutkan sebagai penjelmaan yang oaling jelek. Wujud reinkarnasi seperti itu adalah suatu penderitaan luar biasa yang harus diakhiri.
Untuk mengakhiri lingkaran samsara itu, Wrhaspatitattwa mengajarkan agar setiap orang menyadari hakikat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan :
mempelajari segala tattwa (Jnanabhyudreka)
Tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (Indriyayogamarga)
Tidak terikat pada pahala – pahala perbuatan baik atau buruk (Trsnadosaksaya)
Lain daripada itu, Wrhaspatitattwa juga mengajukan jalan lain untuk mencapi Sanghyang Wisesa yaitu dengan selalu memusatkan pikiran pada Dia (yoga) melalui enam tahapannya yang disebut Sadanggayoga. Yoga didasari dan dibangun oleh dasasila, sepuluh prilaku yang baik.
Imajiner Nuswantoro