Sri
Susuhunan Pakubuwono IV adalah raja Kasunanan Surakarta ketiga, yang bertakhta
antara 1788-1820. Selama berkuasa, ia dikenal sebagai raja pemberani yang tidak
mau tunduk kepada Belanda dan seorang pemeluk Islam yang taat. Sikap Pakubuwono
IV itu kemudian memicu VOC membentuk aliansi dengan Hamengkubuwono I dan
Mangkunegara I untuk melawannya. Silsilah Pakubuwono IV Pakubuwono IV adalah
putra Pakubuwono III yang ketika lahir pada 2 September 1768 diberi nama Raden
Mas Subadya. Ibunya bernama GKR Kencana, permaisuri keturunan Sultan Demak. Raden
Mas Subadya naik takhta pada 29 September 1788, enam hari setelah wafatnya
Pakubuwono III. Setelah itu, ia menyandang gelar Sri Susuhunan Pakubuwono IV
dan resmi menjadi raja Kasunanan Surakarta ketiga. Pakubuwono IV juga dikenal
sebagai Sunan Bagus, karena naik takhta pada usia muda (20 tahun) dan berwajah
tampan.
Sri
Susuhunan Pakubuwana IV (sering disingkat sebagai PB IV; 2 September 1768 – 2
Oktober 1820) adalah susuhunan ketiga Surakarta yang memerintah tahun
1788–1820. Ia dijuluki sebagai Sunan Bagus, karena naik takhta dalam usia muda
dan berwajah tampan.
Nama
aslinya adalah Raden Mas Subadya, putra Pakubuwana III yang lahir dari
permaisuri GKR. Kencana, keturunan Sultan Demak. Ia dilahirkan tanggal 2
September 1768 dan naik takhta tanggal 29 September 1788, dalam usia 20 tahun.
Gaya kepemimpinan
Pakubuwana
IV adalah susuhunan Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda
dengan ayahnya yang kurang cakap. Ia adalah pemeluk Islam yang taat dan
mengangkat para ulama dalam pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para
pejabat berkecenderungan mistik yang sudah mapan di istana.
Pakubuwana
IV dalam babad-babad sejarah politik lebih dikenal melalui ambisi besarnya
untuk mempersatukan kembali Surakarta dengan Yogyakarta, yang berujung kepada
dua peristiwa besar, yakni Pakepung (pengepungan Kasunanan oleh tentara Madura,
Yogyakarta dan Mangkunegaran pada tahun 1790) serta Sepehi.
Berbeda
dengan ayah dan kakeknya yang tunduk terhadap VOC, Pakubuwono IV adalah raja
pemberani yang sangat membenci kehadiran bangsa Belanda. Selain itu, sebagai
pemeluk Islam yang taat, Pakubuwono IV mengangkat para ulama dalam
pemerintahannya. Namun, oleh para pejabat istana yang menganut Islam Kejawen,
sikapnya dianggap terlalu keras, terutama dalam menyingkirkan para kerabat yang
tidak sepaham dengannya. Hal ini kemudian memicu konflik yang berujung pada
Peristiwa
Pakepung.
Peristiwa Pakepung
Peristiwa
Pakepung terjadi pada November 1790, hanya dua tahun setelah Pakubuwono IV naik
takhta. Pakepung adalah insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan
VOC, Hamengkubuwono I dari Kasultanan Yogyakarta, dan Mangkunegara I dari
Kadipaten Mangkunegaran. Ketiga pihak tersebut bekerjasama karena sama-sama
menganggap gaya kepemimpinan Pakubuwono IV dapat membahayakan kedudukan mereka.
Tidak hanya itu, Pakubuwono IV juga mendapatkan tekanan dari dalam istananya
sendiri, yang menuntut agar para penasihat rohaninya segera disingkirkan. Pada
26 November 1790, Pakubuwono IV akhirnya mengaku kalah dan menyerahkan para
penasihatnya untuk diasingkan.
Keadaan
Surakarta semakin tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC
untuk menghadapi raja. Pakubuwana IV sendiri membenci VOC terutama atas sikap
residen Surakarta bernama W.A. Palm yang korup.
Residen
Surakarta pengganti Palm yang bernama Andries Hartsinck terbukti mengadakan
pertemuan rahasia dengan Pakubuwana IV. VOC mulai cemas dan menduga Hartsinck
dimanfaatkan Pakubuwana IV sebagai alat perusak dari dalam.
VOC
akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi
Pakubuwana IV. Pada November 1790 VOC bersama mereka mengepung Keraton
Surakarta. Mereka menyerang dari tiga arah. Dari selatan oleh Hamengkubuana I,
arah utara oleh Mankunegara I dan arah barat oleh pasukan VOC. Dari dalam
istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV
agar menyingkirkan para penasihat rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung.
Pakubuwana
IV akhirnya mengaku kalah pada 26 November 1790 dengan menyerahkan para
penasihatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC.
Perjanjian antara keturunan Mataram
Selain
Peristiwa Pakepung, pada periode pemerintahan Pakubuwono IV juga terjadi
perundingan yang melibatkan tiga pihak keturunan Mataram. Atas prakarsa VOC,
Pakubuwono IV, Hamengkubuwono I, dan Mangkunegara I menyepakati perjanjian yang
menyatakan kedudukan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten
Mangkunegaran adalah setara. Oleh karena itu, ketiga pihak tidak diperbolehkan
untuk menyerang satu sama lain. Kendati demikian, Pakubuwono IV diam-diam masih
menyimpan ambisi untuk menyatukan Mataram ke pangkuan Surakarta. Namun,
ambisinya tidak terwujud karena beberapa upaya yang dilakukannya gagal.
Hubungan dengan pasukan sipahi
Melalui
Mangkubumi dan Baurekso, pasukan sipahi berhasil berkenalan dengan Sunan.
Kontak pertama dilakukan oleh Dhaukul Singh yang mengunjungi Sunan di keraton
dengan gambar Rama di tangannya. Ia kemudian menyanjung Sunan dengan berkata,
"Jika Anda adalah keturunan dari seorang pemuja Rama yang agung, maka Anda
adalah tuanku". Sunan yang terkesan dengan ucapan ini kemudian memberikan
300 dolar Spanyol (jika dinilai dengan kurs sekarang kira-kira bernilai 135
juta rupiah). Kunjungan awal ini juga diikuti oleh Ripaul Singh, ia memberikan
pertunjukkan tari dan senam di kamar pribadi Sunan di keraton. Ia juga diberi
hadiah oleh Sunan berupa kalung emas, gelang, anting-anting, dan berbagai jenis
kain. Ripaul juga memperkenalkan seorang prajurit sipahi lainnya, yang bernama
Mata Deen, ke Sunan yang dapat berbicara bahasa Melayu dengan baik.
Sunan
juga sering menghadiri berbagai upacara Hindu yang diadakan di Benteng
Vastenburg. Ia biasa datang sendirian sambil menyamar sebagai rakyat biasa,
tetapi kadang-kadang juga ditemani anggota keluarganya ketika datang dengan
naik kereta. Dalam kesempatan seperti ini, Sunan akan disambut oleh Mata Deen
dan Dhaukul Singh.
Ambisi politik dan sikap terhadap Yogyakarta
Pakubuwana
IV dikenal sebagai penguasa yang licik, tak terduga, dan ambisius. Salah satu
ambisinya adalah menghancurkan Yogyakarta sekaligus mengembalikan supremasi
politik Surakarta di Jawa Tengah bagian selatan.
Di
saat yang bersamaan, munculnya desas-desus tentang pengembalian kekuasaan
Belanda di Jawa dan kekhawatiran pasukan Sipahi di Jawa tentang nasib mereka
karena muncul desas-desus mereka akan dijual ke pemerintah Belanda untuk
menjamin keselamatan pemerintah Belanda ketika kembali berkuasa. Sejak saat
itulah berdasarkan bukti dari Patih Sosroadiningrat II muncul hubungan antara
garnisun sipahi di Surakarta dengan Pakubuwana IV. Ia berhasil dibujuk untuk
menggunakan pasukan sipahi yang tidak puas untuk memenuhi ambisi politiknya
sendiri di Jawa Tengah bagian selatan.
Kelicikan
Pakubuwana IV terlihat ketika ia berusaha untuk membujuk Hamengkubuwana II melalui
sebuah korespondensi rahasia sejak 1811 hingga 1812 untuk melawan Inggris
menggunakan kekerasan dengan harapan tindakan gegabah ini akan menghancurkan
Yogykarta. Untuk meyakinkan Hamengkubuwana II, Pakubuwana IV menawarkan
dukungan militer jika terjadi peperangan dengan Inggris. Kesepakatan tersebut
diratifikasi dalam sebuah perjanjian rahasia pada Maret 1812. Namun, ketika
Raffles menyerang Yogyakarta pada bulan Juni di tahun yang sama, Sunan tidak
mengirimkan bantuan sama sekali dan justru menunggu hasil dari pertempuran
tersebut. Selain itu, salinan korespondensi rahasia antara Sunan dengan
Hamengkubuwana II jatuh ke tangan Inggris ketika penjarahan keraton. Bukti
korespondensi rahasia dan kenyataan bahwa pasukan Surakarta ditempatkan di
seberang jalur komunikasi Inggris selama penyerangan ke Yogyakarta hampir
membuat Raffles menyerang Surakarta dan menggulingkan Sunan. Namun, ia
mengampuni Sunan dengan menyetujui pemberhentian Patih Surakarta, Raden Adipati
Cokronegoro, yang memegang peran kunci dalam persekongkolan dengan Yogyakarta.
Mendirikan Pesantren Jamsaren
Pakubuwana
IV memberi izin kepada Kyai Jamsari untuk mendirikan sebuah pondok pesantren
yang kemudian diberi nama Pesantren Jamsaren. Setiap tahun, Pakubuwana IV
memberi donasi ke pesantren sebagai wujud kepedulian terhadap perkembangan
pendidikan islam di Surakarta. Pesantren Jamsaren sempat dibubarkan oleh pemerintah
kolonial karena keterlibatannya dalam Perang Diponegoro sehingga mengakibatkan
pengembangan pendidikan islam di Surakarta mengalami stagnansi. Setelah ditutup
selama kurang lebih 40 tahun, Pesantren Jamsaren kembali beroperasi pada masa
Pakubuwana X.
Akhir hidup
Pakubuwana
IV masih menjadi raja Surakarta tanpa diturunkan Inggris. Sebaliknya, ia
mengalami pergantian pemerintah penjajah, dari Inggris kembali kepada Belanda
pada 1816. Pakubuwana IV meninggal dunia pada 2 Oktober 1820. Ia digantikan putranya
yang bergelar Pakubuwana V. Selain Pakubuwana V, ada dua lagi putra Pakubuwana
IV yang menjadi raja Surakarta, yaitu Pakubuwana VII dan Pakubuwana VIII.
Dalam
Serat Babad Pakepung yang ditulis oleh Yosodipuro II, pujangga Keraton
Kartasura, Pakubuwono IV diceritakan sebagai ahli strategi yang cerdik dan ahli
sastra, khususnya yang bersifat rohani. Sifatnya ini membuat pemerintahannya
mampu bertahan meski terjadi pergantian pemerintah penjajah, dari Belanda ke
Inggris hingga kembali lagi ke Belanda. Selain itu, Pakubuwono IV diyakini
sebagai penulis Serat Wulangreh, yang berisi ajaran-ajaran luhur untuk
memperbaiki moral kaum bangsawan Jawa. Bahkan Ronggowarsito, pujangga ternama
Keraton Surakarta, semasa mudanya pernah belajar beberapa ilmu kedigdayaan
kepada Pakubuwono IV. Pakubuwono IV memerintah hingga akhir hidupnya pada 2
Oktober 1820. Setelah itu, jenazahnya dimakamkan di Kedhaton Besiyaran,
Yogyakarta.
serat sinuhun pakubuana Iv
DHANDHANGGULA
–
01 –
Sakamatyan
kuma bangkit-bangkit, lir sarkara warsitaning sastra, sasmiteng karaharjane,
mring sagung anak, putu, ingkang karsa angrancang kapti, Sira puruhitaa,
Saniskareng kawruh, mring jana kang wus nimpuna, ing surasa saraseng kamuksan
kaki, kanggo ing kene kana.
Artinya
:
Suatu
petunjuk untuk kebahagian, bagaikan cahaya yang tersirat dan tersurat, petunjuk
untuk bahagia, terhadap segenap anak cucu, yang hendak menempuh suatu
cita-cita, pergilah engkau berguru, segala macam pengetahuan, kepada manusia
yang sudah berilmu tinggi, terhadap arti ilmu kamuksan, berguna di sini dan
disana.
–
02 –
Lamun
sira puruhita kaki, den sumandha mamrih wahyeng gita, sadarganen turidane, ywa
kongsi keneng sirung, marang ingkang sigra guroni, mandar anoring raga, way
kongsi kalimput, sang gya suraseng kang nyata, dimen sira antuk wilasa kang
Sidhi, wasitaning Pandhita.
Artinya
:
Pabila
Ananda berguru, tekunlah agar tercapai seirama kehendakmu, perhatikan segala perbuatanya,
agar kau tidak terlena, terhadap gurumu, malah mecitainya, janganlah terlena,
cepatlah mencari kebenaran yang hakiki, agar kau mendapatkan perkenan Hyang
Widhi, sabdanya Pandita.
–
03 –
Dedalane
kawruh ana dhingin, patang prakara sira wiletna, away kasusu kalapne, gagasan
rasanipun, yen tumpangsuh asalah dalih, kalimput kaliru tampa, temah salah
surup, kang kaliru surupena, supayane wruh lunggyane ala becik, ywa kongsi
katlajukan.
Artinya
:
Pengertian
ilmu adalah, perhatikanlah empat macam, jangan tergesa-gesa dan telaahlah,
perhatikan maknanya, bila kacau balu simpang siur maknanya, yang salah
perhatikan kesalahannya itu, agar tahu kedudukannya salah dan benar, jangan
sampai berkepanjangan.
–
04 –
Lan
dununge kang kawan prakawis, abang ireng kuning lawan pethak, pangwasane
dhewe-dhewe, kang telu murung laku, kang sawiji iku proyogi, yen telu
binuwanga, jagad yekti suwung, kang siji kalawan apa, jumenenge yen tan ana
kang ngrusuhi, marmane kawruhana.
Artinya
:
Dan
kedudukannya yang empat perkara, merah hitam kuning dan putih,
kekuasaaaaaaaannya berbeda-beda, yang tiga menggoda, yang satu itu benar, kalau
tiga dibuang, dunia pasti kosong, yang satu dengan siapa, bertahtanya kalau
tidak ada yang mengganggu, maka fahamilah.
–
05 –
Wong
neng donya kang lumrah tan mikir, Allah iku dedalaning mulya, lamun bener
pangetrape, bongsa triprakareku, gung aniksa marang sawiji, amuwus kinawruhan,
anggepe angratu, nanging kang durung nyurasa, ala iku liwat nora sudi, tuna ing
uripira.
Artinya
:
Orang
didunia yang wajar tanpa berpikir, Allah menunjukkan jalan bahagia, bila
menempuh jalan yang benar, adapun tiga perkara itu, mempunyai perbedaan besar
dengan yang satunya, memutuskan suatu pengertian, merasa dirinya Raja, tetapi
belum mempunyai pengertian apapun, tak seorangpun mau dengan sifat jelek.
–
06 –
Nanging
poma dipun awasi kaki, rehning mengko akeh wong kang bisa, babasan bebangun
bae, angungasake catur, tutur liyane nora pinikir, mung cature priyanggo,
lumaku rinungu, carita patang prakar, Edad Sipat Asma afngal lan mailh, bang,
ireng, kuning, pethak.
Artinya
:
Rugi
hidupnys, tetapi berhati-hatilah, berhubung sekarang banyak orang yang dapat,
bagaikan membangun saja, mengutamakan bicara, omongan orang lain tiada
terfikir, hanya pembicaraannya pribadi, supaya didengar, cerita empat perkara,
Dzat, Sifat Asma Agngal, dan lagi, merah, hitam, Kuning, Putih.
–
07 –
Lan
dununge kang sawiji-wiji, nora montro-montro yen genaha, gunem ngelmu ngalih
rame, balik rasaning ngelmu, nora kena sira kukuhi, endi ingkang andadr, iya
iku suwung, yen wong anom mengkonora, rebut unggul guneme angalah isin, ngukuhi
kawruhira.
Artinya
:
Dan
kedudukan satu persatu, sama sekali tidak benar, pembicaraan ilmu berganti
rame, tetapi maknanya ilmu, tak dapat dipergunakan sebagai pedoman, mana yang
ngelantur, itulah kosong, bila itu anak muda, berebut menang mengalah malu,
berpegang teguh.
–
08 –
Layak
bae kang mangkana kaki, sabab gurune kaya mangkana, wirang yen kalah ngelmune,
pan gaibing Hyang Agung, ika nora nganggo pinikir, mung ngelmu garejegan, sasad
nglurug padu, iku kang padha ginulang, wetara ku yen padha rerasan ngelmu, ing
wekasan sulaya.
Artinya
:
Tentu
saja berbuat begitu, karena Gurunya pun begitu juga, malu kalau kalah ilmunya,
terhadap gaibnya Hyang Agung, itu tiada terpikirkan, hanya ilmu perselisihan,
seolah datang untuk berdebat, hanya itu yang dipelajarinya, bersamaan dengan
itu kalau membicarakan ilmu, akhirnya terjadi perselisihan dan perdebatan.
–
09 –
Salin
guneme ngilmu wus lali, ngetokake wicaksananira, anuruti kuwanene, anginger
keris cancut, saliranya lir metu agni, bisa warna sakawan, bungah yen
ginungung, kadya Raden Jayajatra, yen ginunggung prapteng pejah den andhemi,
iku guru samangkya.
Artinya
:
Berganti
pembicaraan ilmu sudah terlupakan, mengeluarkan pendapatnya, menurutkan
keberaniannya, memutar keris dan siaga tempur, tubuhnya bagaikan menyala-nyala,
dpat memancarkan empat warna, bangga kalau disanjung, bagaikan Raden Jayajatra,
kalau disanjung nyawapun direlakan, itulah Guru jaman sekarang.
–
10 –
Lamun
sira durung anglakoni, ing pratingkah kaya mangkana, nanging sireku ywa kaget,
gagasen rahsanipun, aja dumeh iku tan becik, sayekti becik uga, yen sira wus
surup, mangkas-mangkasipun sapa, lawan sapa kang bisa amalih warni, nyatakna
kang waspada.
Artinya
:
Kalau
engkau belum berbuat, perbuatan seperti tersebut tadi, tetapi jaganlah engkau
terperanjat, berfikirlah akan maknanya, jangan karena itu tidak baik, tetapi
sebenarnya baik juga, bila kau telah memahaminya, siapa yang sebenarnya dibalik
itu, siapa pula yang berubah warna, perhatikan dengan seksama.
–
11 –
Ingkang
bisa bawana-bawani, owah gingsiring sariranira, siya yen tan wruh iku, tunggal
dhapur kang den kawruhi, kang bisa malih warna, sayekti mung iku, aranana loro
nyata, aranana sawiji temen sawiji, mung limput linimputan.
Artinya
:
Yang
dapat berubah-ubah, mengubah diri, tercelalah kalau tidak pada tempatnya,
padahal yang tahu itu, menyatu dalam dirinya, yang dapat mengubah warna,
benar-benar hanya itu, katakanlah dua kenyataan, katakanlah saty benar-benar
satu, hanya saling selubung menyelubungi.
–
12 –
Kang
akarya iku kang nglimputi, enggonira aneng kalimputan, sulap padhanging
Srengenge, upamane sireku, anom sorotinon Hyang Rawi, kang mangkana iku sulap,
dadi lamuk-lamuk, mangkono upamanira, wong nyurasa rerasan, kang den rasani,
ingkang melu rerasa.
Artinya
:
Yang
menciptakan adalah yang menyelubungi, tempatmu pada terselubung, silaunya sinar
mentari, adaikan itu kamu, menyaksikan cahaya-NYA Hyang Widhi, padahal sagat
silau, maka tampak kabur, begitulah ibaratnya, mengartikan sesuatu yang masih
kabur, kabur pula pengertiannya.
–
13 –
Pasabane
sok anggung nasabi, Roh Ilapi kang wanuh wus lawas, datan wruh lamun uripe,
malah Ki Alip Tansur, yang lumaku anggung anjawil, nanging datan uninga, yen iku
Hyang Agung, marma padha binudiya, ing wong urip aja katungkul sireki, wruha
ing uripira.
Artinya
:
Tujuanya
terkadang tertuju, Roh Ilapi sudah lama dikenalnya, tiada tahu kalau itu adalah
hidupnya, maka Ki Alip Tansur, kalau berjalan bersenggolan, tetapi tiada tahu,
kalau itu adalah Hyang Agung, maka belajarlah dengan tekun, dalam kehidupan ini
jangan lengah, ketahuilah pada hidupmu.
–
14 –
Uripira
sapa kang nguripi, lamun sira nora ngawruhana, siya-siya ing uripe, sayektine
Hyang Agung, nora pisah mring sarira tri, lumaku lenggah nendra, tan benggang
sarambut, aja maneh kaya sira, nadyan kutu-kutu lan wong taga sami, rineksa
Hyang Sumana.
Artinya
:
Hidupmu
siapa yang menghidupkan, kalau kau tidak mengetahui, percuma dalam hidup ini,
yang sebenarnya Hyang Widhi, tidak terpisah dari tiga perbuatan, berjalan,
duduk, tidur, tiada terpisah walau selembar rambut, apalagi seperti engkau,
selagi serangga dan kehidupan lainnya, dipelihara oleh Hyang Sukma.
–
15 –
Rehning
ananira kang nganani, ananira saking nora nana, nanging ana kahanane, anane
tanpa wujud, wujudira ingkang mujudi, duk sira durung ana, anane andhanu, yen
sira ayun uninga, pasemone wujuding Hyang Maha Suci, tingkahe wong sembahyang.
Artinya
:
Berhubung
kau ada yang mengadakan, kau ada dari tiada, tetapi ada keadaannya, adanya tak
berwujud, perwujudanmu yang mewujudkan, tatkala kau belum ada, adanya dalam
kelam, bial kau hendak mengetahui, gambaran perwujudan Hyang Maha Suci, tingkah
lakunya orang yang sedang Sembahyang.
–
16 –
Utamane
wong urip puniki, nglakonane srengat Nabi kita, Salat Jakat wruh Islame, lan
sarake Jeng Rasul, sira padha wajib nglakoni, lamun tan ngawruhana, dadi nora
manut, wirayate Sri Narendra, lawan sapa kang arsa agawe napi, prayoga
sembahyanga.
Artinya
:
Yang
utama bagi orang hidup itu, menjalani sareat Nabi kita, Solat Zakat mengetahui
hukum Islamnya, dan saraknya Rasulullah, kau semua wajib menjalani, bila tidak
mengetahui, maka tidak dapat menjalaninya, tersebutlah Sang Maha Raja, kepada
siap yang akan berbuat sesuatu, lebih baik dirikanlah Solat.
–
17 –
Kaping
lima sadina sawengi, lan pantese sira ngilingana, marang uripira dhewe, takbir
miwah yen sujud, wruha ingkang sujudi, yen sira wisuh toya, aja pijer wisuh,
weruha kang jeneng toya, aja sira katungkul amuji dhikir, puji katur mring
sapa.
Artinya
:
Lima
kali dalam sehari semalam, dan ingatlah akan dirimu, terhadap hidupmu sendiri,
takbir dan bila sujud, ketahuilah kau sujud kepada siapa, bila kau menyuci
dengan air, jangan berkali-kali mencuci, ketahuilah air itu apa sebenarnya,
janganlah kau berzikir berlebihan, pujian itu teruntuk siapa.
–
18 –
Lwan
sira aja gawe napi, ing unining kitap rasakena, aja pijer ngunekake, yen tan
wruh rasanipun, tanpa gawe sira angaji, angur sira macaa, prenesan wong ayu,
balik sira maca kitab, becik bisa lapal makna amuradi, kaping pat rasanira.
Artinya
:
Lagi
pula janganlah kau sembrana, raskanlah segala isinya kitab, jangan hanya
melaflkannya, bila tiada tahu rasanya, tak berarti kau mengaji, lebih baik kau
membaca, yang mengambarkan tentang wanita cantik, bila kau membaca kitab, baik
sekali bila dapat lafal dan maknanya, keempatnya menghayati dan mengamalkannya.
–
19 –
Nadyan
lapalira sundul langit, yen tan bisa maknane punika, sanadyan bisa maknane,
kapriye muradipun, nadyan sira bisa muradi, yen tan wruh rasanira, yekti
nanjuk-nanjuk, lapal makna murad rasa, papat iku kasebut ing dalem dalil,
pantoge aneng rasa.
Artinya
:
Walaupun
pandai melafalkannya setinggi langit, bila tak dapat mengerti maknanya, walau
dapat mengerti maknanya, bagaimana mengahayati, bila tidak tahu rasanya, akan
tersesat jalan meraba-raba, lapal, makna pengahatan dan rasa, empat itulah yang
tersebut di dalam dalil, berakhir pada rasa.
–
20 –
Rasa
iku kang luhur pribadi, nanging aja katungkul mring rasa, weruha kang
ngrasakake, den bisa karya ukum, kukum iku kawan prakawis, sapisan hukum
wenang, pindo wajibiku, kaping telu kukum ngadat, kaping pate kukum mokal iku
kaki, tan kena piniliha.
Artinya
:
Rasa
adalah yang paling tinggi, tetapi jangan terpaku hanya pada rasa, fahamilah
yang merasakannya, dapatlah berbuat hukum, hukum berjumlah empat macam, pertama
hukum Wenang, kedua Wajib, ketiga hukum Adat, keempat hukum Mokal, tak dapat
dipilih.
–
21 –
Siya-siya
lamun sira pilih, kukum papat pan wus darbekira, sira tan wruh pangukume,
mangkene liring kukum, hukum wenang punika kaki, hiy Jeng Nabi kita, wakiling
Hyang Agung, winenang ngaku Hyang Sukma, lan winenang murba misesa sakalir,
gemah rusaking badan.
Artinya
:
Sia-sia
kalau dipilih, keempat hukum itu adalah milikmu, kau tidak mengetahui
menghukumnya, beginilah arti hukum itu, hukum wenang itu, adalah Kanjeng Nabi
kita, yang mewakili Hyang Agung, berwenang mengaku Hyang Sukma, yang
diwenangkan menghukum apa pun, bahkan sampai rusaknya phisik.
–
22 –
Kaping
pindho ingkang hukum wajib, Nabi kita wajib ngawruhana, marang ingkang
menangake, utawane aweruh, iya ingkang nebut Hyang Widhi, dene kang hukum
ngadad, punika liripun, Nabi kita ngawruhana, mring adate Abubakar Ngumar
Ngali, kapat Begendha Ngusman.
Artinya
:
Hukum
yang kedua adalah hukum wajib, Nabi kita wajib mengetahui, terhadap yang
memenangkan, atau mengetahui, yalah yang disebut Hyang Widhi, adapun yang
dinamakan hukum adad, itu adalah, Nabi kita agar mengetahui, terhadap adadnya
Abubakar Umar Ali, keempatya Baginda Usman.
–
23 –
Iku
lamun ora den kawruhi, sayektine ambubrah Sarengat, yen wus kawruhan kabeh, ya
iku kang sinebut, ing jenenge weruh Jeng Nabi, dene kang hukum mokal, punika
liripun, mokal telu yen owaha, upamane ilanga salah sawiji, jumeneng lawan apa.
Artinya
:
Bila
hal itu tidak diketahui, akhirnya akan merusak Syareat, bila telah diketahui
semuanya, itulah yang disebut, yang dinamakan tahu Kanjeng Nabi, adapun yang
disebut hukum mokal, itu adalah, tak mungkin ketiganya akan berubah, bila
hilang salah satu, bertahta dengan apa.
–
24 –
Mula
ana martabat premati, telung prakara kehing martabat, kukum telu kono nggone,
hukum mokal puniku, mung kinarya mratandhani, ptraping tri prakara, ywa kongsi
kalimput, mangkono upamanira, nadyan silih jumenenge Sri Bupatri, kukum patang
prakara.
Artinya
:
Maka
ada martabat yang muskil, martabat itu berjumlah tiga macam, dalam ketiga
hukumlah tempatnya, hukum mokal itu, hanya sebagai pertanda, patrapnya tiga
perkara, janganlah terlena, begitulah umpamanya, walaupun berganti kedudukan
sebagai Bupati, hukum empat perkara.
–
25 –
Dununging
hukum kawan prakawis, nora metu kang patang prakara, kukum kang wenang tablege,
Ngalam Arwah puniku, wenang nganggo ala lan becik, kukum wajibing Alam, ijesam
dumunung, kuwajiban tur uninga, pan sabarang Pangeran gone miyarsi, ing kono
marganira.
Artinya
:
Kadudukanya
keempat macam hukum, tidak menyimpang dari empat perkara, hukum yang berwenang
pelaksanaannya, Alam Arwah itu, berwenang mempergunakan jelek dan baik, hukum wajib
Alam, mayatlah tempatnya, kewajiban dan mengetahui yang dilihatnya, disitulah
jalannya.
–
26 –
Kukum
ngadad ingkang andarbeni, mapan iya ana Ngalam Misal, ameruhana adate, sabarang
kang dinulu, warna rupa reh kang dumadi, lamun ora weruha, tuna ing pandulu,
kaping pate kukum mokal, dumununge aneng Ngalam Insan Kamil, kamil cahyaning
Sukma.
Artinya
:
Hukum
adad yang mempunyainya, memang berada pada alam fikiran, mengetahui adadnya,
segenap yang dilihatnya, warna rupa pendidikan yang ada, bila tidak mengetahui,
rugi dalam penglihatan, keempatnya Hukum mokal, kedudukannya dalam Alam Insan
Kamil, Kamil cahayanya Sukma.
–
27 –
Lawan
mokal lamun den uripi, lawan mokal yen tan nguripana, mapanta ana tandhane,
mungguh tininggaliku, badanira tan bisa mosik, mokal yen nguripana, Kiyageng
Liptamsur, nyatane ana kang karya, sayektine Kamil iku akekasih, mokal yen
sinetuwa.
Artinya
:
Dan
lagi mokal kalau dihidupkan, dan lagi mokal kalau tidak menghidupkannya,
terpisah-pisah ada tandanya, bila ditinggalkannya, tubuhmu tidak dapat
bergerak, tidak akan (mokal) kalau menghidupkan, Ki Aeng Liptamsur, terbukti
ada yang menciptakannya, sebenarnya Kamil adalah sebuah nama, tak akan (mokal)
dituakan.
–
28 –
Marang
hukum sira aja pangling, sabab ana unine kang kitab, patang prakara cacahe,
batal karam puniku, ingkang aran najis lan suci, sukur yen wus uninga, lamun
durung weruh, takono para Ngulama, aja sira kalayu melu ngarani, den gambuh
kawruhira.
Artinya
:
Terhadap
hukum janganlah kau melupakannya, sebab tersebut di dalam kitab, berjumlah
empat perkara, Batal Karam itu, yang disebut Najis dan Suci, syukurlah kalau
sudah mengetahuinya, bila belum mengetahuinya, tanyakanlah kepada para Ulama,
janganlah kau ikut-ikutan mengatakannya, dalam persamaan pengertianmu.
PUPUH II
G A M B U H
–
01 –
Tegese
karam iku, dudu wong kang mangan Celeng Bulus, nadyan Kurma Pitik Iwen Kebo
Sapi, yen tansah pamanganipun, iku karam ingkang mangnon.
Artinya
:
Arinya
haram itu, bukanya orang yang makan Babi hutan atau kura-kura, walaupun Kurma
Ayam Kerbau dan sapi, kalau selalu berlebihan memakannya, itulah hukumnya
haram.
–
02 –
tegese
batal iku, dudu wong kang sembahyang kapentut, Sembahyang yen durung wruh
jroning batin, iku batal tegesipun, wis mupusa becik turon.
Artinya
:
Artiya
batal itu, bukan orang selagi sholat kentut, sholat kalau belum mengetahui di
dalam batin, hal itulah yang dinamakan batal, kalu begitu lebih baik tidur
saja.
–
03 –
Maknane
najis iku, dudu wong kang kagepok ing asu, nadyan sira kaki kawutahan warih,
iku luwih najis agun, apa kang ginawe wisuh.
Artinya
:
Artinya
najis itu, bukan orang yang memegang Anjing, walaupun engkau terkena tumpahan
air, hal itu termasuk najis besar, lalu apa yang dipakai mensucikannya.
–
04 –
Iya
wisuh banyu, aja banyu kang metu ing watu, nenuwuna mring malekat Jabarail, iku
sira nggowa wisuh, sampurnane teka kono.
Artinya
:
Mencucinya
pun juga dengan air, jangan air yang keluar dari batu, mohanla kepada Malaekat
Jibril, itulah yang harus kau pakai mencuci, sempurnannya dari situ.
–
05 –
Lamun
sira panguh, lan Malekat Jabrail tumurun, saratana busana kang sarwa langkung,
patige toya lir ebun, iku banjur nggone wisuh.
Artinya
:
Pabila
kau ingin bertemu, agar Malaekat Jibril turun, usahakanlah memakai pakaian yang
serba hitam, pemberiannya air bagaikan embun, itulah yang harus kau pakai
mencuci diri.
–
06 –
Lamun
sira wus wisuh, poma kang ngati-ati den emut, aja nganti kapecak ing banyu
malih, manawa sira kajegur, kali banjir pasthi layon.
Artinya
:
Bila
kau sudah mencuci diri, berhati-hatilah dan selalu waspada, jangan sampai
terkena air lagi, bila kau terjebur, sungai banjir kau akan mati.
–
07 –
Pitutur
kang satuhu, poma sira aywana katungkul, pakumpulan geguyon rahina wengi,
jroning ngguyu dipun emut, den sukur marang Hyang Manon.
Artinya
:
Nasehat
yang sejati, janganlah kau terlena, perkumpulan bergurau siang dan malam, dalam
tertawa selalu ingatlah, bersyukurlah kepada Hyang Widhi.
–
08 –
Guyu
kang tan tuwajuh, iku ngedohake marang wahyu, basa wahyu nugraha kang Maha
Suci, tumrap neng raga kang wujud, poma sira den waspaos.
Artinya
:
Tertawa
yang berlebihan, itu menjauhkan dari wahyu, artinya adalah Anugrah dari Hyang
Maha Suci, terhadap tubuh phisik, selalu waspadalah.
–
09 –
Wruha
kang tunggal wujud, anedya awidagda ing kalbu, aja bungah ginunggung marang
sasami, wateke wong karem gunggung, maledhung saengga dheyot.
Artinya
:
Ketahuilah
yang menyatu didalam phisik, terwujudnya suatu kepandaian diri, jangan senang
dipuji, sombong membusungkan dada hingga celaka.
–
10 –
Apa
lire maledhung, kayadene wong kang adol gendhung, nedheng padha jagongan sami
lalinggih, tan wigih wus ngrasa unggul, tan wruh jugule angradon.
Artinya
:
Apa
artinya membusungkan dada, bagaikan orang menjual obrolan, pada orang yang
sedang santai berkumpul, merasa dirinyalah yang paling pandai, tak mengetahui
kebodohannya telah tersebar.
–
11 –
Dene
kang padha gunggung, saking wegah mulat polahipun, tanrinasa panggunggunge mawa
wadi, wadine wong akeh lumuh, pangrasane iku kawon.
Artinya
:
Adapun
yang menyanjungnya, karena sudah muak menyaksikan tingkahnya, tidak dirasakan
makna sanjungan itu, makna sindiran bagi orang jahil, pendapatnya bahwa itu
kalah.
–
12 –
Nuli
agawe amuk, sila tumpang kandhane agupruk, tutur nempil anggepe weruh pribadi,
sakeh ngelmu-ngelmu dudu, kawruh dhewe salah tonton.
Artinya
:
Lalu
menyombongkan diri, duduk bersila dengan sikap sombong dan besar mulut,
kata-katanya hanya menirukan tetapi merasa serba tahu, segala macam ilmu
tipuan, pengetahuan sendiri ditinggalkannya.
–
13 –
Polahe
nora patut, nusahake wong kang sandhing lungguh, wong mangkono tan pantes dipun
cedhaki, becik singkirana iku, jer maido mring Hyang Manon.
Artinya
:
Tingkah
lakunya tercela, menyusahkan bagi orang yang duduk berdampingan, orang yang
semacam itu tidak pantas didekati, lebih baik dijauhi saja, karena tidak
percaya kepada Hyang Manon.
–
14 –
Sandyan
iku weruh, kena uga ingaranan durung, titikane aneng solah muna muni, angakuwa
bisa mabur, yektine neng ngisor palon.
Artinya
:
Walaupun
diketahuinya, dapat juga dikatan belum, tanda-tandanya pada tata cara
berbicara, walaupun mengaku dapat terbang, ternyata hanya dibawah landasan
palu.
–
15 –
Lelabuhan
ingkang wus, kanggo ing jaman kuna rumuhun, nora ana wong mangkana antuk Gaib,
nanging ana pantesipun, wong mangkono jaga obrol.
Artinya
:
Kalau
dikaji yang sudah-sudah, sejak jaman kuno dahulu, tak ada orang semacam itu
dapat Gaib, tetapi pantas juga, orang semacam itu untuk menjaga obrolan.
–
16 –
Marma
wong ngurip iku, den padha wruh marang ing panuju, ing tegese panuju kang wruh
ing liring, yen tan enak rasanipun, ywa age-age linakon.
Artinya
:
Oleh
karenanya, pahamilah sesuatu maksut, artinya maksut adalah tahu terhadap
situasi, pabila menurut perasaan tak enak, janganlah mengerjakan sesuatu.
–
17 –
Manawa
keneng siku, marang pawong sanak liyanipun, luwih abot tan nganggo sasami-sami,
wong mangkono lamun lampus, pantes tinabela ing ron.
Artinya
:
Bila
terkena cela, terhadap orang lain, lebih berat tanpa ambpun, orang yang berbuat
demikian, pantas ditutup dengan daun.
–
18 –
Puniku
nyatanipun, wong kang kena dukaning Hyang Agung, cinemplungaken sajroning
naraka agni, aja naraka ing besuk, iku naraka kang katon.
Artinya
:
Itulah
suatu kenyataan, orang yang mendapat marah dari Hyang Agung, dimasukkan kedalam
Neraka Agni, janganlah Neraka di kemudian hari, tetapi Neraka yang terlihat.
–
19 –
Polah
kang nora patut, nora pantes lamun sira turut, nora wurung rusak awake pribadi,
mulane wong urip iku, sabarang dipun was paos.
Artinya
:
Tingkah
yang tidak pantas, tidak pantas kalau ditiru, akibatnya akan merusak pribadimu,
oleh karenanya orang hidup itu, segala harus dipertimbangkan lebih dahulu.
–
20 –
Polah
kang nora jujur, iku wajib lamun sira singkur, ungkurena aywa kongsi bisa
kawijil, ujubena kang tuwajuh, kang wajib weruh Hyang Manon.
Artinya
:
Watak
yang tidak jujur, wajib dihindari, hindarilah jangan sampai terpengaruh,
buktikanlah dengan kesengguhan hati, yang seharusnya diketahui Hyang Manon.
–
21 –
Mula
wong urip iku, den padha akarep marang ngelmu, ala becik ngelmu iku den
kawruhi, karana atunggal wujud, mung kacek emel lan batos.
Artinya
:
Maka
orang hidup itu, janganlah berhenti belajar, baik dan buruk Ilmu itu harus
diketahui, karena sebenarnya adalah satu, hanya berbeda lafal dan batinnya.
–
22 –
Dene
ingkang wus weruh, datan arsa panggawe kang luput, sabab urip siji kanggo wong
sabumi, tarlen andhap sarta luhur, kacek uga kang wus weruh.
Artinya
:
Adapun
bagi yang mereka yang sudah mengetahui, takkan mau berbuat yang bukan-bukan,
karena hidup hanya satu untuk orang sedunia, tidak berbeda yang rendah maupun
yang tinggi, hanya berbeda bagi yang telah mengetahuinya.
–
23 –
Maknane
kang wis weruh, kang andulu liya kang dinulu, upamane ron suruh amung sawiji,
nadyan seje warnanipun, ginigit tunggal saraos.
Artinya
:
Artinya
bagi yang sudah tahu, yang melihat lain dari yang dilihatnya, umpama selembar
daun sirih, walaupun warnanya ada yang berbeda, tetapi kalau digigit sama
rasanya.
–
24 –
Iku
pralambangipun, kalamun sira arsa satuhu, tumameng nganeng madyanireng jaladri,
apa kang katon sireku, wawasan ingkang sayektos.
Artinya
:
Begitulah
ibaratnya, bila kau mempunyai kemauan yang keras, biasakanlah berada dalam
kancahnya sangdera, apapun yang kau saksikan, perhatikanlah dengan kesungguhan
hatimu.
–
25 –
Yen
sira dulu alun, dudu iku ingkang sira dulu, becik uga ombaking ngalun pinikir,
wong iku den kaya ngalun, gumulung tan pisah enggon.
Artinya
:
Bika
kau menyaksikan badai, bukan itu yang sebenarnya kau saksikan, tetapi
fikiranlah alunan gelombangnya badai itu, bergulung-gulung tiada terpisah
tempatnya.
–
26 –
Jembaring
samodragung, tanpa tepi anglangut kadulu, suprandene maksih gung manungsa iki,
alas jurang kali gunung, neng raganira wus katon.
Artinya
:
Luasnya
samudra raya, tiada bertepi dan sejauh mata memandang, tetapi masih besar
adanya manusia ini, hutan jurang sungai gunung, di dalam diri manusia.
–
27 –
Tana
prabedanipun, jagad katon lan jagadireku, wus tinimbang jagad gedhe jagad
cilik, suprandene wong puniku, sok sesak sasamining wong.
Artinya
:
Tiada
berbeda, dunia yang terlihat dan dunia dalam dirimu, sudah ditimbang adanya
jagad besar dan jagad kecil, walu begitu orang itu, terkadang penuh oleh syak
terhadap sesamanya.
–
28 –
Apa
margane iku, luwih abot tan bisa lumebu, sabab kebak kabebeg kaleban agni,
singa mara pan katunu, luwih nistha wong mangkono.
Artinya
:
Apakah
sebenarnya semua itu, lebih berat kalau tidak dapat masuk, karena penuh
tercemar oleh api, siapun yang mendekat pasti rugi, rendah yang serendahnya
orang yang begitu.
–
29 –
Yen
sira durung surup, tegese jagad cilik lan agung, jagad cilik jenenge manungsa
iki, iya batinira iku, yen jagad gedhe Hyang Manon.
Artinya
:
Bila
engkau belum mengetahui, arti bawana alit dan bawan ageng, bawana alit namanya
manusia ini, adalah batinmu, bila bawana ageng adalah Hyang Manon.
–
30 –
Manungsa
kang wus putus, jagad gedhe cilik kawengku, njaba njero ngisor ndhuwur
andarbeni, yen Maha Sih milaya iku, semang-semang mring Hyang Manon.
Artinya
:
Manusia
yang sudah pandai, bawana ageng dan alit sudah dikuasainya, luar dalam bawah
dan atas dikuasainya, bila Maha Kasih menghidupkannya, takut kepada Hyang
Manon.
–
31 –
Mangkana
kang wus putus, patraping wong kang anggilut mring ngelmu, iya patang prakara
kang den rasani, winanuhken alanipun, kang becik kininra awon.
Artinya
:
Begitulah
bagi mereka yang telah berilmu, suatu cara bagi orang yang mendalami suatu
ilmu, adalah empat perkara yang dibicarakannya, perkenalkanlah jeleknya, yang
baikpun akan dikira jelek.
–
32 –
Yen
sira apanuju, padon lan wong mondrosudibyanung, lan sang gyaning Ngatapa tuwin
Maharsi, myang pawong sanak sadulur, kang kaprenah tuwa anom.
Artinya
:
Bila
kau sedang, berdebat dengan orang ahli bertapa dan Maha Resi, kepada siapun
handai taulan sanak saudara, baik yang tua maupun muda.
–
33 –
Kang
wuswaspadeng semu, pituture rum ris rinangu, lir mangremih aruming rerasan
ngelmi, pamipradonggo munyawus, kandhih dening ngesnya kang wong.
Artinya
:
Bagi
yang telah faham terhadap isyarat, kata-katanya enak didengar dan mengetarkan
hati, bagaikan menyiratkan bau harumnya berbicara tentang ilmu, andaikan bunyi
nyanyian katak suaranya sudah, suaranya lenyap oleh keasikannya.
–
34 –
Dene
kang padha ngrungu, kang wus karem rosing siji iku, kekes tyase rumasa luhira
mijil, kemutan pratingkahipun, neng donya sok gawe awon.
Artinya
:
Adapun
yang mendengarkannya, yang sudah senang rasanya yang satu itu, bergetar hatinya
dan tak terasa terurai air mata, teringat berbagai perbuatannya, di dunia
sering berbuat jahat dan kesalahan.
–
35 –
Panggawe
ala iku. Donya kerat yen ngati kapatuh, tangeh lamun nemuwa pitutur becik,
mring Pengerane tan wanuh, tangeh weruha Hyang Manon.
Artinya
:
Perbuatan
jelek itu, kalau terlanjur akan diderita dunia dan akhirat, tidak akan
mendengarkan petunjuk yang baik, takkan tahu siapakah Tuhannya, tidak akan
mengetahui Hyang Manon.
–
36 –
Lali
yen tunggal dhapur, pan kalingan mring ki tukang padu, pan katarik mring semang
tukang manasi, rara melikan kang nuntun, nuduhken sang gawe awon.
Artinya
:
Lupa
Kalau satu wadah, karena terhalang oleh ki tukang bertengkar, juga terlibat
dalam bujukan tukang membuat gara-gara, rasa serakah yang menuntunnya,
menunjukkan caranya berbuat jelek.
–
37 –
Jaman
mangkana iku, uga padha karsaning Hyang Agung, nanging dudu dedununge den
lakoni, Hyang Sukma paring pituduh, nanging maksih salah dunong.
Artinya
:
Jaman
yang tersebut itu, tetapi juga kehendak Hyang Agung, tetapi perbuatan yang
tidak pada tempatnya, Hyang Sukma memberikan petunjuk, tetapi masih juga salah
menempatkannya.
–
38 –
Ana
dumukanipun, donya kerat iki tegesipun, wewalesan bae babo dipun eling, rehning
wong ngurip puniku, tan wurung nemahi layon.
Artinya
:
Ada
petunjuknya, dunia dan akherat itu artinya, merupakan pembalasan haruslah
diiangat-ingat, berhubung manusia hidup itu, pada akhirnya pun akan mati.
–
39 –
Ala
becik puniku, apan iya metu sing sireki, anambaka alaning liyan sireki, balik
alane wong ngelmu, tan metu saka ing kono.
Artinya
:
Buruk
dan baik itu, sebenarnya terlahir dari dirimu sendiri, batasilah diri dari
kejelekan dari orang lain, tetapi sebaliknya dari kejelekannya orang berilmu,
tidak keluar dari itu.
–
40 –
Kapriye
pratingkahmu, yen sira tinggal lakuning ngelmu, nora wurung kalurung gonira
urip, sanadyan sira wus ngelmu, yen tan laku dadi awon.
Artinya
:
Bagaimana
prakarsamu, bila kau meninggalkan sarananya ilmu, akhirnya akan tersesat
hidupmu, walaupun kau telah berilmu, bila tanpa sarana lampah jadi jelek.
–
41 –
Basa
kang aran laku, dudu wong kang cegah mangan turu, pan wong cegah turu wateke
yen lami, kancilen salin pandulu, tan wurung asalah tonoton.
Artinya
:
Arti
kata lampah, bukan orang yang mengurangi makan dan tidur, adapun orang yang
mengurangi tidur kalau kelamaan, mata terbelalak sukar tidur dan berganti
penglihatan, akhirnya salah pula yang dilihat.
–
42 –
Kang
cegah mangan iku, lin Pandhita dahar kayu gapuk, apa sira milik dadi uler turi,
suwargane dadi kupu, tan wurung binadhog bidho.
Artinya
:
Kalau
mencegah dan mengurangi makan, bagaikan Pendeta makan kayu lapuk, apakah kau
ingin menjadi ulat pohan turi, surganya menjadi kupu-kupu, akhirnya dimakan
burung elang.
–
43 –
Dene
kang cegah turu, dudu meleking netra satuhu, iya netra kang aneng telenging
batin, iku melek sajegipun, prapteng sujalma yen layon.
Artinya
:
Adapaun
yangmencegah tidur, bukan terbukanya mata semata, adalah mata yang berada di
dalam batin, mata batin itulah yang harus terbuka selamanya, sampai akhir
hayatnya.
–
44 –
Kang
cegah dhahar iku, datan arsa panggawe kang rusuh, bab kang patang prakara dipun
nastiti, tutupana kang barukut, ywa nganti bisa kawiyos.
Artinya
:
Begitu
pula mencegah makan, artinya tidak akan berbuat semaunya, empat rahasia hidup
harus terjaga benar, tutupilah dengan rapat, jangan sampai keluar.
PUPUH III
M I J I L
–
01 –
Kawedhara
iku bilaheni, memurung lelakon, angrerusak sabarang panggawe, lir reksasa krura
angajrihi, sabarang kaeksi, temah tan rinengu.
Artinya
:
Bila
dibicarakan itu berbahaya, membatalkan suatu rencana, merusak semua perbuatan,
bagaikan Raksasa kejam menakutkan, semua yang dikehendaki, tidak akan diragukan
lagi.
–
02 –
Poma
kekeren dipun aremit, dunungna kang manggon, ywa sulaya priyen kawedhare,
ujubena sariranireki, wayang aneng kelir, gyanira lumaku.
Artinya
:
Maka
haruslah dijaga dengan ketat, tempatkanlah pada tempat yang sebenarnya, jangan
sampai simpang siur penjabarannya, ketahuilah akan dirimu, wyang yang tergelar
di layar, bagaimana caranya berjalan.
–
03 –
Lamun
ana asikireng galih, kaki den was paos, obah osik ana kang agawe, iku sira
ulatana kaki, dununge kang osik, dene bisa kapangguh.
Artinya
:
Bila
timbul hasrat hati, haruslah berhati-hati, segala perbuatan ada yang membuat,
hal itu haruslah kau perhatikan, kedudukannya yang disebut kehendak, usahakan
sampai berhasil.
–
04 –
Pralambange
osikireng batin, yektine tanpa doh, lah badhenen tetulisan kiye, ingkang aran
sah iku kang endi, ingkang ireng mangsi, kertas ingkang pingul.
Artinya
:
Gambaran
suatu kehendak, sebenarnya tidak jauh, sekarang tebaklah tulisan ini, yang
bernama sah itu yang mana, yang hitam tinta, yang berbingkai itu kertas.
–
05 –
Dene
iya ingkang mengkoni, jro tulis kang katon, ulatana sapucuking epen, kang
durung wruh wruhana lamun mangsi, kang uningeng gaib, gumawang andulu.
Artinya
:
Adapun
yang menjadi bingkainya, di dalam tulis yang tampak, perhatikan pada ujung
pena, yang belum tahu berilah pengertian bahwa itulah tinta, yang telah
mengetahui gaib, jelas sekali kelihatan.
–
06 –
Nanging
tanpa gatra tanpa warni, tan kenging ginepok, mung satengu binubut gedhere,
suprandene bisa angebaki, warata sabumi, iya tanpa dunung.
Artinya
:
Tetapi
tak berbentuk tak berwarna, tak dapat terpegang tangan, besarnya hanya sebesar
kuman dibubut, walaupun begitu dapat memenuhi, merata di dunia, juga tidak
bertempat.
–
07 –
Sayektine
barang kang kaeksi, kono nggone manggon, ngalih enggon tan ana enggone,
sakedhepan ngalih ping sakethi, tegese mung siji, apan iya iku.
Artinya
:
Sebenarnya
apapun yang diinginkannya, disitulah tempat tinggalnya, berpindah tempat tak
ada lagi tempatnya, dalam sekejap berpindah seribu kali, artinya hanyalah satu,
yalah hanya itu.
–
08 –
Lan
sing prapta kang siratingali, tan kakung tan wadon, aranana wanita yektine,
baya wanita endah ing warni, yen sira arani, lanang yekti kakung.
Artinya
:
Yang
datang adalah yang kau lihat, bukan priya maupun wanita, katakanlah sebenarnya
adalah wanita, bila wanita sangatlah cantik, bila kau duga, priya pastilah dia
lelaki.
–
09 –
Luwih
guna lawan luwih sekti, kamantyan was paos, samubarang terang paninggale, nora
kena kumleset wus uning, nadyan jroning batin, Hyang Sukma wus weruh.
Artinya
:
Lebih
berguna dan lebih sakti, sesuatu petunjuk untuk menghargainya, semua barang
terang terlihat, tidak akan luput karena semua sudah tahu, walaupun di dalam
batin, Hyang Sukma sudah melihat.
–
10 –
Tanpa
cidra dennya wruh ing batin, tan netya yen anon, tanpa karmaning pamiyarsane,
tanpa grana mambu ganda sidik, lawan bisa angling, iya tanpa tutuk.
Artinya
:
Tanpa
cipta untuk mengetahui batin orang, bukanlah mata kalau tidak dapat melihat,
mendengar tanpa telinga, mencium bau harum tetapi tanpa hidung, dapt bercumbu,
juga tanpa mulut.
–
11 –
Kang
den anggo wus aneng sireki, sira tan rumaos, pangrasamu darbekira dhewe, nora
weruh kang sira ulati, siyang lawan ratri, jumeneng ngriku.
Artinya
:
Yang
dipergunakan sudah ada pada dirimu, kau tidak merasa, perasaanmu milikmu
sendiri, tidak melihat yang kau lihat, siang maupun malam, berada disitu.
–
12 –
Yen
tan lawan karsaning Hyang Widhi, obah osiking wong, kaya priye nggone
matrapake, yekti kaya reca neng Wadari, pralambanging urip. Lir angganing prau.
Artinya
:
Bila
tidak atas kehendak Hyang Widhi, gerak gerikny manusia, bagaimana caranya,
pastilah seperti arca di Wedari, gambarannya hidup, bagaikan perwujudan perahu.
–
13 –
Ingkang
aneng tengahing jaladri, lalakone kono, prau iku sapa nglakokake, yekti saking
karsaning Hyang Widhi, nadyan sikemudhi, pan manut ing banyu.
Artinya
:
Yang
berada di tengah laut, perjalanannya itu, perahu tersebut siapa yang
menjalankan, tentu dari kehendak Hyang Wdhi, walaupun si juru mudi, takkan
menurut pada kehendak air.
–
14 –
Pasthi
kaya mangkono wong urip. Yen sira maido, nyatakena iya prau kuwe, entasana
saking jroning warih, yekti nora mosik, mung kari nggalundhang.
Artinya
:
Tentulah
semacam itu orang hidup, bila kau tidak percaya, buktikanlah dalam perahu itu,
angkatlah dari dalam air, pastikanlah tak akan bergerak, tinggallah tergeletak.
–
15 –
Lamun
sira anggeguru kaki, mawanga ponang wong, kang wus ana sairib liribe, piwulange
kang ngampat mring Gaib, solah muna-muni, panengeran agung.
Artinya
:
Bila
kau berguru, perhatikanlah orang itu, yang sudah jelas keadaannya, ajarannya
yang menyangkut tentang ilmu gaib, perbuatan dan tutur katanya, pertanda
keagungan.
–
16 –
Mapan
akeh ngelmune Hyang Widhi, tan kena den uwor, warna-warna manungsa kawruhe,
upamane Sang Nata tinangkil, duk prapta ing kori, angungak andulu.
Artinya
:
Memang
banyak ilmunya Hyang Widhi, tak dapat diukur, bermacam-macam pengetahuan
manusia, diumpamakan Sang Raja sedang bersidang, ketika tiba di pintu,
disaksikan diduga.
–
17 –
Mantri
ingkang jaga aneng kori, tinarka Sang Katong, ajrih mulat sanget sumungkeme,
weneh ana mulat mring Bupati, tinarka Sang Aji, sembahe sumrikut.
Artinya
:
Mantri
yang menjaga di pintu, diduganya Sang Raja, karena takut memperhatikan bertatap
mata lalu menunduk, ada pula yang lain menyaksikan Sang Bupati, diduganya Sang
Raja, menyembahnyapun dengan takjim.
–
18 –
Wenenh
ana mulat Ki Patih, ing ngayap ponang wong, ginarebeg sagung punggawane,
panyanane Sang Sri Narapati, kang mangkana kaki, medem marang kawruh.
Artinya
:
Yang
lainnya ada pula yang menyaksikan Ki Patih, terlihat sekilas orang tersebut,
giringkan segenap anak buahnya, diduga adalah Sang Narpati, hal demikian itu,
mabuk ilmu.
–
19 –
Kang
ngulati marang Sri Bupati, wong jroning Kadhaton, dadak metu ngulati Ratune,
nora weruh yen Sri Narapati, tunggal jroning puri, dheweke wus wanuh.
Artinya
:
Yang
menyaksikan kepada Sang Bupati, orang yang berada di dalam keraton, mereka
keluar untuk menyaksikan Rajanya, tidak mengetahui di dalam puri itu juga,
merakapun telah mengenalnya.
–
20 –
Pamangkana
yen wong ngulah ngelmi, keh salah padudon, dudu padon dadakan dinaleh, nora
weruh kang sira ulati, siyang lawan ratri, wus aneng sireku.
Artinya
:
Apakah
begitu kalau orang mempelajari ilmu, banyak kesalahan dan bertengkar, bukannya
pertengkaran penyebab untuk mendapatkan sesuatu, tidak mengetahui yang
dilihatnya, siang maupun malam, sudah berada pada dirimu.
–
21 –
Satuhu
kawruh kang sayekti, tan tinggal Hyang Manon, datan ana tilase uwangi,
anglimputi ing reh kang dumadi, tan kena pinilih, ika iki iku.
Artinya
:
Sebenarnya
pengetahuan yang sejati, tidak akan meniadakan Hyang Manon, tidak berbekas dan
tidak meninggalkan wanginya, meliputi dalam pelajaran kehidupan, tidak dapat
dipilih, sana, sini, situ.
–
22 –
Sabab
lamun sira milih kaki, nora bisa dados, bali marang asalira dhewe, tilitinen
den bisa kapanggih, poma sira kaki, ywa mutung ing kalbu.
Artinya
:
Karena
seandainya kau memilih, tak akan dapat jadi, kembali ke asalnya, telitilah
dengan seksama agar dapat bertemu, camkanlah itu, janganlah berputus asa.
–
23 –
Lan
dununge kang kawan prakawis, takokna kang manggon, aja kongsi kaliru surupe,
keh arane kang kawan prakawis, karana yen sisip pamurunging laku.
Artinya
:
Adapun
makna dan kedudukan yang empat perkara, tanyakanlah kepada yang berada padanya,
jangan sampai salah pegertian, banyak sebutannya untuk yang empat perkara itu,
karena kalau salah, menggagalkan upaya.
–
24 –
Ingkang
abang upamane geni, murub angengobong, yen tan bisa kaki panyirepe, jagad iki
sayekti kabesmi, Malekat Ngijroil, nunggil karsanipun.
Artinya
:
Merah
yang melambangkan api, menyala dan dapat membakar apa saja, bila tidak dapat
memadamkannya, dunia ini akan terbakar habis, Malaikat Ijroil, berada padanya.
–
25 –
Ingkang
sidik iya aji kuning, kasengsem mring wadon, mamilikan ing kana margane,
ambebawur ing cipta kang becik, Malekat Mikail, nunggil karsanipun.
Artinya
:
Yang
menyengsamkan hati adalah Aji Kuning, terbuai kepada keindahan dan wanita,
mengutamakan keinginan itulah jalannya, bercampur aduk pada cipta hati yang
mulia, Malaikat Mikail, menyatu dalam kehendak.
–
26 –
Dene
iya ati ingkang langking, santosa kinaot, mung ngrerusak sabarang panggawe,
datan arsa panggawe kang becik, Malekat Jabrail, kang nunggal jumunung.
Artinya
:
Adalah
warna hitam, mempunyai sifat perkasa, namun sifatnya merusak, tidak mau berbuat
yang baik, Malaikat Jibril, yang menyatu dalam sifat itu.
–
27 –
Dene
iya ati ingkang putih, sayektine kinaot, ati jinem terang saciptane, kalestaren
panggawe kang becik, Malekat Isropil, kang nunggal jumurung.
Artinya
:
Adapun
sifat yang berwarna putih, benar-benar berbeda keadaannya, sifat damai dan
terang segala perbuatannya, selalu melakukan perbuatan yang baik, Malaikat
Isrofil, yang menyatu dalam kehendak.
–
28 –-
Poma
sagung anak putu mami, den samya rumaos, rubedeng tyas kawruh ana kabeh, datan
liyan mung catur prakawis, poma den nastiti, ywana salah surup