Aliran Kepercayaan HWUNING Adalah Agama Orang Jawa
Awal mula sejarah aliran kepercayaan Hwuning berkaitan dengan Raja Dhatu Hang Sam Badra, seorang pendeta Kanung yang mengajarkan kepercayaan suci Hwuning, terutama konsep Endriya pra Astha, di Pertapaan Argasoka, Gunung Tapaan, kepada murid-muridnya. Konsep Endriya pra Astha ini kemudian diperkuat dalam undang-undang, pembangunan tempat suci, dan pertambangan di zaman putrinya, Dewi Sibah.
Latar Belakang dan Pengajaran Awal
1. Dhatu Hang Sam Badra.
Raja ini adalah seorang pendeta Kanung yang dikenal mengajarkan ajaran suci Hwuning.
2. Pertapaan Argasoka.
Pengajaran Hwuning dilakukan di tempat suci ini yang terletak di Gunung Tapaan.
3. Endriya pra Astha.
Konsep kunci ini diajarkan oleh Dhatu Hang Sam Badra kepada murid-muridnya.
Pengembangan di Zaman Putri Dewi Sibah
1. Dewi Sibah (Dattsu Sie Ba Ha).
Putri Dhatu Hang Sam Badra, ia adalah laksamana wanita yang tangguh dan kejam terhadap perompak.
2. Perkukuhan Endriya pra Astha.
Di masa pemerintahannya, konsep Endriya pra Astha diperkuat dan diintegrasikan ke dalam undang-undang.
3. Pembangunan dan Pertambangan.
Periode Dewi Sibah juga ditandai dengan pembangunan tempat suci dan pertambangan belerang di Baturetna, yang menunjukkan kejayaan Kerajaan Pucangsula di bawah pemerintahannya.
Dijelaskan dalam buku Sejarah Ilmu Kanung dan Penyebarnya, dahulu adanya adalah kepercayaan mengagungkan dan meluhurkan Bumi dan Langit. Sekaligus menyebang-mundi bekti Ibu dan Bapak yang berasal naluri dari suku bangsa Chaow (artinya bangsa pengembara). Mereka berasal dari Tiongkok sebelah barat lembah bengawan Yang Tse Kiang-Udik, yang diapit oleh pegunungan Kwen Lun dan pegunungan Tang La. Suku tersebut hidup 3.000 SM (sebelum Nabi Isa lahir).
Bangsa Chaow mempunyai kepercayaan suci HWUNING yang berarti kesadaran agung alias padhang. Suku tadi mengembara meninggalkan tanah airnya, karena dirusak oleh Laskar bangsa Sien Kiang dan dirampok bangsa Mongolia. Akhirnya mengembara menuju barat laut dan masuk Tibet. Selanjutnya melintasi pegunungan tinggi Chumo Lung Ma dengan ketinggian 7.495 mdpl dan pegunungan tinggi M.Everest dengan ketinggian 8.845 mdpl. Lalu berlanjut ke Nepal dan Bhutan.
Setelah beranak-pinak di bumi salju, keturunannya lalu mengembara lagi. Tetapi, tidak mau masuk India. Hal ini dikarenakan di sebelah selatan sungai Brahmaputra telah memeluk agama Hindhu. Pengembaraan selanjutnya masuk Asia Selatan yang tersebar di Birma, Siam, Kamboja sampai Campa. Setelah 1.000 tahun beranak-pinak, keturunannya lalu merantau masuk ke Nusantara. Di perantauan menyebar ke seluruh pulai Bruney. Sehingga menjadi orang Dayak Iban di Kalimantan Barat dan Dayak Sampit di Kalimantan Selatan.
Selama hampir 1.000 tahun di Nusantara keturunannya masih naluri memeluk kepercayaan suci HWUNING. Sehingga, suatu waktu saat Sampit terlanda wabah muntaber dan banyak meninggal seperti corona tahun 2020 ini, mengakibatkan orang-orang yang masih sehat bersepakat meninggalkan daerah Sampit dan dipimpin oleh seorang tua bernama Kie Seng Dhang untuk selanjutnya merantau menyebrangi lautan menuju ke suatu pulau di selatan pulau Bruney. Beberapa ratus orang Dayak Sampit mendarat di ujung sebelah timur gunung Kendheng merapat di pantai yang pemandangan teluknya sangat indah, sekarang menjadi desa Pandangan Kragan.
Setelah membukan hutan cikal bakal dan membuat desa lading, pekarangan, bumi dan sebagainya diberi nama: Tanah Jawi. Orang-orang Dayak Sampit mengganti nama dirinya menjadi wong Jowo mulai 230 tahun SM. Tahun inilah Kie Seng Dhang diwisuda jadi Dhattu Tanjung Putri (timur gunung Argopura, menjadi dukuh Sendang Terjan Kragan) dan menetapkan kalender Jawa Whuning sebagai tahun 1 Jawa. Agama yang dianut adalah kepercayaan Whuning (Kanung). Ajaran Kanung ini dibawa oleh Dong Sonsekitar tahun 1000 SM.
Tahun 200 SM, pemerintahan Tanjungputri diserahkan pada Ni Rahki dan Hang Lelesi (suaminya). Tahun 85 SM terjadi hubungan dengan Suku Jawa Sampung yang kebudayaannya lebih maju dan ahli dalam pengolahan bermacam-macam logam. Bahkan ada yang saling menikah antara Jawa Whuning dan Jawa Sampung. Tahun 1 M terjadi letusan gunung Argapura. Tahun 100 M Tanjung Putri kembali ramai dipimpin oleh Dhattu Hang Tsuwan di kota Bejagung (Hang Tuban). Tahun 110 M terjadi gempa besar. Dan tahun 115 M Dhattu Hang Tsuwan (pendiri kota Tuban) mendeklarasikan Negara Jawa Dwipa. Hal ini ditandai dengan bersatunya Jawa Whuning dan Jawa Pegon.
Sejarah Aliran Kepercayaan HWUNING
Dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa tahun 385 seorang Jawa Purwa yang wegig, wiled dan wiacaksana mengajang wangsanya Cakalbakal di bumi pegunungan Argasoka di lerang gung Ngargopuro sebelah barat. Mereka menggala Kepeng desa yang tempatnya indah di suatu teluk yang banyak tumbuh pohon Jambe (Pucang) dan Rembulung (Resulo). Sehinga desa ini dinamakan Pucangsula. Setelah desa ini menjadi besar tata raharja, sang pemimpinnnya yang sangat welug bernama Hang Sam Badra diangkat oleh rakyatnya mewisuda beliau menjadi Dhatu (kepala adat) pada tahun 387 SM. Selanjutnya mengjarkan Ilmu Kanung yang permulaannya di Istana Kedhatuan di Pucangsulo kemudian pindah ke Puthuk Punggur Argasoka. Sehingga perguruan berupa Taman Saggar Padepokan gunung di Tapaan, Argasuka.Dibantu anaknya Dewi Sibah yang baru berumur 22 tahun. Sehingga tahun 385-471 berdiri Kedhatuan Pucangsulo (beberapa sumber menyebut Dukuh Sulo Sriombo Lasem dan daerah SMK Cendekia Lasem berada) yang terletak di pesisir barat gunung Argasoka (gunung Argopura). Dahulu, terkenal dengan armada laut wanitanya yang kuat dan kejam.
Tahun 390 M Dhattu Hang Sam Bandra membuat pelabuhan dan galangan-kapal (dhak-palwa) ke Sunglon Bugel atau Gunung Bugel (sekarang menjadi ladang dan kali disebut Palwadhak; selatan Dusun Tulis Selopuro Kecamatan Lasem). Dari gapura inilah dibuatkan jalanan ke timur sepanjang lereng Pegunungan Argasoka hingga pusat kota Pucangsula.
Tahun 396 M Putri Hang Sam Badra yaitu Sri Dattsu Dewi Sibah menikah dengan pelaut dari Keling/Kalingga (Bangsa Cholamandala dari negeri Coromandel) India, yaitu Rsi Agastya Kumbayani. Rsi Agastya Kumbayani adalah penyebar agama Hindu. Sehingga lahirlah Arya Asvendra. Mulai saat itu terjadi percampuran orang Jawa Dwipa dan orang Keling (India). Putri lainnya Dewi Simah.
Tahun 412 M, pengelana Sramana Agama Buddha bernama: Pha Hie Yen(Fa Hian) berlayar dari Nalandha India, berniat kembali pulang ke Tsang-An (Tiongkok). Namun di laut lepas hingga laut Jawa Dwipa ada angin topan besar. Kapalnya kemudian mangkal ke pelabuhan Pucangsula. Sramana Hwesio Pha Hie Yen diterima mengabdi oleh Dhattu Hang Sam Badra. Setiap hari diajak diskusi bab rupa-rupa pengalaman Sang Hwesio olehnya berkelana ke mancanegara. Dhattu Hang Sam Badra dengan adiknya Pandhita Hang Janabadra (artinya cendekiawan) sepakat mencocokkan intisari ajarannya Sang Buddha itu bercampur-luluh dengan laras kearifan Jawa-Hwuning setelah sebelumnya berdebat tentang “delapan ajaran kebenaran. Setelah lengser sekitar tahun 415 M, digantikan oleh putrinya Dewi Sibah menjadi Raja Pucangsula II. Hang Sam Badra bertapa sampai wafat di Gunung Tapaan.
Pada saat masa Raja Pucangsula II inilah adiknya bernama Dewi Sie Mah Ha (Simah) yang menjadi Adipati-anom Medhangkamulan teluk Lusi (Kabupaten Blora) diwisuda dan diangkat menjadi Dattsu, dipindah ke banjar Teluk Blengoh(Nusa Muria) dijadikan Keraton Keling/Kalingga. Sementara suaminya, yakni Rsi Agastya Kumbayani diangkat menjadi Dhattu di Banjar Robwan dan Banjar Batu sampai pegunungan Dieng. Dalam perjalanan waktu dikenal dengan Kerajaan Baturetna. Sebagai penganut Hindu Shiwa, Rsi Agastya Kumbayani membangun candi-candi pemujaan di daerah pegunungan Dieng. Berkuasa sampai sisi barat, sampai berbatasan dengan Sunda.
Tahun 436 M terjadi peperangan. Ratu Sibah, penguasa Pucangsula tidak bisa mendamaikan keduanya. Satu adalah adiknya dan satunya lagi suaminya. Dalam pertempuran tersebut, Rsi Agastya Kumbayani tewas. Dewi Sibah meninggal sekitar tahun 445 M. Keling akhirnya menguasai semua koloni kedhatuan Pucangsulo dan juga Baturetno, dengan Ratu Simah sebagai penguasan kerajaan Keling. Bahkan, dizamannya Ratu Simah menjadi Raja Besar yang menguasai semua wilayah Jawa.
Era ini hampir bersamaan dengan era kerajaan Tarumanegara dengan bukti catatan pengelana asal Cina Fa-Hsein yang menyebutkan keberadaan kerajaan Tarumanegara pada tahun 414 M.
Beberapa tahun kemudian terjadi letusan gunung Dieng meletus dan gunung Ungaran. Abu vulkanik menutup semua peradaban disekitarnya. Setahun kemudian terjadi gempa bumi dan meletusnya Gunung Muria diikuti tsunami. Longsoran Gunung Muria menutupi dan memusnahkan peradaban di Keling. Bahkan, selat Muria menyatu dengan Jawa Dipa (daerah Kudus, Pati dan Juwana).
Imajiner Nuswantoro