Pokok-pokok Ajaran Syekh Siti Jenar
tentang
AJARAN
YANG DISEBARKAN PARA MURID
DAN PELAKSANAAN ILMU KASAMPURNAAN
SATU
“Semua
ajaran yang disampaikan Ki Ageng Pengging meyakinkan, jelas, teratur dan
terus-terang.
Tiada
yang dirahasiakan, tanpa tedeng aling-aling, tiada pula selamatan atau sajian
kepada Rosul, bahkan kain putih saja tidak diperlukan.
Siapa
saja yang datang diberi pengetahuan, ilmu tentang rahasia alam semesta.
Tiada
bersyahadat, tiada berdzikir, mengajarkan tentang kenyataan dari ajal.
Hidup
di dunia dipakai sebagai contoh perumpamaannya.
Di
dunia ini kepercayaan didesak oleh syahadat.
Serta
dipalsukan dengan perumpamaan ilmu gaib yang kosong.
Berdzikir
dan sembahyang dipakai sebagai kedok penipuan, seperti yang diajarkan para
sahabat waliullah.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 10-11).
Wejangan dan Larangan Syekh Siti Jenar
DUA
Sudah
diketahui secara umum bahwa wejangan (ajaran-ajaran) Syekh Siti Jenar
dirumuskan dalam ajaran Sasahidan. Adapun yang menjadi sesuatu yang harus
dicegah oleh para pengikut dan pengamal ajarannya adalah (Sabda Sasmaya, hlm.
45, 47) :
1.
Tidak boleh memiliki daya atau keinginan yang buruk
dan jelek.
2.
Tidak boleh berbohong.
3.
Tidak boleh mengeluarkan suara yang jorok, buruk,
saru, tidak enak didengar dan menyakiti orang.
4.
Tidak boleh memakan daging (darat, udara maupun air).
5.
Tidak boleh memakan nasi, kecuali terbuat dari bahan
jagung.
6.
Tidak boleh berkhianat kepada sesama manusia.
7.
Tidak boleh minum air yang tidak mengalir.
8.
Tidak boleh membuat dengki dan iri hati.
9.
Tidak boleh membuat fitnah.
10. Tidak boleh
membunuh seluruh isi jagat.
11. Tidak boleh
memakan ikan atau daging dari hewan yang rusuh, tidak patut, tidak bersisik
atau tidak berbulu.
TIGA
“Manusia
yang sejati itu ialah ia yang mempunyai hak dan kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kuasa, serta berdiri mandiri diri pribadi. Sebagai hamba ia menjadi sukma,
sedang Hyang sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu padu dengan hampa dan
kehampaan ini meliputi alam semesta.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II, Asmarandana, 2).
EMPAT
“Adanya
Allah karena dzikir, sebab dengan berdzikir orang menjadi tidak tahu akan
adanya zat dan sifat-sifatnya. Nama untuk menyebut Hyang Manon, yaitu Yang Maha
Tahu, menyatukan diri hingga lenyap dan terasa dalam pribadi. Ya Dia ya Saya.
Maka di dalam hati timbul gagasan, bahwa ia yang berdzikir menjadi zat yang
mulia. Dalam alam kelanggengan yang masih di dunia ini, di manapun sama saja,
hanya manusia yang ada…Allah yang dirasakan adanya waktu orang berdzikir, tidak
ada, jadi gagasan yang palsu, sebab pada hakikatnya adanya Allah yang demikian
itu hanya karena nama saja.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 3-4)
”…nama
Tuhan itu berasal dari manusia.”
(Serat
Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 18).
LIMA
“Manusia
yang melebihi sesamanya, memiliki duapuluh sifat, sehingga dalam hal ini antara
agama Hindu-Budha Jawa dan Islam sudah campur. Di samping itu rupa dan nama
sudah bersatu. Jadi tiada kesukaran lagi untuk mengerti akan hal ini dan
semuanya sangat mudah dipahami.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 5).
ENAM
“Manusia
hidup dalam alam dunia ini hanya menghadapi dua masalah yang saling berpasangan,
yaitu baik buruk berpasangan dengan kamu, hidup berjodoh dengan mati, Tuhan
berhadapan dengan hamba-Nya.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 6).
TUJUH
“Orang
hidup tiada merasakan ajal, orang berbuat baik tiada merasakan berbuat buruk
dan jiwa luhur tiada bertempat tinggal. Demikianlah pengetahuan yang bijaksana,
yang meliputi cakrawala kehidupan, yang tiada berusaha mencari kemuliaan
kematian, hidup terserah kehendak orang masing-masing.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 7).
DELAPAN
“Menurut
ajaran Siti jenar dulu, keadaan hidup itu berupa bumi, angkasa, samudera dan
gunung seisinya, semua yang tumbuh di dunia, udara dan angin yang tersebar di
mana-mana, matahari dan bulan menyusup di langit dan keberadaan manusia sebagai
makhluk yang terutama.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 8).
SEMBILAN
“Allah
bukan johar manik, yaitu ratna mutu manikam, bukan jenazah dan bukan rahasia
yang gaib. Syahadat itu kepalsuan.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 9).
SEPULUH
“Akhirat
itu di dunia ini tempatnya. Hidup dan matipun hanya di dunia ini.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 13).
SEBELAS
“Bayi
itu berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena terbiasa
waktu kanak-kanak berkumpul dengan anak, setelah tuapun berkumpul dengan orang-orang
tua. Berbincang-bincanglah mereka tentang nama yang sunyi hampa, saling
bohong-membohongi, meskipun sifat-sifat dan wujud mereka bicarakan itu tidak
mereka ketahui.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 15).
DUA BELAS
“Saya
di sini membuka hutan, bercocok tanam di huma untuk penghidupan atas kehendak
Hyang Manon, Yang Maha Tahu. Jika tanaman saya memberi hasil jagung, kentang
dan ketela saya makan bersama Hyang Agung, Yang Maha Agung, yang memberi
perintah kepada saya.” “Tatkala saya mencangkul, saya bersama Gusti Tuhan.
Ketika saya mengambil hasil cocok tanaman saya, saya bersama Pengeran Tuhan.
Sekarang ada sesama orang memanggil saya ke Bintara. Di sini ada apa selain
Pangeran dengan nama-Nya, yang serambutpun tiada terpisahkan.” “Jika saya
dipanggil ke Demak, sesungguhnya saya menolak, tidak mau jika tidak bersama
dengan Yang Mengasuh Jiwa Raga Saya. Sekalipun saya mau, akan tetapi Yang Maha
Kuasa tidak mau, bagaimana saya dapat berjalan?”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 36-38).
TIGA BELAS
“Takdir
tiada kenal mundur, sebab semuanya itu ada dalam kekuasaan Yang Murba Wasesa,
Yang Menguasai segala kejadian.” “Orang mati tiada merasa sakit. Yang merasa
sakit itu hidup yang masih mandiri dalam raga. Apabila jiwa saya selesai
menjalankan tugasnya, dia akan kembali ke alam aning anung, alam yang tenteram
bahagia, aman damai dan abadi. Oleh karena itu saya tidak takut akan bahaya
apapun.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh XII Asmarandana, 22-23).
EMPAT BELAS
“Menurut
pendapat saya, yang disebut ilmu itu ialah segala sesuatu yang tidak kelihatan
oleh mata. Umpamanya, Demak dari sini tidak tampak, akan tetapi Demak itu ada.
Itulah yang disebut ilmu. Adapun pernyataan yang kedua, di mana tempat hidup
itu, jawabannya, hidup itu uninong ananung. Pertanyaan yang ketiga, siapa yang
mengajak tidur, jawabannya menurut saya, yang mengajak tidur itu tirta
nirmaya.” “Yaitu air hayat kata Arabnya. Air hidup itulah yang dulu dicari Sang
Sena dan disebut air prawita dalam bahasa Hindu-Budha. Adapun tempatnya di
uning unong uninong aning.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 16-17).
LIMA BELAS
“Sesungguhnyalah,
saya ini orang mati setiap hari kematian saya berkurang. Berapa lamakah kiranya
saya mati di dunia ini. Masih lama lagi hidup saya nanti. Saya tentu kembali
hidup. Mati kaya akan dosa dan siksaan neraka yang banyak saya alami ini. Balik
kalao besok apabila saya sudah hidup, tiada terhitung kebahagiaan yang saya
alami, langgeng untuk selama-lamanya.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 21).
ENAM BELAS
”…yang
mengatakan sekarang hidup, besok disebut mati, itu ucapan santri yang terkutuk,
ma-buk tobat mengharap-harapkan sesuatu yang belum pasti.” <Serat Syaikh
Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 22>.
TUJUH BELAS
“Mana
ada Hyang Mahasuci? Baik di dunia, maupun di akhirat sunyi. Yang ada saya pribadi.
Sesungguhnya besok saya hidup seorang diri tanpa kawan! Di situlah Dzatu’llahu
mesra bersatu menjadi saya!”
”Karena
saya di dunia ini mati, luar dalam saya sekarang ini, yang di dalam hidupku
besok, yang di luar kematianku sekarang.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh X Asmarandana, 36-37).
DELAPAN BELAS
“Orang
yang ingin pulang ke alam kehidupan tidak sukar, lebih-lebih bagi murid Syekh
Siti Jenar, sebab ia sudah paham dan menguasai sebelumnya. Di sini di tahu
rasanya di sana, di sana ia tahu rasanya di sini.”
“…Yang
disebut mati itu keinginan pribadi. Perihal pulangnya Syekh Siti Jenar ke alam
kehidupan, saya bermaksud menyusulnya, hidup bersama dia dalam alam yang tiada
terbayangkan. Sebentarlagi saya akan pulang.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 23-24).
SEMBILAN BELAS
“Tiada
bimbang akan manunggalnya sukma, sukma dalam keheningan, tersimpan hati
sanubari, terbukalah tirai, tal lain antara sadar dan tidur, ibarat keluar dari
mimpi, menyusui rasa jati.”
(Babad
Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 86).
Imajiner
Nuswantoro
SATU
“Semua
ajaran yang disampaikan Ki Ageng Pengging meyakinkan, jelas, teratur dan
terus-terang.
Tiada
yang dirahasiakan, tanpa tedeng aling-aling, tiada pula selamatan atau sajian
kepada Rosul, bahkan kain putih saja tidak diperlukan.
Siapa
saja yang datang diberi pengetahuan, ilmu tentang rahasia alam semesta.
Tiada
bersyahadat, tiada berdzikir, mengajarkan tentang kenyataan dari ajal.
Hidup
di dunia dipakai sebagai contoh perumpamaannya.
Di
dunia ini kepercayaan didesak oleh syahadat.
Serta
dipalsukan dengan perumpamaan ilmu gaib yang kosong.
Berdzikir
dan sembahyang dipakai sebagai kedok penipuan, seperti yang diajarkan para
sahabat waliullah.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 10-11).
Wejangan dan Larangan Syekh Siti Jenar
DUA
Sudah
diketahui secara umum bahwa wejangan (ajaran-ajaran) Syekh Siti Jenar
dirumuskan dalam ajaran Sasahidan. Adapun yang menjadi sesuatu yang harus
dicegah oleh para pengikut dan pengamal ajarannya adalah (Sabda Sasmaya, hlm.
45, 47) :
1.
Tidak boleh memiliki daya atau keinginan yang buruk
dan jelek.
2.
Tidak boleh berbohong.
3.
Tidak boleh mengeluarkan suara yang jorok, buruk,
saru, tidak enak didengar dan menyakiti orang.
4.
Tidak boleh memakan daging (darat, udara maupun air).
5.
Tidak boleh memakan nasi, kecuali terbuat dari bahan
jagung.
6.
Tidak boleh berkhianat kepada sesama manusia.
7.
Tidak boleh minum air yang tidak mengalir.
8.
Tidak boleh membuat dengki dan iri hati.
9.
Tidak boleh membuat fitnah.
10. Tidak boleh
membunuh seluruh isi jagat.
11. Tidak boleh
memakan ikan atau daging dari hewan yang rusuh, tidak patut, tidak bersisik
atau tidak berbulu.
TIGA
“Manusia
yang sejati itu ialah ia yang mempunyai hak dan kekuasaan Tuhan Yang Maha
Kuasa, serta berdiri mandiri diri pribadi. Sebagai hamba ia menjadi sukma,
sedang Hyang sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu padu dengan hampa dan
kehampaan ini meliputi alam semesta.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II, Asmarandana, 2).
EMPAT
“Adanya
Allah karena dzikir, sebab dengan berdzikir orang menjadi tidak tahu akan
adanya zat dan sifat-sifatnya. Nama untuk menyebut Hyang Manon, yaitu Yang Maha
Tahu, menyatukan diri hingga lenyap dan terasa dalam pribadi. Ya Dia ya Saya.
Maka di dalam hati timbul gagasan, bahwa ia yang berdzikir menjadi zat yang
mulia. Dalam alam kelanggengan yang masih di dunia ini, di manapun sama saja,
hanya manusia yang ada…Allah yang dirasakan adanya waktu orang berdzikir, tidak
ada, jadi gagasan yang palsu, sebab pada hakikatnya adanya Allah yang demikian
itu hanya karena nama saja.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 3-4)
”…nama
Tuhan itu berasal dari manusia.”
(Serat
Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 18).
LIMA
“Manusia
yang melebihi sesamanya, memiliki duapuluh sifat, sehingga dalam hal ini antara
agama Hindu-Budha Jawa dan Islam sudah campur. Di samping itu rupa dan nama
sudah bersatu. Jadi tiada kesukaran lagi untuk mengerti akan hal ini dan
semuanya sangat mudah dipahami.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 5).
ENAM
“Manusia
hidup dalam alam dunia ini hanya menghadapi dua masalah yang saling berpasangan,
yaitu baik buruk berpasangan dengan kamu, hidup berjodoh dengan mati, Tuhan
berhadapan dengan hamba-Nya.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 6).
TUJUH
“Orang
hidup tiada merasakan ajal, orang berbuat baik tiada merasakan berbuat buruk
dan jiwa luhur tiada bertempat tinggal. Demikianlah pengetahuan yang bijaksana,
yang meliputi cakrawala kehidupan, yang tiada berusaha mencari kemuliaan
kematian, hidup terserah kehendak orang masing-masing.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 7).
DELAPAN
“Menurut
ajaran Siti jenar dulu, keadaan hidup itu berupa bumi, angkasa, samudera dan
gunung seisinya, semua yang tumbuh di dunia, udara dan angin yang tersebar di
mana-mana, matahari dan bulan menyusup di langit dan keberadaan manusia sebagai
makhluk yang terutama.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 8).
SEMBILAN
“Allah
bukan johar manik, yaitu ratna mutu manikam, bukan jenazah dan bukan rahasia
yang gaib. Syahadat itu kepalsuan.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 9).
SEPULUH
“Akhirat
itu di dunia ini tempatnya. Hidup dan matipun hanya di dunia ini.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 13).
SEBELAS
“Bayi
itu berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena terbiasa
waktu kanak-kanak berkumpul dengan anak, setelah tuapun berkumpul dengan orang-orang
tua. Berbincang-bincanglah mereka tentang nama yang sunyi hampa, saling
bohong-membohongi, meskipun sifat-sifat dan wujud mereka bicarakan itu tidak
mereka ketahui.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 15).
DUA BELAS
“Saya
di sini membuka hutan, bercocok tanam di huma untuk penghidupan atas kehendak
Hyang Manon, Yang Maha Tahu. Jika tanaman saya memberi hasil jagung, kentang
dan ketela saya makan bersama Hyang Agung, Yang Maha Agung, yang memberi
perintah kepada saya.” “Tatkala saya mencangkul, saya bersama Gusti Tuhan.
Ketika saya mengambil hasil cocok tanaman saya, saya bersama Pengeran Tuhan.
Sekarang ada sesama orang memanggil saya ke Bintara. Di sini ada apa selain
Pangeran dengan nama-Nya, yang serambutpun tiada terpisahkan.” “Jika saya
dipanggil ke Demak, sesungguhnya saya menolak, tidak mau jika tidak bersama
dengan Yang Mengasuh Jiwa Raga Saya. Sekalipun saya mau, akan tetapi Yang Maha
Kuasa tidak mau, bagaimana saya dapat berjalan?”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh II Asmarandana, 36-38).
TIGA BELAS
“Takdir
tiada kenal mundur, sebab semuanya itu ada dalam kekuasaan Yang Murba Wasesa,
Yang Menguasai segala kejadian.” “Orang mati tiada merasa sakit. Yang merasa
sakit itu hidup yang masih mandiri dalam raga. Apabila jiwa saya selesai
menjalankan tugasnya, dia akan kembali ke alam aning anung, alam yang tenteram
bahagia, aman damai dan abadi. Oleh karena itu saya tidak takut akan bahaya
apapun.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh XII Asmarandana, 22-23).
EMPAT BELAS
“Menurut
pendapat saya, yang disebut ilmu itu ialah segala sesuatu yang tidak kelihatan
oleh mata. Umpamanya, Demak dari sini tidak tampak, akan tetapi Demak itu ada.
Itulah yang disebut ilmu. Adapun pernyataan yang kedua, di mana tempat hidup
itu, jawabannya, hidup itu uninong ananung. Pertanyaan yang ketiga, siapa yang
mengajak tidur, jawabannya menurut saya, yang mengajak tidur itu tirta
nirmaya.” “Yaitu air hayat kata Arabnya. Air hidup itulah yang dulu dicari Sang
Sena dan disebut air prawita dalam bahasa Hindu-Budha. Adapun tempatnya di
uning unong uninong aning.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 16-17).
LIMA BELAS
“Sesungguhnyalah,
saya ini orang mati setiap hari kematian saya berkurang. Berapa lamakah kiranya
saya mati di dunia ini. Masih lama lagi hidup saya nanti. Saya tentu kembali
hidup. Mati kaya akan dosa dan siksaan neraka yang banyak saya alami ini. Balik
kalao besok apabila saya sudah hidup, tiada terhitung kebahagiaan yang saya
alami, langgeng untuk selama-lamanya.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 21).
ENAM BELAS
”…yang
mengatakan sekarang hidup, besok disebut mati, itu ucapan santri yang terkutuk,
ma-buk tobat mengharap-harapkan sesuatu yang belum pasti.” <Serat Syaikh
Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 22>.
TUJUH BELAS
“Mana
ada Hyang Mahasuci? Baik di dunia, maupun di akhirat sunyi. Yang ada saya pribadi.
Sesungguhnya besok saya hidup seorang diri tanpa kawan! Di situlah Dzatu’llahu
mesra bersatu menjadi saya!”
”Karena
saya di dunia ini mati, luar dalam saya sekarang ini, yang di dalam hidupku
besok, yang di luar kematianku sekarang.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh X Asmarandana, 36-37).
DELAPAN BELAS
“Orang
yang ingin pulang ke alam kehidupan tidak sukar, lebih-lebih bagi murid Syekh
Siti Jenar, sebab ia sudah paham dan menguasai sebelumnya. Di sini di tahu
rasanya di sana, di sana ia tahu rasanya di sini.”
“…Yang
disebut mati itu keinginan pribadi. Perihal pulangnya Syekh Siti Jenar ke alam
kehidupan, saya bermaksud menyusulnya, hidup bersama dia dalam alam yang tiada
terbayangkan. Sebentarlagi saya akan pulang.”
(Serat
Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 23-24).
SEMBILAN BELAS
“Tiada
bimbang akan manunggalnya sukma, sukma dalam keheningan, tersimpan hati
sanubari, terbukalah tirai, tal lain antara sadar dan tidur, ibarat keluar dari
mimpi, menyusui rasa jati.”
(Babad
Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 86).
Imajiner
Nuswantoro