Durna Menjadi Guru Kurawa & Durna Mewariskan Pusaka Gandewa Pada Arjuna
Dikisahkan sebelumnya Durna telah mengangkat Pandawa menjadi murid.
Sementara itu, sesampainya di keraton Hastinapura, Patih Sengkuni melaporkan kepada raja, bahwa lenga tala gagal direbut. Sekarang dibawa pergi oleh seorang pandhita sakti. Bahkan ia telah mengangkat murid Pandhawa dan membawa serta mereka ke padepokannya.
Duryudana dan para Kurawa merengek-rengek memohon kepada raja agar Pandhita sakti tersebut diangkat menjadi Guru Istana.
“Ampun Kakanda Prabu, perlu menjadi pertimbangan, ia mau menjadi guru para Kurawa asalkan Pandawa lima diperkenankan masuk istana, pada hal beberapa waktu yang lalu Kanda Prabu telah mengusir mereka.”
“Jika demikian biarlah anak-anakku yang datang berguru ke padanya”
“Ampun Kakanda Prabu, langkah tersebut akan merosotkan kewibawaan paduka raja,”
“Lantas bagaimana pendapatmu Patih Sengkuni?”
“Kanda Prabu, sebelumnya aku ingin mencari padepokannya untuk kemudian memaksa dia datang di istana tanpa Pandawa Lima”
Mendengar rencana Patih Sengkuni, Duryudana yang menyaksikan sendiri kesaktiannya padhita tersebut bertanya, lalu siapa yang mampu memaksanya?
Sengkuni sempat gelagepan, namun ia kemudian berkata, “Aku akan memerintahkan satu bregada prajurit untuk mengepung dan kemudian menangkapnya.
“Sengkuni! Apakah untuk mendapatkan seorang guru tidak boleh dengan cara paksa. Jika terjadi korban nyawa apakah engkau mau bertanggungjawab?
“Maksud saya tidak begitu Maha Resi Bisma. Apa yang akan kami lakukan ini semata-mata merupakan tanda bakti kepada raja. Karena jika nantinya para putra raja mendapatkan guru yang sakti, dan menyerap ilmunya, mereka akan mampu menjaga, memperkuat dan memperluas kerajaan Hastinapura”
“Sengkuni, Sengkuni, apakah engkau tidak pernah melihat guru sakti di Hastinapura ini? Coba kamu jawab dengan jujur, tidak adakah Guru Sakti di Hastinapura? Sengkuni!”
“Ada, ada Maha Resi, bahkan tidak sekedar ada, tetapi banyak. Jumlahnya kira-kira ratusan, ee mungkin bisa mencapai ribuan. Sedangkan yang diangkat menjadi guru istana saja sudah seratus lebih. Padahal gaji mereka…” “Cukup!! Sekarang jawab pertanyaanku, apakah para Kurawa telah menyerap semua ilmu dari mereka, terutama para guru yang digaji istana?” Eee sudah, eh belum dhing. Maksud saya semua ilmu telah diajarkan dan dipahami, tetapi belum semua di kuasai.” “Bagus, lalu apa usahamu agar para Kurawa mampu menyerap ilmu para guru istana dengan baik? “
Ampun Maha Resi Bisma, jika bibir ini menjadi panjang, salah satunya karena setiap waktu aku selalu mengatakan kepada keponakanku para kurawa, belajarlah yang tekun dan rajin. Tetapi memang mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi tidak cukup dengan rajin dan tekun, tetapi membutuhkan bakat dan kemampuan” “Jadi menurutmu cucu-cucuku para Kurawa itu rajin dan tekun?” Iya, eee kadang-kadang rajin, dan kadang-kadang tekun. Eee rajin kok, tetapi” “Sengkuni, engkau akan mengatakan bahwa para Kurawa itu tekun dan rajin tetapi tidak berbakat dan tidak mampu menguasai ilmu-ilmu tinggi?” “Tidak demikian Sang Maha Resi, para Kurawa itu mempunyai bakat dan kemampuan, tetapi belum ada guru yang mampu menggali bakat dan kemampuannya”
“Sengkuni! Engkau jangan menyalahkan para guru istana! Engkau menganggap aku buta? Tidak dapat melihat kenyataan yang sebenarnya? Bukankah para Kurawa tidak dengan sungguh-sungguh menyerap ilmu dari para guru istana? Dan itu sesungguhnya menjadi tanggunggjawabmu untuk memotivasi mereka.”
“Ampun Maha Resi, hamba ini seorang Patih, tugas hamba mengabdi kepada negara dan raja. Bukan sebagai pengasuh anak-anak raja.” “Baik! Jika demikian jangan ikut campur dalam hal mencari guru untuk para Kurawa. Anak Prabu Destarastra, ijinkanlah aku sendiri yang akan menemui guru sakti yang diinginkan anak-anakmu. Pertimbanganku agar para Kurawa dan para Pandawa menyerap ilmu dari guru yang sama, dengan aturan dan disiplin yang sama serta sumpah ketaatan yang sama pula. Sehingga dengan demikian ada harapan untuk mempersatukan diantara mereka.”
Destarastra setuju usul Resi Bisma, karena sesungguhnya ada harapan yang sama, agar diantara anak-anaknya dan anak-anak Pandudewanata hidup berdampingan dengan rukun. Tetapi entah apa sebabnya benih-benih permusuhan telah tumbuh lebih cepat dari pada benih-benih kerukunan.
Dengan pertimbangan bahwa Yamawidura mengetahui letak padepokan, tempat Pandhita Sakti berada, maka Destarastra memerintahkan kepada Yamawidura untuk mengiring Resi Bisma. Menurut keterangan Sadewa, sewaktu mohon restu kepada Ibunda Dewi Kunthi ke Panggombakan, ia beserta keempat saudaranya selama beberapa waktu tinggal di Padepokan Sokalima yang terletak di tapal batas wilayah Negara Pancalaradya, untuk berguru kepada Padhita Durna.
Pada hari yang telah disepakati, sebelum matahari terbit, Resi Bisma diiringi Yamawidura keluar dari Kestalan Keraton Hastinapura, menuju arah tenggara. Derap dari delapan kaki kuda yang mereka tumpangi, meninggalkan debu yang terbang terbawa angin dan menempel pada lekuk-lekuk bangunan Keraton Hastinapura yang indah.
Di tengah terik matahari, Resi Bisma dan Yamawidura sengaja tidak berhenti, agar segera sampai di Padepokan Sokalima, tempat Pandhita Durna menggembleng cantrik-cantriknya, termasuk Pandhawa Lima. Jika pun harus istirahat, sekedar untuk memberi makan minum kuda-kuda mereka.
Dilihat pada garis-garis wajahnya, Resi Bisma sudah tidak muda lagi, bahkan dapat dikatakan lanjut usia, namun badannya masih tegap dan jiwanya masih tegar, jauh lebih muda dari usia yang sebenarnya. Sorot matanya tajam bagai rajawali. Segudang ilmu sakti yang ia pelajari sejak masa kanak-kanak, masih melekat kuat di badan dan jiwanya. Waktu muda ia mendapat tiga anugerah besar yaitu; umur panjang sampai tujuh turunan, tidak pernah kalah dalam berperang dan tidak dapat mati jika tidak atas permintaan sendiri. Ia menjadi putera mahkota kerajaan Hastinapura pada masa pemerintahan ayahnya, Prabu Sentanu. Namun karena Dewi Setyawati, ibu sambungnya menginginkan tahta demi anaknya, maka ia mengalah, dengan ikhlas tahta diserahkan kepada anak Setyawati. Bahkan ia berjanji untuk menjalani hidup ‘wadat’ tidak menikah, agar tidak mempunyai keturunan yang akan mengusik tahta Hastinapura, dan menimbulkan pertumpahan darah diantara saudara.
Dengan kebesaran hati, Resi Bisma telah melepaskan tahtanya dan menjalani hidup wadat. Walaupun ada godaan besar dari seorang wanita bernama Dewi Amba, Bisma tetap setia dengan janjinya untuk tidak menurunkan anak dari seorang wanita. Namun saat ini ia sangat kecewa, bukan karena ia telah merelakan tahtanya dan menjalani laku hidup wadat, tetapi lebih dikarenakan pergolakan tahta Hastinapura tidak terhindarkan karenanya. “Apakah keputusanku untuk melepaskan tahta salah? Jikakalau benar, mengapa Citragada dan Wicitrawirya anak Setyawati, belum genap hitungan tahun menduduki tahta, meninggal secara berurutan ?
Menurut anggapan rakyat Hastinapura, Citragada dan Wicitrawirya tidak kuat menduduki tahta, mereka kuwalat kepada pendiri Keraton dan Rakyat Hastinapura. Karena secara tidak langsung telah merebut tahta yang bukan haknya dari tanganku. Rupanya Ibunda Setyawati mempercayainya anggapan rakyat. Ia sangat menyesalkan telah mengajukan anak-anaknya untuk menduduki tahta.
Pada suatu malam, Ibunda Ratu menemuiku, dan meyapaku. Ia selalu memanggilku dengan nama kecilku, Dewa Brata. Ketika nama itu disebut, aku diingatkan kepada ibuku Dewi Ganggawati, seorang bidadari yang memberikan nama itu. Aku rindu padanya, ingin dipeluk, dicium, dibelai dengan penuh cinta. Namun itu tak pernah aku rasakan. Sejak bayi, Ibunda telah meninggalkan aku dan ramanda Prabu Sentanu kembali ke kahyangan.
“Dewa Brata, aku telah melakukan kesalahan besar kepadamu dan rakyat Hastinapura. Semenjak kedua adik tirimu meninggal berurutan, tahta Hastinapura kosong. Aku sadar, tragedi ini merupakan peringatan ‘Hyang Akarya Jagad’ bahwa sesungguhnya hanya engkaulah yang berhak atas tahta Hastinapura.”
Durna mewariskan pusaka Gandewa pada Arjuna
Menjelang tengah malam, Harjuna memasuki halaman padepokan Sokalima. Temaramnya cahaya lampu minyak menyambut wajah halus nan tampan di pintu gerbang padepokan. Wajah tersebut sudah sangat dikenal oleh para cantrik yang jaga, sehingga dengan serta-merta mereka menyambutnya dengan penuh hormat, dan mengantarnya sampai di depan pintu, tempat sang guru menanti.
Sang Guru Durna sudah cukup lama duduk bersila di ruang dalam menghadap meja dengan lampu minyak yang diletakkan di tengah-tengahnya. Di meja pendek itulah Guru Durna meletakan pusaka andalan yang berujud busur panah pemberian Batara Indra, namanya Gandewa. Kedahsyatan pusaka ini adalah, jika busur tersebut ditarik di medan perang, akan mengeluarkan anak panah dengan jumlah tak terbatas, dapat mencapai ratusan ribu, tergantung dari pemakainya. Sesungguhnya busur ini akan diwariskan kepada Aswatama, anak laki-laki satu-satunya. Namun rupanya sang guru Durna tidak cukup puas dengan kemampuan Aswatama. Dibandingkan dengan murid-murid yang lain, Aswatama tidak memiliki keistimewaan, sehingga jika pusaka Gandewa dipercayakan kepada Aswatama, ia akan mengalami kesulitan untuk menggunakannya, apalagi jika harus menarik busur Gandewa di medan perang.
Dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada, terlebih pada penguasaan berolah senjata panah, maka Harjunalah yang mempunyai kemampuan memanah jauh meninggalkan murid-murid yang lain. Maka tidak dapat disalahkan jika Harjuna lebih diistimewakan dibanding murid-murid yang lain, termasuk juga Aswatama, karena Harjuna memang istimewa.
Suara gemerit menandakan pintu ruang tengah dibuka.
“Saya datang menghadap di tengah malam ini bapa guru, maafkan saya”
“Masuklah Harjuna, aku telah lama menunggumu.”
Dengan langkah hati-hati Harjuna memasuki ruangan, menyembah, untuk kemudian laku dhodhok dan duduk menunduk di hadapan sang guru Durna. Mata Harjuna menatap sebuah busur yang pernah diperlihatkan kepadanya. Ada getar yang kuat di hati Harjuna melihat busur Gandewa yang sengaja diletakan dan disiapkan di meja. Sebagai murid yang lantip dan cerdas Harjuna dapat membaca bahwa ada hubungannya antara pemanggilan dirinya dengan pusaka Gandewa.
Suasana menjadi hening dan khidmat ketika Durna mengawali pembicaraan yang wigati dan serius.
“Harjuna murid yang aku kasihi, engkau tahu pusaka ini adalah pemberian Batara Indra pemimpin para Dewa. Diberikan padaku karena ketekunanku menjalani laku belajar ilmu memanah, baik secara lahir dan juga secara batin. Sehingga bagiku busur Gandewa ini merupakan tanda puncak prestasiku dalam hal ilmu memanah.
Namun sekarang aku tidak muda lagi, apalagi fisikku cacat sehingga tidak mungkin berprestasi seperti dulu lagi. Oleh karenanya, busur Gandewa ini sebaiknya aku wariskan kepada murid yang dapat mencecap ilmu memanahku dengan tuntas.
Pada mulanya aku memang berharap banyak kepada anakku Aswatama, namun dengan jujur aku mengakui bahwa ia tidak mampu mewarisi pusaka dahsyat ini, dikarenakan ilmu memanahnya tidak sempurna. Harjuna tentunya engkau dapat membaca arah pembicaraanku ini. namun pasti engkau tidak akan pernah menduga rencanaku atas pusaka ini.”
“Ampun Bapa Guru, saya tidak akan pernah mengungkapkan isi hatiku, sebelum Bapa Guru mengatakan kepadaku. Karena sesungguhnya, bapa guru dapat membaca isi hatiku.”
“He he he, Harjuna engkau memang murid yang selalu bisa membuat aku bangga. Kepatuhan, ketekunan, kemampuan dan kesetiaan yang telah engkau baktikan kepadaku selama ini adalah dasar pertimbanganku untuk memberikan semua ilmu yang ada padaku, khususnya ilmu memanah. Sehingga dengan demikian kemampuan memanah yang telah engkau kuasai sejajar dengan dengan kemampuanku. Jika aku lebih unggul dalam pengalaman, engkaupun lebih unggul dalam hal tenaga.
Harjuna bocah bagus, seorang guru sejati akan sangat berbahagia jika dapat menghasilkan murid yang mempunyai kemampuan melebihi gurunya. Maka untuk itulah aku memanggilmu secara khusus di tengah malam ini untuk menyempurnakan ilmu memanah yang telah aku ajarkan padamu.”
Tangan Durna yang mulai menampakan keriputnya tersebut bergetar, dengan perlahan dan hati-hati ia mengambil pusaka Gandewa.
“Terimalah pusaka ini, Harjuna”
“Bapa Guru”
“Seperti ketika aku menerima pusaka ini dari Batara Indra, demikian pula aku memberikan pusaka ini kepadamu sebagai tanda penghargaan atas prestasimu dalam ilmu memanah.”
“Adhuh Bapa Guru, apakah aku cukup pantas menerima penghargaan yang demikian tinggi? Tidakkah Aswatama yang lebih berhak menerima warisan pusaka dari Bapa Guru Durna?”
“Harjuna, purbawasesa ada padaku, aku masih percaya bahwa engkau tidak akan pernah mencoba untuk tidak taat kepada perintahku.”
“Ampun bapa guru Durna, dengan penuh rasa bakti dan hormat pusaka Gandewa aku terima. terimakasih bapa guru atas penghargaan ini.”
Dengan perlahan tangan Harjuna dijulurkan menerima pusaka Gandewa.
Di sisi gelap, jauh dari jangkauan cahaya lampu minyak, ada sepasang mata yang sejak awal memperhatikan dialog antara guru dan murid tersebut. Pada saat pusaka Gandewa telah berpindah ke tangan Harjuna, dari ke dua sudut mata tersebut menyembul airmata bening berkilau. Walau hanya beberapa tetes, namun telah mampu membasahi ke dua pipinya.
Aswatama sakit hati melihat haknya direbut oleh orang lain. Bagaimana tidak? Bukankah ia adalah anak semata wayang, satu-satunya pewaris dari sang Guru Durna, tetapi mengapa dengan enaknya, tanpa pembicaraan dan pemberitahuan lebih dulu, bapanya telah mewariskan mustikaning pusaka Gandewa pemberian Dewa Indra itu kepada Harjuna. Siapakah Harjuna itu? Bukankah ia hanyalah salah satu murid Sokalima? Tidak ada hubungan darah sama sekali dengan Sang Guru Durna?
“Dhuh Dewa!!!” Aswatama merebahkan diri di lantai, air matanya akan menetes, namun tiba-tiba ditahannya, ketika ia mendengar langkah kaki yang tidak asing di telinga mendekati dirinya. Dengan segera ia bangkit. Panas hatinya telah mengeringkan air di matanya. Sebelum suara langkah kaki tersebut sampai ditempat itu, ia lari menembus kegelapan malam. Langkah Durna dipercepat agar dapat mengetahui kemana Aswatama mengarahkan larinya.
Di tanah lapang ujung dusun Aswatama menghentikan larinya. Ia berbaring terlentang dirumput yang mulai dibasahi embun malam. Walaupun malam itu bulan sedang tidak bertahta, langit tidak menjadi gelap-pekat karena bertaburnya berjuta bintang. Aswatama membiarkan rasa dingin mulai menyentuh kulit, merambat ke aliran darah menuju ke jantung dan meyebar ke hati, ke otak dan ke seluruh tubuh.
Proses pendinginan itulah yang kemudian membuat Aswatama tidak mampu lagi membendung air matanya. Ia menagis tersedu-sedu bukan karena pusaka Gandewa, tetapi lebih kepada bahwa keberuntungan tidak pernah berpihak padanya. Dhuh Sang Hyang Tunggal, tidakah Engkau cabut saja nyawaku, dari pada hidupku hanya akan menambah cacatan buruk bagi sejarah manusia.
Dalam keadaan seperti itu biasanya Aswatama mulai berimajinasi tentang ibunya yang adalah seorang bidadari bernama Wilutama. Dengan cara demikian maka semua persoalan hidup akan terlupakan. Yang ada adalah sebuah kerinduan untuk berjumpa dengan seorang ibu yang pernah melahirkannya.
Dicarinya wajah ibunya diantara bintang-bintang yang berserakan, namun tidak pernah ditemukan. Bahkan senyumnyapun tidak.
“Bukan Ibunda yang bersalah, melainkan aku. Karena dengan memberikan tahta kepada keturunan Ibunda Dewi Setyawati, aku telah mengkhianati leluhurku, pendiri Keraton Hastinapura ini. Seakan-akan tahta Hastinapura adalah milikku, dapat aku gunakan sesukaku, boleh aku diberikan sesuai keinginanku. Demikian pula kedudukan putera mahkota yang kutanggalkan tanpa persetujuan rakyat, artinya aku telah menyelewengkan kepercayaan rakyat Hastinapura.”
“Dewa Brata inilah saat yang tepat untuk menebus kesalahan kita”
“Katakan apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan.”
“Jika engkau mau melakukan, kesalahku tertebus pula”
“Katakan Ibunda, katakanlah”
“Duduklah di tahta Hastinapura”
Malam itu terang benderang, tidak turun hujan. Bulan penuh menggantung di langit, kidung malam mengalun merdu. Namun kata-kata Ibunda Ratu laksana halilintar menggelegar di dada Dewa Brata. Sesungguhnya yang dikatakan Ibunda Ratu, sama dengan bisikan nuraninya bahkan sama pula dengan nurani rakyat, yang beranggapan bahwa satu-satunya orang yang berhak, pantas dan kuat menduduki tahta adalah Dewa Brata. Namun kesadarannya menolak untuk menjadi raja.
Aku mengalami goncangan yang amat hebat, jika aku tidak bersedia menjadi raja, artinya aku telah mengingkari tradisi pendiri kraton Hastinapura, dan menolak mandat yang diberikan rakyat. Namun sebaliknya jika aku bersedia menjadi raja, aku telah mengkianati janjiku dan menghina para Dewa yang telah memberikan tiga anugerah karena kerelaanku menyerahkan tahta dan hidup wadat.
Resi Bisma menghentikan permenungan masa lalunya, ia dan Yamawidura sampai di gapura masuk padepokan Sokalima. Sang Resi Bisma banyak berharap kepada guru besar Soka Lima, untuk membantu mengurangi beban perasaan bersalah, dengan mempersatukan Pandhawa dan Kurawa, sehingga mampu meredam sengketa dan pertumpahan.
Dua orang cantrik menyambut dengan penuh hormat, sopan dan ramah, walaupun mereka tidak tahu bahwa tamunya adalah dua orang besar dari negara yang besar pula.
Bisma dan Yamawidura turun dari kudanya, segera dua orang cantrik menghampirinya untuk menambatkan kuda-kuda mereka. Begitu pula dengan dua cantrik lain mengiring Bisma dan Yamawidura menuju ke bangunan induk padepokan. Sepanjang jalan, aneka bunga warna-warni menjulur tangkainya, merunduk di pinggir jalan, bagaikan pagar-ayu, menyambut datangnya kedua tamu agung. Di bibir tangga bangunan induk, Pandita Durna, beserta Puntadewa, Bimasena, Harjuna, Nakula dan Sadewa tergopoh-gopoh menyongsong mereka.
“Selamat datang di padepokan Sokalima, Sang Resi Agung Hastinapura. Sudah tiga hari ini, sepasang burung prenjak berkicau bersautan persis di depan rumah induk. Itu pertanda bahwa padepokan akan kedatangan tamu Resi Agung.”
“Pandhita Durna jangan berlebihan, aku manusia biasa seperti engkau, bukan manusia agung.”
Durna mengangguk-angguk, walaupun sesungguhnya ia tahu bahwa Bisma adalah Resinya para Resi.
Setelah mereka dipersilakan duduk, Bisma mengawali pembicaraan.
“Pandhita Durna, tentunya engkau telah mengetahui banyak tentang aku dari cucu-cucuku Pandhawa. Namun aku ingin mengatakan bahwa hingga sat ini hidupku selalu dibayang-bayangi perasaan bersalah. Menyusul keputusanku yang pertama: ketika aku merelakan tahta kepada anak-anak Setyawati dengan Ramanda Prabu Sentanu yaitu Citragada dan Wicitrawirya, yang meninggal berurutan setelah menduduki tahta. Keputusan yang ke dua: mengangkat Abiyasa, anak Setyawati dengan Palasara trah Pertapa Saptaarga, bukan trah Hastinapura. Sejak Abiyasa menduduki tahta, Hastinpura selalu bermasalah. Terlebih lagi setelah kehadiran Kurawa dan Pandhawa perebutan tahta Hastinapura semakin meruncing.”
“Sang Resi Bisma, perjalanan hidupku rupanya juga tidak lebih baik.” Pandita Durna berkisah pula.
“Sampai saat ini perasaan bersalah seperti yang dirasakan Sang Resi juga menggelayut dalam hidupku. Ketika Ramanda Prabu Baratwaja menginginkan aku menjadi raja di Hargajembangan, aku menolak, dan memilih pergi ke Tanah Jawa, untuk berguru kepada Begawan Abiyasa. Tetapi tragedi telah menimpaku, badan dan wajahku cacat seumur hidup. Aku menggembara tak tentu arah di negeri orang, dengan membawa anak tanpa ibu.”
Mereka terdiam untuk sementara waktu, ingin saling memahami perjalanan hidup masing-masing.
“Pandita Durna, aku tahu engkau dalam penderitaan, namun engkaulah yang kurasa dapat membantu mencegah perang antara Kurawa dan Pandawa. Untuk itulah aku datang memohon engkau bersedia menjadi guru mereka. Karena dengan menjadikan mereka murid-muridmu, mereka akan menjadi saudara seperguruan, yang akan menumbuhkan perasaan senasib, seperjuangan. Bukankah hal tersebut akan memperkecil benih-benih permusuhan?”
“Pada awalnya aku lebih berminat mengangkat murid para Pandhawa. Namun setelah Sang Resi mengungkapkan tujuan mulia dibalik pengangkatan murid Para Kurawa, aku bersedia menjadi guru mereka.”
“Terimakasih Kumbayana. Tentunya dengan kesediaanmu, Prabu Destrarastra akan memberikan gelar guru istana.”
“Dhuh Sang Resi Bisma, ada yang lebih penting dari gelar itu, yaitu kebebasan mengajar setiap orang yang membutuhkan.”
Bisma dapat memahaminya, karena ia tahu persis darma seorang pandita atau resi, ialah memberikan ilmu kepada siapa saja, tidak pilih-pilih. Ibaratnya sebuah sumur yang selalu terbuka bagi yang menimba air darinya.
Sebelum kembali ke Istana Resi Bisma dan Yamawidura berpesan agar selain mengajarkan ilmu, ada hal mendasar yang wajib ditanamkan kepada Pandhawa dan Kurawa, yaitu agar diantara mereka dibangun rasa mencintai, sikap saling menghargai dan rela memberi maaf.
Membangun sikap moral tidak lebih mudah dibandingkan dengan mengajarakan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Oleh karenanya seorang guru diharuskan mempunyai otoritas penuh, teguh adil dan berwibawa. Dengan alasan tersebut, Bisma setuju bahwa tempat penggemblengan para murid, dilakukan di Sokalima.
Berebut Minyak Tala (Kemunculan Durna)
Pagi itu Dalem induk Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar kecil nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa suara burung prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu pertanda akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini pertanda itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu agung tersebut.
Keyakinan Semar dalam menanggapi pertanda alam melalui suara burung prenjak menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, datanglah Begawan Abiyasa dari Pertapaan Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan Pandhawa tergopoh-gopoh menyambutnya. Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat tepat, karena kerabat Pandhawa sedang gundah hatinya menyusul pengusirannya dari Negara Hastinapura. Bagaikan air kendi yang telah berusia delapan tahun menyiram kepala dan hatinya. Dingin menyegarkan. Suasana menjadi tenang tentram.
Belum genap sepekan Begawan Abiyasa tinggal di Panggombakan, tiba-tiba suasana damai dihempaskan oleh kedatangan Patih Sengkuni dan para Kurawa. Dengan alasan karena terdorong oleh kerinduannya kepada sauadaranya yaitu para Pandhawa. Namun ternyata itu sekedar basa-basi yang tidak berlangsung lama. Rupanya para Kurawa telah mengatur strategi. Beberapa orang ditugaskan untuk menjauhkan Bima dan saudaranya dengan Begawan Abiyasa. Karena yang menjadi tujuan utama adalah untuk menemui Begawan Abiyasa. Pada mulanya mereka menghaturkan sembah seperti layaknya seorang cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Para Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni menanyakan perihal Lenga (minyak) Tala milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya. Karena Lenga Tala merupakan minyak yang mempunuai kasiat luar biasa. Siapa saja yang sekujur badannya diolesi Lenga Tala ia tidak akan terluka oleh bermacam jenis senjata. Oleh karena itu kedatangan kami ke Panggombakan ini untuk memimta Lenga Tala sekarang juga. Jika Sang Begawan Abiyasa mengatakan bahwa Lenga Tala tidak dibawa, kami akan melepaskan semua pakaian yang menempel, untuk membuktikan bahwa Sang Begawan telah membohongi kami! He he he.”
Belum mendapat jawaban, Dursasana mulai melakukan aksinya. Ia dengan cepat menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel tutup kepala yang dipakai Begawan Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda bercahaya berbentuk oval, berujud cupu, jatuh dan menggelinding di lantai. Dengan cekatan Dursasana menyahut benda tersebut dan membawanya kabur, seraya terkekeh-kekeh. “Memang benar engkau tidak berhohong hai Abiyasa, bahwa dirimu tidak membawa Lenga Tala. Karena yang membawa adalah aku, hua ha ha” Dursasana berlari sambil menari-nari menimang cupu yang berisi Lenga Tala, diikuti oleh Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa Kurawa. Abiyasa bersama beberapa cantrik tidak mapu berbuat apa-apa. Namun dibalik raganya yang lemah, Sang Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain yang jauh melebihi kekuatan ragawi manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang keluar dari mulutnya. “Inikah Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau tidak cemas bahwa suatu saat perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku akan menimpamu pula? Bahkan lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai menginjak-injak kepalamu, hai Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena mulutmulah semua ini terjadi. Oleh karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi lebar, selebar badanmu.”
Para cantrik mengerti bahwa apa yang di katakan Guru mereka tidak sekedar ungkapan ketidak puasan, tetapi merupakan kutukan bagi Drestarastra dan Patih Sengkuni. Maka ketika guntur menggelegar dibarengi angin bertiup kencang, para Cantrik merasa ngeri, karena hal tersebut menjadi pertanda bahwa kutukan Begawan Abiyasa benar-benar akan terjadi.
Para cantrik Padepokan Saptaarga yang ikut ke Panggombakan merasa tercabik hatinya, menyaksikan Sengkuni dan para Kurawa menghina guru mereka, Begawan Abiyasa. Sikap diam mereka bukan karena ketakutan, tetapi bagi mereka tidaklah terpuji membuat keributan pada saat bertandang di Panggombakan. Karena kesadaran tersebut, tanpa diperintah salah satu diantara para cantrik berlari keluar, untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Bimasena.
Sementara itu, rombongan Kurawa yang berhasil membawa Lenga Tala, bergantian menimang-nimang benda berbentuk oval bercahaya, sembari menari-nari di sepanjang jalan. Para peladang yang sedang merawat tanamannya, memilih menyembunyikan diri, dari pada harus memberi hormat sembah kepada para bangsawan yang tidak mereka sukai. Burung-burung pun terbang berhamburan meninggalkan pepohonan di pinggir jalan untuk mengabarkan kepada kawula Panggombakan untuk menjauhi jalan yang akan dilewati rombongan Patih Sengkuni dan para Kurawa, supaya hati mereka tidak dikotori oleh kejahatannya.
Cupu bercahaya berisi Lenga Tala yang dapat membuat kekebalan badan dari serangan segala jenis senjata dan pusaka, sungguh menyilaukan hati Patih Sengkuni dan Kurawa. Oleh karena nafsunya itu, mereka tidak memperdulikan lagi sesamanya, bahkan saudaranya atau malah pepundhennya yang seharusnya mereka hormati. Saking asyiknya mengamati benda hasil rampasannya, Patih Sengkuni dan Para Kurawa tidak menyadari bahwa Bimasena telah menyusul mereka.
Panas hati Bima. Ia tidak mampu lagi membendung luapan amarah. Tanpa banyak kata, dengan cepat kaki Bima yang perkasa menghampiri dada Dursasana. Terjengkang-lah Dursasana menipa Kurawa yang lain. Saat itulah tiba-tiba Bimasena merebut Lenga Tala dari tangan Duryudana. Patih Sengkuni kebingungan, seperti orang kebakaran jenggot. Dengan suara parau ia berteriak “Kejar Bimasena dan rebut Lenga Tala!” Dursasana segera bangkit mengejar Bimasena, diikuti Duryudana dan adik-adiknya serta Patih Sengkuni.
Bimasena adalah seoarang Ksatria sejati. Ia tidak lari. Dengan dada tegak Bima menunggu terjangan para Kurawa. Bimasena bergeming menerima pukulan bertubi-tubi. Ia berusaha dengan sekuat tenaga mempertahankan Lenga Tala. Namun sedahsyat apapun tenaga manusia tentu ada batasnya. Demikian pula Bimasena, menghadapi keroyokan para Kurawa. tenaganya semakin menyusut. Pada saat kelelahan, ia memutuskan untuk melempar Lenga Tala, jauh ke arah gunung Sataarga. Sengkuni dan para Kurawa terkejut sesaat, namun kemudian bagaikan gerombolan Serigala mengejar Domba, mereka berlari kearah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Bimasena dan Harjuna dan beberapa cantrik menyusulnya. Bima berdiri tegak memandang ke arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Ada kelegaan dihati Bima, ketika ia membayangkan bahwa cupu tersebut akan membentur batu dan isinya tumpah, tidak dapat dimanfaatkan.
Tidaklah mudah untuk menemukan cupu yang dilempar Bimasena. Walaupun dengan sisa tenaganya, lemparan Bimasena jauh hingga menjangkau di balik bukit, sehingga Patih Sengkuni dan Kurawa kehilangan arah jatuhnya Cupu Lenga Tala. Menjelang sore, Cupu Lenga Tala belum di temukan. Akhirnya Patih Sengkuni dan Kurawa dipaksa menghentikan pencariannya, karena hari mulai gelap. Mereka bertekad tidak akan pulang ke Negara Hastinapura sebelum dapat menemukan cupu tersebut.
Malam merambat pelan. Di tempat peristirahatan, Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursana tidak dapat segera memejamkan mata. Kekhawatiran yang sama, muncul di dalam benaknya. Mereka khawatir jika malam terlalu panjang, Cupu Lenga Tala ditemukan orang lain. Niat mereka inging merobek malam sehingga pagi segera menjelang, untuk melanjutkan usahanya mencari dan menemukan Lenga Tala. Namun sang malam berjalan seperti biasanya, hingga gelapnya mencapai titik sempurna. Pada saat itu, hampir bersamaan, ketiganya tercengang melihat seleret sinar kebiru-biruan yang membelah langit dari bawah ke atas. Tanpa diperintah ketiganya bergegas menuju tempat asal sinar misterius tersebut. Karena kegaduhan langkah mereka, para Kurawa yang lain terbangun dari tidurnya. Tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh para pimpinan mereka, mereka bangun menyusul Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana yang sudah mendahului hilang ditelan pekatnya malam.
Niat Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan Kurawa lainnya berubah. Jika semula mereka menginginkan hari segera pagi, namun dengan adanya cahaya kebiru-biruan, mereka bermaksud menghentikan gelap, sebelum dapat menemukan apa yang menjadi sumber cahaya tersebut. Karena di dalam gelap mereka dapat dengan jelas melihat sinar kebiru-biruan itu, sehingga dengan mudah dapat menemukan tempat cahaya itu berasal.
Di pinggir hamparan tanah pategalan, tepatnya di sebuah sumur tua, awal dari cahaya itu. Secara bebarengan mereka mendekati sumur melongok di dalamnya. Mata mereka berkilat-kilat melihat benda yang menjadi sumber dari cahaya. Hampir bersamaan mereka berucap “Cupu Lenga Tala.” Betapa senang hati mereka melihat benda yang dicarinya ada di depan mata dalam keadaan utuh. Maksud hati ingin segera mengambilnya, namun mereka kebingungan bagaimana caranya? Sumur yang tidak begitu luas itu amat dalam. Dinding sekelilingnya penuh lobang, ditumbuhi semak belukar. Tampaklah di antara rimbunnya semak, beberapa ekor ular berbisa dengan badannya yang mengkilat tertimpa cahaya. Melihat keadaan sumur yang menyeramkan, diantara mereka tidak ada yang punya nyali untuk masuk ke dalam sumur. Beberapa lama mereka mondar-mandir di seputar sumur, tanpa berbuat sesuatu.
Bersamaan dengan merekahnya fajar di ujung Timur, Bimasena, Harjuna dan saudara-saudaranya datang. Sengkuni menyapanya dengan amat manis. “Anak-anakku Pandawa, kebetulan kalian datang. Hampir saja kami putus asa tidak dapat menemukan Cupu Lenga Tala. Sekarang cupu telah diketemukan di dalam sumur tua ini. Namun di antara kami tak ada berani mengambil. Hanya kalianlah yang kami harapkan dapat mengambilnya, untuk kemudian dibagi dengan adil.” Bimasena dapat menangkap dibalik kata-kata manis, ada tipu muslihat yang kotor. “Aku tidak mau! biarlah Cupu Lenga Tala tenggelam di dasar sumur, dari pada jatuh ke tangan orang-orang durhaka.”
Bimasena dan saudara-saudaranya ingin segera pergi, tanpa berniat melongok sumur tua itu. Namun langkah mereka terhenti ketika melihat kelebatnya seseorang. Dengan langkahnya yang ringan orang tersebut menuju sumur tua. Ia membawa rumput kalanjana yang telah disambung-sambung. Semua mata menatapnya. Walaupun badannya cacat, mata orang itu tajam bagai elang. Kewibawaan memancar kuat darinya. Sesampainya di bibir sumur, sembari menebarkan pandangan ke arah Kurawa dan Pandhawa, ia berkakata. “Apa yang kalian inginkan dariku?” “Ambilkan benda itu untuk kami!.” Teriak para Kurawa. “Baiklah! Lihatlah!” Seperti mendapatkan aba-aba, para Kurawa berebut merapat di bibir sumur, ingin melihat apa yang akan dikerjakan orang asing tersebut. Dengan penuh keyakinan ia menurunkan rangkaian rumput kalanjana ke dalam sumur. Ditanganya, sambungan rumput-rumput itu berubah bagaikan seekor naga kecil yang ganas, menyergap Cupu Lenga Tala, dan mengangkatnya ke permukaan sumur. Dalam sekejap Cupu Lenga Tala telah berada dalam genggamannya. Para kurawa bersorak gembira. Bagaikan anak-anak kecil yang mendapatkan kembali mainan kesukaannya. Mereka saling berdesakan, berebut menjulurkan tangannya, untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala.
Orang asing tersebut mengerutkan keningnya, ia nampak tidak senang atas perilaku para Kurawa. “Tidak sembarang orang yang mempunyai benda istimewa ini. Aku ingin bertemu dengan pemiliknya untuk mengembalikan padanya.” Dalam hati mereka bertanya-tanya. siapakah orang ini? Apakah dia kenal dengan Begawan Abiyasa, pemiliknya?. Namun mereka tidak berani menanyakan hal tersebut. Ada rasa getar dan takut menyaksikan kesaktian yang telah ditunjukkan. Oleh karena itu para Kurawa tidak berani memaksakan kehendak untuk mendapatkan Cupu Lenga Tala. Mereka menyerahkan kepada Patih Sengkuni yang dipercaya mempunyai banyak siasat untuk mendapatkan cupu dari tangan orang asing tersebut.
Sementara itu para Pandhawa justru lebih tertarik kepada perilaku orang asing tersebut yang dipercaya mempunyai segudang ilmu tingkat tinggi, dari pada Cupu Lenga Tala. Bagi para Pandhawa yang sejak kecil gemar berguru, bertemu dengan orang berilmu tinggi merupakan kesempatan yang tidak boleh sia-siakan. Maka dengan tak segan-segan mereka menghampirinya. Harjuna bersimpuh menyembahnya dan Bimasena mengangkat orang itu di atas kepala wujud lain dari sembah Bimasena. Keduanya hampir bersamaan berucap: “Perkenankanlah aku menjadi muridmu ya maha guru.” Orang itu terharu karenanya.. Sejak awal ia mengamati Bimasena dan Harjuna. Matanya yang tajam dapat melihat kejujuran, kepatuhan, kesetiaan dan bakat yang luar biasa dibalik ketampanan Harjuna dan kegagahan Bimasena. Gayungpun pun bersambut. Sesungguhnya penggembaran orang asing tersebut hingga sampai ke tempat ini dalam upaya mencari murid terbaik. Dan saat ini telah ditemukan dalam diri Harjuna dan Bimasena.. “Siapa namamu bocah bagus?” “Nama hamba Harjuna” “Dan kau bocah gagah perkasa?” “Bimasena” “Baiklah Harjuna dan Bimasena mulai hari ini kalian aku angkat menjadi muridku”
Orang sakti bertubuh cacad itu telah mengangkat murid baru, Bimasena dan Harjuna, dan disusul Puntadewa, Nakula dan Sadewa. Dalam pernyataan awal mereka berlima berjanji akan selalu patuh kepada guru. “Ha, ha, ha, bagus-bagus! Aku tidak menyangka bertemu kalian berlima yang terkenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Dengan suka hati aku bersedia menjadi gurumu”
Patih Sengkuni gusar. Orang asing yang berhasil mengambil Cupu Lenga Tala, telah mengangkat murid Pandhawa. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Lenga Tala akan diberikan Pandhawa. Apalagi setelah mengetahui bahwa para Kurawa telah merebut paksa dari tangan Begawan Abiyasa. Namun sebelum kemungkinan paling buruk terjadi, Patih Sengkuni segera mendekatinya, dengan penuh hormat ia memperkenalkan diri. “Namaku Sengkuni, patih Hastinapura, dan yang berada di sekitar sumur itu adalah putra-putra raja. Jika diperbolehkan aku akan memanggilmu Kakang, seperti layaknya sebutan untuk saudara tua. Kebetulan Sang raja butuh guru sakti bagi putra-putranya. Untuk itu kakang, sekarang juga engkau aku ajak menghadap raja. Aku akan meyakinkan kesaktianmu, sehingga raja berkenan mengangkatmu menjadi guru resmi istana.”
Sebenarnya orang asing tersebut tidak membutuhkan murid, selain Pandhawa lima. Namun tawaran Patih Sengkuni perlu dipertimbangkan. Karena dengan menjadi guru istana, ia dapat memanfaatkan kekuatan dan kebesaran Hastinapura untuk tujuan-tujuan pribadi. “Baiklah Adhi Sengkuni, aku terima tawaranmu, asalkan anakku Aswatama dan Pandhawa lima boleh masuk ke istana untuk bersama putra-putra raja mendapatkan ilmu dariku.”
Sengkuni keberatan dengan syarat itu. Ia tidak suka Pandhawa tinggal di istana. Bahkan beberapa waktu lalu Patih Sengkuni berhasil membujuk raja untuk mengusir Pandhawa, dengan alasan bahwa Pandhawa telah menghasut rakyat untuk memusuhi raja. “Jika kalian keberatan dengan syarat itu, akupun keberatan untuk masuk istana. Maaf! Selamat tinggal! Ayo murid-muridku, ikutilah aku!”
“Adhuh celaka! Lenga Tala dibawa! Para Kurawa kejar dia!!”
Ketika Kurawa bergerak untuk mengejar mereka, tiba-tiba kabut tebal menghadang jalan. Orang sakti dan Pandawa lima lenyap di balik putihnya kabut.
Imajiner Nuswantoro