BABAD TANAH JAWI (PANEMBAHAN SENOPATI)
PANEMBAHAN SENOPATI DAN KANJENG RATU KIDUL SERTA TERJEMAHANNYA
Kisah
Babad Tanah Jawi, ketika Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama.
Seorang Raja Mataram pertama, putra dari Ki Ageng Pamanahan kasmaran dengan
kecantikan Nyi Roro Kidul.
Kisah
prahara itu berawal ketika ia berdiri di Segoro Kidul atau Laut Selatan. Lalu
mendadak muncul angin puting beliung bercampur hujan deras. Badai itu
mendatangkan suara mengerikan.
Gelombang
setinggi gunung bergulung-gulung membuat pohon-pohon di pantai seketika ambruk.
Air laut menjadi panas mendidih. Tak ayal, ikan-ikan mati menggelepar. Banyak
juga ikan yang meloncat ke daratan, namun tetap juga menemui ajal lantaran
menghantam batu karang.
Mengapa fenomena alam ini terjadi ? , hal itu tak
lain merupakan dampak dari kekuatan doa yang dipanjatkan Panembahan Senopati
kepada Yang Maha Kuasa.
Prahara
itu tak urung mengejutkan penguasa kerajaan laut selatan, seorang ratu cantik
jelita, Nyi Roro Kidul atau Kanjeng Ratu Kidul. Dia pun membatin.
“Selama hidupku, belum pernah aku menyaksikan laut seperti ini.
Kenapa ini ? Apa kena
gara-gara, apa karena matahari jatuh, atau apa mau kiamat,” kata Roro Kidul,
disarikan dari buku ‘Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647’
yang ditulis sejarawan Belanda WL Olthof.
Olthof
menerjemahkan, mahakarya sastra Jawa berupa tembang macapat ‘Babad Tanah Jawi’
yang mengisahkan tentang Mataram dan isinya serta silsilah raja-raja Jawa.
Induk Babad Tanah Jawi mula-mula ditulis oleh Carik Tumenggung Tirtowiguno atas
perintah Pakubowono III dan telah beredar pada 1788.
Johannes Jacobus Meinsma lantas menerbitkan versi prosa dari induk tersebut pada pada 1874 yang dikerjakan Ngabehi Kertapraja. Karya Meinsma direproduksi oleh W L Olthof pada 1941. Namun menurut Merle Calvin Ricklefs, versi Meinsma dianggap bukan sumber utama untuk riset sejarah.
Cerita
Kemenangan Jawa atas kaum radikal dituturkan dalam Babad Tanah Jawi (the Story
of the Land of Java), yang terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia yang puitis
merupakan bagian dari kampanye untuk mendukung kultur-kultur Islam lokal,
pribumi yang terancam oleh ekstremisme religius.
KINANTHI
(1)
Alon
tindak kalihipun, Senapati lan sang dewi, sedangunya apepanggya, Senapati samar
ngeksi, mring suwarna narpaning dyah, wau wanci nini-nini.
Perlahan
jalan keduannya, Senopati dan sang Dewi, selama mereka bertemu, Senopati
sebenarnya tidak tahu jelas bagaimana wajah rupa sang Dewi, seperti terlihat
nenek-nenek tadi.
(2)
Mangke
dyah warnane santun, wangsul wayah sumengkrami, Senapati gawok ing tyas, mring
warna kang mindha Ratih, tansah aliringan tingal, Senapati lan sang dewi.
Lalu
nanti wajah rupa sang Dewi berubah kembali lagi sangat menarik hati, Senopati
terpesona hatinya melihat kecantikan si Dewi seperti Ratih, mereka saling
mencuri pandang selalu, Senopati dan sang Dewi.
(3)
Sakpraptanira
kedhatun, narpeng dyah lan Senapati, luwar kanthen tata lenggah, mungging
kanthil kencana di, Jeng Ratu mangenor raga, Senapati tansah ngliring.
Setelah
sampai di istana, keduanya sang senopati dan Dewi melepas genggaman tangan
kemudian duduk, di atas bunga kanthil emas, Jeng Ratu menggeliatkan badannya,
senopati selalu melihatnya dengan mencuri pandang.
(4)
Mring
warnanira Jeng Ratu, abragta sakjroning galih, enget sabil jroning driya, yen
narpeng dyah dede jinis, nging sinaun ngegar karsa, mider wrin langening puri.
Melihat
pada kecatikan Ratu, mendadak galau/gelisah di dalam hatinya, teringat bahwa si
Dewi bukan sejenis manusia, menjadi hilang keinginannya, Senopati berkeliling
melihat-lihat keasrian taman puri si Dewi.
(5)
Udyana
asri dinulu, balene kencana nguni, jaman purwa kang rinebat, Gathutkaca lan wre
(k.238) putih, bitutaman dirgantara, bale binucal jeladri,
Keasrian/keindahan
taman dipuja-puja, ranjang emas kuno, jaman ketika Gathutkaca dan kera putih
merebutkannya, berkelahi di angkasa, ranjang terlempar ke samudera.
(6)
Dhawah
teleng samodra gung, kang rineksa sagung ejim, asri plataran rinengga,
sinebaran gung retna di, widuri mutyara mirah, jumanten jumrut mawarni.
Jatuh
di tengah-tengah samudera raya, yang dijaga oleh mahluk halus, halaman yang
asri, bertebaran intan-intan megah, mutiara merah, dan bermacam-macam batu
jamrud.
(7)
De
jubine kang bebatur, grebag suwasa kinardi, sinelan lawan kencana, ing tepi
selaka putih, sinung ceplok pan rinengga, rukma tinaretes ngukir.
Lantainya
agak tinggi, dengan hiasan emas, ditepinya emas putih, berbentuk bunga-bunga
mekar dan hiasan berukir-ukiran
(8)
Tinon
renyep ting pelancur, rengganing kang bale rukmi, sumorot sundhul ngakasa,
gebyaireng renggan adi, surem ponang diwangkara, kasorotan langen puri.
Terasa
sejuk berkilauan, hiasan di ranjang terlihat bercahaya yang sampai menyentuh
angkasa, gemerlap cahaya megah, matahari terlihat meredup terkena sorotan
cahaya dari puri si Dewi.
(9)
Gapurane
geng aluhur, sinung pucak inten adi, sumorot mancur jwalanya, lir pendah
soroting awi, yen dalu kadi rahina, siyang latriya pan sami.
Gapura
tinggi megah, diatas puncak berhias intan sangat indah, memancarkan cahayanya,
seperti sinar matahari, jika malam seperti siang, siang dan malam menjadi sama.
(10)
Sigeg
rengganing kadhatun, wau ta Sang Senapati, kelawan sang narpaning dyah, tan
kena pisah neng wuri, anglir mimi lan mintuna, nggennya mrih lunturireng sih.
Cukup
dulu cerita dalam keadaan istana si Dewi, tadi tersebut sang senopati, dan sang
Dewi, tidak bias dipisahkan, seperti Mimi dan Mintuno, mereka saling membuka
hati.
(11)
Yen
tinon warna Jeng Ratu, wus wantah habsari swargi, tuhu Sang Dyah Wilutama,
kadya murca yeng ingeksi, sakpolahe karya brangta, ayune mangrespateni.
Ketika
terlihat wajah sang ratu, sudah melebihi wajah Dewi Habsari di surga, sama
persis seperti sang Dewi Wilutama, keluar terlihat tingkah lakunya
membangkitkan birahi, kecantikannya menawan hati.
(12)
Kadigbyaning
warna sang ru- (k.239) m, ping sapta sadina salin, ayune tan kawoworan, terkadhang sepuh nglangkungi, yen mijil
pradanggapatya, lir dyah prawan keling sari.
Sang
Ratu mempunyai kesaktian berubah wujud, berubah 7 kali sehari, kecantikan yang
terpancar sempurna, terkadang sangat tua, jika terdengar musik tingkah laku si
Dewi berubah enjadi seperti gadis kelingsari.
(13)
Yen
sedhawuh jwaleng sang rum, lir randha kepaten siwi, yen praptaning lingsir
wetan, warna wantah widadari, tengange lir dyah Ngurawan, Kumuda duk nujwa
kingkin.
Apabila
sedang memberi perintah, seperti janda yang anaknya meninggal, ketika menjelang
ufuk timur muncul wujud berubah seperti bidadari, seperti dewi dari Kurawa,
berkuda seperti sedang susah.
(14)
Lamun
bedhug kusuma yu, mirip putri ing Kedhiri, yen lingsir lir Banowatya, lamun
asar pindha Ratih, cumpetingsapta sadina, yen latri embah nglangkungi.
Ketika
tabuh bedug, mirip putrid di kedhiri, ketika matahari terbenam seperti
Banowati, ketika asar berubah seperti Dewi Ratih, 7 kali sehari, ketika malam
semakin bertambah cantik.
(15)
Lawan
sinung sekti punjul, dyah lawan samining ejim, warna wigya malih sasra, mancala
putra pan bangkit, mila kedhep ing sakjagad, sangking sektining sang dewi.
Serta
mempunyai kesaktian tinggi, Ratu dengan sesame mahluk halus, mampu berubah
wujud 1000 kali, bias berubah menjadi laki-laki, sehingga berada di seluruh
dunia, karena sangat saktinya sang Dewi.
(16)
Sinten
ingkang mboten teluk, gung lelembut Nungsa Jawi, pra ratu wus teluk samya,
mring Ratu Kidul sumiwi, ajrih asih kumawula, bulu bekti saben warsi.
Siapa
yang tidak tunduk, seluruh mahluk halus dan bangsa manusia di Jawa, para
Raja-raja sudah takluk semua, hanya kepada Ratu Kidul saja, mereka takut dan
mengabdi, memberi pengabdian setiap tahun.
(17)
Ngardi
Mrapi Ngardi Lawu, cundhuk napra ing jeladri, narpa Pace lan Nglodhaya, Kelut
ngarga miwah Wilis, Tuksanga Bledhug sumewa, ratu kuwu sami nangkil.
Gunung
Merapi dan gunung Lawu, bermahkota di samudera, Raja Pace dan Nglodhaya, Gunung
Kelut dan gunung Wilis, Mata air sembilan Bledug dan Ratu Kuwu semua hadir.
(18)
Wringinpitu
Wringinrubuh, Wringin-uwok, Wringinputih, ing landheyan Alas Ngroban, sedaya
wus kereh jladri, Kebareyan Tega- (k.240) l layang, ing Pacitan miwah Dlepih.
Pitu
Beringin, Beringin tumbang, Beringin besar, Beringin putih, di tengah-tengah
alas Ngroban, semua sudah dikuasai samudera, Kebareyan tegal laying, di Pacitan
serta Dlepih.
(19)
Wrata
kang neng Jawa sagung, para ratuning dhedhemit, sami atur bulubektya, among
Galuh kang tan nangkil, kereh marang Guwatrusan, myan Krendhawahana aji.
Merata
di seluruh Jawa, para Raja-raja mahluk halus, semua memberi pengabdian, hanya
Galuh yang tidak hadir, diperintah oleh Guwatrusan, menghadapi Krendhawahana
aji.
(20)
Wuwusen
malih Dyah Kidul, lawan Risang Senapati, menuhi kang boja-boja, minuman
keras myang manis, kang ngladosi pra kenyendah,
sangkep busana sarwa di.
Menceritakan
kembali tentang Ratu Kidul dengan sang senopati, lengkap dengan makanan,
minuman keras dan minuman manis, yang melayani para gadis-gadis yang berpakaian
bagus-bagus.
(21)
Bedhaya
sumaos ngayun, gendhing Semang munya ngrangin, weh kenyut tyasnya kang mriksa,
wileting be (ksa) mrak ati, keh warna solahing beksa, warneng bedhaya yu sami.
Para
penari bedhaya maju kedepan, musik gending semang berbunyi nyaring, yang
melihatnya membuat rasa hati tenteram, gerakannya menawan hati, bermacam-macam
gerakan penari.
(22)
Senapati
gawok ndulu, mring solahe dyah kang ngrangin, runtut lawan kang bredangga,
wilet rarasnya ngrespati, acengeng dangu tumingal, de warneng dyah ayu sami.
Senopati
terheran-heran terpesona melihat gerakan-gerakan yang gemulai, sesuai dengan
alunan irama musik, irama tembangnya menentramkan hati, sampai lama terpana
melihatnya, wajah dewi-dewi yang cantik-cantik.
(23)
Tan
lyan kang pineleng kayun, mung juga mring narpa dewi, brangteng tyas saya
kawentar, de sang dyah punjul ing warni, kenyataning waranggana, sorote ngemas
sinangling.
Tiada
yang lain yang dipikirkan hanya di depannya, juga hanya kepada Ratu Kidul,
hatinya semakin berdebar-debar, karena sang Dewi lebih unggul kecantikannya
dibandingkan penyanyi, Dewi bercahaya seperti emas dicuci.
(24)
Wuyunging
driya sinamun, tan patya magumbar liring, tan pegat sabil ing nala, wau Risang
Senapati, enget yen dene jinisnya, dyah narpa tuhuning ejim.
Senopati
menutup-nutupi asmara dalam hatinya, tidak terus mengumbar pandangannya hanya
sebentar-bentar saja memandang Ratu, tidak berhenti pula perang dalam bathin
hatinya, sang senopati teringat bahwa Ratu Kidul bukan dari golongan
sejenisnya, sang Ratu yang sebenarnya adalah mahluk halus/jin.
(25)
Rianos
jroning kung, 1) kagugu saya ngranuhi, temah datan antuk karya, (k.241)
nggenira mrih mengku bumi, nging narpeng dyah wus kadriya, mring lungite
Senapati.
Dalam
perasaan senopati terdalam, 1) mengikuti rasa penasaran, agar berhasil tujuan,
untuk menguasai bumi, akan tetapi sang Ratu sudah tahu, dengan apa yang
dipikirkan senopati.
(26)
Ngunandika
dalem kalbu, narpaning dyah ing jeladri, “ Yen ingsun tan nggango krama, nora
kudu dadi estri, enak malih dadi priya, nora na kang mejanani.
Berbicara
dalam hati, sang Ratu di samudera, “Jika saya tidak perlu menikah, tidak harus
menjadi permaisuri, lebih baik mejadi laki-laki, tidak ada yang mempengaruhi.
(27)
De
wis dadi ujar ingsun, anggon sun wadad salamining, ngarsa-arsa pengajapan,
temah arsa ngapirani, sunbekane mengko jajal, piyangkuhe ngadi-adi.
Sudah
menjadi sumpah saya, berniat untuk menyendiri selamanya, menanti-nanti
pengharapan, akan menjadi merepotkan, nanti aku mencoba, keangkuhannya
menjadi-jadi.
(28)
Wong
agunge ing Metarum, dimene lali kang nagri, krasan aneng jro samodra”, kawentar
mesem sang dewi, tumungkul tan patya ngikswa, Senapati tyasnya gimir.
Orang
besar di Mataram, agar lupa dengan negaranya, kerasan (suka tinggal) di
samudera”, sang Dewi mengumbar senyum, kepala menunduk dengan mata menoleh
sedikit melihat senopati, hati Senopati menjadi penasaran.
(29)
Duk
liniring mring sanging rum, tambuh surasaning galih, wusana lon anandika, “Dhuh
wong ayu karsa mami, wus dangu nggoningsun ningal, mring langene ing jro puri,
Mencuri
pandang kepada sang Dewi yang harum, menjadi tidak menentu perasaannya, sambil
berbicara halus “Duh putri cantik yang kuinginkan, sudah lama aku memandang,
kepada keindahan dalam puri,
(30)
Pesareyanta
durung weruh, kaya ngapa ingkang warni”, nging dyah “Tan sae warninya, yen
kedah sumangga karsi, sinten yogi ndarbenana, lun mung darmi anenggani.”
Tempat
tidurmu belum tahu, seperti apa kelihatannya tempat tidurmu itu”, Ratu
menjawab, “Tidak bagus wujudnya, jika harus melihatnya terserah Anda, siapa
yang pantas memiliki, saya hanya sekedar menjaga saja.”
(31)
Wusira
gya jengkar runtung, Sang Sena lan narpa dewi, rawuh jrambah jinem raras, alon
lenggah sang akalih, mungging babut pan rinengga, Se- (k.242) napati gawok
ngeksi.
Segera
mereka beranjak bersama, sang senopati dan sang Dewi, datang ke tempat tidur
yang nyaman, keduanya duduk pelan-pelan, diatas permadani yang rapi, Senopati
terheran-heran melihatnya,
(32)
Warneng
pajang sri kumendhung, tuhu lir suwargan ngalih, sang dyah matur marang priya,
“Nggih punika ingkang warni, tilemane randha papa, labet tan wonten ndarbeni.”
Bermacam-macan
hiasan Sri Kumendhung dipajang, terasa seperti syurga berpindah, Sang Ratu
berbicara pada sang senopati, “Ya begini lah wujudnya, tempat tidur si janda
yang sengsara, karena tidak ada yang memiliki,”
(33)
Kakung
mesem nglingira rum, ”Anglengkara temen Yayi, ujare wong randha dama, ing
yektine angluwihi, kabeh purane pra nata, tan padha puranta Yayi.
Senopati
tersenyum sambil melirik si Dewi yang harum, “Kasihan sekali kamu Dik, katamu
hanya seorang janda tapi kenyataanya melebihi semua istana, tidak ada yang
menyamai istana dinda.
(34)
Pepajangan
sri kumendhung, ingsun tembe nggonsun uning, pesareyan warna endah, pantes
lawan kang ndarbeni, warna ayu awiraga, bisa temen ngrakit-ngrakit.
Hiasan
Sri Kumendhung, baru kali ini aku melihatnya, tempat tidur serba indah, pantas
sesuai yang memilikinya, bentuk yang sangat cantik, pandai sekali merangkainya.
(35)
Baya
sungkan yen sun kondur, marang nagari Matawis, kacaryan uningeng pura, cacatira
mung sawiji, purendah tan nganggo priya, yen darbea kakung becik.
Aku
menjadi malas pulang ke negeri Mataram, setelah melihat-lihat istana, rasa
kecewa hanya satu, lebih bagus tidak ada lelaki, jika ada yang memiliki pria
baik
(36)
Wanodyane
dhasar ayu, imbang kakunge kang pekik, keng runtut bisa mong garwa, wonodyane
bekti laki, tur dreman asugih putra”, Senapati denpleroki.
Dasarnya
wanitanya cantik seimbang dengan pria yang baik, yang setia kepada isteri,
wanitanya juga setia pada suami, juga suka mempunyai anak banyak”, Senopati
melirik menggoda dengan matanya.
(37)
Dyah
merang lenggah tumungkul, sarwi mesem turira ris, “Sae boten mawi priya, mindhak
pinten tyang akrami, eca mung momong sarira, boten wonten kang ngregoni.
Sang
Dewi duduk dengan kepala menunduk, sambil tersenyum berbicara halus, “Bagus
tidak memiliki suami, bertambah apa orang bersuami, enak sendirian saja, tidak
ada yang mengganggu (k.243).
(38)
Eca
sare glundhung-gundhung, neng tilam mung lawan guling, lan tan ngronken keng
ladosan”, Senapati mesem angling, “Bener Yayi ujarira, enak lamban sira Yayi.
Enak
tidur sendiri berguling kesana kemari, diatas tikar bersama guling, dan tidak
ada yang harus dikerjakan”, Senopati terlihat tersenyum, Benar dinda katamu,
enak sendirian kamu dinda.
(39)
Mung
gawoke Nimas ingsun, na wong ledhang aneng gisik, tur priya kawelas arsa, lagya
rena wrin in jladri, semang ginendeng pineksa, kinon kampir mring jro puri.
Hanya
heran saya kepada dinda, ada seorang lelaki di pesisir pantai, apalagi pria
yang meminta belas kasihan, sedang melihat samudera, malah digandeng paksa,
disuruh mampir/ singgah ke dalam puri.
(40)
Jeng
Ratu kepraneng wuwus, merang tyas wetareng lungit, kakung ciniwel lambungnya,
mlerok mesem datan angling, Senapati tyasnya trustha, wusana ngandika aris.
Sang
Ratu terpana akhirnya, hatinya merasa tersentuh, lelaki itu dicubit perutnya,
melirik tersenyum menggoda senopati, menyentuh hati senopati, selanjutnya
berbicara lembut.
(41)
”Ya
sun pajar mirah ingsun, nggon sun praptaneng jeladri, labet sun anandhang
gerah, alama tan antuk jampi, kaya paran saratira, usadane lara brangti.
“Ya
aku ini berbicara secara mudahnya saja, aku datang ke samudera karena sedang
sakit, sudah lama tidak mendapat obat, seperti apa syaratnya obat sakit asmara.
(42)
Mider
ing rat nggon sun ngruruh, kang dadi usadeng kingkin, tan lyan mung andika
mirah, pantes yen dhukum premati, bisa mbirat lara brangta, tulus asih marang
mami.”
Aku
sudah keliling dunia untuk berusaha, yang menjadi penawar sakit tidak lain
hanya kamu, pantas jika dihukum, yang bisa menyembuhkan sakit asmara, kasih
sayang tulus kepadaku.”
(43)
Sang
dyah maleruk tumungkul, uning lungit Senapati, nging tansah ngewani priya,
mangkana usik sang dewi, “Wong iki mung lamis ujar, sunbatanga nora slisir
Sang
Dewi cemberut menunduk, sambil memandang Senopati, tapi selalu berani dengan
lelaki, demikian goda sang Dewi kepada senopati, “ Anda ini hanya berbicara
bohong, perkiraan saya tidak lah salah.
(44)
Minta
tamba ujaripun, pan dudu lara sayekti, lara arsa madeg nata, ewuh mungsuh guru
darmi, wus persasat ingkang yoga, kang amengku Pajang nagri.”
Meminta
obat katanya, tapi tidak sungguh-sungguh sakit, sakitnya karena berkehendak
mejadi Raja, tidak enak bermusuhan dengan sesama guru, sudah dititahkan yang
memegang kekuasaan negeri Pajang.”
(45)
Wusana
dyah matur kakung, “Kirang punapa sang pekik, kang pilenggah ing Mataram,
lelana prapteng jeladri, tan saged lun sung usada, nggih dhateng keng gerah
galih.
Akhirnya
sang Dewi berbicara kepada senopati, “Kurang apakah sang pangeran tampan, yang
menduduki Mataram, berkelana sampai samudera, tidak bisa menyembuhkan yang
menjadi sakit hatinya.
(46)
Yekti
amba dede dhukun, api wuyung ingkang galih, mangsi dhatenga palastra, tur badhe
nalendra luwih, kang amengku tanah Jawa, keringan samining aji.
Sungguh
saya bukan dukun, api asmara yang anda pikirkan, tidak mungkin menyebabkan
kematian, apalagi akan menjadi Raja dari para raja-raja, yang menguasai tanah
jawa, ditakuti oleh sesame raja.
(47)
Kang
pilenggah ing Matarum, mangsi kirangana putri, ingkang sami yu utama, kawula
estri punapi, sumedya lun mung pawongan, yen kanggea ingkang cethi.
Yang
menduduki Mataram tidak mungkin kekurangan wanita, yang cantik-cantik dan
utama, kaum wanita yang bagaimanapun, tersedia para nyai, jika dibutuhkan
secara pasti.
(48)
De
selamen lamban ulun, kepengin kinayan nglaki, kang tuk bulu bekti praja, labet
blilu tyang pawestri, tan wigya mangenggar priya, labet karibetan tapih.
Selama
saya menyendiri, pernah mempunyai keinginan bersuami, yang berbakti kepada
kerajaan, karena malas seorang wanita, tidak pandai terhadap pria, karena
terlilit kain.
(49)
Lamun
kanggeya wak ulun, kalilan among anyethi, ngladosi Gusti Mataram”, wau ta Sang
Senapati, sareng myarsa sebdeng sang dyah, kemanisan dennya angling.
Meskipun
badan saya dibutuhkan, diijinkan hanya untuk berbakti kepada Gusti Mataram,”
Sang Senopati mendengarkan perkataan Dewi sambil menikmati melihat kemanisan
Ratu Kidul.
(50)
Saya
tan deraneng kayun, asteng dyah cinandhak ririh, sang retna sendhu turira,
“Dhuh Pangeran mangke sakit, kadar ta arsa punapa, srita-sritu nyepeng driji.
Semakin
lama tidak bisa ditahan lagi hati Senopati, tangan Dewi dipegang pelan-pelan,
sang Ratna Dewi berkata lembut manja, “Dhuh Pangeran nanti sakit, sebetulnya
pangeran mau apa, tiba-tiba meremas-remas jari tangan saya.
(51)
Asta
kelor driji ulun, yen putung sinten nglintoni, nadyan wong agung Mataram,
mangsi saged karya driji”, kakung mesem lon delingnya, “Dhuh wong ayu sampun
runtik.
Jari
tangan saya kecil-kecil, jika patah siapa yang akan mengganti, meskipun orang
besar Mataram tidak mungkin menciptakan jari tangan”, Senopati tersenyum sambil
berkata pelan, “Dhuh wanita cantik jangan marah.
(52)
Nggon
sun nyepengasteng masku, Yayi aja salah tampi, mung yun uning sotyanira”, dyah
narpa nglingira aris, “Yen temen nggen uning sotya, sing tebih andene keksi.
Saya
memegang tanganmu, dinda jangan sampai salah terima, hanya mau melihat cincinmu”,
Lalu Dewi berkata halus, “Jika benar Anda hanya mau melihat cincin saya, bisa
melihat dari jauh saja.
(53)
Yekti
dora arsanipun, sandinya angasta driji, yektine mangarah prana, ketareng geter
ing galih, dene durung mangga karsa, paring jangji sih mring cethi.”
Pasti
bukan kehendak sesungguhnya, berpura-pura memegang jemari, pasti berkehendak
sesuatu, terlihat jelas dipikiran, beri lah janji cinta kasih yang pasti.”
(54)
Kakung
mesem sarwi ngungrum, swara rum mangenyut galih, narpaning dyah wus
kagiwang, mring kakung asihnya kengis,
esemnya mranani priya, Senapati trenyuh galih.
Senopati
merayu dengan bernyanyi sambil tersenyum, suaranya merdu menggugah hati, Ratu
cantik sudah terpesona, kepada senopati cintanya terbuka, senyum ratu menawan
pria, Senopati tersentuh hatinya.
(55)
Narpaning
dyah lon sinambut, pinangku ngras kang penapi, sang dyah tan lengganeng karsa,
labet wus katujweng galih, jalma-jalma dera ngantya, pangajapan mangke panggih,
Sang
Dewi disambut perlahan, diletakkan diatas pangkuan senopati, sang Dewi tidak
menolak keinginan, yang tertuju kepada kekasih hati, terpenuhi keinginan
mahluk-mahluk itu.
(56)
Lan
titisnya Sang Hyang Wiku, kang mengkoni ngrat sekalir, Senapati nir wikara,
karenan mring narpa dewi, tansah liniling ngembanan, de lir ndulu golek
gadhing.
Dan
titisan Sang Hyang Wiku, yang menguasai dunia, Senopati tanpa halangan,
kehendak kepada sang Dewi, saling melihat mesra dalam pangkuan, seperti boneka
golek gadhing.
(57)
Binekta
manjing jinem rum, tinangkeban ponang samir, kakung ndhatengaken karsa,
datansyah bremara sari, mrih kilang mekaring puspa, kang neng madya kuncup
gadhing.
Dibawa
masuk ke tempat tidur yang harum, tertutup kain selendang, senopati
mendatangkan hasrat, selalu mesra, kepada ratu yang seperti bunga sedang mekar,
yang berada ditengah kuncup gading.
(58)
Jim
prayangan miwah lembut, neng jrambah sami mangintip, mring gusti nggen awor
raras, kapyarsa pating kalesik, duk sang dyah katameng sara, ngrerintih sambate
lalis.
Jin
setan parahyangan serta mahluk halus, mereka mengintip, kepada gusti yang
bercinta, terdengar saling berbisik, ketika sang Ratu terkena tajam, mengadu
merintih.
(59)
Kagyat
katemben pulang yun, sang dyah duk senanira nir, nggeladrah rempu ning tilam,
ukel sosrah njrah kang sari, kongas ganda mrik mangambar, bedhahe pura jeladri.
Terkejut
ketika sang Dewi kehilangan selaput daranya, pecah membanjiri di tempat tidur,
sanggul rambutnya menjadi berantakan, tercium bau semerbak harum, rusaknya pura
samudera.
(60)
Dyah
ngalintreg neng tilam rum, jwala nglong kerkatira nir, Senapati wlas tumingal,
sang dyah lin sinambut ririh, sinucen dhateng patirtan, wusira gya lenggah
kalih.
Dewi
terbaring lemah di tempat tidur harum, selaput daranya hilang, Senopati
memandang dengan belas kasihan, sang Dewi diambilnya pelan-pelan, lalu keduanya
duduk.
(61)
Dyah
sareyan pangkyan kakung, tan pegad dipunarasi, mring kakung Sang Senapatya,
nyengkah ngeses sang retna di, raket sih kalihnya sama, penuh langen ngasmara
di.
Dewi
tiduran diatas pangkuan Senopati, tidak henti-hentinya diciumi oleh Senopati,
keduanya saling dekap erat, penuh cinta.
(62)
Cinendhak
rengganing kidung, pasihane sang akalih dugi ngantya sapta dina, Senapati neng
jeladri, ing mangke arsa kondura, marang prajanya Matawis.
Irama
kidung yang pendek, kemesraan keduanya sampai tujuh hari, Senopati tinggal di
dalam samudera, yang nanti akan pulag ke kerajaan Mataram.
(63)
Kakung
nabda winor rungrum, “Dhuh mas mirah ingsun Gusti, ya sira karia arja, ingsun
kondur mring Matawis, wus lama aneng samodra, mesthi sun diarsi-arsi,
Senopati
berbicara dengan bernyanyi, “Dhuh emas merahku, ya semoga kamu bahagia, aku
pulang ke Mataram, sudah lama di samudera, pasti aku sudah ditunggu-tunggu,
(64)
Marang
wadyengsun Matarum, wus dangu tugur ing nagri”, narapaning dyah sareng myarsa,
yen kakung mit kondur nagri, sekala manca udrasa, druwaya badra dres mijil.
Oleh
rakyatku di Mataram, sudah lama menjaga negeri”, Dewi mendengarkan sambil
merasa sedih jika senopati pamit pulang ke negerinya, menangis sedih, Rembulan
menjadi menangis deras.
(65)
Dereng
dugi onengipun, mring kakung kemangganing sih, alon lengser sangking
pangkyan, udrasa sret dennya angling,
“Kaya mengkono rasanya, wong tresna dentimbangi.
Belum
sampai yang di pikirannya, kepada senopati yang dicintai, perlahan-lahan turun
dari pangkuan, terdengar isak tangis Ratu, “ Seperti ini lah (k. 247) rasanya
mencintai yang dibandingkan.
(66)
Kaya
timbang tresnaingsun, yen sun bisa nyaput pranti, myang nguja sakarsanira,
mesthi kanggo nggonsun nyethi”, kakung uning wus kadriya, mring udrasa sang
retna di.
Seperti
membandingkan cintaku, seandainya aku bisa memberi, menuruti semua kehendakmu,
pasti saya berguna”, Senopati sudah tahu dalam hati, atas tangisan sang Ratna.
(67)
Lon
ngudhar paningsetipun, cindhe puspa pinrada di, dyah sinambut gya ingemban,
binekta mider kuliling, marang kebon petamanan, kinidung ing pamijil.
Pelan-pelan
melepas kain setagen, berhias bunga-bunga emas, Dewi disambut diemban/diangkat,
dibawa keliling-keliling ke kebun taman sambil dinyanyikan oleh Senopati.
M I J I L
(1)
“Dhuh
mas mirah aja sumlang ati, titenana ingong, lamun supe marang sira Angger,
marcapada myang delahan Yayi, nggoningsun mangabdi, ditulus sihipun.
“Dhuh
emas merahku jangan khawatir hatimu, lihatlah saya, jika lupa kepadamu, dari
dunia sampai akherat Dinda, aku mengabdi cinta tulus.
(2)
Nadyan
ingsun pas wus sugih krami, tur sami yu kaot, genging tresna wus tan liya
Angger, ingkang dadi teleng ingsun kang
sih, mung andika Gusti, nggen sun ngawu-awu.
Walaupun
saya sudah punya banyak isteri, dan cantik-cantik, besar cintaku tidak lain
adalah kamu dinda, yang menjadi tanda kuat cinta, hanya dirimu adinda Gusti,
kepadamu saya tergila-gila.
(3)
Malawija
neng jro tilam sari, tan lengganing pangkon, mung pun kakang timbangana Angger,
ingsun yekti anandhang wiyadi, dereng antuk jampi, tan lyan sira masku,
Kenapa
saya berlebihan ditempat tidur, tidak melepaskan pangkuan, hanya kakanda pula
daripada dinda, saya sungguh sedang menderita sakit, belum mendapatkan obat,
tidak lain hanya lah kamu emasku,
(4)
Ambirata
rentenging tyas kingkin, satemah sun-antos, nadyan kinen laju jrak neng kene,
tan suminggah sakarsa mestuti, nging kapriye Yayi, solahe wadyengsun.”
Yang
bisa menghilangkan hati sedih, jadi saya tetap menunggu-nunggu, walaupun harus
berjalan jauh sampai disini, tidak ingin sembunyi berusaha, tetapi bagaimana
dengan rakyatku Dinda.”
(5)
Narpaning
dyah tyasnya lir jinait, kapraneng pamuwos, kemanisen kakung pangrengihe,
(k.248) dadya luntur sihira sang dewi, mring kakung lon angling, “Pangran nuwun
tumrun.”
Hati
Ratu tersentuh, terpesona oleh perkataan senopati yang manis minta dimengerti,
(k.248) menjadi pudar sihirnya sang Dewi, kepada senopati berkata pelan,
“Pangeran saya minta turun.”
(6)
Sing
ngembanan wus tumrun sang dewi, long lenggah sekaron, malih sang dyah matur
mring kakunge, “Pangran nuwun ngapunten kang cehti, dene kumawani, dhoso gungan
kakung.
Sang
Dewi turun dari pengembanan/ bopongan, kemudian duduk diatas bunga, kembali
Dewi berbicara kepada senopati, “Pangeran, saya mohon sungguh-sungguh
dimaafkan, karena terlalu berani banyak kepada lelaki/senopati.
(7)
Datan
langkung panuwuning cethi, sih tresnanya yektos, sampun siwah putra wayah
tembe, tinulusna darbe cethi mami”, kakung ngraketi ngling, dyah ingras
pinangku.
Tidak
lebih permohonan saya, cinta kasih yang nyata, jangan berubah sampai anak cucu
nanti, ketulusan menjadi milikku”, Senopati langsung memeluk, Dewi dipangku.
(8)
“Ya mas Mirah aja sumlang galih, sok bisaa
klakon”, malih sang dyah matur mring kakunge, “Nggih Pangeran yen wus mangguh
westhi, praptanireng jurit, mrih enggal lun tulung.”
“Ya
emas merahku jangan khawatir hatimu, nanti akan terjadi”, Dewi berbicara lagi
kepada senopati, “Ya Pangeran jika sudah menjadi sungkan nanti menghadapi
perang, segera saya tolong.”
(9)
Magut
sang dyah kakung lon winangsit, ubayaning temon, “Sedhakepa myang megeng
napase, anjejaka kisma kaping katri, yekti amba prapti, ngirit wadya lembut.
Kepala
Dewi mengangguk pelan sebagai tanda akhir pertemuan, “Sedekapkan tanganmu
dengan menahan nafas, hentakkan kaki ke tanah 3 kali, saya pasti datang,
membawa pasukan mahluk halus.
(10)
Lawan
amba atur araneng jurit, mrih digbya kinaot, Tigan lungsungjagad nggih namine,
dhinahara gung sawabe ugi, panjang yuswa yekti, kyating sara timbul.
Bersama
saya serahkan pasukan, agar kekuatannya unggul, Telur Lungsung Jagad namanya, mendapat
pengaruh besar juga, panjang umur pasti, kekuatan tumbuh pesat.
(11)
Lawan
Lisah Jayengkatong nami, dewa kang sih mring ngong “, kalih sampun ngaturken kakunge, Senapati sawusnya
nampeni, langkung trustheng galih, antuk sraneng pupuh.
Dengan
minyak Jayengkaton namanya, Dewa yang memberi padaku”, kedua hal itu sudah
diberikan kepada senopati, sudah diterima oleh senopati, bertambah senang
hatinya, mendapat sarana untuk perang.
(12)
Malih
sang dyah mangsit marang laki, ngelmining kerato- (k.249) n, mrih kinedhep
mring lelembut sakeh, Senapati wus
kadriyeng wangsit, wusana sang dewi, ngraket weceng kakung.
Kembali
sang Dewi memberi pesan kepada senopati, ilmu dari keraton (k. 249), yang
tersedia oleh semua mahluk halus, Senopati sudah menerima wangsit, selesainya
Dewi memeluk erat Senopati.
(13)
“Dhuh
Pangeran yen marengi karsi, ing panuwun ingong sampun age-age kondur mangke, wilangun
lun yekti dereng dugi, paran polah mami, yen paduka kondur.”
“Dhuh
Pangeran jika saya diperbolehkan meminta, saya minta jangan cepat-cepat pulang,
menurut perhitungan saya belum sampai, seperti apa saya nanti, jika Paduka
pulang.”
(14)
Raka
ngimur mrih lipuri Yayi, “Adhuh mirah ingong kang sih tresna marang ing dasihe,
myang sakjarwa wus sun trima Yayi, nging sun meksa amit, megat oneng masku.
Kanda
Senopati menghibur Dinda Ratu, “Adhuh emas merahku yang aku cintai, saya sudah
jelas menerima Dinda, hanya saja saya harus pamit, berpisah dengan mu emas
merahku.
(15)
Aja
brangta mirah wong akuning, lilanana ingong, ingsun kondur mring Mataram
prajeng, nora lama mesthi nuli bali, mring pureng jeladri, tuwi dika masku,
Jangan
sedih emas merah milikku, relakanlah saya, saya pulang ke kerajaan Mataram,
tidak lama pasti akan kembali, ke puri samudera ini, menjenguk engkau emasku,
(16)
Saking
labet datan betah mami, pisah lan mas ingong, sangking wrate wong mengkoni
prajeng”, sang dyah ngungsep pangkyan ngling ing laki, “Pangran sampun lami,
nggih nuntena wangsul.”
Saya
sebenarnya sangat tidak kuat untuk berpisah dengan emasku, hanya karena berat
beban saya menjaga menlindungi kerajaan”, Sang Dewi kemudian jatuh memeluk
pangkuan Senopati, “Pangeran jangan lama, segera pulang kesini.”
(17)
Dugi
nggusthi megat onenging sih, gya mijil sang anom Ratu Kidul ndherekken kondure,
asarimbit kekanthen lumaris, rawuh Srimanganti, gya kakung nglingnya rum.
Sampai
akhirnya Gusti Senopati mengakhiri kasih cinta, segera Ratu Kidul mengantarkan
kepulangannya, saling menggandeng tangan harmonis, sampai di Srimanganti, Senopati segera melihat sang
Dewi penuh rasa kasih.
(18)
“Wus
suntrima sihira Mas Yayi, nggennya ngater mring ngong, among ingsun minta
sihirangger, srana tumbal usadaning kingkin”, sang dyah manglegani, sih
katresnane kakung.
“Sudah
saya terima sihir mu Dinda Mas, olehmu menghantar saya, hanya saya minta
sihirmu, sebagai sarana tumbal obat sakit asmaraku”, Sang Dewi memberi cintanya
kepada Senopati.
(19)
Atur
gantyan manglungken sing lathi, tinampen waja (k.250) lon, geregetan ginigit
lathine, sang dyah kagyat raka sru pinulir, purna kang karon sih, sewangan
lestantun.
Bergantian
memberi ciuman bibir, diterima gigi secara pelan, mencium menggigit mesra, Sang
Dewi kaget pada Senopati, setelah bercumbu, kunjungan selesai.
(20)
Senapati
praptanireng njawi, puranya sang sinom, sirna wangsul keksi samodrane, Senapati
nggenya napak warih, lir mangambah siti, tinindakkira laju.
Senopati
telah sampai diluar pura sang Dewi, kembali menghilang samudera dari
penglihatan, Senopati berjalan diatas air, seperti memijak tanah, dia berjalan
terus.
(21)
Senapati
sakpraptaning gisik, wespadeng pandulon, kang pitekur neng Parangtritise, wus
saestu lamun guru yekti, niyakaning Sunan Adilangu.
Senopati
sampai dipinggir pesisir pantai, melihat dengan waspada kepada seseorang yang
berdiri tegak di Parangtritis, sudah merasa yakin bahwa dia adalah Guru
Senopati, yaitu Sunan Adilangu.
(22)
Senapati
gepah nggen mlajengi, mring guru sang kaot, prapta laju, mangusweng padane,
pamidhangan ngasta mring sang yogi, luwarnya ngabekti, lengser lenggah bukuh.
Senopati
segera menghampiri maha guru, dengan segera memberi hormat tunduk, tangan guru
menyentuh sang anak/ murid, sebagai tanda diterimanya bakti sang Senopati,
bergeser duduk sopan.
(23)
Sunan
Adi gya ngandika aris, “Jebeng sokur ingong, lamun sira katemu neng kene, sabab
ingsun arsa anjarwani, pratingkah kang yekti, mrih arjaning laku.
Sunan
Adilangu berbicara dengan bijaksana, “Aku bersyukur anakku, aku bertemu
denganmu disini, sebab aku menanti-nanti, apa yang sebenarnya terjadi dengan
perjalananmu.
(24)
Sira
sinung digdaya lan sekti, ngluwihi sagung wong, sun prelambang samodra pamane,
kita ambah tan teles kang warih, lir dharatan ugi, tyasnya aja ujub,
Kamu
sangat ampuh dan sakti, melebihi semua orang, misalnya saja tanda samudera yang
kamu injak tanpa basah dengan air, seperti daratan saja, tetapi ingatlah hatimu
jangan angkuh
(25)
Riya
kibir sumengah tan keni, segahe Hyang Manon, nabi wali uliya sedene, yen neraka
tuk sikuning Widi, karseng Hyang piningit, bab catur piyangkuh.
Sombong,
riya, congkak tidak boleh, dibenci oleh Hyang Manon, nabi wali Allah juga
membenci, jika neraka mendapat laknat dari Hyang Widi, diharapkan oleh Hyang
tersembunyi, bab pembicaraan yang angkuh.
(26)
Wong
gumedhe anglungguhi kibir, sapa padha lan ngon, larangane Hyang Sukma kang
murbeng, kibir riya piyangkuhing jalmi, mrih ngalema luwih, keringan sawegung.
Orang
yang sombong melebihi kibir. Barang siapa yang patuh pada larangan Hyang Sukma
yang menciptakan alam dan seisinya, sombong dan riya adalah keangkuhan manusia,
minta dipuji-puji berlebihan, semuanya itu tidak lah pantas
(27)
Amemadha
marang ing Hyang Widi, wong pambeg mengkono, kalokeng rat mring praja liyane,
ujubira piyangkuh ngengkoki, gawoka kang ngeksi, lumaku gumunggung.
Mempersamakan
diri dengan Hyang Widi, orang seperti itu disemayami derajat dari raja-raja
yang lainnya, perlihatkanlah kepribadianmu yang tidak angkuh, terlihat
mempesona, berjalan anggun berwibawa.
(28)
Saksolahe
was tan darbe maning, mung legane batos, sakeh patrap ja mengkono Jeneng,
Senapati tuhunen kang kapti, lan sun plambang maning, kan tan lungguh ngelmu
Semua
tingkah laku tidak ada yang mengganggu hati, tinggal tentramnya hati saja,
banyak sekali perilaku jangan hanya menjadi nama saja, Senopati benar-benar
hanya berfokus pada kehendak/cita-cita luhur, dan saya memperumpamakan lagi,
yang tidak memiliki ilmu.
(29)
Aja
sira pambeg kaya langit, bumi gunung argon, lan samodra plambang patrap kabeh,
pan ya Kaki pambeganing langit, saengganing jalmi, ngendelken yen luhur.
Jangan
lah kamu menengadah seperti langit (angkuh), bumi gunung tinggi, dan samudera
semua contoh, ya Kaki pemberian langit, bermacam-macam manusia, mengandalkan
yang luhur.
(30)
Bumi
kandel jembare ngluwihi, dwi lir pambeging wong, wus tan ana mung iku
dayane, myang kang gunung digung geng
inggil,sagra jro tirtaning, gurnita kang alun,
Tebalnya
bumi dan luasnya itulah dua sifat manusia, sudah tidak ada yang melebihi
kekuatannya selain itu, kepada gunung-gunung besar dan tinggi, dalamnya
samudera, gumelarnya ombak,
(31)
Ngendelaken
digdayane sami, bumi samodra rob, langit arga pambeg jalma kabeh, wus tan ana
polataning maning, sisip pambeg jalmi, kurang jembar kawruh.
Mengandalkan
kekuatan mereka, bumi samudera banjir, semua langit dan gunung seperti sifat
manusia, sudah tidak ada perbedaannya lagi, sedikit berbeda dengan manusia yang
tidak mempunyai ilmu pengetahuan.
(32)
Yen
sira yun wigya dadi aji, mangreh sagunging wong, aja pegat istiyarmu Jebeng,
laku pasrah mring Kang Murbeng Bumi, neng musik di-ening, mrih uning Sukma
Gung.
Jika
kamu menjadi orang tinggi/ Raja, memerintah semua orang, jangan berhenti
ikhtiarmu Nak, berpasrah kepada Kang
Murbeng Bumi (Penguasa Yang menciptakan Bumi dan seisinya), menjadi sekutu
terhadap Sukma Gung (Hyang Besar Sukma)
(33)
Ginampangan
seka karseng Widi, di-terang pandulon, aja sereng sakpekoleh bae, ngibadaha
nglungguhana gami, nging driya dieling, mrih manise wadu.
Secara
mudah terwujud kehendak dari Hyang Widi, berfokus lah pada pandangan/tujuanmu,
jangan sembarangan bertingkah seenaknya saja, beribadah lah memeluk agama,
selalu hati berwaspada kepada manisnya wanita.
DHANDHANGGULA
(1)
Lawan
Jebeng ya sun Tanya yekti, antuk apa sira seka sagra”, Senapati lon ature,
“Inggih binektan ulun, Tigan lungsungjagat ken nedhi, lan Jayengkaton lisah”,
dwi serana katur, sang wiku wrin lon delingya, “Katujone durung kongsi sira
bukti, yen wisa dadi apa.
Kepadamu
anakku aku bertanya, kamu mendapat apa dari segoro/samudera”, Senopati menjawab
pelan, “Ya saya diberi Telur Lungsung Jagad yang disuruh memakannya, dan Minyak
Jayengkaton”, Keduannya adalah pemberian, sang Wiku sudah menyadarinya dan
berkata secara halus, “Untung saja kamu belum membuktikannya, jika sudah
dimakan mau jadi apa kamu Nak.
(2)
Temah
antuk sengsareng ngaurip, yekti wurung sira dadi nata, nggonirarsa mengku
ngrate, sida neng samodra gung, datan bisa mulih Matawis, de wadyanta tan
wikan, myang garwa putramu, labete wus salin tingal, kita dadi jodhone Ni Kidul
mesthi, sabab nir manungsanya.
Hanya
mendapat hidup yang sengsara, pasti gagal keinginanmu menjadi Raja memerintah
kerajaan malah terperangkap di samudera luas, tidak bisa kembali ke Mataram,
rakyatmu dan anak isterimu tidak akan melihatmu karena kamu sudah berubah
wujud, karena kamu menjadi lelaki/suami Ratu Kidul, menjadi hilang wujud
manusiamu.
(3)
Maneh
Jebeng sun Tanya kang yekti, sira remen marang narpaning dyah, kaya ngapa
suwarnane”, Senapati lon matur, “Wananipun ayu nglangkungi, saktuwuk dereng
mriksa, keng kadya Dyah Kidul”, sang wiku mesem ngandika, “Kesamaran kita
Jebeng Senapati, kena ngayu sulapan.
Kembali
saya bertanya kepada mu dengan pasti, kamu suka kecantikan sang Ratu, seperti
apa wajahnya”, Senopati menjawab pelan, “Wajahnya sangat cantik, seumur hidup
saya belum pernah melihat, yang seperti (k.253) Dyah Ratu Kidul”, Sang Wiku
tersenyum berbicara, “Kamu terkena sihirnya anakku, itu hanya wujud yang
disulap.
(4)
Sabab
sira durung sidik ngeksi, nguni sun wus namun manjing pura, dyah supine ya
suncolong, neng jenthik driji sang rum, iki warna delengen Kaki”, kagyat Sang
Senapatya, nggenira andulu, de supe langkung gengira, pan sakwengku tebok
bolonging li-ali, tumungkul Senapatya.
Sebab
kamu belum pernah melihat sebelumnya, dulu saya sudah pernah masuk ke pura, aku
mencuri cincin dari jari kelingking sang Ratu, ini wujud sebenarnya sang Ratu
silahkan melihat anakku”, senopati terkejut, melihat cincin yang sangat besar,
sebesar “tebok” lubang cincin, Senopati merunduk memperhatikan.
(5)
Driya
maksih maiben ing galih, Sunan Adi ing tyas
wus waskitha, Senapati
tyas sandeyeng, wusana ngling sang wiku, “Payo Jebeng ya
padha bali,mumpung narpeng dyah nendra,katon warna tuhu, mengko Jebeng
wespadakna”, ri wusira Jeng Sunan lan Senapati, linggar manjing samodra.
Saya
masih merasa ragu dalam hati, Sunan Adilangu menyadari dalam hatinya, hati
senopati bimbang, lalu melihat kepada sang Wiku, “Ayo Nak kita pulang, mumpung
Ratu sedang tidur, nanti kamu bisa memperhatikannya lagi” setelahnya Kanjeng
Sunan Adilangu dan senopati berabjak meninggalkan samudera.
(6)
Sakpraptaning
jro pureng jeladri, Ratu Kidul wus kepanggih
nendra, nglenggorong langkung
agenge, lukar ngorok mandhekur,rema gimbal jatha mangisis,panjangnya tigang
kilan, sakcarak gengipun, kopek nglembereh sakiyan, Senapati kamigilan wrin ing
warni, tansah legek tan nebda.
Sesampainya
di pintu samudera, diketahui bahwa Ratu Kidul sudah tidur, tidur telentang
badannya sangat besar, tidur tanpa pakaian dan suara mendengkur, rambutnya
gimbal/ gembel dan gigi siungnya keluar tajam, panjangnya 3 kali jengkal
tangan, sebesar “carak”, payudaranya turun menggantung, Senopati menggigil
ketakutan melihat wujudnya, sangat terkejut sampai tanpa bicara.
(7)
Sunan
Adi nebdeng Senapati, “Jebeng iku warnane sanyata, kang bisa ayu sulape, linulu
mring Hyang Agung, lamun wungu sakarep dadi, bisa salin ping sapta, sakdina
warna yu, yen wis tutug pandulunya, payo mulih bok menawi mengko tangi, gawe
rengating driya.”
Sunan
Adilangu berkata kepada Senopati, “Nak itu lah wujud sebenarnya Ratu Kidul,
yang bisa berubah menjadi cantik karena sulapan sihir, “linulu” kepada Hyang
Agung, ketika bangun berubah lagi, bisa berubah selama tujuh (7) kali, dalam
satu hari, menjadi cantik, kalau kamu sudah puas melihantnya mari kita pulang,
kemungkinan dia nanti bangun, membuat sakit hati.”
(8)
Wusnya
nulya kentar pyagung kalih, ing semarga Sunan tansah jarwa, “Ya sun tan malangi
Jebeng, nggonira kita wanuh, lan dyah narpa sakkarsa Kaki, wis bener karsanira,
nging ta cegah ingsun, wenangira mung persobat, sabab iku kang rumeksa Pulo Jawi,
wenang sinambat karsa.
Setelah
itu kedua pembesar beranjak pergi, di perjalanan Sunan berbicara, “Ya saya
tidak menghalangi kamu berkenalan dengan Ratu Kidul, sudah benar keinginanmu,
terserah kamu, hak kamu berteman, sebab itu yang menyatukan Pulau Jawa, berhak
meminta bantuan.
(9)
Mayo
padha mulih mring Matawis, ingsun arsa kampir wis manira”, wusnya dwi gancang
tindake, Sunan ing Ngadilangu, dhinerekken lan Senapati, tindakira lir kilat,
sakedhap prapta wus, njujug dalem pepungkuran, Sunan Adi lawan wayah Senapati,
arsa ngyektekken srana.
Mari
kita pulang ke Mataram, saya mau singgah di rumahmu”, ayo percepat perjalanan
kita, Sunan Adilangu diikuti oleh Senopati, jalan mereka secepat kilat, sekejap
sudah sampai, langsung menuju rumah belakang, Sunan Adilangu dan cucu Senopati
akan membuktikan sarana (pemberian Ratu, telur dan minyak).
(10)
Juga
juru taman Senapati, jalma tuwa madad karemannya, dadya mengguk raga ngronggok, yen angot tan tuk turu,
sambat muji marang Hyang Widi, nuwun kuwatan rosa, pinanjangna ngumur, samben
muji pan mangkana, kantya tan wrin yen gustenira miyosi, tumrun bale
krengkangan.
Juga
juru taman Senopati, manusia tua yang suka menghisap candu, menjadi batuk dan
badan rusak kurus kering, jika kumatnya datang tidak bisa tidur, mengadu
kesakitan kepada Hyang Widi, meminta kekuatan dan panjang umur, setiap sedang
memohon seperti itu seterusnya sampai tidak sadar kalau gusti majikannya
menghampiri, dia turun dari bale dengan susah payah jatuh bangun.
(11)
Senapati
wusnya lengah angling, “Heh Ki Taman mau sun miyarsa, sira muji mintakyate, iku
ta apa tuhu, minta ing Hyang sarasing sakit, lan dawane murira”, Juru Kebon
matur,”Nggih Gusti yektos amba, rinten dalu nenuwun maring Hyang Widi,
pangjanging umur saras.”
Setelah
duduk Senopati berbicara, “Heh Ki Taman tadi aku mendengar kamu berdoa meminta
kekuatan, apa itu betul, minta kepada Hyang untuk sembuh dari sakit dan panjang
umurmu”, Juru Taman menjawab,”Ya Gusti, benar hamba, setiap malam meminta kepada
Hyang widi, panjang umur dan sehat.”
(12)
“Yen
wis mantep panuwunmu Kaki, sunparingi sesarating gesang, dimen sirna lara
kabeh”, Ki Taman nembah nuwun, majeng sinung tigan tinampin, laju kinen
nguntala, seksana nguntal wus, Ki Tamanmubeng angganya, lir gangsingan tantara
jumeglug muni, wreksa sol sangking prenah.
“Kalau
sudah yakin permintaanmu Kaki, aku memberimu prasyarat hidup, agar hilang semua
kesakitan”, Ki Taman menghaturkan sembah terimakasih, maju mendekat Senopati
dan menerima telur, disuruh segera menelannya, sesudah menelan telur badan Ki
Taman berputar-putar, seperti gangsingan berbunyi keras (gangsingan = mainan
anak terbuat dari bamboo yang bergerak berputar-putar cepat seperti angina
puyuh), arahnya dari pohon besar.
(13)
Gya
jenggeleg warna geng nglangkungi, juru taman lir gunung anakan, jatha gimbal
kalih kaged, wrin langkung tyasnya ngungun , sang wiku ngling mring Senapati,
“Iku Jebeng dadinya, yen nut mring Ni Kidul”, Sang Sena minggu tan nebda,
mitenggengen gegetun uningeng warni, dekadya arga suta.
Ki
Taman berubah menjadi besar sekali seperti anak gunung, dua gigi siung dan
rambut gembel, hatinya terkejut dan menangis, Sang Wiku melihat Senopati, “Itu
lah jadinya Nak jika mengikuti kehendak Ni Kidul”, Sang Senopati selama tujuh
(7) hari tidak mau berbicara, terpaku melihat wujud dan menyesal, Senopati
berdiri kaku seperti anak gunung.
(14)
Sunan
adi gya ngandika malih, “Kari siji Jebeng nyatakena, kang ran lenga
Jayengkatong”, Sang Senapatya me-(k.256) stu, nulya dhawuh kinon nimbali,
pawongan nguni emban, tengran Nini Panggung, lan gamel nami Ki Kosa, tan
adangukalihnya wus tekap ngarsi,Sang Sena lon ngandika.
Sunan
Adilangu segera berbicara lagi, “Masih ada satu lagi yang harus dibuktikan Nak,
yang bernama Minyak Jayengkatong”, Sang Senopati setuju (k.256), segera memberi
perintah untuk memanggil emban abdi dalem/ pengasuh yang bernama Nini Panggung,
dan tukang gamelan/ tukang musik yang bernama Ki Kosa, keduanya dipanggil dan
tidak lama setelahnya mereka sudah ada di hadapan, Sang Senopati berbicara
pelan.
(15)
“Bibi
Panggung mula suntimbali, lan si Kosa ya padha sunjajal. Nggonen lenga
Jayengkatong, nggennya sung Ratu Kidul, yen wis ngarja sekti ngluwihi”, kang
liningan wot sekar, tan lengganeng dhawuh, Panggung Kosa tinetesan,
Jayengkatong gya sirna kalih tan keksi, pan wus manjing nyeluman.
“Bibi
Panggung kamu saya panggil dan Ki Kosa untuk saya coba. Pakailah Minyak
Jayengkaton pemberian Ratu Kidul, jika sudah terbukti sangat sakti”, tidak
menolak perintah, Panggung dan Kosa ditetesi Minyak jayengkaton segera keduanya
hilang tidak kelihatan, sudah berubah menjadi siluman.
(16)
Saksirnanya
ngungun Senapati, abdi tiga pan salah gedadyan, wusana lon ngandikane, “Heh
Kosa bibi Panggung, de wong roro padha tan keksi”, umatur kang sinebdan,
“Inggih Gusti ulun, keng cethi tan kesah-kesah, sangking ngarsa wit pinaringan
lisah Gusti, de mawi tan katinggal.”
Setelah
hilangnya mereka, Senopati menangis, pada tiga abdi sudah terjadi kesalahan,
setelahnya pelan bicaranya, “Heh Kosa dan bibi Panggung, perlihatkanlah diri
kalian”, menjawablah mereka, “Baik Gusti saya, yang pasti kami tidak
pergi-pergi dari Anda sejak diberi minyak oleh Gusti, walaupun saya tidak
terlihat.”
(17)
Sunan
Adi lon nambungi angling, “Heh Ni Panggung sira lan si Kosa, padha narimaa
karo, pan wus karseng Hyang Agung, sira dadi wadaling gusti, dene jatining
jalma, mengko tan kadulu, pan wis dadi ejim padha, nging ta sira aja lunga sing
Matawis, emongen gustenira.
Sunan
Adilangu pelan menyahut, “Heh kamu Ni Panggung dan si Kosa, terimalah atas
kehendak Hyang Agung, kalian menjadi tumbalnya Gusti, tetap menjadi sejatinya
manusia sebelumnya sampai masadepan, walaupun sudah menjadi mahluk jin,
janganlah pergi dari Mataram, asuhlah Gusti kalian.
(18)
Prayogane
Jebeng Senapati, bocahira telu ingsun prenah, Panggung Kosa ing enggone, anenga
wringin sepuh, juru taman neng Gunung Mrapi, ngereha lembut ngarga,rumeksaa
kewuh, mungsuh kirdha jroning praja, juru taman kang katempuh mapag jurit”,
mestu kang sinung sebda.
Sebaiknya
Nak Senopati, ketiga abdimu aku tempatkan, Panggung Kosa di tempat Beringin
Sepuh/ Tua, Juru Taman di gunung Merapi, menguasai mahluk halus di gunung,
menjaga dari musuh dalam kerajaan, Juru Taman yang akan memimpin prajurit”,
semua mematuhi perintah Sinuhun Senopati.
(19)
Katriya
wus kinon manggon sami, Panggung Kosa lawan juru taman, sang kalih dugi
karsane, gya kondur dalemipun, Senapati ngungun ing galih, duk aneng pureng
sagra, de meh sisip nglakur, Sunan Adi gya ngandika, “Senapati wismamu tan
dipageri, kebo glar neng pegungan.
Ketiganya
sudah menuju tempatnya masing-masing, Panggung, Kosa dan ki Juru Taman.
Keduanya sampai kehendaknya segera pulang kerumahnya, Senopati menangis
hatinya, mengingat di dalam puri samudera, ternyata berbeda, Sunan Adilangu
segera berbicara, “Senopati rumahmu tidak dilindungi pagar, kerbau di tikungan.
(20)
Tanpa
kandhang ya kang kebo sapi, heh ta Jebeng Senapati Nglaga, iku sisip pasrahe,
karena Allah dudu, piyangkuhmu aneng Matawis, sebarang karsanira, kadhinginan
ujub, kebo sapi tanpa kandhang, wahanane sapa wani marang mami, dursila satru
kridha.
Tanpa
kandang (rumah hewan) ya kerbau dan sapi, heh Nak Senopati Ngalaga, itu
perbedaan pasrah, karena bukan, keangkuhanmu di Mataram, semua kehendakmu,
harus terwujud, bagaikan kerbau dan sapi tanpa kandang/rumah, menantang semua
barang siapa saja yang berani denganku, manusia buruk membuat masalah.
(21)
Becik
nganggo eneng lawan ening, lumakuo sokur lawan rena, wismaa lan
pepagere, kebo sapi yen ucul, keluhana dipuncekeli, yen
mulih prapteng wisma, kandhangna sedarum,selarae pacelana, tunggonana yen turu
kelawan wengi, pasrahna mring Kang Murba.
Lebih
baik memakai ketenangan dan keheningan, berjalanlah dengan syukur dan tujuan,
kerbau dan sapi jika lepas, peganglah kepalanya, jika pulang ke rumah,
kandangkanlah di ruang cukup, dikunci pintunya, tunggulah ketika tidur sampai
larut malam, berpasrah kepada Kang Murba (Hyang Menciptakan Hidup).
(22)
Anganggoa
andum lawan milih, dipatuta lan lakuning praja,lungguhira lawan ngelmune,
istiyarmu diagung, anganggoa sumendhe Widi, sebarang tingkahira, anganggoa
sokur, karane dipunprayitna, laku linggih solah muna lawan muni, pracina dadi
nata.
Melakukan
memberi dengan memilih, dipantaskan dengan sifat raja, dudukilah dengan
ngelmu/ilmu, besarkan ikhtiarmu, berlakulah pasrah pada Hyang Widi, semua
tingkahlaku mu, bersyukurlah, pantas diingat-ingat, tingkah laku dan berbicara
selalu dijaga.
(23)
Mengko
Jebeng ingsun mertikeli, karya kitha mrih kukuh prajanta, salameta prapta
tembe, Jebeng ngambilaranu, aja akeh kebak kang kendhi”, Senapati wotsekar,
dhawuh cethi mundhut, tirta ing kendhi pratala, kang liningan sandika nulya nyaosi,
tirta mungging lantingan.
Nanti
Nak saya tambah petunjuk untuk, usaha kota agar kuat kerajaan, selamat sampai
nanti, Nak ambillah air, jangan banyak-banyak memuat di kendhi (tempat air dari
periuk tanah)”, Senopati berkata, saya patuh mengambilnya, air di kendhi tanah,
yang diperintah segera mengambil dan memberi air dengan alat.
(24)
Nulya
linggar wau Sunan Adi, ngasta pandelengan isi tirta, tindak ngideri dhadhahe,
Senapati tut pungkur,sarwi mbekta ingkang tetali, ngenthengi ruting tirta, ngandika
sang wiku, “Heh ya Jebeng Senapatya,ge turuten saktilase banyu iki, karyanen
kuthanira.
Kemudian
Sunan Adilangu berjalan mengelilingi perbatasan dengan membawa kendi bersisi
air, Senopati mengikuti di belakang, sambil membawa yang diikat, meringankan
air, berbicaralah sang Wiku, “Heh ya Nak Senopati, segera ikuti bekas air ini,
buatlah kotamu.
(25)
Jebeng
rehne tumitah ngaurip, aja kandheg laku panarima, lan diweruh wewekane, ingon-ingonmu
sagung,uga padha kelawan kasih, yen kurang pangreksanya, temah praja eru,
saking datan wruh ing weka, nora ngrasa yen manungsa mung sinilih, marang Kang
Murbeng Alam.
Nak
karena dharma perintah hidup, jangan berhenti bersyukur menerima hidup, dan
mengerti sifat-sifat semua peliharaanmu, juga kepada yang di cintai, jika
kurang memeliharanya, kerajaan menjadi ruwet/kacau, dari ketidaktahuan
penglihatan, tidak merasa bahwa manusia hanya meminjam dari Kang Murbeng Alam.
(26)
Lawan
sira diwespadeng gaib, lamun kita marentah mring wadya, enakena kabeh tyase,
tuhunen ujar ingsun, nuli siram rentaha dasih, awita konen nyithak, wongira
Matarum, sakpekolehe nggon karya, becingahen kuthanira dia becik, dadya tila
isun wuntat.
Dan
kamu harus berwaspada pada yang gaib, walau kita memerintah kepada rakyat,
buatlah semua nyaman di hati, patuhilah nasehatku, sekarang dimulai dengan
menyiram dan suruhlah orang-orang Mataram mencetak, bekerjalah dengan nyaman,
buatlah kotamu menjadi bagus, akhirnya menjadi peninggalan.
(27)
Jebeng
yen ws jumbuh traping urip, sasat sira wus madeg narendra, mengkoni ngrat Jawa
kabeh, netepi manungsa nung, lan Hyang Sukma kinarya silih, mengkoni ngalam
padhang, kang kuwasa tuhu, asung sakwarneng gumelar, pan manungsa kang winenang
andarbeni, lestari tanpa kara.
Nak,
jika sudah berhasil dengan hidup, sama dengan sudah menjadi Raja, memerintah
seluruh tanah Jawa, menjadi manusia unggul, dan Hyang Sukma menciptakan ganti,
menguasai alam terang, yang benar berkuasa, membawa semua kebesaran, manusia
yang berhak memiliki, lestari (nyaman sentosa) tanpa perkara.
(28)
Lan
diweruh kahananing Widi, Jebeng uga nggene kang senyata, pan ya sira saksolahe,
nging kesampar kesandhung, dene sira nora ngulati, nggone cedhak asamar, tan
ana kang dunung, ngalela neng ngarsanira, gustenira neng ngarsa katon dumeling,
anging kalingan padhang.
Dan
diperlihatkan suasana Widi, Nak juga tempat yang nyata, dengan semua tingkah
mu, jatuh bangun, selalu dekat dengan kehendaknya, Gustimu terlihat di depan
ingatanmu, tapi terhalang sinar.
(29)
Senapati
wotsekar nuwun sih, jarweng Sunan Adi wus kadriya, nging meksih sandeya tyase,
de naluri kang tinut,
Senopati
menghaturkan terimakasih, nasehat Sunan Adilangu sudah masuk di dalam hati,
tapi masih khawatir hatinya, karena naluri yang diikuti,


