GUSTI KANJENG RATU SEKAR KEDATON PERMAISURI SULTAN HAMENGKUBUWANA V YANG DIASINGKAN BESERTA PUTRANYA KANJENG GUSTI PANGERAN MUHAMMAD GELAR GUSTI PANGERAN HARYO SURYENGALOGO (11 April 1883)
(Versi : Roger Kembuan, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado)
![]() |
Pakubowono X, bersama Ratu Mas & Sekar Kedaton |
Mungkin tak banyak orang tahu perjalanan hidup permaisuri dan putra mahkota Sri Sultan Hamengkubuwana V setelah diasingkan atau dibuang oleh Belanda ke Manado, Sulawesi Utara.
Menurut Roger Kembuan, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Kanjeng Pangeran Arya Surya Ing Alaga alias Kanjeng Gusti Timur Muhammad, hidup dan meninggal Manado.
Roger menceritakan, semua itu berawal pada 8 April 1883, Residen Yogyakarta van Baak mengirim telegram kepada Gubernur Jendral Frederiks' Jacob, yang berisi permintaan untuk mengasingkan Ratu Kedaton dan Pangeran.
Gubernur Jendral merespons berita tersebut dengan mengatakan bahwa keduanya harus secepatnya diasingkan dan menegaskan bahwa Sultan yang harus menerbitkan surat keputusan pengasingan.
"Tiga hari kemudian, pada 11 April 1883 Sultan mengeluarkan perintah untuk mengasingkan keduanya dari Jawa menuju Manado.
Beberapa koran seperti De Locomotief dan Soerabaja Handelsblad memberitakan proses pembuangan Ratu dan Pangeran Surya Ing Alaga,"
Keduanya lalu dikirim dengan kereta api khusus ke Semarang dan kemudian ditempatkan di Kapal Uap Cheribon.
Lalu melakukan pelayaran sekitar lima jam ke Surabaya dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Manado.
Di Manado, Ratu Sekar Kedaton dan putranya beserta keluarga yang mengiringi, bermukim di daerah Pondol.
Di tempat itu mereka tinggal di pesanggrahan yang pernah dihuni Pangeran Dipanegara.
"Pembuangan yang mereka terima harus menyendiri dan tidak lagi memiliki hak atas semua harta dan statusnya. Bahkan kekayaan pribadinya pun tidak diperkenankan dibawa.
Roger mengatakan, Pondol terletak di pusat Kota Manado yang merupakan lokasi yang dikenal dengan nama Keratonan, di tempat ini terdapat pemukiman muslim dan sebuah masjid tua.
Selama di Residen Manado mereka diberikan uang bulanan sebesar 150 gulden dari kas keraton Yogyakarta.
Lokasi tempat mereka tinggal adalah suatu kawasan yang disebut dengan Kampung Belanda.
"Pangeran Surya Ing Alaga meninggal pada 12 Januari 1901. Residen Menado van Hengel setelah kematian Pangeran meminta Ratu Kedaton untuk dikembalikan ke Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa ratu telah lanjut usia dan setelah kematian anaknya tersebut dianggap bukan menjadi ancaman lagi bagi keraton. Terlebih uang bulanan yang diberikan kepada mereka cukup tinggi.
Namun hal itu sepertinya tidak direstui dan ia tetap tinggal di Manado hingga meninggal pada 25 Mei 1918.
Setelah keduanya (permaisuri dan putranya) meninggal, yang tersisa di pengasingan istri Pangeran Surya Ing Ngalaga berserta anak-anaknya.
Istri Pangeran adalah R.A. Kangjeng Gusti (putri kedua Sri Sultan Hamengkubuwana VII) yang memiliki anak Abdul Razak (Radjab).
"Makam keduanya terletak di kompleks pekuburan Muslim lama di Mahakeret Timur, Kecamatan Wenang, bersebelahan dengan Sekolah Kristen Eben Haezer Manado.
Selanjutnya, kata Roger, Abdul Razak beberapa kali mengirim petisi yang meminta agar mereka dikembalikan ke Jawa.
"Ketika Gubernur Jendral de Graeff mengunjungi Manado pada 1929, Abdul Radjab sempat melakukan pertemuan dengannya. Tapi De Graeff tidak memberikan izin kepada mereka untuk kembali ke Jawa. Tanggal 3 Januari 1934 Abdul Razak pergi ke Batavia untuk bertemu dengan Gubernur Jendral De Jonge dan kembali meminta izin agar dapat kembali ke Jawa," ujarnya.
Akhirnya, Gubernur Jendral de Jonge mengeluarkan keputusan bahwa Abdul Razak dan seluruh keluarganya diizinkan untuk kembali di Jawa (tetapi di luar wilayah Kasultanan Yogyakarta) yaitu tinggal di Magelang dan keseluruhan biaya kepindahan mereka ditanggung pemerintah.
Selain Abdul Razak, pasangan Pangeran Ing Alaga dan R.A. Kanjeng Gusti memiliki anak, putri R.A.Mariah, dan R.A. Salamah.
"Selanjutnya Abdul Razak kawin dengan Unggu Bin Sihaka dengan empat orang anak yaitu R.M. Sujadi, R.M. Obed, R.A. Tien dan seorang yang tidak diketahui namanya.
Abdul Razak juga menikah untuk kedua kali dengan gadis Manado, Ema Sondakh. Tapi tidak memperoleh keturunan.
Pada tahun 1940, RM Abdul Razak bersama keluarganya kembali ke Jawa.
![]() |
R.M.Muhammad/ Pangeran Surya Ing Alaga / Raheru Cakra/ Ratu Adil bersama dg salah satu selir & putra-putrinya. |
G.K.R.Kedaton, permaisuri Sultan Hamengkubuwana V, putri dari adik Pangeran Dipanegara, pemicu pemberontakan Kraton Yogyakarta 1883.
Pada 17 juni 1855 , 13 hari sesudah Sultan Hamengkubuwana V wafat, Ratu Kedaton melahirkan seorang putra : R.M.Muhammad.
Ratu Kedaton menginginkan supaya putra satu2nya : R.M. Muhammad diangkat menjadi Sultan berikutnya sebagai pengganti suaminya.
Pada 2 april 1883 jam 20:00 malam Ratu Kedaton bersama putranya : R.M. Muhammad & beberapa anggota keluarga serta pengikut dengan menggunakan 4 kereta kuda meninggalkan keraton menuju Karesidenan Kedu untuk bergabung dengan Bupati Kedu yg terhitung masih kerabat dari Ratu Kedaton. Kejadian ini dianggap sebagai usaha pemberontakan.
Dalam perjalanan menuju Kedu tersebut akhirnya Ratu Kedaton beserta putra & pengikutnya tertangkap oleh Belanda dibawah pimpinan Residen Van Baak pada 11 april 1883. Di saat tertangkap Ratu Kedaton berusia 50 tahun.
Sebagai info: Sultan Hamengkubuwana V/ Sultan Menol ditemukan wafat di tempat tidur pada 4 juni 1855 mencapai usia 35 tahun.Beliau dinobatkan menjadi Sultan pada waktu usia beliau hampir mencapai umur 3 tahun. Diduga beliau wafat karena diracun oleh seorang selir bernama Mas Ayu Hemawati. Konon, lahirnya putra : R.M. Muhammad dari permaisuri G.K.R.Kedaton diduga dari hasil perselingkuhan dengan adik Sultan Menol sendiri yg diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono VI sehari sesudah Sultan Menol wafat.
SEJARAH MAKAM RATU SEKAR KEDATON DI MENADO
Kanjeng Ratu Sekar Kedaton adalah salah satu permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono V. Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwono V adalah Raden Mas Gathot Menol, wafat tahun 1855, karena ditikam oleh istri kelimanya, yang bernama Kanjeng Mas Hemawati.
Pada saat Sri Sultan Hamengku Buwono V meninggal dunia, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton sedang hamil tua. Setelah 13 hari kemudian, Kanjeng Ratu Sekar Kedaton melahirkan putra mahkota.
Putra mahkota pewaris kerajaan ini diberi nama Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga (nama kecilnya Kanjeng Gusti Timur Muhammad). Karena putra mahkota masih kecil, takhta kerajaan diserahkan kepada adik Sri Sultan Hamengkubuwono V, yaitu Raden Mas Mustojo sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Tiga belas tahun kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwono VI meninggal dunia. Anaknya yang bernama asli Raden Mas Murtejo alias Sultan Ngabehi alias Sultan Sugih naik takhta menggantikan ayahnya sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Pada masa pergantian Sri Sultan Hamengkubuwono VI ke VII inilah terjadi pertikaian dalam keluarga kerajaan. Karena semestinya yang naik takhta kerajaan sesudah Sri Sultan Hamengku Buwono VI adalah putra mahkota Hamengkubuwono V, yaitu Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga atau Kanjeng Gusti Timur Muhammad.
Akibat pertikaian itu, Sri Sultan Hamengkubuwono VII menangkap Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putranya, lalu dibuang ke Manado dengan tuduhan membangkang pada raja dan merencanakan melakukan perlawanan. Pemerintah Belanda pun beranggapan sama dengan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, yaitu menuduh Kanjeng Ratu Sekar Kedaton yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Pangeran Diponegoro sering berkomunikasi untuk melakukan perlawanan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono VII dan Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda turut mempercepat dan memfasilitasi pembuangan Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan anaknya, Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga ke Manado. Di Manado, keduanya tinggal di daerah Pondol hingga meninggal dunia.
Kanjeng Ratu Sekar Kedaton meninggal tanggal 25 Mei 1918. Anaknya, Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga meninggal tanggal 12 Januari 1901. Kubur permaisuri dan putra mahkota yang dibuang ini berada di samping persekolahan Yayasan Eben Haezar Manado, Jl. Diponegoro, Kelurahan Mahakeret Timur, Kecamatan Wenang.
Kegiatan wisata yang dapat dilakukan di tempat ini, adalah melihat dan mengenal sejarah Keluarga Hamengkubuwono V. Berjarak sekitar 700 meter dari pusat Kota (Pasar 45/Taman Kesatuan Bangsa) Manado dan dapat ditempuh dalam waktu 10 menit dengan menggunakan transportasi darat, atau bisa juga jalan kaki sambil menikmati pemandangan dan udara sejuk kota Manado.
Imajiner Nuswantoro