Dawuh Dalem Sri Susuhunan Pakubuwono IV
Sri
Susuhunan Pakubuwana IV (sering disingkat sebagai PB IV; 2 September 1768 – 2
Oktober 1820) adalah susuhunan ketiga Surakarta yang memerintah tahun
1788–1820. Ia dijuluki sebagai Sunan Bagus, karena naik takhta dalam usia muda
dan berwajah tampan.
Nama
aslinya adalah Raden Mas Subadya, putra Pakubuwana III yang lahir dari
permaisuri GKR. Kencana, keturunan Sultan Demak. Ia dilahirkan tanggal 2
September 1768 dan naik takhta tanggal 29 September 1788, dalam usia 20 tahun.
Masa Kekuasaan
Pakubuwana
IV adalah susuhunan Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda
dengan ayahnya yang kurang cakap. Ia adalah pemeluk Islam yang taat dan
mengangkat para ulama dalam pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para
pejabat berkecenderungan mistik yang sudah mapan di istana.
Pakubuwana
IV dalam babad-babad sejarah politik lebih dikenal melalui ambisi besarnya
untuk mempersatukan kembali Surakarta dengan Yogyakarta, yang berujung kepada
dua peristiwa besar, yakni Pakepung (pengepungan Kasunanan oleh tentara Madura,
Yogyakarta dan Mangkunegaran pada tahun 1790) serta Sepehi.
Peristiwa Pakepung
Keadaan
Surakarta semakin tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC
untuk menghadapi raja. Pakubuwana IV sendiri membenci VOC terutama atas sikap
residen Surakarta bernama W.A. Palm yang korup.
Residen Surakarta pengganti Palm yang bernama Andries Hartsinck terbukti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pakubuwana IV. VOC mulai cemas dan menduga Hartsinck dimanfaatkan Pakubuwana IV sebagai alat perusak dari dalam.
VOC
akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi
Pakubuwana IV. Pada November 1790 VOC bersama mereka mengepung Keraton
Surakarta. Mereka menyerang dari tiga arah. Dari selatan oleh Hamengkubuana I,
arah utara oleh Mankunegara I dan arah barat oleh pasukan VOC.[3] Dari dalam
istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV
agar menyingkirkan para penasihat rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung.
Pakubuwana
IV akhirnya mengaku kalah pada 26 November 1790 dengan menyerahkan para
penasihatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC.
Hubungan dengan pasukan sipahi
Melalui
Mangkubumi dan Baurekso, pasukan sipahi berhasil berkenalan dengan Sunan.
Kontak pertama dilakukan oleh Dhaukul Singh yang mengunjungi Sunan di keraton
dengan gambar Rama di tangannya. Ia kemudian menyanjung Sunan dengan berkata,
"Jika Anda adalah keturunan dari seorang pemuja Rama yang agung, maka Anda
adalah tuanku". Sunan yang terkesan dengan ucapan ini kemudian memberikan
300 dolar Spanyol (jika dinilai dengan kurs sekarang kira-kira bernilai 135
juta rupiah). Kunjungan awal ini juga diikuti oleh Ripaul Singh, ia memberikan
pertunjukkan tari dan senam di kamar pribadi Sunan di keraton. Ia juga diberi hadiah
oleh Sunan berupa kalung emas, gelang, anting-anting, dan berbagai jenis kain.
Ripaul juga memperkenalkan seorang prajurit sipahi lainnya, yang bernama Mata
Deen, ke Sunan yang dapat berbicara bahasa Melayu dengan baik.
Sunan
juga sering menghadiri berbagai upacara Hindu yang diadakan di Benteng
Vastenburg. Ia biasa datang sendirian sambil menyamar sebagai rakyat biasa,
tetapi kadang-kadang juga ditemani anggota keluarganya ketika datang dengan
naik kereta. Dalam kesempatan seperti ini, Sunan akan disambut oleh Mata Deen
dan Dhaukul Singh.
Ambisi politik dan sikap terhadap Yogyakarta
Pakubuwana
IV dikenal sebagai penguasa yang licik, tak terduga, dan ambisius. Salah satu
ambisinya adalah menghancurkan Yogyakarta sekaligus mengembalikan supremasi
politik Surakarta di Jawa Tengah bagian selatan.
Di
saat yang bersamaan, munculnya desas-desus tentang pengembalian kekuasaan
Belanda di Jawa dan kekhawatiran pasukan Sipahi di Jawa tentang nasib mereka
karena muncul desas-desus mereka akan dijual ke pemerintah Belanda untuk
menjamin keselamatan pemerintah Belanda ketika kembali berkuasa. Sejak saat
itulah berdasarkan bukti dari Patih Sosroadiningrat II muncul hubungan antara
garnisun sipahi di Surakarta dengan Pakubuwana IV. Ia berhasil dibujuk untuk
menggunakan pasukan sipahi yang tidak puas untuk memenuhi ambisi politiknya
sendiri di Jawa Tengah bagian selatan.
Kelicikan
Pakubuwana IV terlihat ketika ia berusaha untuk membujuk Hamengkubuwana II melalui
sebuah korespondensi rahasia sejak 1811 hingga 1812 untuk melawan Inggris
menggunakan kekerasan dengan harapan tindakan gegabah ini akan menghancurkan
Yogykarta. Untuk meyakinkan Hamengkubuwana II, Pakubuwana IV menawarkan
dukungan militer jika terjadi peperangan dengan Inggris. Kesepakatan tersebut
diratifikasi dalam sebuah perjanjian rahasia pada Maret 1812. Namun, ketika
Raffles menyerang Yogyakarta pada bulan Juni di tahun yang sama, Sunan tidak
mengirimkan bantuan sama sekali dan justru menunggu hasil dari pertempuran tersebut.
Selain itu, salinan korespondensi rahasia antara Sunan dengan Hamengkubuwana II
jatuh ke tangan Inggris ketika penjarahan keraton. Bukti korespondensi rahasia
dan kenyataan bahwa pasukan Surakarta ditempatkan di seberang jalur komunikasi
Inggris selama penyerangan ke Yogyakarta hampir membuat Raffles menyerang
Surakarta dan menggulingkan Sunan. Namun, ia mengampuni Sunan dengan menyetujui
pemberhentian Patih Surakarta, Raden Adipati Cokronegoro, yang memegang peran
kunci dalam persekongkolan dengan Yogyakarta.
Mendirikan Pesantren Jamsaren
Pakubuwana
IV memberi izin kepada Kyai Jamsari untuk mendirikan sebuah pondok pesantren
yang kemudian diberi nama Pesantren Jamsaren. Setiap tahun, Pakubuwana IV
memberi donasi ke pesantren sebagai wujud kepedulian terhadap perkembangan
pendidikan islam di Surakarta. Pesantren Jamsaren sempat dibubarkan oleh
pemerintah kolonial karena keterlibatannya dalam Perang Diponegoro sehingga
mengakibatkan pengembangan pendidikan islam di Surakarta mengalami stagnansi.
Setelah ditutup selama kurang lebih 40 tahun, Pesantren Jamsaren kembali
beroperasi pada masa Pakubuwana X.
Orgel
atau kotak musik pemberian dari Napoleon Bonaparte untuk Susuhunan Pakubuwana
IV. Sekarang kotak musik ini tersimpan di Museum Radya Pustaka.
Akhir Pemerintahan
Pakubuwana
IV masih menjadi raja Surakarta tanpa diturunkan Inggris. Sebaliknya, ia
mengalami pergantian pemerintah penjajah, dari Inggris kembali kepada Belanda
pada 1816. Pakubuwana IV meninggal dunia pada 2 Oktober 1820. Ia digantikan
putranya yang bergelar Pakubuwana V. Selain Pakubuwana V, ada dua lagi putra
Pakubuwana IV yang menjadi raja Surakarta, yaitu Pakubuwana VII dan Pakubuwana
VIII.
DAWUH DALEM SRI SUSUHUNAN PAKUBUWONO IV
Dawuh I
Titi
temen iku witing tinemu,
Nanging
tinemu iku ora gampang,
Karananè
apepikul tanduk,
Tandya
tanggap lan tanggon.
Mulat
mulet mangertiya,
Ing
pakarti utami,
Samun
suwunging rejeki,
Ngedhohna
sabarang pakarti kang cidra,
Dimèn
ora kanyut-kenyut,
Handadra
dadi rubèda.
Kamis
Pahing, 22 Juli 1993.
Dawuh II
Ngribeti
rekasanè nerang anerak sarak,
Rembugè
andaliga,
Mawali
prawali,
Winalon
kurang walaka.
Setu
Wage, 24 Juli 1943.
Dawuh III
Tinulis
tatananè wus tinata,
Tinular
ujar kababar lan kawedhar,
Sinung
èman amalikè jaman,
Raja
tan bèda sèla,
Ratu
watu sasamiya.
Raja
tama tinuladha,
Sèla
aji rinukti,
Ratu
tinutuhu,
Watu
tinatu,
Antepa
ing karya,
Darma
dadi tapanira.
Aja
wedi ing karya tami,
Nadyang
bilah satrunira,
Ing
tèkad dipun santosa,
Aja
ngrasani pati,
Pan
tan wenang sira ngrasani,
Kersaning
Hyang Widhi.
Yèn
wus tibaning pasthi,
Nora
pilih marga lan karana,
Kala
mati ing wisma,
Kala
sirna ing laga,
Becik
mati kang utama,
Sumbaga
dadi ngamalè trahira,
Ěstu
jaya sadaya samya raharja.
Selasa
Pahing, 27 Mei 1993.
Dawuh IV
Tepa
tepas tan bakal titi,
Luwè
luwar saka luweng sedyanira,
Angga
gawa gawè iku wus utami,
Gawè
gawa gawat iku maksiyat.
Sega
sagolong,
Gabah
satampah,
Kamamah
ora bakal turah,
Ěman
dènnya snilsr nalar,
Nalurèkna
nala,
Nalangsakna
jiwa,
Tata
laku wis linakonan,
Agung
ruginya yènta bali,
Ambablas
tiwas yènta nyangking upas,
Gurung
garing ginarang ngorong,
Luwè
lawet lawè lali wulang luhung,
Ěling
dèn èling,
Awas
lan mawas,
Lungguhnya,
Longgarna,
Nglengganakna
nalarira.
Kamis
Wage, 29 Juli 1993.
Dawuh V
Wengkonè
wis kawikan,
Nambak,
nambeng ning nampani,
Ditya
kala kang dèn rasa,
Ngupasi,
ngapesi lan ngapusi,
Katawur
kuwur kurdanya,
Uwas
samar,
Samat
angrasa,
Nyingkur
utama,
Bandha
donya kang dèn sedya.
Warangka
yen winarangan,
Wirang
wragadipun,
Datan
suluk kang kantuk,
Malah
sulak ing akathah,
Lir
sampir sinampir ing sampur,
Nglemprek
nglempara guwaya sirna.
Setu
Legi, 31 Juli 1993.
Dawuh VI
Wikanana
werdining ilmi,
Wijang
tan winulang bisa tana tuladha,
Wengkonè
wadi wis winenga,
Nengga
angga kang santosa.
Puger
puguh anggulang,
anggelung
kawruh,
Yènta
wis mangerti aja kusung makarti,
Teliti
setiti ngati-ati,
Iku
kang kudu dèn kanthi.
Awit
makarti ing pakarti,
Tan
rena yèn dirasa,
Tabah,
tabuh, tambal winadalan,
Amung
jalma kang awatak satriya,
Santosa
ing karsa,
Ngeningakè
maligining cipta,
Lepas
pangèksi,
Datan
samar pamoing parasedyanira.
Sangkanè
siku,
Yènta
manungsa rumangsa bisa,
Bisa
rumangsa iku utamaning laku,
Rasa
dèn rasuken nala rasukanè,
Rasa
rinasukan driya,
Rumangsa
kahananè.
Aja
kemba yèn tiba,
Aja
mundur yèn kebentur,
Tiba
akarana dosa lan coba,
Padha
uwitè sèda awohè,
Sinung
sunu pinulang mlaku,
Yènta
wedi tatu,
Tan
bakal lumayu.
Telengè
tales tinulung pulung,
Tanpa
aling-aling,
Lumunturè
pakarti luhur,
Datan
gawè kuwur ing catur,
Wuwus
wawas kang lagi kinupas,
Waspada
ing karsa,
Nupiksi
ing ngèlmi.
Setu
Legi, 31 Juli 1993.
Dawuh VII
Nupiksia
marang tuladha utami,
Sang
Adipati limalas warsi mesu budi,
Mlebu
wana andon yuda,
Yudaning
raga.
Sarta
yudaning rasa,
Raga
rusak tan dèn rasa,
Amung
sedya maligining karsa,
Sedya
utama mbangun praja,
Mukti
wibawa sawadyanira,
Putra
wayah sami sumrambah.
Yènta
jaman puniki,
Sang
Adipati kadya cendhana wangi,
Nadyan
cendhana wus sirna,
Ambetè
tksih kalebet,
Mula
dèn uninga,
Aja
ngrasa hangengkoki,
Hangrasaa
mèlu nempil mulya,
Kasembet
ambet kang wus kalebet.
Pamoring
curiga anggawa daya,
Pamèring
donya anggawa nistha,
Pepering
angkara kang kudu dèn sedya,
Bener
lan pener aminger yèn dèn uber,
Amalik
kuwalik,
Ora
gedhè ora cilik,
Akèh
kang wus padha sirik.
Bener
ora pesthi yèn pener,
Salah
akèh sing pada kaprah,
Anapakna
raga dimèn waskitha,
Pangekesing
pancadriya agawè uwal ing angkara.
Jumuwah
Pahing, 8 Agustus 1993.
Dawuh VIII
Paranpara
pirang-pirang paraganè,
Pira-pira
paring pepèrangan,
Purun
paring yènta pinaringan,
Rasa
rusak anilar nalar,
Nalar
nalisir ing utami.
Tamèng
tambeng kang dèn gebeng,
Bengkung
mlengkung ora tepung,
Tepak
jalak ora gupak.
Pakarti
aji wis tinilar sami,
Minger
saka waler kang bener,
Makarti
aji datan diudi,
Tata
cara amung ukara.
Rasakna
yèn rumangsa sinatriya,
Aja
bungkem asta kagegem,
Gempilè
praja kewajibanira,
Aja
suwala ing karya,
Aja
sèlak ing tumindak.
Pudhak
pungkur bisa kaukur,
Pendhok
curiga bisa karèka,
Karengkuh
ing pakarti tami.
Mirengna
panjeriting rasa,
Sunu
lara tan ana tamba,
Bandha
lunga kapaèka,
Kacampur
awur tan bisa diatur.
Turasing
luhur dalah turasing sudra,
Dranakna
kasisanira,
Aja
mèlik nugraha kang tinampa,
Pancènè
iku kuwajibanira,
Netepi
darma jejeging praja.
Jumuwah
Pahing, 6 Agustus 1993.
Dawuh IX
Angudang
kadang katantang,
Tinudhing
nyandhing kantandhing,
Rasa
ruse racik rinucik,
Rèwang
rowa rawit rinawè,
Sarèh
sumèlèh sura ing rasa.
Galerè
galar tan mesthi galur,
Galurè
galar wis mesthi galer,
Gulang
piwulang dimèn wijang,
Gelar
kawedhar dhatan samar,
Gelung
kidung tansah manekung.
Dumadi
wis pinasthi,
Kangèlan
lan kèlangan iku sandhangan,
Kekurangan
pinangka wewayangan,
Budi
daya datan tinilar,
Raharjaning
angga dèn upaya,
Manungku
puja,
Angèsthi
tentreming driya.
Setu
Pon, 7 Agustus 1993.
Dawuh X
Tetepa
titi ing tatanan,
Taberi
makarti tepa ing tuladha,
Tularna
samya mandhap ing kawula,
Kawuryanira
nggawa kuncaraning praja,
Praptèng
manca wus mesthi teka,
Tèkadna
sabarang pakarti utami,
Utamakna
raharjaning praja,
Pradhaha
jaja ing sabarang ukara,
Ukirna
salebeting nala,
Nalarna
kanthi meneping rasa.
Rumangsa
kuwasa datan utama,
Ubalè
hawa balèkna ing karsa,
Karana
sira mung sarana,
Andhedhera
wewaler kang bener,
Anandura
pakarti kang luhur,
Rinukti
klawan nastiti,
Rinabuk
piwulang Jawi,
Wikanana
sajatining Jawa.
Waja
salebeting rasa,
Santosa
ing karsa,
Kuwat
ing tèkad,
Kawuwung
yèn tan ngerti.
Tinularna
mring para mudha,
Dahat
sami anupiksi,
Sigra
sigrak amemiyak,
Kawruh
Jawa kang adiguna,
Nadyan
rasa durung kuwawa,
Warinna
samurwatira.
Randhu
kèntir tan susup ing banyu,
Nyucèkna
jiwangganira,
Rakiten
busananing jurit,
Junjungen
warastra budaya.
Budi
kang luhur,
Daya
kang santosa,
Samektakna
tamèngè rasa,
Antepa
ing karsa dadi bètèngè praja.
Jawa
jinawat datan pegat,
Gatining
cipta,
Gatining
rasa,
Gatining
karsa,
Sejatining
caraka kang nyata.
Senen
Kliwon, 9 Agustus 1993.
Dawuh XI
Angga
anggadhang nugraha,
Amung
gela kang dèn tampa,
Pana
sajatining kang kawasa,
Saka
mosiking nala,
Lamun
sira durung priksa,
Satuhunè
kang dèn sedya,
Aja
ngukara ing pepènginan,
Nanging
panalangsa kang dèn rasa.
Tukunè
ilmu karana laku,
Lakunè
ngèlmu wis mesthi tatu,
Tatunè
titi yèn tinitihan.
Selasa
Legi, 10 Agustus 1993.
Dawuh XII
Wira
wiri waraganè golèk wuruk,
Wara-wara
andum warih wewirèngan,
Waranggana
warung wirang kawirangan,
Weruh-weruh
pra wira pasang warang.
Kayu
turu tumelung tirta,
Lèmèk
raga siniram toya,
Krenteg
tama gawa begja,
Tandhuk
tama antuk nugraha.
Tlaga
jembar tepis praja,
Mbarawa
dèsa dèn uninga,
Weninga
sira dalem sadina,
Sabarang
dadi kang cinipta.
Dhayoh
wengi nggawa graji,
Nedya
teka golèk lèna,
Ělinga
sira dalem sadina,
Sabarang
ana kang sinedya.
Suka
samya ing ukara,
Gancaranè
panganggitè,
Temena
sira ing salawasè,
Nugraha
gedhè kang diparingakè.
Rebo
Pahing, 11 Agustus 1993.
Dawuh XIII
Makarya
iku sejatinè darma,
Memayu
raharjaning warga,
Gawè
renanè suta,
Tinabekti
ing rabi,
Bisa
linulutan ing mitra,
Rasakna
sihing palimarma,
Makarya
amung minangka srana,
Aja
mètung akèh lan sithik,
Sinengker
ing ukara yè dirasa.
Sethithik
turah yèn antuk berkah,
Akèh
kurang yèn kena penandhang,
Angga
gawa gawè,
Gawè
anggawa arta,
Dayanè
arta agawè suka lan rena,
Nanging
èling dèn èling,
Linggara
saka gawènè maksiyat.
Antepa
ing tèkad,
Kinanthi
mulat lan nulad,
Nuladhaa
urip kang prasaja,
Jamanè
saya kusem,
Akèh
pakarti kèrem.
Tirta
damar sinebaring latar,
Lonthang-lanthung
rasa rusek ati bingung,
Unggulè
sedya amung kandheg ana rasa,
Saparan-paran
tansah krasa kasamaran,
Nganti
ratri amung ana rasa sepi,
Sepi
sepa,
Rasa
jalma kang tanpa karya,
Aji
kayu garing kanggo nggarang.
Yogyanira
para mudha,
Aja
wegah olah ilmi,
Ilmi
gelar wis sinebar,
Ilmi
karti diudi sami,
Minangka
sangunira.
Anamgun
yuwananing wisma,
Makarya
ing upaya,
Upayanen
rahayuning warga,
Galah
gndhing tinata miring,
Tetulunga
samya lir legawa,
Wajib
netepi darmaning gesang,
Sangunè
bali yèn wis titi,
Tinimbalan
sang Hyang Widhi.
Kemis
Pon, 12 Agustus 1993.
Dawuh XIV
Titinen
tataran kang tinata,
Tatananè
wis mesti tinitihan,
Titinè
nengga tatanan kang tumata,
Ěwuh
aya yèn dirasa,
Rasa
runtik yèn digitik,
Kagèmbol
malah mrojol,
Mlorot
kadya krokot ana ngepot,
Gayuhen
tuwuh aja kakèhan èwuh,
Tan
rumangsa ilang nanging menang,
Aja
ngrasa kekeranè kang kawasa,
Kuwasanira
amung ana ing pambudi,
Diantepana
darmanira ing karya.
Jumuwah
Wage, 13 Agsutus 1993.
Dawuh XV
Yekti
ngelmi dèn ngertiya,
Sithik
kacuplik walik ing ukara.
Hanacaraka
carakanè,
Dhat
tan suwung ing angga,
Padha
jaya samya prapta ing alaga,
Manggih
bathang dèn ngantya,
Kala
nyanga lakonana.
Huripè
hanguripana,
Nuladha
pakarti kang wus trawaca,
Cidra
aja dèn ukara,
Rembugnya
ingkang walaka,
Krana
walaka nyedhakaken panedya,
Dèn
lali ing paminta,
Tumelung
marang kang kawasa.
Setu
Kliwon, 14 Agustus 1993.
Dawuh XVI
Sedyanè
karsa ambuka nala kanthi basa ngliga,
Gitik
rasa ngrumangsanana jawanira,
Werdinè
sinengker ing wadi,
Karana
kebak ilmi,
Ngilmi
tami tinutur saking praluhur,
Lumuntur
kita sami,
Samya
kasrambah ing berkah.
Winadi
ing werdi wulang wuruk,
Piwulang
kang walaka,
Ing
rasa mung welas tan karana wales,
Leksanakna
ing jiwangga,
Anggawa
gegaraning guna lan gati,
Tinulad
ing sesami,
Tinular
mring para siwi.
Akad
Legi, 15 Agustus 1993.
Dawuh XVII
Yektos
ngertos ing batos,
Wening
uning ing uni,
Panjeting
rasa angajab ing karya,
Amangun
yuwananing warga,
Gegaraning
urip tumitah ing praja,
Jangkanira
bener amung kurang pener,
Yènta
luput amung kepèncut ing patut.
Tumalunga
ing rasa,
Apa
karya kang sanyata,
Tindak
tama,
Tepa
tuladha,
Wur
lan sembur,
Rinakit
ing karya uga,
Gancarè
ukara,
Karya
nora kudu nangkarakè upa,
Panaa
sajatinè kang ana,
Nataa
ing rasa uninga karyanira,
Rabuking
jiwa.
Kang
dèn ukara wis sanyata,
Tan
ngemungakè upa kang den sedya,
Ananging
pakarti utama kang dèn utamakna,
Ora
ngemungakè sawarga,
Nanging
sumrambah sapraja,
Jembarna
pamawasira,
Jumbuhna
mring kaweruh,
Wruhana
kang sayekti,
Yektinè
tan kabèh pikolèh amakarya,
Angukara
ing pakarti tami iki beja,
Bisa
angrasa angukara ing karya tama.
Senen
Pahing, 16 Agustus 1993.
Dawuh XVIII
Antepa
ing laku dimèn linakonan,
Anepakna
tapa dimèn tinapakan,
Yènta
wani memet wus mesthi kamomotan,
Tuwa
mesthi tuwuh,
Tuwuhing
umur,
Tan
mesthi gawa sembur lan tutur,
Tuwuhing
tuwas malah anggawa upas,
Hangupayaa
tuwa tuwuh kang sepuh,
Sepi
sepa ing pamrih,
Murih
gawè rahayunè sasami,
Sami
samya rinesepan ing kawruh.
Wruhana
sanyatanya,
Tuwa
tuwas ambrabas kaya gambas,
Tuwa
tuwuh tan kena digegayuh.
Tuwa
sepuh tan sepen ing kawruh,
Melati
saji bisa malati,
Menganè
lathi bisa ndrawasi,
Meneping
ati kang kudu dèn udi,
Megaring
budi kanthi pakarti kang utami.
Senen
Pahing, 16 Agustus 1993.
Dawuh XIX
Sinom
Tinitah
satriya praja,
Jibahanè
ing nagari,
Rialatè
ja tinilar,
Lara
lapa jroning ati,
Dimèn
wening lang uning,
Ing
kawruh kang karengkuh,
Utama
tumrap sira,
Santiyasa
(sanityasa) pinrihatin,
Tilar
hawa napsu cipta mulya ana.
Angayun
ing kayuwanan,
Karaharjaning
sasami,
Samya
kasrambahing berkah,
Berkahing
kang Maha Asih,
Antepa
ing pakarti,
Paring
tuladha kang tuhu,
Tinulad
ing kawula,
Kuwawa
ing pangaji,
Jiwaning
satriya kang netepi darma.
Mawarna
laku ing cara,
Cara
kanggo ngudi ilmi,
Mingkur
saka ing ukara,
Rasa
utama ing werdi,
Ingaran
maling yekti,
Tan
ana jalma kang sinung,
Nupiksi
sedya karsa,
Amung
angganing pribadi,
Ing
sayekti mangerti sedyaning rasa.
Ana
manèh ing ukara,
Utang
aja dèn sauri,
Sanyata
wadi ukara,
Karana
tan nèndra wengi,
Iku
yektinè mung apus,
Panedya
tanpa guna,
Arasykna
aja sisip,
Saè
ing werdi ala ing pangukara.
Rebo
Wage, 18 Agustus 1993.
Dawuh XX
…………………
…………………
Dawuh XXI
Gambuh
Samektana
ing atur,
Tumrapa
sami mring para luhur,
Lumuntura
welas dahat anupiksi,
Sigra
arsa paring byantu,
Tumut
mbèngkas ing lelakon.
Kanthi
teteping laku,
Kuwat
ameper sakèhing napsu,
Sumundhul
gegana marak mring Hyang Widhi,
Wijangna
sadaya atur,
Tumandhes
saklèbet batos.
Budi
daya tan langkung,
Lirnya
nundhung mendhung kang tumlawung,
Tetepa
anetepi ati kang suci,
Sedya
rasa dadi laku,
Kukuh
manggih karahayon.
Setu
pahing, 21 Agustus 1993.
Dawuh XXII
Amiya
tirta awatang warih,
Warana
rasa rinengga karya,
Kapatah
mbedhah rasa resah,
Ranu
tama nengga samya.
Myarsakna
apa kang wus kaukara,
Ukaranè
rinacik walik,
Walaka
nyata wijang ing piwulang,
Pranyata
ana lan wis kaukara.
Rasa
nala kang sira sedya,
Semang-semang
tan gawa padhang,
Piwulang
tama ginulang,
Sinung
nupiksi werdi kang nyata,
Tan
bakal sisip susup ing surup.
Rupa-rupa
rerupan kang kasat nètra,
Ana
ganda tan tinanpa ing grana,
Ana
swara tan tinampa ing karna,
Kekeranè
alam suwung asepi,
Pirang-pirang
wadi kang tan kawedènan,
Karana
kasengker ing Widhi.
Wikanana
kang anyata,
Anulada
kang utama,
Makarti
tami nugraha katampi,
Piwulang
aji tinemu mesthi.
Selasa
Kliwon, 24 agustus 1993.
Dawuh XXIII
Pangkur
Yektinè
sun tan amulang,
Alangkung
amejang medhar bab pati,
Pangaksami
kang dèn langkung,
Longgarna
ing pangrasa,
Sedyaning
rasa amung urun ing tembung,
Tekanè
rasa kang ana,
Aja
dadi ing pangrasa.
Sakgaduking
rasa ana,
Ngaurip
kapindho pisan ing pati,
Titisa
sanadyan durung,
Dunungè
ingkang sirna,
Sayektinè
mung pancadriya lan napsu,
Sumilak
ilang sipatnya,
Suminggah
ing sukma ing sukma lunga.
Ngawuningana
ing badan,
Bali
mula kumkumaning alami,
Angin
rinasuk ing bayu,
Banyu
bali ing tirta,
Titipaning
latu luluh myang agni gung,
Amanjing
siti bawana,
Bubar
anengga kababar.
Kawruhana
kang sanyata,
Nyatanya
jasad pun maksih makarti,
Tilaraning
sutapa luhung,
Ludira
geni donga,
Nguripi
ing tandur tirta saking balung,
Bawana
subur dagingnya,
Hawa
sèta king napasnya.
Nyawisna
ing laku tama,
Manekung
manungku puja mring Widhi,
Dimèn
antuk ing sesurup,
Sumurup
kang tan pana,
Priyangga
praja kang luhur lan wis dunung,
Nunggalkè
rasaning angga,
Gaduk
nora mung punika.
Kamis
Pahing, 26 Agustus 1993.
Dawuh XXIV
Gambuh
Sedyaningsun
wèh tutur,
Thukul
rasa asih kang lumuntur,
Lumintua
berkah mring kang arsa ngèksi,
Sinau
sanèpan luhung,
Unggulè
laku ing lakon.
Kanthi
meneping kalbu,
Bukak
wrana crita kang dèn rungu,
Ngawuningana
caritanè sumantri,
Sanèpaning
tyas manekung,
Mangèsthi
sucining batos.
Binujeng
hawa napsu,
Sukasrana
pralambang ing tembung,
Tembung
sanèpan srana sukaning ati,
Tinilar
kedah dados laku,
Kukuh
sowan mring Hyang Manon.
Ma
prabu sasrabahu,
Bahu
panguwaos sasra sèwu,
Wuwusing
tembung yekti mung Hyang Widhi,
Wijangna
lebetna kalbu,
Buntas
kawruh landhep raos.
Rakitaning
pra luhur,
Luwes
lemes ing piwulang semu,
Sedya
paring pitutur mring kita sami,
Sampun
sisip susup surup,
Sumurupa
mring wewaton.
Setu
Wage, 28 Agustus 1993.
Dawuh XXV
Rinasa
pinesepan lan rinasukan,
Anilar
sabarang kang gumebyar,
Bareng
tinilar anggit kang ginigit,
Gebeng
tan ginebengan mung kari anteng,
Anteng
rinasa ing teleng,
Lengudè
ana liyepè sirna,
Sir
hening gaib hening sir daya gaib daya,
Cinipta
dadi kang sinedya,
Sonya
sepa ing rasa,
Krasa
ana nanging ora,
Ora
krasa nanging ana,
Wus
nyawiji dadi siji.
Setu
Wage, 28 Agustus 1993.
Dawuh XXVI
Dhandhanggula
Yektinè
sun atandang ing asih,
Amanis
ukara kang tinampa,
Paring
luhur dèn lunturkè,
Lumantar
rasa tuhu,
Upadinen
akanthi ilmi,
Miyaka
rasa angga,
Nggonen
yèn wus weruh,
Wruhana
yèn durung pirsa,
Satuhu
sinisipan ing ilmu jati,
Titia
tinitah jalma.
Manungkul
mangèsthi maring batin,
Bubarè
alaming kasunyatan,
Sumilaknya
kahananè,
Karasa
tan binendung,
Alam
padhang kang tanpa tepi,
Tetepana
ing karsa,
Sumarah
Hyang Ma Gung,
Unggahè
ing alam nyawa,
Nyawijèkna
rerupanira pribadi,
Dèn
ngerti lan waspada.
Wenganè
marga maring alam sir,
Sinung
alam rasa ya siriyah,
Sinusul
catur warnanè,
Wahyanya
saking napsu,
Sèta
abang cemeng lan kuning,
Kukuhna
tèkadira,
Tan
susup ing samun,
Sayektinè
godha ana,
Nawur
samya maring pakarti kang suci,
Sumangga
dèn prayitna.
Pranyata
wus minggah lan ginanti,
Tinilar
sampun alam siriyah,
Alam
cahya dumadine,
Dudut
rasaning kalbu,
Babar
ginelar panca warni,
Wahyanya
pancadriya,
Ya
alam pituduh,
Nuduhakè
kraton kang ana,
Nanging
dèn titi dudu kraton kang jati,
Jer
kraton panasaran.
Sarengè
cahya ireng kang manjing,
Ing
kono kratonè gegremetan,
Gumawang
abang warnanè,
Bekasakan
kang dunung,
Datè
peksi ing cahya kuning,
Kang
sèta sato tirta,
Sarta
buron banyu,
Babaring
ijo ing warna,
Alaming
datè tetuwuhan sawiji,
Wijanga
jroning rasa.
Sirna
cahya lima mijil siji,
Sinawang
nggawang sak sada lanang,
Lajer
manther kahananè,
Kaliput
warna pitu,
Ungu
dudu ijo lan kuning,
Abrit
pethak tan tilar,
Tut
cemeng lan biru,
Binabar
alam pramana,
Prayoga
dèn titi ing alam puniki,
Papanè
jin sanyata.
Nyata
wus gumanti dèn cumawis,
Wis
tinilar alaming nuriyah,
Yuwana
ing wewengkonè,
Kawengku
jroning hayu,
Uluhyah
alaming Illahi,
Lamus
wis bisa teka,
Tekadnya
dèn tuhu,
Tumandukna
jroning rasa,
Awit
iku alaming Pangèran jati,
Titisa
jroning ngrasa.
Saya
ngrasuk ing alaming jati,
Jatinè
wahyaning saking Atma,
Maya
mayung kahananè,
Kabèh
rinasa hayu,
Urip
tanpa nyawa mung jati,
Ilang
atma sampurna,
Sampun
cipta antuk,
Cipta
purna tuk kawasa,
Kwasanè
ilang purba wasèsa dadi,
Dumadi
myang waskitha.
Wuwus
wawas padha dèn wikani,
Winedhar
kababar lan ginelar,
Ginancar
ing ukaranè,
Nedya
gampil dirasa,
Sinisip
piwulang kang aji,
Ageman
dèn tan samar,
Samangsa
manungku,
Myang
ngarsanè kang ma wikan,
Kanthi
rasa kang tan kwasa ing ilmi,
Sun
urun ing ukara.
Senen
Legi, 30 Agustus 1993.
Dawuh XXVII
Nglentur
tutur myang ukara,
Ukaranè
kinarya pangupadi,
Dimen
sinung ing pepètung,
Pètung
ing kamulyan,
Mulyaning
raga sumrambah ing rasa,
Sumurupa
kang sanyata,
Sanyatanè
dudu wadi.
Witing
antuk kasugihan,
Krana
saka laku tindak kang becik,
Becik
ing laku lan tembung,
Bungah
dadi awohnya,
Ngupaya
sugih ja tilar kautaman,
Aja
golèk kasenengan,
Kanthi
wragad rasa becik.
Katiban
benduning dosa,
Yèn
linaku linambar pamrih,
Pitulung
tan bakal antuk,
Tumrap
sugih tan drana,
Datan
bakal tulus marang turunira,
Anabet
dateng rubèda,
Dadi
dredah wus pinesthi.
Tibaning
udan wus nyata,
Tulus
ing bumi nuwuhken wiji,
Wijanga
yektinè kawruh,
Wruha
ing sastra nyata,
Mendhung
yèn tan udan ametengi rasa,
Sami
sumimpenè bandha,
Buceng
cukeng datan dermi.
Dumadinè
kasangsaran,
Karana
karegem bodhoning pikir,
Rinakiting
begja iku,
Urip
mring kabatinan,
Karsa
ngendhih sedya ingkang tanpa guna,
Gulung
gulang marang rasa,
Sedya
prasaja ing urip.
Aja
ngumbar pepènginan,
Punggelè
kanthi pakarti utami,
Tinambaka
ing sesuluh,
Sirna
kang wicakana,
Wicaksana
ana krana wulang tama,
Tumanduk
lebeting rasa,
Satemah
mageri dhiri.