Mangir Daerah Perdikan (Panembahan Senopati Ki Ageng Mangir)
Mangir adalah nama sebuah desa di daerah Jogja. Pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, Mangir merupakan daerah perdikan, atau daerah bebas pajak. Sama seperti desa Galia yang tidak mau tunduk pada kekuasan Romawi, pada serial komik Aterix. Bagi kekuasan kerajaan Mataram Jogja, Mangir adalah duri dalam daging. Desa ini secara terang-terangan tidak mau tunduk pada kerajaan Mataram, apalagi membayar upeti seperti wilayah lainnya. Tokoh pemberontak dari Mangir itu adalah Ki Ageng Mangir. Dia ditakuti karena memiliki pusaka sakti, tombak Kyai Plered.
Kekuatan Mangir, oleh Pramoedya Ananta Toer diangkat sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasan hegemonik feodalistik. Karya Pram ini agak beda dengan novel-novel sebelumnya. Teknik penulisannya berupa skenario pementasan, atau naskah drama yang harus dibaca oleh para pemainnya. Lengkap dengan prolog, dialog yang harus diucapkan oleh setiap pemainnya, serta keterangan yang membingkai jalinan cerita. Tapi hasilnya sama saja. Bagi pembaca yang terus mengikuti setiap jengkal kata akan segera menangkap hawa perlawanan itu.
Melalui Mangir pula, Pram ingin menguak kabut misteri yang selama ini menutupi sosok Ki Ageng Mangir yang sebenarnya. Menurut versi Mataram, Ki Ageng Mangir adalah pemberontak yang halal darahnya untuk dibunuh. Maka diaturlah sebuah skenario untuk menjebak Ki Ageng Mangir. Caranya, Panembahan Senopati mengirim Pambayun, yang tak lain adalah anak perempuan tertuanya, untuk menyamar sebagai penari ronggeng ke desa Mangir, dengan harapan Mangir terpikat dan menjadikan Pambayun sebagai istrinya. Jebakan itu berhasil. Ki Ageng Mangir jatuh cinta.
Persoalan menjadi rumit ketika Pambayun kemudian secara tulus jatuh cinta kepada Ki Ageng Mangir, padahal tugasnya adalah membawa kepala Ki Ageng Mangir ke hadapan ayahandanya. Pambayun meminta Ki Ageng Mangir untuk mau datang menghadap ayahandanya, musuh politik Ki Ageng Mangir sendiri yang kini adalah mertuanya sendiri.
Berangkat dari sini, terjadi perbedaan versi. Ketika Ki Ageng Mangir menghadap Panembahan Senopati, kepala Ki Ageng Mangir pecah diantamkan ke batu. Peristiwa itu terjadi ketika Ki Ageng Mangir tunduk sujud kepada mertuanya, setelah semua senjata dia lepaskan. Sebab menurut tradisi jawa, seorang menantu yang sedang sujud kepada mertua harus melepaskan seluruh senjatanya. Di sini Panembahan Senopati menang telak. Setelah mati, jasad Ki Ageng Mangir dikubur dengan bagian kepala masuk dalam tembok kraton, sementara bagian kaki berada di luar tembok. Karena Ki Ageng Mangir adalah menantu raja tapi sekaligus pemberontak. Jadi jasadnya tidak bisa diterima secara utuh oleh istana.
Versi Pram, adalah keniscayaan bagi Ki Ageng Mangir untuk begitu saja tunduk kepada Raja Mataram. Itu bukanlah watak aslinya. Mangir sebelum mati pasti melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan. Bukan mati secara sia-sia di atas bongkahan batu, di bawah injakan kaki kuasa Panembahan Senopati!
Naskah Pram ini ingin membuka mata dunia bahwa kraton Mataram itu menyimpan watak licik, menghalalkan segala cara. Maestro perancang skenario pembunuhan itu adalah Ki Juru Martani. Tentu dengan persetujuan Panembahan Senopati yang merasa kedudukannya terusik. Kisah ini tidak hanya berhenti pada masa kekuasaan Mataram.
Pada masa kini, masih banyak beredar Ki Juru Martani yang lain, yang siap mengganyang siapa saja yang dianggap lawan politiknya. Waspadalah!
(Resensi ditulis oleh Hartono)
Koleksi Artikel Imajiner Nuswantoro