Kisah Rembuculung Tigas
Dalam
sebuah kisah diceritakan ada seorang raja siluman gandarwa bernama Prabu Kala
Rahu alias Rembuculung yang hendak mencuri Tirta Amerta. Kala Rahu bersembunyi
di kegelapan malam,tetapi Batara Candra memergokinya dan melaporkan tempat
persembunyiaan itu pada Batara Guru. Pemuka Dewa itu lalu mengutus Batara Wisnu
menangkap Kala Rahu. Namun ketika hendak ditangkap,raja siluman itu
melawan.Dengan senjata cakra, Batara Wisnu memotong kepala Kala Rahu. Tubuhnya
jatuh terhempas ke bumi menjelma menjadi lesung penumbuk padi. Sementara itu
kepalanya melayang-layang di angkasa menanti kesempatan membalas untuk
menghukum Batara Candra. Itulah yang menimbulkan legenda gerhana rembulan, yang
menyebabkan di masyarakat pedesaan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, orang
memukul-mukul lesung bila terjadi gerhana bulan, yang dipercaya untuk menghalau
Kala Rahu.
Batara
Candra adalah salah seorang putera Batara Ismaya dengan ibunya bernama Dewi
Kanastren, sedangkan istrinya berjumlah 27 orang. Mereka itu kakak beradik putera
Sang Hyang Daksa. Dalam pewayangan dikatakan Batara Candra adalah dewa yang
bertugas mengatur dan memelihara rembulan serta sinarnya. Batara Candra termasuk
yang disebut-sebut dalam Hastabrata sebagai dewa yang harus diteladani
sifat-sifatnya oleh raja yang bijaksana dan selalu bersikap menyenangkan orang
banyak.
Kisah
ini menceritakan Batara Indra mendapatkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba
sebagai pusaka Kahyangan Suralaya, serta bagaimana Batara Wisnu memenggal
kepala Ditya Kalarahu yang juga bernama Ditya Rembuculung. Kisah ini merupakan
mitos asal-usul terjadinya gerhana matahari dan rembulan yang disusun dari
sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan dengan Serat
Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan beberapa
pengembangan seperlunya.
BATARA GURU MENGUNJUNGI KAHYANGAN SURALAYA
Pada
suatu hari Batara Guru dan Batara Narada berkunjung ke Kahyangan Suralaya.
Batara Indra dan Batara Wrehaspati menyambut kedatangan mereka dan
mempersilakan Batara Guru duduk di takhta Balai Marcukunda. Batara Guru sangat
berkenan melihat hasil kerja Batara Indra yang telah membangun Kahyangan
Suralaya di Gunung Mahameru sebagai cabang Kahyangan Jonggringsalaka di Gunung
Kailasa. Mulai dari Balai Marcukunda, Balai Marakata, Taman Nadisara, Repat
Kepanasan, Kori Selamatangkep, Balai Paparyawarna, Sumur Golang Galing, Wot
Ogal Agil, sampai Gunung Jamurdipa dan Kawah Candradimuka, semua dibuat sama
persis dengan aslinya.
Demikianlah,
jika di Kahyangan Jonggringsalaka Batara Guru berwenang mengangkat manusia yang
berbudi luhur menjadi dewa, maka di Kahyangan Suralaya pun Batara Indra
memiliki wewenang yang sama. Akan tetapi, Batara Indra mengaku tidak bisa
memberikan umur panjang kepada dewa yang telah ia angkat karena di Kahyangan
Suralaya tidak terdapat air kehidupan Tirtamarta Kamandanu.
Batara
Guru menasihati Batara Indra supaya tidak berkecil hati, karena kedatangannya
ini justru untuk memberikan petunjuk bahwa Tirtamarta Kamandanu memiliki
kembaran bernama Tirtamarta Siwamba, yang bisa menjadi milik Kahyangan
Suralaya. Jika dulu Tirtamarta Kamandanu diperoleh sang leluhur Sanghyang
Nurcahya melalui tapa brata di Kutub Utara, maka Tirtamarta Siwamba bisa
diperoleh jika para dewa bekerja sama dengan para raksasa dan para naga
mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan.
BATARA INDRA MENGUNDANG PARA DEWA DAN NAGA
Setelah
menerima petunjuk tersebut, Batara Indra segera mengutus Batara Wrehaspati
untuk berkeliling mengundang para dewa dan para naga di tempat masing-masing.
Tidak lama kemudian, para dewa itu pun berdatangan di Kahyangan Suralaya.
Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara
Wungkuam, Batara Siwah, Batara Kuwera, Batara Surya, Batara Candra, Batara
Temburu, Batara Yamadipati, Batara Kamajaya, Batara Mahadewa, Batara Cakra,
Batara Asmara, Batara Ganapati, dan Batara Penyarikan. Sementara itu, kaum naga
yang hadir adalah Batara Anantaboga dan Batara Basuki.
Kini
tinggal urusan mengundang para rakasasa yang membuat Batara Indra merasa
enggan. Bagaimanapun juga para raksasa ada di bawah perintah Batara Kala,
sedangkan Batara Kala pernah berselisih dengan Kahyangan Suralaya pada saat
menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa dulu.
Batara
Guru selaku orang tua berusaha adil tidak memihak Batara Indra maupun Batara
Kala. Ia hanya mengingatkan bahwa Gunung Mandaragiri hanya bisa diangkat jika
para dewa bekerja sama dengan para raksasa dan para naga. Dengan demikian,
Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh dan nantinya akan sangat berguna pada saat
Batara Indra mengangkat dewa baru. Barangsiapa meminum Tirtamarta Siwamba, maka
khasiatnya sama dengan meminum Tirtamarta Kamandanu, yaitu memperoleh umur
panjang dan awet muda sampai kelak hari kiamat atau mahapralaya tiba.
Setelah
memantapkan hati, Batara Indra akhirnya berangkat menuju Hutan Krendawana untuk
mengundang Batara Kala dan para raksasa. Batara Wrehaspati dan beberapa dewa
lainnya ikut pergi mengawalnya.
BATARA INDRA DISERANG MURID-MURID BATARA KALA
Batara
Kala masih menjalani masa pembuangan di Hutan Krendawana sebagai hukuman atas
kekalahannya saat menjadi Sri Maharaja Birawa dulu. Di situ ia dihadap para
murid yang terdiri dari kaum raksasa. Adapun pemimpin para raksasa itu bernama
Ditya Kalarahu bersama anaknya, yang bernama Ditya Jantaka. Dalam pertemuan itu
Batara Kala mengumumkan bahwa Ditya Kalarahu telah menamatkan semua pelajaran
darinya, dan berhak menerima murid sendiri untuk ikut menyebarkan Agama Kala.
Maka, Batara Kala pun mengangkat Ditya Kalarahu sebagai pendeta bergelar Resi
Rembuculung, sedangkan Ditya Jantaka ditunjuk sebagai pembantunya, bergelar
Putut Jantaka.
Tidak
lama kemudian ada seorang murid datang melapor bahwa Batara Indra sedang dalam
perjalanan menuju Hutan Krendawana dengan dikawal para dewa. Batara Kala marah
mengira kakaknya itu berniat menyerangnya untuk melanjutkan permusuhan dulu.
Maka, ia pun memerintahkan Resi Rembuculung dan Putut Jantaka untuk menghadang
serangan tersebut.
Resi
Rembuculung dan Putut Jantaka segera memimpin para raksasa untuk bersama-sama
menyerang rombongan Batara Indra. Menghadapi serangan mendadak itu, Batara
Indra dan rombongan terpaksa membela diri. Maka, terjadilah pertempuran ramai
di tepi Hutan Krendawana tersebut.
PARA RAKSASA MENERIMA UNDANGAN KE KAHYANGAN SURALAYA
Setelah
bertempur cukup lama, Resi Rembuculung dan pasukannya mulai terdesak mundur.
Mengetahui hal ini, Batara Kala segera terjun langsung menghadapi Batara Indra.
Pertarungan sengit pun terjadi di antara mereka, karena masing-masing masih
menyimpan dendam lama. Batara Indra sampai lupa bahwa tujuan kedatangannya
adalah untuk mengundang para raksasa, bukan untuk berperang.
Tiba-tiba
Batara Wisnu datang menyusul dan segera melerai kedua saudaranya yang sedang
bertarung itu. Melihat kedatangannya, Batara Kala justru semakin marah karena
teringat beberapa kali Batara Wisnu pernah mengalahkan dirinya, antara lain
sebagai Ki Dalang Kandabuwana, Jaka Wamana, dan Brahmana Kestu. Namun, Batara
Wisnu berusaha menyabarkannya dan mengatakan bahwa itu semua ia lakukan sama
sekali bukan demi kepentingan pribadi, tetapi demi memelihara ketertiban Pulau
Jawa.
Setelah
suasana lebih tenang, Batara Wisnu pun menjelaskan bahwa kedatangan Batara
Indra ke Hutan Krendawana bukan untuk menantang perang, tetapi untuk mengundang
Batara Kala dan para raksasa supaya membantu para dewa mengangkat Gunung
Mandaragiri di Laut Selatan dan mengeluarkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba
dari dalamnya.
Batara
Kala bersedia memenuhi undangan tersebut asalkan dua syaratnya dikabulkan,
yaitu ia dibebaskan dari hukuman pembuangan, serta murid-muridnya juga diberi
hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Indra selaku pemimpin
Kahyangan Suralaya menyatakan setuju mengabulkan kedua syarat tersebut. Ia
berjanji akan meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada siapa saja yang berhasil
mencapai kesempurnaan dan berbudi luhur, tak peduli apakah mereka penganut
Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu, ataupun Kala, semua mendapatkan hak
yang sama.
Mendengar
janji tersebut, Batara Kala merasa lega. Ia pun mengajak Resi Rembuculung dan
para raksasa lainnya untuk menyertai Batara Indra dan Batara Wisnu menuju ke
Kahyangan Suralaya.
PARA DEWA MENDAPATKAN TIRTAMARTA SIWAMBA
Setelah
para dewa dan raksasa berkumpul di Kahyangan Suralaya, maka pekerjaan mencari
Tirtamarta Siwamba pun dimulai. Bersama-sama mereka berangkat menuju ke Laut
Selatan, sampai akhirnya menemukan sebuah pulau di mana Gunung Mandaragiri
berada.
Batara
Guru memberikan petunjuk, bahwa Tirtamarta Siwamba hanya bisa diperoleh dengan
cara mengangkat Gunung Mandaragiri, tetapi harus dengan cara memutarnya
perlahan-lahan. Apabila gunung tersebut diangkat secara langsung justru air
kehidupan akan musnah dan gagal diperoleh.
Untuk
itu, Batara Anantaboga dan Batara Basuki pun mengubah wujud mereka menjadi
naga. Karena Gunung Mandaragiri sangat besar, maka kedua naga itu harus
menyambung tubuh mereka supaya bisa membelit dan mengelilingi gunung tersebut
secara sempurna. Selanjutnya, para dewa dan para raksasa berjajar-jajar
menjadikan tubuh kedua naga itu sebagai pegangan, lalu mereka bersama-sama
bergerak memutar Gunung Mandaragiri secara perlahan-lahan (pada zaman sekarang
seperti membuka baut, di mana kedua naga yang membelit gunung berfungsi sebagai
kunci ring).
Sedikit
demi sedikit, Gunung Mandaragiri pun terangkat dan di bawahnya terlihat sebuah
lubang yang bersinar terang. Batara Guru dan Batara Narada mendatangi lubang
tersebut dan ternyata sebuah sumur alami berisi air jernih, yaitu Tirtamarta
Siwamba yang dicari-cari. Batara Guru segera mengeluarkan cupu pusaka buatan
Batara Ramayadi yang meniru khasiat Cupumanik Astagina warisan Sanghyang
Nurcahya. Dengan menggunakan cupu pusaka tersebut sebagai wadah, maka
Tirtamarta Siwamba dalam sumur alami itu dapat ditampung semuanya.
Setelah
Batara Guru memberi aba-aba, para dewa dan raksasa kembali memutar Gunung
Mandaragiri untuk meletakkannya di tempat semula.
Batara
Guru menyerahkan cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba itu kepada Batara Indra
supaya dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, ia dan Batara Narada
pun berpamitan untuk kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
RESI REMBUCULUNG MENCURI TIRTAMARTA SIWAMBA
Batara
Kala kemudian menagih janji Batara Indra bahwa dirinya dibebaskan dari hukuman
buang dan murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba.
Batara Indra mengabulkan permintaan pertama, bahwa mulai saat ini Batara Kala boleh
meninggalkan Hutan Krendawana dan kembali hidup di Pulau Nusakambangan.
Mengenai permintaan kedua akan dikabulkan jika ada raksasa berbudi luhur yang
mencapai kesempurnaan hidup, tentu dapat diangkat menjadi dewa dan boleh
meminum Tirtamarta Siwamba.
Batara
Kala memegang janji tersebut dan ia pun pamit untuk pulang ke Pulau
Nusakambangan. Ia berencana membangun tempat tinggal di sana yang diberi nama
Kahyangan Selamangumpeng. Mengenai Hutan Krendawana untuk selanjutnya
diserahkan kepada Resi Rembuculung dan Putut Jantaka supaya menjadi tempat
mereka mengajarkan Agama Kala.
Batara
Indra dan para dewa lalu kembali ke Kahyangan Suralaya, sedangkan Resi
Rembuculung dan para raksasa kembali ke Hutan Krendawana. Di tengah jalan Resi
Rembuculung tiba-tiba ingin mencuri Tirtamarta Siwamba karena ia berpikir
jangan-jangan Batara Indra kelak akan mengingkari janji. Maka, berangkatlah ia
seorang diri menuju Kahyangan Suralaya untuk melaksanakan niat tersebut.
Sementara
itu, Batara Indra dan para dewa sedang mengadakan pesta syukuran atas
keberhasilan mereka mendapatkan Tirtamarta Siwamba. Memanfaatkan keadaan itu,
Resi Rembuculung dapat menyelinap masuk ke dalam ruang penyimpan pusaka dan
berhasil mencuri cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba.
BATARA WISNU MEREBUT KEMBALI TIRTAMARTA SIWAMBA
Batara
Wisnu yang waspada dapat mengetahui kalau Resi Rembuculung telah mencuri
Tirtamarta Siwamba. Diam-diam ia pun mengikuti raksasa itu kembali ke
rombongannya.
Resi
Rembuculung disambut Putut Jantaka dan para raksasa lainnya. Ketika Tirtamarta
Siwamba hendak dibagi-bagikan, tiba-tiba Batara Wisnu muncul dalam wujud
seorang wanita cantik bernama Dewi Malini. Kecantikannya membuat para raksasa
itu mabuk kepayang dan masing-masing ingin memilikinya. Mereka pun saling bertengkar
dan berkelahi sendiri. Pada saat itulah Dewi Malini merebut Tirtamarta Siwamba
dan membawanya kembali ke Kahyangan Suralaya dalam wujud Batara Wisnu.
Begitu
Tirtamarta Siwamba telah lenyap, para raksasa baru menyadari kesalahan mereka.
Resi Rembuculung berniat mengejar Batara Wisnu, namun Putut Jantaka
mencegahnya. Putut Jantaka mengingatkan supaya sang ayah percaya kepada janji
Batara Indra saja. Namun, Resi Rembuculung tidak menghiraukan saran anaknya
itu. Ia merasa ilmunya sudah sempurna dan pantas mendapatkan Tirtamarta Siwamba
saat ini juga. Setelah membulatkan tekad, ia pun berangkat sendiri mengejar ke
Kahyangan Suralaya.
BATARA WISNU MEMENGGAL KEPALA RESI REMBUCULUNG
Resi
Rembuculung menyelinap ke dalam Kahyangan Suralaya dan melihat Batara Wisnu
menyerahkan Tirtamarta Siwamba kepada Batara Indra. Kebetulan hari itu Batara
Indra berniat meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada para dewa baru yang belum
pernah meneguk Tirtamarta Kamandanu. Resi Rembuculung melihat para dewa baru
itu sedang berbaris di hadapan Batara Indra. Memanfaatkan acara tersebut, ia
segera mengubah wujudnya menjadi seorang dewa pula dan menyelinap masuk ke
dalam barisan.
Batara
Surya dan Batara Candra kebetulan memergoki Resi Rembuculung saat berubah wujud
dan menyusup ke dalam barisan. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Batara
Wisnu. Maka, pada saat-saat genting di mana dewa jelmaan Resi Rembuculung
sedang mendapatkan giliran meneguk Tirtamarta Siwamba, pada saat itulah Batara
Wisnu melepaskan senjata Cakra Sudarsana yang secara tepat memenggal kepala
raksasa itu.
Tirtamarta
Siwamba yang sudah terlanjur diteguk oleh Resi Rembuculung membuat kepala yang
terpenggal itu tetap hidup dan melayang-layang di udara. Ia pun membuka
mulutnya lebar-lebar lalu menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra demi
melampiaskan sakit hatinya.
Batara
Wisnu segera mengubah tubuh Resi Rembuculung yang tanpa kepala menjadi lesung
dan memerintahkan para bidadari untuk menabuhnya menggunakan alu. Begitu lesung
tersebut ditabuh, Resi Rembuculung merasa mual dan ia pun memuntahkan kembali
Batara Surya dan Batara Candra. Kepala tanpa badan itu kemudian melayang pergi
dan mengancam kelak akan datang lagi untuk membalas dendam dengan cara
menciptakan gerhana matahari ataupun bulan.
Batara
Wisnu pun memberikan saran kepada Batara Indra untuk menyebarkan perintah
kepada masyarakat Pulau Jawa supaya menabuh lesung jika terjadi gerhana. Dengan
cara demikian, kepala Resi Rembuculung akan mengembalikan sinar matahari
ataupun rembulan yang ditutupinya. Batara Indra menerima saran tersebut dan
segera menyampaikannya kepada Sri Maharaja Dewahesa, yaitu satu-satunya raja
yang saat itu bertakhta di Tanah Jawa.
Koleksi
Artikel Imajiner Nuswantoro