Bathara Katong = Babad & Pendiri Ponorogo (1486)
Bathara Katong adalah putra dari Brawijaya V.
Bathara Katong atau Joko Pitutur atau Joko Piturun atau Haryo Harak Kali (bahasa Jawa: Batoro Katong / ꧋ꦧꦠꦫꦏꦠꦺꦴꦁ) adalah pendiri Kabupaten Ponorogo dan juga merupakan adipati pertama di Ponorogo sebagai bawahan Majapahit.
Orang tua : Brawijaya V
Kakek-Nenek : Bratanjung, Dyah Duhitendu Dewi
Saudara kandung : Raden Patah
Persahabatan : Niken Gandini
Anak : Bathara Katong tidak memiliki anak (mengasuh/anak angkat Gemblak).
Kiai Katong atau Sunan Katong memiliki peran penting dalam syiar Islam di Kaliwungu, Kendal meskipun namanya tidak seakrab nama-nama walisongo di tanah Jawa. Ia merupakan murid dari Ki Mode Pandan.
Bathara Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, salah seorang putra Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi dari selirnya yaitu Putri Campa yang beragama Islam. Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 ia yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Bathara Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Ia adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).
Mulai redupnya kekuasaan Majapahit dan saat kakak tertuanya Lembu Kenongo yang berganti nama menjadi Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak Bintoro, Lembu Kanigoro mengikut jejak kakaknya untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak.
Foto : ilustrasi Bethara Katong
Pertarungan dengan Ki Ageng Kutu
Prabu Brawijaya pada masa hidupnya berusaha diislamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya. Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk diislamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu, Ki Ageng Kutu kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan Reog tidak lain merupakan simbol kritik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak).
Upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat Basis di Ponorogo (Wengker) dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit dan Kesultanan Demak. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu. Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Bathara Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.
Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Bathara Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Hindu, Buddha, animisme dan dinamisme. Setelah Bathara Katong memasuki Ponorogo terjadilah pertarungan antara Bathara Katong dengan Ki Ageng Kutu. Di tengah kondisi yang sama sama kuat, Bathara Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan akal cerdasnya Bathara Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri. Niken Gandini dimanfaatkan Bathara Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Sambit. Bathara Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini mungkin dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah Ki Ageng Kutu menghilang, Bathara Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara.
Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Bathara Katong. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena Bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.
Setelah hutan selesai dibabat, bangunan-bangunan didirikan sehingga penduduk pun berdatangan. Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Gandhini ke istana kadipaten, sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah Babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.
Bathara Katong kemudian menjadi Adipati di Ponorogo. Menurut Handbook of Oriental History hari wisuda Bathara Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantarangin sebagai sejarah Reog. Para punggawa dan anak cucu Bathara Katong inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam
Bathara Katong adalah salah satu anak dari Brawijaya V dari selirnya. Bathara Katong menjadi tokoh yang berpengaruh dalam menyebarkan Islam di wilayah Madiun dan Ponorogo.
Bathara Katong atau Sunan Katong besama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak kuntul melayang.
Permaisuri Bethara Katong
Menurut Babad Ponorogo Raden Bethara Katong mempunyai 5 istri yaitu salah satunya Sang Permaisuri Putri Adi Kaliwungu dari Demak sumare ing Setono.
Warok Dan Gemblak
Gemblak adalah sebutan untuk anak laki-laki muda yang menjadi kekasih laki-laki yang lebih tua dalam tradisi masyarakat Ponorogo. Gemblak juga berperan sebagai pendamping dan pelayan bagi Warok.
Hubungan Gemblak dan Warok :
- Gemblak melayani dan menyiapkan kebutuhan Warok.
- Warok bertanggung jawab menjamin kebutuhan sehari-hari Gemblak.
- Warok memberi perhatian dan nasihat kepada Gemblak.
- Warok mengayomi dan melindungi Gemblak.
- Warok mengajarkan Gemblak cara bersikap baik di masyarakat dan mengajarkan permainan kesenian reog.
Tradisi Gemblak di Ponorogo :
- Tradisi Gemblak di Ponorogo sudah tidak dijalankan lagi.
- Hal ini dikarenakan masyarakat Ponorogo mulai berkembang dan mengenal pendidikan formal.
- Masyarakat Ponorogo juga mulai mengenal ilmu-ilmu agama.
- Warok dan Gemblak dalam Seni Reog
Warok dan Gemblak merupakan tokoh dalam tradisi masyarakat Ponorogo.
Warok dan Gemblak juga menjadi contoh dalam tari tradisional Reog.
Tradisi warok sebenarnya terbangun dari keinginan menggali identitas dan jati diri masyarakat Ponorogo. Nama Ponorogo sendiri mencerminkan keinginan kuat itu; “pono” berarti sempurna, puncak, mumpuni; sedangkan “rogo” berarti raga, badan. Jadi Ponorogo berarti badan atau tubuh yang telah sempurna; pribadi yang telah mencapai kesempurnaan.
Kesenian Reog Ponorogo tidak bisa terlepas dari tradisi warok. Secara historis, belum ada data yang bisa menunjukkan secara pasti hubungan antara reog dengan tradisi warok.
Di dalam tradisi terdapat tradisi gemblakan atau mairil. Komponen ini memiliki karakteristik berikut; berjenis kelamin laki-laki; berusia 10 sampai 17 tahun; dan berparas tampan. Dalam pertunjukan reog (sebelum diganti dengan pemeran perempuan) gemblakan berperan sebagai penari jathil. Hubungan warok, warokan, maupun gemblakan bisa dilukiskan seperti hubungan suami-isteri. “Gemblakan iku minongko gantine bojo”- (Gemblakan itu sebagai pengganti isteri). Karena itu gemblakan itu selalu disayang, disanjung, dan dibanggakan jauh melebihi sang isteri warok sendiri.
Kehidupan homo-seksual di dalam tradisi warok Ponorogo terjadi lebih disebabkan oleh kuatnya pandangan setempat, bahwa ilmu-ilmu kanoragan (ilmu kekebalan) yang menjadi andalan utama tradisi itu hanya dimungkinkan bila pemiliknya mampu menahan tidak berhubungan dengan perempuan
Dalam tradisi warok, kehadiran gemblak di dalam kehidupan rumah tangga warok telah berpengaruh pada peran dan fungsi perempuan (para isteri warok).
Dalam hal peran sosial kemasyarakatan, sebagai konsekuensi dari ideologi kanuragan, perempuan atau isteri warok juga tidak memiliki peran apapun,tidak lagi melibatkan isteri, melainkan gemblak yang secara penuh mendampingi sang warok.
Tradisi gemblak di kalangan warok Ponorogo nampaknya menjadi elemen yang tak terpisahkan dari nilai-nilai kultur Jawa, yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking; suargo nunut neroko katut,
wujud perilaku perempuan sebagai konco wingking dalam keluarga warok mengambil bentuk ketaatan sang perempuan untuk meng-iya-kan (setuju) apapun yang dilakukan suami, dan hal ini lagi-lagi akan menemui pendasaran yang cukup absah, yakni ideology kanuragan.
Dalam perkembangannya, dari masa ke masa, tradisi warok mengalami dinamika fluktuatif; ada masanya tradisi warok mencerminkan kehidupan penuh pesona kebajikan dan kearifan, dan karena itu warok Ponorogo menjadi figur sentral bagi hidup dan kehidupan masyarakat Ponorogo. Bersamaan dengan itu, ternyata juga ada masanya tradisi warok itu mencerminkan kehidupan gelap; serba negatif. Ilmu kekebalan yang diperoleh para warok tidak dimanfaatkan menebar kemanfaatan, melainkan malah diselewengkan untuk kepentingan adigang-adigung-adiguna, lahirlah kemudian istilah kejahatan di kalangan warok
Sejak Batharakatong berkuasa dengan membawa misi menyebarkan agama Islam di Kabupaten Ponorogo, citra buruk kehidupan warok mulai diperbaiki. Perbaikan citra buruk warok tidak hanya dilatari oleh para warok yang beragama Islam, tetapi juga mereka yang menganut aliran kebatinan. Istilah warok kemudian dicarikan makna yang sesuai dengan semangat kebajikan oleh masing-masing agama dan kepercayaan yang diusung dalam tradisinya.
Dalam tradisi Islam yang dibangun oleh Batharakatong dan kemudian dilanjutkan oleh generasi Muslim berikutnya, istilah warok dimaknai dari kosakata Arab wira’i, yaitu “orang yang selalu menjaga kesucian diri melalui iman dan taqwa kepada Allah SWT”.
Sementara dalam tradisi aliran kepercayaan ataupun kebatinan, warok dimaknai dari kosakata Jawa “wewarah”,
“Warok menika mboten sanes inggih tiyang ingkang sugih wewarah”, artinya warok itu tidak lain adalah orang yang kaya petunjuk; seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran bagi orang lain tentang hidup yang baik (Mbah Wo Kucing, seorang warok sepuh).
Jaman yang terus berubah serta pemahamaan norma agama membuat praktek Warok / Gemblak hampir sulit ditemui lagi di kawasan Ponorogo. Warok jaman sekarang lebih diartikan sebagai seniman reog saja.
Mengubah citra Warok berarti juga mengubah keberadaan Gemblak, sesosok lelaki belia yang ganteng dan kemayu kini berganti dengan kehadiran penari jatil yang diperankan perempuan. Merekalah yang mengantikan posisi Gemblak dalam setiap pentas Reog.
Dalam kesehariannya pun kini sudah sulit menemukan praktek Gemblak. Kalaupun ada mungkin tidak seintim dahulu. Tidak gampang mengubah tradisi.
Sebagai sebuah tontoan, Reog tetap menarik dan menghibur. Tanpa Sang Warok kesenian ini kehilangan makna, kendati sosok menyeramkan ini memiliki sisi kehidupan yang gelap.
Kehidupan memang punya kesunyian masing-masing dan kadang-kadang absurd. Absurd adalah kata sifat yang berarti tidak masuk akal, mustahil, konyol, atau menggelikan. Kata ini juga bisa diartikan sebagai sangat tidak beralasan.
Kata absurd berasal dari kata Latin absurdum yang berarti tidak selaras.
Bagaimana sebuah realitas hubungan warok gemblak bisa tumbuh. dalam tatanan masyarakat tradisional. Bahkan dengan penerimaan masyarakat waktu itu yang menganggap bagian dari sebuah budaya.
Empu Paku Wojo.
Paku Wojo adalah seorang empu yang dalam kesehariannya membuat, merawat dan menyimpan berbagai macam pusaka yang dianggap ampuh, misalnya seperti keris.
Perseteruan ini berawal pada saat Sunan Katong menyuruh Paku Wojo untuk memperbaiki dan merawat kembali senjata kepunyaan Sunan Katong.
Keterangan :
- R. Adipati Mertohadinegoro menjabat sebagai bupati Ponorogo hingga tahun 1854.
- Adipati pertama Ponorogo adalah Bathara Katong atau Joko Pitutur, yang merupakan bawahan Majapahit.
- Bupati Ponorogo pertama setelah kemerdekaan adalah RM Soesanto Tirtoprojo, yang menjabat dari tahun 1944 hingga 1945.
Berikut daftar bupati Ponorogo dari masa ke masa :
1. R. Adipati Mertohadinegoro,
2. R. Mas Sasrokusuma,
3. R. Mas Tumenggung Cokronegoro I,
4. R. Mas Cokronegoro II.
Daftar Nama Bupati Ponorogo :
1. R. Adipati Mertohadinegoro 1837-1854.
2. R. Mas Sasrokusuma 1854-1856.
3. R. Mas Tumenggung Cokronegoro I1856-1882.
4. R. Mas Cokronegoro II 1882-1906.
5. R.T. Sosro Prawiro 1906-1906.
6. R. Mas Cokrohadinegoro 1914-1916.
7. Pangeran Kusumo Yuda1916-1926
8. R. Tumenggung Saim 1926-1934
9. R. Sutikno 1934-1944.
10. R. Soesanto Tirtoprodjo 1944-1945.
Masa Kemerdekaan Indonesia :
11.R. Tjokrodiprodjo 1945-1949
12. R. Prajitno19491951
13. Mayjen TNI R. Moehamad Mangoendipradja 1951-1955
14. R. Mahmoed 1955-1958
15. R. M. Harjogi 1958-1960
16. R. Dasoeki Prawirowasito 19601967
17. R. Soejoso 1967-1968
18. R. Soedono Soekirdjo 1968-1974
19. H. Soemadi 1974-1984
20. Drs. Soebarkah Poetro Hadiwirjo 1984-1989
21. Drs. R. Gatot Soemani 1989-1994
22. Dr. H. M. Markum Singodimedjo 1994-2004H. Muryanto, S.H., M.M.
23. H. Muryanto, S.H., M.M. 2004-2005
24. H. Muhadi Suyono, S.H., M.Si. 2005-2010H. Amin, S.H.
25. H. Amin, S.H. 2010-2015 Yuni Widyaningsih
26. Drs. H. Ipong Muchlissoni 17 Februari 2016, 26 Februari 2021. Drs. H. Soedjarno, M.M.
27. H. Sugiri Sancoko, S.E., M.M.
26 Februari 2021 (Petahana)
Dst...
Penulis Imajier Nuswantoro