KERAJAAN KALINGGA
Kalingga
adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah. Letak pusat kerajaan ini
belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten
Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Kerajaan ini pernah diperintah oleh
Ratu Sima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan
dipotong tangannya.
Putri
Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota kerajaan Galuh yang
bernama Mandiminyak yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.
Maharani
Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari
Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang
bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah
Maharani Shima meninggal di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan
menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan
kemudian mendirikan Dinasti/ Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kemudian
Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewa Singa, Raja Kalingga Selatan atau
Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran. Kekuasaan di Jawa
Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan
Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Asal
mula penyebutan Holing
Nama
Holing sebenarnya muncul ketika terjadi perubahan dengan mulai meluasnya
kekuasaan Wangsa Sailendra. Sebelum perluasan ini, berita Cina dari Dinasti
Sung Awal menyebut Jawa dengan sebutan She-p’o. Akan tetapi kemudian
berita-berita Cina dari Dinasti T’an menyebut Jawa dengan sebutan Ho-ling
sampai tahun 818. Namun penyebutan Jawa dengan She-p’o kembali muncul pada
820-856 M.
Holing
(Chopo) adalah nama lain dari kerajaan Kalingga ibukota kerajaan Kalingga
bernama Chopo (nama China), menurut bukti-bukti China pada abad 5 M. Mengenai
letak Kerajaan Kalingga Atau Holing ini secara pastinya belum dapat ditentukan.
Ada Beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang menyebutkan bahwa
negara ini terletak di Semenanjung Malaya, di Jawa Barat dan di Jawa Tengah.
Tetapi letak yang paling mungkin ada didaerah antara Pekalongan dan Plawanagan
di Jawa Tengah. Hal ini berdasarkan catatan perjalanan dari Cina.
Kerajaan
Kalingga Atau Holing Adalah Kerajaan Yang Terpengaruh Oleh Ajaran Agama Budha.
Sehingga Holing Menjadi Pusat Pendidikan Agama Budha. Nama Kerajaan Ho-ling
sempat tercatat dalam kronik dinasti T’ang yang memerintah Cina pada 618-906 M.
Menurut catatan kronik tersebut, penduduk Holing biasa makan tanpa menggunakan
sendok atau cupit, melainkan dengan jari-jari tangannya saja, dan gemar minum
semacam tuak yang mereka buat dari getah bunga pohon kelapa (aren). Ibukota
Kerajaan Ho-ling dikelilingi pagar dari kayu.
Tentang
Ratu Shima (pemerintahan)
Pada
674-675 M (tepatnya tahun 674 M) rakyat Ho-ling memilih dan mengangkat seorang
ratu bernama Shima. Konon ratu ini memerintah dengan sangat kerasnya, namun
bijaksana sehingga Holing menjadi negara yang aman. Pemerintahan Ratu Shima
ditandai oleh terlaksananya pemerintahan dengan segala disiplin tinggi. Peraturan
ditegakkan dengan sebenar-benarnya.
Alkisah
tak ada kerajaan yang berani berhadap muka dengan Kerajaan Kalingga, apalagi
menantang Ratu Shima nan perkasa. Bak Srikandi, Sang Ratu Panah. Konon, Ratu
Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para
pejabat Mahapatih, Patih, Mahamenteri, dan Menteri, Hulubalang, Jagabaya,
Jagatirta, Ulu-Ulu, begitupun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang
istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda- kuda tunggang kesayangannya, tak
ada yang berani menentang sabda pandita ratunya.
Sistem
Administrasi Kerajaan Kalingga
Kerajaan
Kalingga sendiri memiliki seorang pendeta yang terkenal bernama Janabadra.
Sebagai pusat pendidikan Budha, menyebabkan seorang pendeta Budha dari Cina,
menuntut ilmu di Holing (Kerajaan Kalingga). Pendeta itu bernama Hou Ei- Ning
ke Holing, Ia ke kerajaan Kalingga untuk menerjemahkan Kitab Hinayana dari
bahasa Sansekerta ke bahasa Cina pada 664-665. Sistem administrasi kerajaan ini
belum diketahui secara pasti. Tapi beberapa bukti menunjukkan bahwa pada tahun
674-675, Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja wanita yang bernama Shima.
Prasasti
peninggalan Kerajaan Kalingga
Prasasti
peninggalan Kerajaan kalingga atau Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini
ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung Merbabu di
Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta.
Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang
mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada
prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra
dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan Hindu.
Mata
pencaharian penduduk Kerajaan Kalingga
Kerajaan
Ho-ling mempunyai hasil bumi berupa kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan
gading. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai
bledug. Penduduk menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang
disebut sebagai bledug tersebut.
Kerajaan Kalingga (versi 2)
Kerajaan
Kalingga – Kerajan Kalingga (Jawa : ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦭꦶꦔ꧀ꦒ) atau Kerajaan
Ho-ling (Hanzi: 訶 陵; Hēlíng atau 闍 婆; Dūpó dalam sumber-sumber Tiongkok) adalah kerajaan
bercorak Hindu-Buddha yang pertama muncul di pantai utara Jawa Tengah pada abad
ke-6 Masehi, bersamaan dengan Kerajaan Kutai dan Tarumanagara.
Historiografi
Temuan
arkeologis dan catatan sejarah dari kerajaan ini langka, dan lokasi persis ibu
kota kerajaan tidak diketahui. Diperkirakan ada di suatu daerah antara
Pekalongan dan Jepara saat ini. Sebuah tempat bernama Kecamatan Keling
ditemukan di pantai utara Kabupaten Jepara, namun beberapa temuan arkeologis di
dekat Kabupaten Pekalongan dan Batang menunjukkan bahwa Kabupaten Pekalongan
adalah pelabuhan kuno, nama Pekalongan mungkin merupakan nama yang diubah dari
Pe-Kaling-an. Kalingga ada antara abad ke-6 dan ke-7, dan itu adalah salah satu
kerajaan Hindu–Buddha paling awal yang didirikan di Jawa Tengah.
Carita Parahyangan
Berdasarkan
naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Ratu Shima,
bernama Parwati, menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang bernama
Rahyang Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.
Dikisahkan Ratu Shima memiliki cucu bernama Sannaha yang menikah dengan raja
Galuh ketiga, yaitu Bratasenawa. Sannaha dan Bratasenawa memiliki anak yang
bernama Rakryan Sanjaya yang kelak menjadi raja dan menggabungkan Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah
Ratu Shima meninggal pada tahun 732 M, Rakryan Sanjaya menggantikan buyutnya
dan menjadi raja Kalingga Selatan yang kemudian disebut Mataram, dan kemudian
mendirikan dinasti baru bernama wangsa Sanjaya.
Kekuasaan di Sunda-Galuh diserahkan kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakryan Panaraban. Kemudian Rakryan Sanjaya menikahi Sudiwara putri Rakryan Dewasingha, raja Kalingga Utara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Nama
Ho-ling diperkirakan muncul pada abad ke-5 (kemudian disebut Keling) yang
diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling
didapat dari catatan dari Tiongkok. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi
wilayah taklukan Kerajaan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian
jaringan perdagangan, bersama Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tarumanagara yang
sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing
kuat jaringan perdagangan Sriwijaya.
Kisah lokal
Terdapat
kisah yang berkembang di Jawa Tengah mengenai seorang ratu legendaris yang
menjunjung tinggi prinsip ‘keadilan’ dan ‘kebenaran’ dengan keras tanpa pandang
bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya
agar selalu berlaku jujur dan menindak tegas kejahatan pencurian. Ia menerapkan
hukuman yang tegas yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri.
Pada
suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemasyhuran
rakyat Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia
meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada
seorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang
bukan miliknya.
Hingga
tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya.
Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya.
Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang
pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran
dijatuhi hukuman potong kaki.
Berita Tiongkok
Berita
keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman
dinasti Tang dan catatan I-Tsing, seorang biksu Buddha yang berkelana lewat
laut ke India melalui jalur sutra.
Catatan
dari zaman Dinasti Tang
Catatan
pada zaman Dinasti Tang, memberikan keterangan tentang keberadaan Ho-ling
sebagai berikut.
Ho-ling
atau Jawa terletak di seberang lautan selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta
Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Bali) dan di sebelah
barat terletak Sumatra.
Ibu
kota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
Raja
tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan
singgasananya terbuat dari gading.
Penduduk
Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa.
Daerah
Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan
dari berita Tiongkok ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling
diperintah oleh penguasa perempuan yang disebut Hsi-mo (Ratu Shima). Ia adalah
seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Ho-ling
sangat aman dan tentram.
Catatan
I-Tsing
Catatan
I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah
menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha. Di Ho-ling ada pendeta
Tionghoa bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke
dalam bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra.
Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita
ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.
Daftar Raja-raja Kalingga
Belum
ditemukan temuan berupa prasasti atau catatan sejarah sezaman mengenai
keberadaan Kerajaan Kalingga secara pasti. Daftar ini merupakan penyebutan nama
raja-raja Kalingga hingga masa raja Sanjaya yang mendirikan kerajaan Mataram
Kuno. Kendati demikian, nama-nama raja Kalingga ini hanya ditemukan pada
naskah-naskah seperti Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta. Berikut daftar
nama raja-raja yang diperkirakan pernah memerintah di Kerajaan Kalingga :
Wasumurti
(594-605 M)
Berkuasa
selama 11 tahun. Memiliki dua orang anak, yaitu: Wasugeni dan Dewi Wasundari
(menikah dengan Kiratasingha). Setelah ia wafat, takhta diteruskan oleh
Wasugeni.
Wasugeni
(605-632 M)
Berkuasa
selama 27 tahun. Ia menikah dengan Dewi Paramita, sebagai permaisuri. Dewi
Paramita adalah putri raja dinasti Pallawa dari India. Mereka dikaruniai dua orang
anak, yaitu: Wasudewa dan Dewi Wasuwari (Ratu Shima), yang menikah dengan
Kartikeyasingha. Setelah ia wafat, takhta diteruskan oleh Wasudewa.
Wasudewa
(632-652 M)
Berkuasa
selama 20 tahun. Ia memerintah bersama dengan adiknya, Dewi Wasuwari. Ia memiliki
seorang putra bernama Wasukawi. Setelah ia wafat, takhta diteruskan oleh
Wasukawi.
Wasukawi
(652 – ….M)
Berkuasa
hanya sebentar karena usianya yang masih mudah. Kemudian, takhta digantikan
Kiratasingha
Kiratasingha
(632-648 M)
Berkuasa
selama 20 tahun. Ia adalah menantu Wasumurti dan merupakan ayah dari
Kartikeyasingha, putra yang berasal dari istri Melayu. Kiratasingha diketahui
adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Melayu yang mengungsi ke Jawa karena
ekspansi dari Kerajaan Sriwijaya.
Kartikeyasingha
(648-674 M)
Berkuasa
selama 26 tahun bersama istrinya, Ratu Shima. Ia merupakan menantu Wasugeni
setelah menikahi Dewi Wasuwari (Ratu Shima). Kartikeyasingha dari pihak ibunya
masih keturunan raja Kerajaan Melayu, karena ibunya adalah adik raja Melayu
yang ditumpas oleh Sri Jayanasa dari Kerajaan Sriwijaya.
Wasuwari
(Ratu Shima) (674-695 M)
Berkuasa
selama 21 tahun, menggantikan suaminya yang wafat. Ia memiliki dua orang anak,
yaitu: Dewi Parwati dan Rakryan Dewasingha. Dewi Parwati kelak menikah dengan
Rahyang Mandiminyak, yang menjadi raja kedua di Kerajaan Galuh. Kemudian
memiliki anak bernama Dewi Sannaha. Kelak Dewi Sannaha menikah dengan
Bratasenawa, raja ketiga Kerajaan Galuh.
Setelah
Ratu Shima wafat, kemudian kerajaan Kalingga dibagi menjadi dua kekuasaan.
Kalingga bagian selatan dipimpin oleh Dewi Parwati bersama Rahyang Mandiminyak,
raja kedua Galuh. Sedangkan Kalingga bagian utara dipimpin adiknya, Rakryan
Dewasingha. Berikut ini nama raja-raja yang berkuasa di kedua pecahan kerajaan
Kalingga.
Kalingga Utara
Rakryan
Narayana (695-742 M), bergelar Prabu Iswarakesawalingga Jagatnata Bhuwanatala
Rakryan
Dewasingha (742-760 M), bergelar Prabu Iswaralingga Jagatnata
Rakryan
Limwana (760-789 M) bergelar Prabu Gajayanalingga Jagatnata
Kalingga
Selatan
Dewi
Parwati (695-709 M), bergelar Sri Maharani Parwati Tunggalpratiwi
Dewi
Sannaha (709-716 M)
Rakryan
Sanjaya (716-746 M), bergelar Prabu Harisdharma Ksatrabhimaparakrama
Yudhenipuna Bratasennawaputra
Sejak
pemerintahan Rakryan Sanjaya, terjadi pemberontakan Purbasora di Kerajaan
Galuh, yang dipimpin ayahnya, Bratasenawa. Ia kemudian mendirikan Kerajaan
Mataram Kuno di daerah selatan dan mendirikan wangsa Sanjaya.
Peninggalan Kerajaan Kalingga yang Bersejarah
Kerajaan
Kalingga merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia yang berdiri pada
abad ke 6 hingga ke 7. Sangat sedikit catatan sejarah atau keterangan dari
kerajaan bercorak Hindu-Buddha ini, namun keberadaan beberapa peninggalan
Kerajaan Kalingga membuktikan bahwa kerajaan ini memang pernah berdiri di
Indonesia. Tepatnya di pantai utara Jawa Tengah, yaitu antara Jepara dan
Pekalongan.
Kerajaan
Kalingga atau yang kerap disebut dengan Kerajaan Holing ini didirikan oleh
Dapunta Syailendra yang berasal dari dinasti Syailendra yang kelak menjadi
penguasa dari Kerajaan Mataram Kuno. Sempat berganti beberapa kepemimpinan,
Kerajaan Kalingga mencapai puncak kejayaannya saat dipimpin oleh Ratu Shima
yaitu pada 674-695 Masehi.
Peninggalan
Kerajaan Kalingga yang Masih Ada Sampai Saat Ini
Kerajaan
Kalingga meninggalkan cukup banyak bukti bersejarah. Mulai dari candi,
prasasti, arca, dan beberapa jenis peninggalan lainnya. Berikut 5 peninggalan
Kerajaan Kalingga yang paling bersejarah dan masih ada hingga saat ini.
1. Candi Bubrah
Bukti
peninggalan paling populer dari Kerajaan Kalingga adalah Candi Bubrah yang ada
di Jawa Tengah. Letak candi ini berada di kawasan wisata Candi Prambanan.
Lokasinya ada di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kec. Prambanan, Kab. Klaten, Jawa
Tengah.
Candi
Bubrah dibangun dari batuan andesit sekitar abad ke 9 dan bercorak Hindu-Budha.
Nama bubrah sendiri diambil dari Bahasa Jawa yang artinya “rusak”. Nama
tersebut diberikan lantaran candi ini pertama kali ditemukan dalam keadaan
sudah rusak.
2. Prasasti Tuk Mas
Peninggalan
Kerajaan Kalingga selanjutnya adalah sebuah prasasti bernama Tuk Mas. Nama lain
prasasti ini adalah Prasasti Dakawu. Saat ini, Prasasti Tuk Mas berada di
Kelurahan Lebak, Kec. Grabag, Kab. Magelang, Jawa Tengah.
Tuk
Mas merupakan prasasti yang dipahat pada permukaan sebuah batu alam. Prasasti
ini ditulis menggunakan bahasa Sanskerta dengan aksara Pallawa. Selain ada
tulisan, pada prasasti ini juga ada beberapa gambar, seperti bunga tanjung,
perkakas, kendi cakra, dll.
3. Candi Angin
Selain
Candi Bubrah, Kerajaan Kalingga juga meninggalkan bukti bersejarah berupa Candi
Angin. Letak candi ini berada di puncak Gunung Muria dengan ketinggian 1.500
meter mdpl. Tepatnya di Desa Tempur, Kec. Keling, Kab. Jepara, Jawa Tengah.
Candi
Angin memiliki struktur batuan yang mirip dengan beberapa candi peninggalan
Kerajaan Majapahit. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa Candi Angin
dibangun pada periode yang sama dengan Kerajaan Majapahit serta Tarumanegara.
4. Arca Batara Guru
Peninggalan
Kerajaan Kalingga berikutnya yang masih ada hingga saat ini adalah Arca Batara
Guru. Arca in ditemukan di kawasan Puncak Gunung Muria. Lokasi tepatnya di Desa
Rahtawun, Kec. Keling, Jawa Tengah.
Batara
Guru sendiri merupakan Dewa yang dipercaya oleh masyarakat Hindu sebagai
penguasa tiga dunia. Ketiga dunia itu adalah dunia para dewa (Mayapada), dunia
bawah atau neraka (Arcapada), serta dunia bumi atau manusia (Madyapada).
5. Arca Wisnu
Seperti
yang kita tahu, Wisnu adalah salah satu Dewa utama yang dipercaya oleh agama
Hindu. Dewa Wisnu dipercaya sebagai pemelihara dan merupakan tokoh yang suci
serta memiliki kedudukan sangat tinggi. Nama Dewa Wisnu sendiri disebut pada
Kitab Weda.
Dewa
Wisnu digambarkan sebagai seorang Dewa yang mempunyai kulit kebiruan dan
memiliki empat tangan. Masing-masing tangan Dewa Wisnu memegang sangkakala,
gada, lotus, dan chakra. Arca Wisnu ini ditemukan di Puncak Sanga Likur bersama
arca lainnya.
6. Prasasti Sojomerto
Peninggalan
Kerajaan Kalingga prasasti sojomerto
Prasasti Sojomerto adalah sebuah prasasti Hindu peninggalan abad ke-7 atau 8 Masehi yang ditemukan di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini merupakan salah satu bukti sejarah penting yang mengungkap keberadaan kerajaan kuno di Indonesia, yakni Kerajaan Kalingga. Prasasti Sojomerto menjadi saksi bisu perjalanan sejarah karena masih memakai aksara Kawi kuno dan bahasa Melayu kuno yang diukir di atas batu andesit. Isi Prasasti Sojomerto mengungkap tentang Dapunta Syailendra dan keluarganya.
Selain 6 peninggalan Kerajaan Kalingga di atas, terdapat juga beberapa peninggalan bersejarah lainnya seperti Arca Togok dan Arca Narada, Prasasti Rahtawun, Prasasti Upit yang masih dijaga kelestariannya hingga kini.
Arca Togog
Selanjutnya
ada Arca Togog yang ditemukan di puncak Sanga Likur. Togog sendiri adalah salah
satu karakter pewayangan yang cukup terkenal. Togog diutus sebagai pamong atau
penasihat untuk para satria berwatak buruk. Pamong sendiri bertugas untuk
membisikan makna kehidupan yang bijak pada manusia.
Bila
semar bertugas menjadi penasihat bagi satria berwatak baik, maka Togog
sebaliknya. Namun, antara Semar dan Togog sendiri merupakan putra dari
Sanghyang Wenang. Keduanya diketahui terlahir dari sebutir telur.
Arca Narada
Arca
terakhir yang juga ditemukan di Sanga Likur, tak jauh dari lokasi penemuan
ketiga arca lain adalah arca Narada. Narada Muni merupakan sosok yang bijaksana
dalam ajaran Hindu. Narada dilukiskan sebagai seorang pendeta yang memiliki
kemampuan mengembara ke planet-planet yang ada di semesta.
Narada
sendiri memiliki ciri khas dengan membawa alat musik bernama Tambura. Alat
musik tersebut digunakan untuk mengiringi segala pujian dan doa yang ditujukan
untuk Dewa Wisnu dan Krisna.
Prasasti Rahtawun
Sisa-sisa
peninggalan kerajaan Kalingga yang ditemukan di puncak gunung Muria memang
menarik perhatian para pakar sejarah maupun arkeolog tanah air. Selain penemuan
beberapa candi dan juga arca di kawasan tersebut. Para arkeolog pun menemukan
prasasti bersejarah lainnya, yaitu Prasasti Rahtawun pada tahun 1990.
Meski
belum ada penjelasan tentang isi prasasti tersebut, namun setidaknya hal
tersebut menjadi temuan yang sangat menarik. Selain Prasasti Rahtawun dan
beberapa arca kuno yang ditemukan di tempat tersebut.
Di
sana juga ditemukan beberapa tempat pemujaan yang digunakan masyarakat Kalingga
di masa lalu, dimana masing-masing tempat kemudian diberi nama dengan nama
pewayangan.
Prasasti
Upit
Prasasti
lain yang juga menjadi bukti keberadaan kerajaan yang terkenal cukup maju di
Jawa Tengah adalah Prasasti Upit. Prasasti Upit pertama kali ditemukan di Desa
Ngawen, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Prasasti
Upit bersisi cerita tentang sebuah desa yang bernama desa Upit, dimana desa
tersebut dibebaskan dari tuntutan membayar pajak berkat kebaikan Ratu Shima.
Prasasti
Upit sendiri kini berada di Museum peninggalan sejarah yang berlokasi di
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah