LAKON LAHIRNYA BATHARA GANA
Kisah ini menceritakan kelahiran Batara Ganesa atau Ganapati, yaitu dewa berkepala gajah, serta awal mula Prabu Ajisaka menjadi Empu Sengkala.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja yang dipadukan dengan Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
PRABU AJISAKA KEHILANGAN TAKHTA
Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Sambu untuk sementara memimpin pertemuan, karena saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, dengan tujuan menyerap sisa-sisa daya perbawa yang tertinggal di kahyangan lama untuk dipindahkan ke kahyangan baru.
Tiba-tiba datang Prabu Ajisaka, putra Batara Anggajali, yang melaporkan bahwa Kerajaan Surati telah hancur diserang musuh raksasa bernama Prabu Nilarudraka dari Kerajaan Glugutinatar. Prabu Ajisaka mohon ampun karena tidak mampu mempertahankan negeri anugerah Batara Guru tersebut. Ia juga melaporkan bahwa selama para dewa berkahyangan di Tanah Jawa, Prabu Nilarudraka dan pasukannya telah banyak menaklukkan raja-raja di Tanah Hindustan.
Tidak lama kemudian datang utusan Prabu Nilarudraka yang bernama Patih Senarudraka menghadap Batara Sambu untuk meminta supaya Prabu Ajisaka diserahkan kepadanya. Tidak hanya itu, ia juga meminta agar para dewa mengakui kekuasaan Prabu Nilarudraka.
Batara Sambu marah mendengar permintaan tersebut. Ia pun mempersilakan Patih Senarudraka menunggu di luar karena permintaan tersebut akan dihadapi dengan pertempuran.
PARA DEWA KALAH PERANG MELAWAN PATIH SENARUDRAKA
Patih Senarudraka memimpin pasukan raksasa menghadapi pasukan dewata yang dipimpin langsung oleh Batara Sambu. Perang besar pun terjadi. Para dewa merasa kesulitan tidak mampu mengalahkan kekuatan para raksasa Kerajaan Glugutinatar tersebut. Akhirnya, Batara Sambu pun menarik mundur pasukan dewata dan menutup rapat-rapat gerbang Kori Selamatangkep.
Melihat pihak lawan mundur ke dalam kahyangan, Patih Senarudraka pun mendirikan perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa, untuk mengepung jalur masuk menuju Kahyangan Jonggringsalaka. Sementara itu, Prabu Nilarudraka yang menduduki Kerajaan Surati mengirim kabar bahwa dirinya telah bergerak untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang lain.
PARA DEWA MEMINTA PETUNJUK SANGHYANG PADAWENANG
Setelah para dewa masuk kembali ke dalam Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Narada menyarankan agar Batara Sambu meminta petunjuk Sanghyang Padawenang di Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Batara Sambu pun menugasi Batara Wisnu dan Batara Kamajaya untuk pergi ke sana. Kedua dewa itu mohon pamit dan berangkat dengan mengerahkan Aji Panglimunan sehingga tidak terlihat oleh pasukan Patih Senarudraka yang berkemah.
Sesampainya di Kahyangan Awang-Awang Kumitir, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya segera meminta petunjuk Sanghyang Padawenang dalam menghadapi serangan Kerajaan Glugutinatar. Menghadapi Patih Senarudraka saja sudah sulit, apalagi menghadapi Prabu Nilarudraka. Bahkan, Batara Wisnu yang sangat sakti saja tidak mampu mengalahkan mereka.
Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa takdir kematian Prabu Nilarudraka bukan di tangan Batara Wisnu, tetapi di tangan adiknya yang kelak lahir dari Dewi Parwati, putri Kerajaan Giriprawata. Namun saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, sehingga perlu dibangunkan dan dipertemukan dengan putri tersebut.
Setelah mendapatkan penjelasan, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya pun mohon pamit untuk kemudian berangkat menemui Batara Guru di Gunung Tengguru.
BATARA GURU MEMBAKAR BATARA KAMAJAYA
Batara Guru sedang tekun bersamadi di puing-puing bekas reruntuhan Kahyangan Tengguru. Batara Wisnu dan Batara Kamajaya datang menghadap. Mereka berusaha membangunkan Batara Guru namun tidak berhasil. Batara Kamajaya akhirnya mohon izin untuk menggunakan Panah Pancawisaya, yang berguna untuk membangkitkan gairah dan rasa cinta di hati Batara Guru.
Setelah Batara Wisnu mengizinkan, Batara Kamajaya pun melepaskan Panah Pancawisaya dan mengenai dada Batara Guru. Seketika Batara Guru dalam samadinya pun bermimpi melihat seorang putri cantik bernama Dewi Parwati putri Kerajaan Giriprawata. Namun begitu terbangun, ia sangat marah karena mengetahui ternyata itu semua adalah ulah Batara Kamajaya yang berusaha membangkitkan nafsu birahinya. Tak kuasa menahan murka, Batara Guru pun bertriwikrama menjadi Sanghyang Rudrapati, yang memiliki mata ketiga di dahi. Mata ketiga itu lalu memancarkan sorot api yang langsung membakar Batara Kamajaya menjadi abu.
Batara Wisnu memohon supaya Batara Guru meredam kemarahan dan ia pun menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah menyadari duduk permasalahannya, Batara Guru pun kembali ke wujud semula dan merasa berduka. Ia lalu memerintahkan Batara Wisnu mengumpulkan abu jenazah Batara Kamajaya dan membawanya pulang ke Kahyangan Jonggringsalaka. Ia sendiri kemudian terbang menuju Kerajaan Giriprawata untuk menikahi Dewi Parwati sesuai petunjuk Sanghyang Padawenang.
BATARA GURU MENIKAHI DEWI PARWATI
Di Kerajaan Giriprawata, Prabu Himawan dan Dewi Minawati menyambut kedatangan Batara Guru dengan penuh hormat. Mereka berdua menerima dengan suka cita saat Batara Guru menyampaikan maksud kedatangannya ingin melamar Dewi Parwati, putri mereka, sebagai istri.
Maka dilangsungkanlah pernikahan antara Batara Guru dengan Dewi Parwati. Setelah itu, Batara Guru kemudian mohon pamit memboyong Dewi Parwati untuk tinggal di Kahyangan Jonggringsalaka.
BATARA GURU MENGHIDUPKAN BATHARA KAMAJAYA DAN BATHARI RATIH
Sesampainya di Kahyangan Jonggringsalaka, Bathara Guru dan Dewi Parwati melihat para dewa dan bidadari sedang berkabung di hadapan abu jenazah berjumlah dua. Rupanya Bathari Ratih sangat berduka mengetahui Bathara Kamajaya mati terbakar, dan ia pun melakukan bela pati ikut membakar diri menyusul sang suami.
Para dewa memohon kepada Bathara Guru supaya menghidupkan kembali pasangan suami-istri tersebut. Batara Guru lalu menyiram kedua abu jenazah itu menggunakan air kehidupan Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, kedua abu jenazah pun berubah wujud menjadi Bathara Kamajaya dan Bathari Ratih seperti sedia kala.
Bathara Kamajaya |
KELAHIRAN BATHARA GANAPATI
Sudah lima bulan lamanya Patih Senarudraka berkemah di kaki Gunung Jamurdipa mengepung Kahyangan Jonggringsalaka. Sementara itu Dewi Parwati sudah mengandung pula. Para dewa berharap bayi yang akan dilahirkannya itulah yang kelak bisa mengalahkan musuh dari Kerajaan Glugutinatar.
Sementara itu Prabu Nilarudraka telah menaklukkan kerajaan-kerajaan di segenap penjuru Tanah Hindustan. Kerajaan terakhir yang ia kalahkan adalah Kerajaan Giriprawata, di mana ia berhasil menawan Prabu Himawan dan Dewi Minawati. Maka, tiba saatnya Prabu Nilarudraka bergabung dengan Patih Senarudraka di kaki Gunung Jamurdipa untuk bersama-sama menyerbu Kahyangan Jonggringsalaka.
Para dewa menjadi panik mendengar Prabu Nilarudraka telah datang di perkemahan Gunung Jamurdipa. Padahal, usia kandungan Dewi Parwati belum mencapai masa kelahiran. Para dewa akhirnya bertekad untuk bertempur mati-matian melawan Prabu Nilarudraka dan Patih Senarudraka dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada.
Bathara Guru mengajak Dewi Parwati menyaksikan para dewa mempersiapkan pasukan di halaman Kahyangan Jonggringsalaka yang disebut Repat Kepanasan. Pada saat melihat gajah yang dikendarai Bathara Indra, Dewi Parwati menjerit ngeri. Gajah tersebut bernama Gajah Erawata yang berukuran sangat besar, membuat Dewi Parwati ketakutan dan janin yang ada di dalam rahimnya ikut berontak.
Melihat keadaan yang tidak baik itu, Bathara Guru pun menggunakan kesaktiannya untuk membantu sang istri melahirkan sebelum waktunya. Akhirnya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang anehnya berkepala gajah. Para dewa terheran-heran, namun mereka berharap bayi berwujud aneh inilah yang bisa mengalahkan musuh sesuai ramalan Sanghyang Padawenang.
Bathara Guru kemudian menyiram putranya yang berkepala gajah itu menggunakan Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, bayi tersebut langsung berubah dewasa dan diberi nama Bathara Ganapati atau Bathara Ganesa.
BATHARA GANAPATI MENGALAHKAN PATIH SENARUDRAKA
Di perkemahan pasukan Glugutinatar, Prabu Nilarudraka sedang menyusun rencana penyerbuan bersama Patih Senarudraka. Tiba-tiba mereka mendengar pasukan dewata telah membuka gerbang Kori Selamatangkep dan melakukan serangan balasan dengan dipimpin seorang dewa yang baru lahir bernama Bathara Ganapati.
Patih Senarudraka maju menghadapi Bathara Ganapati. Begitu berhadap-hadapan, Patih Senarudraka langsung tertawa geli melihat ada seorang dewa bertubuh gagah tapi berkepala gajah. Sungguh ajaib, gara-gara menertawakan wujud Batara Ganapati, seketika seluruh tubuh Patih Senarudraka pun berubah menjadi seekor gajah. Ia sangat menyesal mengetahui kesaktian Batara Ganapati dan menyatakan tunduk kepadanya.
Melihat patihnya berubah menjadi gajah dan menyerah kepada musuh, Prabu Nilarudraka sangat marah dan maju menyerang Bathara Ganapati. Pertempuran sengit pun terjadi. Kedua pihak sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Nilarudraka ternyata benar-benar perkasa sehingga pantas kalau ia berani menaklukkan para raja di Tanah Hindustan dan kemudian menyerbu kahyangan. Tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai kulitnya.
Akan tetapi, setelah bertempur sekian lama Bathara Ganapati akhirnya berhasil mematahkan kedua taring Prabu Nilarudraka dan menusukkannya ke leher raja raksasa tersebut. Begitu tertusuk taringnya sendiri, Prabu Nilarudraka langsung roboh kehilangan nyawa.
BATHARA GANAPATI MENDAPAT KAHYANGAN GLUGUTINATAR
Bathara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap para dewa dalam suasana suka cita karena pihak musuh telah berhasil dihancurkan. Kerajaan Glugutinatar milik Prabu Nilarudraka kini diubah menjadi kahyangan tempat tinggal Bathara Ganapati. Para raja yang ditawan dan kerajaannya direbut Prabu Nilarudraka juga dibebaskan dan dikembalikan ke negeri masing-masing. Termasuk di antara mereka adalah Prabu Himawan dan Dewi Minawati dari Kerajaan Giriprawata.
Sementara itu, Patih Senarudraka yang kini berwujud gajah telah menyatakan sumpah setia kepada Bathara Guru. Ia kemudian mendapatkan nama baru, yaitu Gajah Sena, dan diserahkan kepada Bathara Bayu untuk mengabdi kepadanya.
PRABU AJISAKA MENJADI EMPU SENGKALA
Bathara Guru lalu menerima kedatangan Bathara Anggajali bersama putranya, yaitu Prabu Ajisaka. Setelah Kerajaan Surati direbut Prabu Nilarudraka, Prabu Ajisaka mengungsi ke Kahyangan Jonggringsalaka dan banyak membantu sang ayah dalam membuat senjata-senjata kahyangan untuk menghadapi pasukan raksasa Glugutinatar. Kini Prabu Ajisaka telah menguasai segala ilmu pembuatan senjata, dan ia telah berganti nama menjadi Empu Sengkala.
Bathara Guru sangat senang melihat pengabdian Empu Sengkala, namun tidak mengizinkannya kembali ke Kerajaan Surati yang telah hancur itu. Bathara Guru meramalkan, kelak Empu Sengkala akan mendapatkan tugas untuk mengisi Pulau Jawa di seberang lautan dengan penduduk manusia. Maka, sebelum saat itu tiba, Empu Sengkala pun diperintahkan untuk bertapa di pulau panjang tersebut.
Empu Sengkala mematuhi perintah sang raja dewa dan ia segera mohon pamit berangkat ke Pulau Jawa.
Sumber Referensi :
Heri Purwanto Kediri, 2 Juli 2014
https://albumkisahwayang.blogspot.com/2014/07/batara-gana-lahir.html
Ditulis ulang oleh : Imajiner Nuswantoro