Sejarah Kalender Jawa
Tidak semua suku/ bangsa di dunia, bahkan sangat sedikit yang memiliki kalender sendiri, dan Jawa termasuk di antara yang sedikit itu. Kalender Jawa diciptakan oleh mPu Hubayun, pada tahun 911 Sebelum Masehi. Pada tahun 50 SM Raja/ Prabu Sri Mahapunggung I (juga dikenal sebagai Ki Ajar Padang I) melakukan perubahan terhadap huruf/ aksara, serta sastra Jawa.
Bila kalender Jawa dibuat berdasarkan‘Sangkan Paraning Bawana‘ (=asal usul/ isi semesta), maka aksara Jawa dibuat berdasarkan “Sangkan Paraning Dumadi” (=asal usul kehidupan), serta mengikuti peredaran matahari (=Solar System).
Pada 21 Juni 0078 Masehi, Prabu Ajisaka mengadakan perubahan terhadap budaya Jawa, yaitu dengan memulai perhitungan dari angka nol (‘Das’=0), menyerap angka 0 dari India, sehingga pada tanggal tersebut dimulai pula kalender Jawa ‘baru’, tanggal 1 Badrawana tahun Sri Harsa, Windu Kuntara ( = tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1), hari Radite Kasih (-Minggu Kliwon), bersamaan dengan tanggal 21 Juni tahun 78 M.
Selama ini, banyak pendapat yang mengatakan, bahwa Prabu Ajisaka ialah orang India/ Hindustan. Akan tetapi hal tersebut nampaknya kurang tepat, dengan fakta-fakta kisah dalam huruf Jawa, bahwa :
1. Pusaka Ajisaka yang dititipkan kepada pembantunya berujud keris. Tak ditemukan bukti-bukti peninggalan keris di India, dan keris adalah asli Jawa.
2. Para pembantu setia Ajisaka sebanyak 4 (empat) orang (bukan 2 orang seperti yang banyak dikisahkan), dengan nama berasal dari bahasa Kawi yaitu :
a. DURA (dibaca sesuai tulisan), yang dalam bahasa Kawi berarti anasir alam berupa AIR artinya = ‘bohong’, sangat jauh berbeda dengan aslinya.
b. SAMBADHA (dibaca seperti tulisan), yang dalam Bahasa Kawi berarti anasir alam yang berupa API artinya “mampu” atau ‘sesuai’.
c. DUGA ( dibaca seperti tulisan), dalam bahasa Jawa Kuna berarti anasir TANAH, namun bila dibaca dengan cara kini, akan berarti “pengati-ati’ atau ‘adab’.
d. PRAYUGA (dibaca seperti tulisan), dalam Bahasa Jawa Kuna artinya adalah “ANGIN“, dan bila dibaca dengan cara sekarang akan berarti ‘sebaiknya/ seyogyanya”.
Keempat unsur/ anasir tersebut adalah yang ada di alam semesta (makrokosmos / bawana ageng) serta dalam tubuh manusia (mikrokosmos / bawana alit).
3. Nama Ajisaka ( Aji & Saka) adalah berasal dari Bahasa Jawa Kuna, yang berarti Raja/ Aji yang Saka (= mengerti & memiliki kemampuan spiritual), Raja Pandita, Pemimpin Spiritual. Prabu Ajisaka juga bernama Prabu Sri Mahapunggung III, Ki Ajar Padang III, Prabu Jaka Sangkala, Widayaka, Sindhula. Petilasannya adalah api abadi di Mrapen, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah.
Pada saat Sultan Agung Anyakrakusuma bertahta di Mataram abad XVI Masehi, terdapat 3 unsur kalender budaya dominan, yaitu Jawa/ Kabudhan (solar system), Hindu (solar system), dan Islam (Hijriah, Lunar Sytem), sementara di wilayah Barat/ Sunda Kelapa dan sekitarnya sudah mulai dikuasai bangsa asing / Belanda. Untuk memperkuat persatuan di wilayah Mataram guna melawan bangsa asing, Sultan Agung melakukan penyatuan kalender yang digunakan. Akan tetapi penyatuan kalender Jawa /Saka dan Islam/Hijriah tersebut tetap menyisakan selisih 1 (satu) hari, sehingga terdapat 2 perhitungan, yaitu istilah tahun Aboge (tahun Alip, tgl 1 Suro jatuh hari Rebo Wage), serta istilah Asapon (Tahun Alip, tg 1 Suro, hari Selasa Pon). Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah, 29 Besar 1554 Saka, 8 Juli 1633 Masehi. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan Suro tahun 1554 Jawa (Sultan Agungan) yang digunakan sekarang.
Apabila ditilik berdasarkan penanggalan Jawa yang diciptakan mPu Hubayun pada 911 SM, maka saat ini (2013) adalah tahun 2924 Jawa (asli, bukan Saka, Jawa kini, atau Hijriah). Sebuah Kalender asli yang dibuat tidak berdasarkan agama, atau aliran kepercayaan apapun.
Dengan demikian, tinggal sedikit lagi untuk menemukan bukti-bukti arkeologi autentik lainnya. Setelah ditemukan lempeng tanah persawahan yang diperkirakan berumur 6000 tahun lebih di kedalaman laut Jawa, maka penemuan kalender yang telah berumur 15 ribu tahun itu bisa jadi memang berasal dari peradaban Nusantara.
Kalender Jawa
Kalender Jawa atau Penanggalan Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya dan yang mendapat pengaruhnya. Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam, sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.
Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari: siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi (1547 Saka), Sultan Agung dari Mataram berusaha keras menanamkan agama Islam di Jawa. Salah satu upayanya adalah mengeluarkan keputusan titah yang mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender kamariah atau lunar (berbasis perputaran bulan). Uniknya, angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah (saat itu 1035 H). Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan, sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Keputusan titah Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram : seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (=Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung.
Tahun Baru Jawa
Selain 1 Sura, ternyata ada pula yang menyatakan bahwa Tahun Baru Jawa itu jatuh pada tanggal 22 Juni sesuai dengan informasi yang tertulis di Islam Indonesia.
Mengapa demikian ?
Ada 1 Sura dan 22 Juni lalu bagaimana penjelasannya untuk hal tersebut ?
Jawabnya, dari hubungan tanggal 22 Juni itu dengan peredaran matahari. Sistem kalender solar inilah titi mangsa yang digunakan orang Jawa asli.
Seperti diketahui, kita yang berada di Indonesia saat ini paling tidak mengenal empat macam tahun yang berbeda-beda, di antaranya Tahun Masehi, Tahun Hijriyah, Tahun Jawa, dan Tahun Imlek. Tahun Masehi didasarkan atas perputaran bumi mengitari matahari yang dikenal dengan tahun matahari, dan berkaitan dengan musim, sementara Tahun Hijriyah dan Tahun Jawa didasarkan pada perputaran bulan mengelilingi bumi dan tidak berkaitan dengan musim. Tahun yang berdasarkan perputaran matahari dan bulan memiliki perbedaan jumlah hari setiap tahunnya. Untuk tahun matahari, setiap tahunnya berjumlah 365/366 hari, sementara untuk tahun bulan, memiliki 354 hari per tahun.
Tahun baru Jawa seharusnya diperingati setiap tanggal 22 Juni bukan setiap tanggal 1 Sura karena sejatinya orang Jawa menganut penanggalan matahari/Saka bukan penanggalan bulan/Candra/Hijriyah. Tahun Saka selalu sama dengan kalender Masehi, maka seharusnya Tahun Baru Jawa selalu sama tanggalnya dari tahun ke tahun, bukan maju 10 hari tiap tahun seperti sekarang. Waktu itu sudah banyak orang Jawa yang rib-iriban sehingga fatwa Sultan Agung bisa diterima dan cepat menyebar namun masih ada juga orang Jawa yang ngugemi penanggalan Saka sehingga berlanjut sampai sekarang.
Jauh sebelum India, Arab dan Yunani menemukan sistem perkalenderan mereka, secara garis besar Nusantaralah sebenarnya yang telah mempelopori budaya astronomi dunia, dan memang telah ditemukan kalender yang berusia ratusan ribu tahun yang berasal dari peradaban Atlantis yaitu Nusantara. Nama-nama hari: Radite, Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra, Saniscara merupakan nama-nama benda angkasa Jawa.
Tim peneliti The Lost World telah menemukan bukti bahwa pernah ada kelender tertua yang pernah ditemukan yakni berusia kurang lebih 15.000 tahun yang lalu. Bukti-bukti yang mendukung di sekitarnya menunjukkan kalender tersebut lebih cenderung memiliki keselarasan dengan budaya Nusantara. Hal ini serupa kasus Benua Atlantik yang hilang, peneliti Brazil berani menyimpulkan 80-90% adalah Nusantara. Artinya, meski penelitian belum tuntas, setidaknya bisa digunakan sebagai bahan kajian ilmiah secara lebih dalam lagi.
Pawukon, Sistem Penanggalan Asli dari Jawa dan Bali
Baru saja tahun berganti. Pergantian tahun adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang di seluruh dunia. Pergantian tahun kemarin adalah pergantian tahun sesuai dengan kalender Masehi yang dipakai oleh hampir seluruh manusia. Selain kalender masehi, mungkin kita juga pernah mendengar kalender Hijriyah yang dipakai oleh muslim. Namun, ternyata Jawa dan Bali memiliki sistem penaggalan asli yang pernah dipakai pada zaman dahulu. Sistem penanggalan ini disebut dengan Pawukon.
Pawukon merupakan kalender tradisional yang digunakan oleh masyarakat Jawa dan Bali. Kalender tradisional ini memiliki banyak kegunaan, di antaranya sebagai pedoman untuk menentukan hari-hari suci umat Hindu, hari pasaran, hari perayaan pribadi, menentukan hari baik dan hari buruk, menjabarkan watak-watak manusia berdasarkan hari lahirnya, dan sebagainya. Kelebihannya terletak pada menjabarkan watak manusia, bahkan tidak hanya sampai di situ. Pawukon juga memberi gambaran secara umum kondisi fisik, karakter, atau watak seseorang, tetapi juga menentukan waktu dan jenis naas (pengapesan) atau pantangan yang harus dihindari seseorang, serta proyeksi nasibnya di masa datang.
Memiliki 210 hari dalam setahun, Pawukon memiliki siklus hari yang diberi namasaptawara, pancawara, dan juga pasaran. Di mana untuk pancawara dimulai dari hari Senin sampai hari Sabtu, sedangkan untuk pancawara dan pasaran, yaitu setiap hari dengan siklus 5 harian. Memang untuk orang yang awam, akan sangat bingung untuk bisa memahami kalender Jawa kuno ini. Hanya orang-orang yang sudah ahli saja yang bisa membacanya.
Sumber Referensi :
- 1001Indonesia. (2016, maret 21). 1001Indonesia Tradisi. Retrieved from 1001Indonesia: https://1001indonesia.net/pawukon/
- Aneh, K. (2017). Kejadian Aneh Mitologi. Retrieved from Kejadian Aneh: https://www.kejadiananeh.com/2017/06/pawukon-kalender-jawa.html
- hamzahmutaqinf. (2019, januari 10). PDBI Naskah Kuno dan Prasasti. Retrieved from PDBI: https://budaya-indonesia.org/Pawukon/
Imajiner Nuswantoro