Babad Bali - Babad Manik Angkeran
(SIDDHIMANTRA TATTWA, Mahakertawarga Danghyang Bang Manik
Angkeran Siddhimantra)
Sebagai
pendahuluan ceritera, tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti
bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya laki-laki seorang bernama Danghyang
Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar
biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa.
Ida
Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha.
Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
Sebagaimana
disebutkan dalam sumber kutipan Babad Bali tersebut :
1.
Banyak
Wide atau Arya Wiraraja merupakan putra pertama dari Manik Angkeran. Dan Beliau
juga disebutkan berjuang bersama Raden Wijaya untuk mendirikan Kerajaan
Majapahit.
2.
Nama
Ranggalawe diberikan kepada Ida Bagus Pinatih pada saat di hutan Tarik ketika
Raden Wijaya di tempat itu membuat pasraman yang diberikan nama Majapahit atau
Wilwatikta karena banyaknya buah maja yang pahit ditemukan di sana sehingga
pekerjaan untuk merabas hutan itu dipimpin oleh Ida Bagus Pinatih, putra Ida
Sang Bang Banyak Wide atau Arya Wiraraja
3.
Danghyang Soma Kepakisan, putra Mpu Tantular
yang merupakan seorang pendeta guru utama di Kediri, yang bernama Ida Sri
Kresna Kepakisan. Ida Mpu Soma Kepakisan itu tiada lain saudara dari Ida Mpu
Danghyang Panawasikan, Ida Mpu Danghyang Siddhimantra (Mpu Bekung) dan Ida Mpu
Asmaranatha.
Manik Angkeran
Manik
Angkeran adalah putra dari Mpu Sidhimantra (Mpu Bekung) yang dahulu pernah
disekolahkan di Bali dan belajar pada Sang Hyang Naga Basukih yang bertempat
tinggal di Besakih demikian disebutkan dalam sumber kutipan memuja Tuhan di
Pura Bangun Sakti.
Dalam
Kisahnya diceritakan, ternyata Manik Angkeran bukanlah berkonsentrasi belajar
dan berlatih kerohanian. Manik Angkeran malahan menyimpang dari tujuan ayahnya
menyekolahkan di Bali dan Manik Angkeran kepincut pada judian.
Karena
kehabisan uang dia tergoda melihat ujung ekor Naga Basukih menggunakan hiasan
emas bertahta permata mulia yang mahal-mahal. Karena bingung kehabisan uang
maka diam-diam ujung ekor Naga Basukih yang berhiaskan emas itu dipotongnya
akan digunakan untuk berjudi. Karena kedurhakaannya itu Naga Basukih marah dan
dari lidahnya mengeluarkan api.
Api
yang memancar dari lidah Naga Basukih terus disemprotkan ke arah Manik Angkeran
yang sudah telanjur memotong ujung ekor Naga Basukih. Manik Angkeran pun hangus
terbakar menjadi abu. Kejadian ini diketahui oleh Mpu Sidhi Mantra di Jawa, terus
beliau pun bergegas berangkat dari Jawa menuju Bali.
Sesampai di Bali, Mpu Sidhi Mantra memohon
maaf sebesar-besarnya kepada Sang Hyang Naga Basukih. Naga Basukih pun bersedia
memaafkan dan dipersilakan Mpu Sidhi Mantra menghidupkan kembali putranya.
Akhirnya,
abu jenazah Manik Angkeran pun dihidupkan kembali di Pura Bangun Sakti. Manik
Angkeran dinasihati oleh Mpu Sidhi Mantra agar menghentikan kebiasaannya
berjudi itu. Karena sangat tegas dan jelas Veda Sruti Sabda Tuhan itu melarang
umatnya berjudi.
Sejak
itu Manik Angkeran sadar dan tidak lagi mengembangkan kebiasaannya berjudi.
Manik Angkeran pun menjadi putra yang sangat baik seperti amat patuh pada
gurunya dan ayahnya.
Apalagi
dalam Manawa Dharmasastra II.233 menyatakan ia yang menjalankan tiga bhakti
yaitu :
1.
Berbakti
pada ibunya mendapat pahala berupa kebahagiaan di bumi,
2.
Berbhakti
pada ayahnya mendapatkan pahala kebahagiaan di alam tengah, dengan
3.
Berbakti pada guru kerohaniannya akan mencapai
Brahma Loka.
Berbakti pada tiga orang itulah yang dilakukan oleh Manik Angkeran sehingga ia dari kuputra menjadi suputra. Maksudnya dari anak yang tidak baik menjadi anak yang suputra.
Selanjutnya
Manik Angkeran karena keberhasilan beliau mengubah diri itu dipercaya menjaga
dan merawat Pura Besakih oleh Sang Hyang Naga Basukih. Kewajiban itu
dilaksanakan oleh Manik Angkeran dengan patuh sampai dengan keturunannya sampai
sekarang.
Perubahan
yang amat luar biasa itu terjadi di Pura Bangun Sakti berkat kesaktian Naga
Basukih dan Mpu Sidhi Mantra. Hal itulah kemungkinannya pura ini disebut Pura
Bangun Sakti di kawasan pura besakih yang dapat mengubah kehidupan Manik
Angkeran menjadi seorang yang baik dan berbhakti.
Dalam
Prasasti Manik Angkeran, Besakih sebagaimana dijelaskan brahmana sapinda, pada
saat beliau ada di Bali untuk mengemban Ida Naga Basuki, dalam suatu perjalanan
beliau bertemu dengan seorang tokoh tua yang sedang duduk di kiskis (cangkul).
Tokoh tua ini habis mengerjakan ladangnya setelah beliau payah beliau duduk
diatas kiskis (cangkul).
Pada
saat itu datanglah Ida Manik Angkeran, dan tokoh tua itu turun dari kiskisnya
dan menanyakan siapa gerangan anak muda yang baru datang ini. Anak muda ini
menyahut putra dari Mpu Bekung atau yang disebut Danghyang Sidhimantra.
Dalam
pertemuan ini terjadi suatau perdebatan atau kalau boleh dikatakan suatu bentuk
pengujian kemampuan, dimana pada saat itu dilihat tokoh tua ini tiada lain
adalah Dukuh Blatungan sedang membakar sampah hasil rabasan di ladangnya dengan
menggunakan api biasa, tetapi tokoh muda ini beliau mengatakan mampu membakar
sampah ini hanya menggunakan air kencing.
Pada
waktu itulah tokoh tua ini, kalau memang benar beliau mampu membakar sampah ini
hanya menggunakan air kencing maka beliau akan menyerahkan semua sisya dan
sanak keluarganya kepada tokoh muda ini. Dan betul pada hari yang telah
ditentukan, tokoh muda ini membakar semua rumput itu dengan hanya mengencingi
sampah/ rumput tersebut. Sehingga sesuai dengan janji, maka tokoh tua yang
tiada lain adalah Dukuh Blatungan ini menyerahkan semua sisya, sanak saudara
beserta putrinya diserahkan kepada Manik Angkeran.
Selanjutnya,
dalam babad arya pinatih diceritakan bahwa Sang Manik Angkeran memiliki tiga
orang putra yaitu :
1.
Sang
Bang Banyak Wide | pernikahan Manik Angkeran dengan puteri Ki Dukuh Belatung
dan Beliau akhirnya bersama Raden Wijaya berjuang untuk mendirikan Kerajaan
Majapahit.
2.
Ida
Tulus Dewa | pernikahan Manik Angkeran dengan putri dari Kendran
3.
Ida
Bang Kaja Kawuh (Ida Bang Wayabya) | pernikahan Manik Angkeran dengan putri dari
Pasek Wayabya sehingga putra Sang Manik Angkeran seluruhnya adalah tiga orang.
Namun
dalam babad manik angkeran, sebelum beliau moksa disebutkan juga tinggallah
para putranya bertiga, ditinggal oleh ayah serta bundanya. Pada saat itu,
putera Ida Bang Manik Angkeran yang nomor empat bernama Sira Agra Manik dari Ni
Luh Canting (putri dari Ki Dukuh Murthi) belum ada dan belum berdiam di
Besakih.
Sebagaimana
disebutkan pula dalam lontar pura botoh, diceritakan Dang Hyang Sidhimantra
memiliki bayi laki laki yang diberi nama Ida Sang Hyang Bang Manik Angkeran.
KISAH Babad Manik Angkeran
Sebagai
pendahuluan ceritera, tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti
bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iakilaki seorang bernama Danghyang
Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar
biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida
Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha.
Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
Beliau
yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang
Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049.
Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian
menurunkan keluarga besar Pasek di Bali. Adik beliau bernama Mpu Semeru,
membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999.
Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian
menurunkan keluarga Pasek Kayuselem. Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana,
membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka
922 atau tahun Masehi 1000. Yang nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu
Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun
pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem. Nomor lima
bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu
Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar
tahun Masehi 1000.
Beliau
Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta
pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai
perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan Tiga
, Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman - desa adat
serta Kahyangan Tiga - tiga pura desa di Bali, yang sampai kini diwarisi
masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di Bali
semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan serta Kahyangan
Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di dalam
berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau
sesajen serta Asta Kosala - kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di
Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini
"Ida
sane ngawentenang pawarah - warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama.
lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara - Bhatari ring Bali
lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali,
ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila
krama"
Artinya:
Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang
berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama
(sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan,
menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh
Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu
berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang
mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya
bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga
beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian
beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri
dari Rangdeng Jirah - janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna
Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra
Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat.
Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula,
ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma
di mana di dalamnya tercantum "Bhinneka Tunggal lka" yang menjadi
semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata.
Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali,
Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.
Ida
Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya
Iaki-laki. Yang sulung bernama Mpu Danghyang Panawasikan. Yang nomor dua
bergelar Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama Mpu
Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Ida
Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida
Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida
Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan
dan kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari
Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang
pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang,
demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida
Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Danghyang
Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha. Adik beliau bernama
Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan
dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta
menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida
Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan. Danghyang Angsoka sendiri
berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang
kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
Ida
Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra
Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala Gemet memegang kekuasaan
di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai putra empat orang,
semuanya diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau yang sulung menjadi
raja di Blambangan, adiknya di Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan yang
paling bungsu di kawasan Bali. Yang menjadi raja di Bali bernama Dalem Ketut
Kresna Kapakisan menurunkan para raja yang bergelar Dalem keturunan Kresna
Kepakisan di Bali. Dalem Ketut Kresna Kepakisan datang di Bali, menjadi raja
dikawal oleh Arya Kanuruhan, Arya Wangbang - Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya
Temenggung, Arya Kenceng. Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya
Pangalasan, dan Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para serta Arya Getas dan tiga
wesya: Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur. Ida Dalem beristana di
Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih
Dalem. Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para menterinya untuk mengambil
tempat masing-masing. Ida Arya Demung Wang Bang asal Kediri di Kertalangu, Arya
Kanuruhan di Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya Kenceng di Tabanan, Arya
Dalancang di Kapal,
Arya
Belog di Kaba-Kaba, Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Gajah Para dan adiknya
Arya Getas di Toya Anyar, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari,
Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti , Arya Sura Wang Bang asal
Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana. Arya
Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan
Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan
Demikian dikatakan di Babad Dalem.
IDA DANGHYANG SIDDHIMANTRA BERPUTRA IDA BANG MANIK ANGKERAN
Diceriterakan
kembali putra Ida Danghyang Angsokanata atau Danghyang Mpu Tantular yang nomor
dua yakni Ida Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra Beliau bernama Mpu Bekung
karena beliau tidak bisa mempunyai putra. Kemudian beliau bergelar Danghyang
Siddhimantra disebabkan memang beliau pendeta atau Bhujangga yang sakti serta
bijaksana. Beliau menjadi sesuhunan sakti Bhujangga luwih (Junjungan sakti,
pendeta yang bijaksana) di kawasan Bali ini tatkala itu. Perihal gelar Ida Mpu
Bekung menjadi Danghyang Siddhimantra, akan diceriterakan di bawah ini
Diceriterakan,
Ida Mpu Bekung berkeinginan untuk memiliki putra yang akan menjadi penerusnya
kelak. Karena itu beliau melaksanakan upacara homa, memuja Sanghyang
Brahmakunda Wijaya.
Karena
kesaktian beliau, dan karena permohonannya itu, beliau dianugerahi manik besar
yang keluar dari api homa tersebut. Kemudian nampak keluar bayi dari tengah-tengah
api pahoman itu. Anak itu kemudian diberi nama Ida Bang Manik Angkeran.
Artinya: Bang dari merah warna api itu. Manik dari manik mutu manikam yang
menjadi anugerah, dan Angkeran dari keangkeran pemujaan sang pendeta yang
demikian makbulnya. Demikian asal mulanya Ida Mpu Bekung memiliki putera.
Setelah
beliau memiliki putera, sangat sukacita beliau Mpu Bekung, diperhatikan dan
dimanjakan betul putera beliau. Setiap yang diinginkan putranya dipenuhi.
Setelah
Ida Bang Manik Angkeran menginjak remaja, mungkin diakibatkan oleh kehendak
Yang Maha Kuasa, agar supaya Ida Mpu Bekung menemui ganjalan pikiran atau
kesusahan, ternyata kemudian putra beliau sehari-hari pekerjaannya hanya
berjudi melulu, tidak pernah tinggal diam di rumah, selalu berada di tempat
perjudian semata. Di mana saja ada perjudian, di sana Ida Bang Manik Angkeran
bermalam. Diceriterakan perjalanan beliau berjudi tidak pernah menang. Selalu
kalah saja.
Hingga
habis milik ayahnya dipergunakan untuk berjudi. Yang membuat Mpu Bekung duka
cita tiada lain karena putranya tidak pernah pulang ke Griya. itu menyebabkan
resah gelisah perasaan beliau, seraya pergi mencari putra beliau Ida Bang Manik
Angkeran ke desa-desa. Setiap ada orang yang dijumpai di tengah jalan, ditanyai
oleh beliau apakah ada menemui putra beliau yang bernama Ida Bang Manik
Angkeran. Namun semuanya mengatakan tidak pernah mengetahui dan menemuinya.
Diceriterakan,
konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga
dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau
Setibanya di Tohlangkir - Gunung Agung, di sana beliau baru merasa lesu lelah
kemudian duduk seraya bersamadi menyatukan pikiran beliau, memuja Dewa seraya
membunyikan genta beliau yang bernama Ki Brahmara .
Karena
keutamaan puja mantra beliau diiringi dengan suara genta beliau Ki Brahmara
yang demikian menakjubkan, menjadi heboh keluar Ida Sanghyang Basukih, seraya
berkata: "Ah Mpu Bekung yang datang, apa keinginan Mpu, memuja saya ?
Segera katakan. agar saya menjadi tahu !".
Berkatalah
Ida Mpu Bekung: "Singgih paduka Sanghyang, hamba memiliki anak seorang
tidak pernah sama sekali pulang, sejak lama hamba mencarinya, namun belum juga
ketemu. Maksud hamba agar dengan senang hati pukulun Sanghyang memberitahu
keadaan sebenarnya, apakah dia masih hidup, atau apakah dia sudah .mati. Kalau
misalnya dia masih hidup agar supaya pukulun Sanghyang sudi memberi tahu, di
mana dia berada".
Dengan
sukacita Ida Bhatara Basukih berkata: "Ah Mpu, hendaknya Mpu jangan
bersedih hati, sebenarnya putra Mpu masih hidup berada di desa-desa, bermalam
di sana. Sekarang saya yang akan mengarad (menarik) Jiwa - putra Mpu, agar
segera pulang kembali. Namun, Mpu saya minta sarinya susu lembu, sebagai
imbalan saya mengarad putra sang Mpu". Demikian wacana Ida Bhatara
Nagaraja, seraya meminta Ida Mpu Bekung agar pulang ke rumahnya .
Singkat
ceritera. pulanglah Ida Mpu memohon diri dari Tohlangkir. Tidak diceriterakan
perjalanan beliau, maka sampailah beliau kembali di rumahnya di Griya Daha, dan
dilihatnya sang putera telah berada di rumah. ltu sebabnya sangat sukacita
beliau Mpu Bekung, seraya berkata: "Duh, putraku Sang Bang, dengarkanlah
apa yang ayah katakan sekarang. Jangan lagi ananda mengulangi perbuatan yang
sudah - sudah. Ayah tidak sama sekali melarang ananda untuk bermain judi, namun
agar ananda ingat juga dengan rumah Ananda. Payah Ayah mencari ananda keluar
masuk desa-desa".
Kemudian
berkatalah putranya: "Singgih palungguh Mpu, ayahandaku, janganlah
sekali-kali palungguh Mpu marah serta duka ananda sudah menginjak dewasa sejak
dahulu, ananda tidak pernah sama sekali berani ingkar, karena ananda ingin
sekali dengan keberadaan diri sebagai seorang putra Brahmana". Demikian
kata putranya Sang Bang Manik Angkeran,
Setelah
usai Ida Mpu Bekung memberikan nasihat kepada putranya, ingat beliau kepada
permintaan Ida Bhatara Naga Basukih yang menginginkan susu lembu
Pada
hari yang baik. lengkap dengan gentanya, beliau melakukan perjalanan menuju
Tohlangkir. Sesampainya di Tohlangkir, kemudian beliau mempersiapkan diri dan
melakukan yoga semadi memuja Ida Sanghyang Nagaraja seraya membunyikan genta
beliau. Karena kemakbulan weda mantra beliau memuja Ida Sanghyang Naga raja,
segera Ida Bhatara keluar seraya bersabda: "Ah, Mpu Bekung yang datang
Apa
keinginan sang Mpu datang lagi?".
Kemudian
berkatalah Ida Mpu Bekung: "Singgih pukulun Sanghyang, hamba menghadap
pada paduka Bhatara, bermaksud menghaturkan sarinya susu, sesuai dengan
keinginan Sanghyang. Anak hamba sudah ketemu, ada di rumah". Tatkala
didengarnya kata-kata Mpu Bekung seperti itu, sangat sukacita perasaan Ida
Bhatara Basukih seraya berganti rupa menjadi Nagaraja Agung, kemudian meminum
sarinya susu, sampai beliau kenyang.
Setelah
beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, beliau mengeluarkan
emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas itu.
Singkat
ceritera, setelah beliau mengambil emas itu yang kemudian dibungkus sebesar
kelapa besarnya, lalu beliau memohon diri kepada Ida Sanghyang Basukih Tidak
diceriterakan perjalanan Ida Mpu Bekung, akhirnya tiba jugalah beliau di Griya
Daha seraya membawa emas. Diketahui emas itu oleh putranya. Ida Bang Manik
Angkeran yang gencar bertanya, meminta kepada ayahandanya agar diberi tahu di
mana memperoleh emas itu
Ida
Mpu Bekung sangat merahasiakan perihal kepergian beliau mendapat emas itu.
Putra beliau tetap saja gencar mencari tahu. Lalu Ida Mpu berkata kepada
putranya. "Aduh ananda, jangan hendaknya ananda gencar bertanya seperti
itu akan perihal ayah mendapat emas ini. Kalau ada keinginan ananda untuk
mengambil, Ayahanda berikan". Walaupun demikian kasih sayang beliau kepada
putranya, tetap saja Sang Bang memohon kepada ayahandanya untuk diberi tahu di
mana memperoleh emas itu Karena tidak sampai hati dan rasa kasih sayang yang
amat sangat, lalu Ida Mpu memberitahukan perihal beliau mendapatkan harta itu.
Karena
sekarang sudah memiliki emas, maka pergilah Ida Bang Manik Angkeran bermain
judi. Mungkin memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, sehari-harinya
beliau selalu kalah berjudi. Akhirnya tidak sampai satu bulan habislah sudah
emas yang diberikan ayahandanya dijual, dipakai modal di tempat perjudian.
Karena
keadaannya demikian, lalu beliau berpikir keras, dan kemudian Ingat beliau pada
perjalanan ayahandanya mendapatkan emas itu, yang merupakan anugerah dari
Bhatara di Tohlangkir. Segera beliau pulang, tetapi secara sembunyi - sembunyi
agar tidak diketahui ayahandanya, beliau bertolak menuju Tohlangkir seraya
membawa susu lembu, serta genta milik ayahandanya, Ki Brahmara.
Tidak
diceriterakan perjalanannya, sampailah beliau di Tohlangkir, di depan gua. Lalu
beliau duduk mengheningkan cipta, memuja Dewa, seraya membunyikan genta.
Rupanya
pemujaan beliau yang khusuk, serta diiringi dengan bunyi genta yang Utama itu,
membuat geger, keluar Bhatara Naga Basukih dari gua itu seraya berkata "Ah
siapa anda ini datang, segera katakan !".
Segera
Ida Bang Manik Angkeran menyembah: "Singgih paduka Sanghyang, hamba
bernama Sang Bang Manik Angkeran. Hamba mengikuti jalan Ayahanda hamba, menghaturkan
sarinya susu lembu ke hadapan paduka Sanghyang. "Demikian hatur beliau.
Karena demikian, sangat sukacitalah perasaan Ida Bhatara Basukih. Lalu
diminumlah susu itu, setelah berganti rupa menjadi ular naga besar berwibawa,
seraya meminum susu itu. Seusai meminum susu itu, bersabdalah beliau kepada Ida
Bang Manik Angkeran: "lh, Sang Bang, sekarang apa yang kamu inginkan,
apapun yang ananda minta akan kuberikan ."
Berkatalah
Ida Bang Manik Angkeran: "Singgih paduka Bhatara, hamba bermaksud untuk
memohon modal, nista sekali hamba berjudi, selalu kalah setiap hari ".
Saat
itu Ida Bhatara Basukih mengambil emas, bagaikan sebutir kelapa besarnya.
diberikan kepada Ida Bang Manik Angkeran, seraya bersabda: "Ambillah emas
ini, segera ananda pulang, poma, poma". Lalu diambil emas itu, disertai
sembah bakti sekaligus memohon pamit ke hadapan Ida Bhatara Nagaraja.
Singkat
ceritera. tibalah Ida Bang Manik Angkeran kembali di rumah di Griya Daha,
menyimpan genta saja, lalu beliau pergi lagi untuk bermain judi. Atas kehendak
Hyang Widhi, tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya, itu sebabnya kembali
beliau mengelana, berhutang di perjudian tidak dapat, meminjam tidak diberi.
Karena itu, lalu beliau mengambil lagi genta milik ayahandanya, seraya mencari
sarinya Susu lembu, dan menyengkelit pedang yang bernama Ki Gepang, lalu segera
menuju Tohlangkir.
Setibanya
beliau di Tohlangkir, lalu beliau duduk seperti yang dilakukan sebelumnya,
mengheningkan cipta, memuja Dewa, serta membunyikan gentanya. Karena genta itu
betul-betul genta utama, gegerlah Ida Sanghyang Basukih ke luar guanya seraya
bersabda: "Ah Sang Bang Manik Angkeran kiranya yang datang. Datang lagi
ananda membawa susu. Apa lagi permintaanmu, katakan, semaumu akan
kuberikan".
Karena
kewibawaan Ida Bhatara Basukih demikian mempesona dan menggetarkan perasaan,
menjadi tak enak perasaan Ida Sang Bang, lalu mengatakan tidak memohon apa-apa.
Karena demikian kata Ida Sang Bang, lalu Ida Bhatara berganti rupa kembali
menjadi ular naga yang besar, seraya meminum susu lembu tersebut Setelah
menyantap susu lembu itu, Ida Bhatara kembali ke gua . Karena beliau berbadan
panjang, ketika bagian kepala beliau sudah tiba di tempat peraduan, maka bagian
ekor beliau masih berada di luar gua. Dilihat oleh Ida Bang Manik Angkeran ekor
Ida Bhatara menyala karena di tempat itu terdapat intan besar bagai ratna mutu
manikam beralaskan emas dan mirah yang menyala gemerlapan.
Ketika
itulah muncul rasa angkara loba Ida Bang Manik Angkeran, disusupi oleh niat
tamak untuk memiliki permata itu. Lalu beliau menghunus pedang Ki Gepang yang
dibawanya segera memenggal ekor Ida Sanghyang Nagaraja, sehingga terputus mata
intan yang ada di bagian ekor yang segera diambil dan dilarikan oleh Ida Manik
Angkeran.
Karena
demikian tingkah Sang Bang Manik Angkeran, tak terkira murka Ida Bhatara
Nagaraja, sebab merasa ekor beliau terluka, lalu beliau kembali bergerak ke
luar gua. Dilihat oleh beliau busana beliau dilarikan oleh Ida Bang Manik
Angkeran
Segera
beliau menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Ida Bang Manik Angkeran
yang kemudian terbakar habis menjadi abu. Tempat itu belakangan bernama Cemara
Geseng dan menjadi lokasi Pura Manik Mas Besakih. Sementara itu permata milik
Ida Bang Manik Angkeran ditempatkan sebagai pusaka junjungan di Pura Dalem
Lagaan, Bebalang, Bangli.
Diceriterakan
Ida Mpu Bekung gundah perasaan beliau, karena putranya tidak pernah pulang ke
rumah. Desa-desa diselusuri mencari putranya, namun tiada juga ditemukan.
Segera beliau mengheningkan cipta. Karena kesaktian beliau, terlihat oleh
beliau putranya sudah menjadi abu. Segera beliau pergi menuju Bali, Besakih
yang ditujunya, berkehendak mengikuti perjalanan putranya. Tidak diceriterakan
di jalan tibalah beliau di Besakih. Di sana beliau melihat onggokan abu,
sementara buah genta berada di sebelah abu itu. Segera diketahui dengan jelas,
bahwa genta itu adalah milik beliau yang bernama Ki Brahmara. Jelas sudah abu
itu merupakan jasad putranya. Di sana beliau kemudian menumpahkan rasa
duka-citanya, seraya berpikir-pikir, jelas meninggalnya Ida Bang Manik Angkeran
disebabkan perbuatannya yang tak terpuji, disembur api oleh Ida Sanghyang
Nagaraja. Kemudian diambilnya genta Ki Brahmara yang sakti itu.
Karena
sudah jelas diketahui, maka beliau kemudian melanjutkan perjalanan berkehendak
untuk menghadap Ida Sanghyang Basukih. Setibanya di depan gua, seperti
sebelumnya, beliau kemudian duduk melakukan pemujaan utama memohon ke hadapan
Ida Sanghyang Basukih.
Lama
sudah beliau melakukan pemujaan. Lama beliau menunggu, tidak juga keluar Ida
Sanghyang Basukih, disebabkan demikian besar amarahnya, ingat diperdaya oleh
suara genta.
ltu
sebabnya beliau Mpu Bekung melanjutkan lagi pujastutinya dengan mengujarkan
Asta Puja, Basukih Stawa dan Utpeti, Stiti Mantra diiringi dengan suara genta
beliau. Karenanya, barulah Ida Bhatara keluar dan dilihatnya Ida Mpu ada di
sana yang kemudian merangkul, seraya menghaturkan sembah panganjali agar Ida
Bhatara memberikan anugrah dan berkata: "Om paduka Bhatara, ampunilah anak
hamba. Tahu betul hamba akan perbuatan anakku yang demikian tak berbudi dan tak
terpuji. Bila mana berkenan, sudilah Bhatara menceriterakan perbuatan anak
hamba itu . Lama Ida Bhatara berdiam diri. Mukanya cemberut, menunjukkan
kekesalan perasaannya yang tak terhingga. Namun, karena Ida Sang Mpu sudah
memohon maaf dengan tulus dan suci, maka Ida Bhatara berkata perlahan.
Menceriterakan segala perbuatan yang dilakukan Ida Sang Bang Manik Angkeran
yang mengatakan diutus oleh Sang Mpu untuk menghaturkan susu lembu, sampai akhirnya
dihanguskan menjadi abu oleh beliau.
Mana
kala Ida Mpu mendengar ceritera Ida Bhatara, meleleh air mata Ida Sang Mpu
Bekung, dan sesudah Ida Bhatara selesai bersabda, beliau kemudian kembali
menghaturkan sembah seraya berkata: "Singgih pukulun paduka Bhatara,
demikian memang dosa anakku itu, namun rupanya dia sudah menjalani kematian,
habis sudah dosanya. Inggih, hamba sekarang memohon anugerah pukulun Bhatara,
sudilah kiranya paduka Bhatara menghidupkan kembali Manik Angkeran, karena
dialah anak hamba satu-satunya, sebagai pewaris keturunan yang akan melanjutkan
keberadaan hamba kelak. Bila mana dia nanti hidup kembali, hamba akan
menyerahkan dirinya kepada paduka Bhatara, agar menghamba di sini sampai kelak
kemudian hari".
Mendengar
hatur Ida Sang Mpu Bekung sedemikian itu, merasa sedikit malu Ida Bhatara
seraya bersabda: "Ah, Sang Mpu, bila demikian permintaanmu, aku dengan
suka rela menghidupkan anakmu, namun agar sudi kiranya Sang Mpu menyambung
kembali ekorku".
Lalu
menyembah Mpu Bekung: "Singgih paduka Sanghyang, bila demikian keinginan
paduka hamba bersedia untuk menyambung kembali ekor paduka Bhatara: Namun,
sebelumnya, maafkanlah hamba berani berhatur sembah bila mana paduka Bhatara
berkenan, permata intan yang sebelumnya berada di ekor paduka, sebaiknya
ditempatkan saja di bagian mahkota paduka Bhatara, karena akan nampak sangat
maha utama, dan pula mereka yang jahat tidak akan tergoda untuk ingin
memilikinya Dan juga bila mana masih di bagian ekor, di samping terlihat nista,
juga membuat paduka Bhatara tidak bisa terbang karena keberatan di bagian
ekor".
Demikian
sukacita perasaan Ida Sanghyang Nagaraja tatkala mendengar hatur Ida Mpu
Bekung. Setelah usai bertemu wirasa, lalu Sang Mpu melaksanakan yoga samadhi
menghaturkan puja mantra, menyatukan batin beliau memuja Ida Bhagawan
Wiswakarma sebagai Dewanya sangging dan undagi (pekerja khusus bangunan
tradisional) di Surga.
Seusai
sempurna pujastuti serta permohonan beliau, segera beliau membuat gelung
mahkota, dengan hiasan candi kurung, garuda mungkur, dengan anting anting,
bergundala dan memakai sekar taji. Demikian indahnya memang kalau dilihat
Singkat
ceritera, selesai sudah gelung agung itu, kemudian dipakai oleh Ida Bhatara.
Memang, demikian menakjubkan. Nampak semakin mempesona prabawa Ida Bhatara, dan
juga beliau sekarang bisa terbang. Demikian sukacita hati Ida Bhatara Nagaraja
Karena
itu, segera pula Ida Bhatara menghidupkan jasad Sang Bang Manik Angkeran,
didahului dengan pujastuti weda mantra. Perlahan, Ida Sang Bang Manik Angkeran bangun,
seperti baru habis tidur layaknya, hidup seperti semula, dan ketika sadar,
beliau cepat lari. Tempat itu kemudian bernama Pura Bangun Sakti.
Segera
Ida Sang Bang diikuti oleh ayahandanya, kemudian dipegang dan diajak untuk
menghadap Ida Bhatara Hyang Basukih. Sesuai perjanjian, maka Ida Sang Bang
Manik Angkeran dihaturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di Basukih sampai
kelak di kemudian hari.
Demikian
suka citanya beliau berdua, karena semuanya sudah berhasil, disebabkan
kesaktian beliau masing-masing. Ida Sang Nagaraja sudah menghidupkan kembali
Ida Sang Bang Manik Angkeran. Juga Ida Mpu Bekung demikian saktinya bisa
menyambung kembali ekor Ida Bhatara Nagaraja. Ida Mpu Bekung kemudian
menghaturkan sembah terimakasih kepada Ida Sanghyang Basukih. Ida Sanghyang
Basukih kemudian bersabda: "Duh, Mpu Bekung, memang demikian saktinya anda
ini. Pantas anda bergelar Siddhimantra. demikian sakti dan makbulnya japa -
mantra anda. Sejak sekarang, tidak lagi Mpu Bekung nama anda, namun Danghyang
Siddhimantra nama anda sang pandita. Silakan, pulanglah sahabat karibku, semoga
Dirgahayu, panjang usia anda !" lalu Ida Sanghyang Nagaraja terbang menuju
Surga Loka. Sejak saat itu Ida Mpu Bekung bergelar Danghyang Siddhimantra.
Sebelum
Ida Danghyang Siddhimantra kembali ke Griya Daha, tidak lupa beliau memberikan
petuah kepada putranya Ida Sang Bang Manik Angkeran: " Uduh mas juwita
permata hati ayah, engkau anakku Manik Angkeran. Ananda akan ayah tinggal
sekarang ini. Sebab Ayahanda akan kembali ke Jawa. l Dewa akan ayahanda
haturkan kepada Ida Sanghyang Basukih, sesuai dengan janji ayah kepada Ida
Bhatara. Mungkin ananda belum jelas tahu perihal keberadaan ananda sendiri yang
sebelumnya dihanguskan oleh Ida Bhatara sampai habis menjadi abu, disebabkan
karena marah beliau tak terhingga, perilaku ananda sungguh tak terpuji,
memenggal ekor Ida Bhatara. Lalu ayahandamu ini memohon kepada Ida Bhatara,
agar beliau dengan senang hati menghidupkan kembali ananda, dengan janji, kalau
ananda bisa hidup kembali, ananda akan ayah haturkan kepada Ida Bhatara untuk
mengabdi di sini di Besakih. Selain itu, kalau ananda kembali ke Jawa, jelas
perilaku ananda akan kembali seperti yang sudah-sudah, sebab lingkungan ananda
di sana sudah demikian rupa. Diamlah dan tinggal ananda di sini, ayahanda akan
kembali ke Jawa. Jangan ananda salah terima dan salah paham, sebab sebenarnya,
perihal perasaan ayahanda dan kasih sayang ayahanda kepada ananda, tidak pernah
kurang sejak dahulu sampai kapanpun. Ada petuah ayahanda ini yang sangat Penting,
agar diteruskan dharma bakti ananda ke hadapan Ida Bhatara di sini di
Tohlangkir, Besakih. Jangan sampai menurun, sebab kalau demikian, menjadi
ingkar ayahanda dengan janji ayahanda, sangat nista disebut orang. Kemudian ada
lagi nasehat ayahanda, sebab ananda sudah pernah pralina atau wafat menjadi abu
kemudian disucikan menjadi hidup kembali, hidup untuk keduakalinya, berdwijati
namanya, sekarang ananda berwenang menjadi pendeta, agar ananda senantiasa
menyelenggarakan, mengatur dan memimpin penyelenggaraan segenap upakara dan
upacara di sini di Besakih. Juga agar ananda mengatur semua masyarakat umat di
seluruh Bali, agar semakin meningkat bhakti dan sradha imannya, kepada Ida
Bhatara serta kepada sthana Ida Bhatara semuanya".
Ida
Sang Bang Manik Angkeran mengiakan semua yang disampaikan oleh ayahandanya. Di
samping petuah tersebut, Ida Sang Bang juga diberikan pengetahuan suci yang
memberikan wewenang Ida Sang Bang untuk mengucapkan weda mantra, menyelesaikan
upacara, di samping diberikan pengetahuan kerohanian daya kebathinan yang
tinggi.
Seusai
Ida Sang Bang Manik Angkeran mendapat pengetahuan suci dan kerohanian, beliau
ditinggalkan oleh ayahandanya yang kemudian melakukan perjalanan pulang kembali
ke Jawa.
Tidak
diceriterakan perjalanan beliau, tibalah beliau di tanah genting - tempat
perbatasan antara Jawa dan Bali. Di sana beliau termenung -menung. teringat
beliau akan kelakuan putranya yang tak senonoh. ltu sebabnya timbul
kekhawatiran dalam perasaan beliau. seandainya Ida Sang Bang Manik Angkeran kembali
lagi ke Jawa, sehingga beliau berkeinginan mengupayakan bagai mana caranya agar
putranya tidak bisa lagi kembali, sebab janji beliau sudah demikian pasti. ltu
sebabnya kawasan itu akan diubah agar menjadi laut. Di sana kemudian beliau
menggelar yoga semadinya. Menyatukan batinnya, memuja Bhatara di pegunungan
agar berkenan dan tidak beliau menjadi kualat. Sudah bersatu pikiran beliau dan
juga sudah mendapatkan ijin anugrah, lalu tanah genting itu digores dengan
tongkat beliau. Bergetar dengan dahsyat kawasan Bali dan Jawa, lindu dan gempa
terjadi, kilat dan halilintar bertubi - tubi ! Terpisah dan putuslah kawasan
Bali dengan Jawa ! Laut memisahkan keduanya. Lalu laut itu dinamakan dengan
Segara Rupek. Tidak terhingga sukacita Dang Hyang Siddhimantra. karena yakin
putranya tidak akan bisa kembali lagi ke Jawa. Lalu beliau kembali pulang ke
Griya Daha di Jawa.
BABAD MANIK ANGKERAN
Sebagai
pendahuluan ceritera, tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti
bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iakilaki seorang bernama Danghyang
Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar
biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida
Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha.
Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
Beliau
yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang
Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049.
Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi – tujuh pendeta yang kemudian
menurunkan keluarga besar Pasek di Bali. Adik beliau bernama Mpu Semeru,
membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999.
Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian
menurunkan keluarga Pasek Kayuselem. Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana,
membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka
922 atau tahun Masehi 1000. Yang nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu
Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun
pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem. Nomor lima
bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu
Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan,
sekitar tahun Masehi 1000.
Beliau
Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta
pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai
perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan
Tiga , Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman – desa adat
serta Kahyangan Tiga – tiga pura desa di Bali, yang sampai kini diwarisi
masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di Bali
semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan serta Kahyangan
Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di dalam
berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau
sesajen serta Asta Kosala – kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di
Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini.
“Ida
sane ngawentenang pawarah – warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama.
lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara – Bhatari ring Bali
lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali,
ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama”
yang artinya: Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di
dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista
madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan,
menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh
Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu
berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang
mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya
bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga
beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian
beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri
dari Rangdeng Jirah – janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali.
Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki
bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak
ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula,
ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma
di mana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal lka” yang menjadi semboyan
negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau
di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu
pada tahun Masehi 1049.
Ida
Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya
Iaki-laki. Yang sulung bernama Mpu Danghyang Panawasikan. Yang nomor dua
bergelar Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama Mpu
Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Ida
Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida
Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida
Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal
kebijaksanaan dan kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang
menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu
menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki
putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida
Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Danghyang
Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha. Adik beliau bernama
Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan
dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta
menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida
Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan. Danghyang Angsoka sendiri
berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang
kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
Ida
Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra
Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala Gemet memegang
kekuasaan di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai putra empat
orang, semuanya diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau yang sulung
menjadi raja di Blambangan, adiknya di Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan
yang paling bungsu di kawasan Bali. Yang menjadi raja di Bali bernama Dalem
Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja yang bergelar Dalem keturunan
Kresna Kepakisan di Bali. Dalem Ketut Kresna Kepakisan datang di Bali, menjadi
raja dikawal oleh Arya Kanuruhan, Arya Wangbang – Arya Demung, Arya Kepakisan,
Arya Temenggung, Arya Kenceng. Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya
Pangalasan, dan Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para serta Arya Getas dan tiga
wesya: Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur. Ida Dalem beristana di
Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih
Dalem. Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para menterinya untuk mengambil
tempat masing-masing. Ida Arya Demung Wang Bang asal Kediri di Kertalangu, Arya
Kanuruhan di Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya Kenceng di Tabanan, Arya
Dalancang di Kapal, Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Kutawaringin di Klungkung,
Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Arya Belentong di Pacung,
Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti ,
Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang asal Mataram tidak
berdiam di mana-mana. Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di
Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal
dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di Babad Dalem.
IDA
DANGHYANG SIDDHIMANTRA BERPUTRA IDA BANG MANIK ANGKERAN
Diceriterakan
kembali putra Ida Danghyang Angsokanata atau Danghyang Mpu Tantular yang nomor
dua yakni Ida Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra Beliau bernama Mpu Bekung
karena beliau tidak bisa mempunyai putra. Kemudian beliau bergelar Danghyang
Siddhimantra disebabkan memang beliau pendeta atau Bhujangga yang sakti serta
bijaksana. Beliau menjadi sesuhunan sakti Bhujangga luwih (Junjungan sakti,
pendeta yang bijaksana) di kawasan Bali ini tatkala itu. Perihal gelar Ida Mpu
Bekung menjadi Danghyang Siddhimantra, akan diceriterakan di bawah ini
Diceriterakan,
Ida Mpu Bekung berkeinginan untuk memiliki putra yang akan menjadi penerusnya
kelak. Karena itu beliau melaksanakan upacara homa, memuja Sanghyang
Brahmakunda Wijaya.
Karena
kesaktian beliau, dan karena permohonannya itu, beliau dianugerahi manik besar
yang keluar dari api homa tersebut. Kemudian nampak keluar bayi dari
tengah-tengah api pahoman itu. Anak itu kemudian diberi nama Ida Bang Manik
Angkeran. Artinya: Bang dari merah warna api itu. Manik dari manik mutu manikam
yang menjadi anugerah, dan Angkeran dari keangkeran pemujaan sang pendeta yang
demikian makbulnya. Demikian asal mulanya Ida Mpu Bekung memiliki putera.
Setelah
beliau memiliki putera, sangat sukacita beliau Mpu Bekung, diperhatikan dan
dimanjakan betul putera beliau. Setiap yang diinginkan putranya dipenuhi.
Setelah
Ida Bang Manik Angkeran menginjak remaja, mungkin diakibatkan oleh kehendak
Yang Maha Kuasa, agar supaya Ida Mpu Bekung menemui ganjalan pikiran atau
kesusahan, ternyata kemudian putra beliau sehari-hari pekerjaannya hanya
berjudi melulu, tidak pernah tinggal diam di rumah, selalu berada di tempat
perjudian semata. Di mana saja ada perjudian, di sana Ida Bang Manik Angkeran
bermalam. Diceriterakan perjalanan beliau berjudi tidak pernah menang. Selalu
kalah saja.
Hingga
habis milik ayahnya dipergunakan untuk berjudi. Yang membuat Mpu Bekung duka
cita tiada lain karena putranya tidak pernah pulang ke Griya. itu menyebabkan
resah gelisah perasaan beliau, seraya pergi mencari putra beliau Ida Bang Manik
Angkeran ke desa-desa. Setiap ada orang yang dijumpai di tengah jalan, ditanyai
oleh beliau apakah ada menemui putra beliau yang bernama Ida Bang Manik
Angkeran. Namun semuanya mengatakan tidak pernah mengetahui dan menemuinya.
Diceriterakan,
konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga
dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau
Setibanya di Tohlangkir – Gunung Agung, di sana beliau baru merasa lesu lelah
kemudian duduk seraya bersamadi menyatukan pikiran beliau, memuja Dewa seraya
membunyikan genta beliau yang bernama Ki Brahmara .
Karena
keutamaan puja mantra beliau diiringi dengan suara genta beliau Ki Brahmara
yang demikian menakjubkan, menjadi heboh keluar Ida Sanghyang Basukih, seraya
berkata: “Ah Mpu Bekung yang datang, apa keinginan Mpu, memuja saya ? Segera
katakan. agar saya menjaditahu !”.
Berkatalah
Ida Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, hamba memiliki anak seorang tidak
pernah sama sekali pulang, sejak lama hamba mencarinya, namun belum juga
ketemu. Maksud hamba agar dengan senang hati pukulun Sanghyang memberitahu
keadaan sebenarnya, apakah dia masih hidup, atau apakah dia sudah .mati. Kalau
misalnya dia masih hidup agar supaya pukulun Sanghyang sudi memberi tahu, di
mana dia berada”.
Dengan
sukacita Ida Bhatara Basukih berkata: “Ah Mpu, hendaknya Mpu jangan bersedih
hati, sebenarnya putra Mpu masih hidup berada di desa-desa, bermalam di sana.
Sekarang saya yang akan mengarad (menarik) Jiwa – putra Mpu, agar segera pulang
kembali. Namun, Mpu saya minta sarinya susu lembu, sebagai imbalan saya
mengarad putra sang Mpu”. Demikian wacana Ida Bhatara Nagaraja, seraya meminta
Ida Mpu Bekung agar pulang ke rumahnya .
Singkat
ceritera. pulanglah Ida Mpu memohon diri dari Tohlangkir. Tidak diceriterakan
perjalanan beliau, maka sampailah beliau kembali di rumahnya di Griya Daha, dan
dilihatnya sang putera telah berada di rumah. ltu sebabnya sangat sukacita
beliau Mpu Bekung, seraya berkata: “Duh, putraku Sang Bang, dengarkanlah apa
yang ayah katakan sekarang. Jangan lagi ananda mengulangi perbuatan yang sudah
– sudah. Ayah tidak sama sekali melarang ananda untuk bermain judi, namun agar
ananda ingat juga dengan rumah Ananda. Payah Ayah mencari ananda keluar masuk
desa-desa”.
Kemudian
berkatalah putranya: “Singgih palungguh Mpu, ayahandaku, janganlah sekali-kali
palungguh Mpu marah serta duka ananda sudah menginjak dewasa sejak dahulu,
ananda tidak pernah sama sekali berani ingkar, karena ananda ingin sekali
dengan keberadaan diri sebagai seorang putra Brahmana”. Demikian kata putranya
Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah
usai Ida Mpu Bekung memberikan nasihat kepada putranya, ingat beliau kepada
permintaan Ida Bhatara Naga Basukih yang menginginkan susu lembu.
Pada
hari yang baik. lengkap dengan gentanya, beliau melakukan perjalanan menuju
Tohlangkir. Sesampainya di Tohlangkir, kemudian beliau mempersiapkan diri dan
melakukan yoga semadi memuja Ida Sanghyang Nagaraja seraya membunyikan genta
beliau. Karena kemakbulan weda mantra beliau memuja Ida Sanghyang Naga raja,
segera Ida Bhatara keluar seraya bersabda: “Ah, Mpu Bekung yang datang.
Apa
keinginan sang Mpu datang lagi?”.
Kemudian
berkatalah Ida Mpu Bekung: “Singgih pukulun Sanghyang, hamba menghadap pada
paduka Bhatara, bermaksud menghaturkan sarinya susu, sesuai dengan keinginan
Sanghyang. Anak hamba sudah ketemu, ada di rumah”. Tatkala didengarnya
kata-kata Mpu Bekung seperti itu, sangat sukacita perasaan Ida Bhatara Basukih
seraya berganti rupa menjadi Nagaraja Agung, kemudian meminum sarinya susu,
sampai beliau kenyang.
Setelah
beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, beliau mengeluarkan
emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas itu.
Singkat
ceritera, setelah beliau mengambil emas itu yang kemudian dibungkus sebesar
kelapa besarnya, lalu beliau memohon diri kepada Ida Sanghyang Basukih Tidak
diceriterakan perjalanan Ida Mpu Bekung, akhirnya tiba jugalah beliau di Griya
Daha seraya membawa emas. Diketahui emas itu oleh putranya. Ida Bang Manik
Angkeran yang gencar bertanya, meminta kepada ayahandanya agar diberi tahu di
mana memperoleh emas itu
Ida
Mpu Bekung sangat merahasiakan perihal kepergian beliau mendapat emas itu.
Putra beliau tetap saja gencar mencari tahu. Lalu Ida Mpu berkata kepada
putranya. “Aduh ananda, jangan hendaknya ananda gencar bertanya seperti itu
akan perihal ayah mendapat emas ini. Kalau ada keinginan ananda untuk
mengambil, Ayahanda berikan”. Walaupun demikian kasih sayang beliau kepada
putranya, tetap saja Sang Bang memohon kepada ayahandanya untuk diberi tahu di
mana memperoleh emas itu Karena tidak sampai hati dan rasa kasih sayang yang
amat sangat, lalu Ida Mpu memberitahukan perihal beliau mendapatkan harta itu.
Karena
sekarang sudah memiliki emas, maka pergilah Ida Bang Manik Angkeran bermain
judi. Mungkin memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, sehari-harinya
beliau selalu kalah berjudi. Akhirnya tidak sampai satu bulan habislah sudah
emas yang diberikan ayahandanya dijual, dipakai modal di tempat perjudian.
Karena
keadaannya demikian, lalu beliau berpikir keras, dan kemudian Ingat beliau pada
perjalanan ayahandanya mendapatkan emas itu, yang merupakan anugerah dari
Bhatara di Tohlangkir. Segera beliau pulang, tetapi secara sembunyi – sembunyi
agar tidak diketahui ayahandanya, beliau bertolak menuju Tohlangkir seraya
membawa susu lembu, serta genta milik ayahandanya, Ki Brahmara.
Tidak
diceriterakan perjalanannya, sampailah beliau di Tohlangkir, di depan gua. Lalu
beliau duduk mengheningkan cipta, memuja Dewa, seraya membunyikan genta.
Rupanya
pemujaan beliau yang khusuk, serta diiringi dengan bunyi genta yang Utama itu,
membuat geger, keluar Bhatara Naga Basukih dari gua itu seraya berkata “Ah
siapa anda ini datang, segera katakan !”.
Segera
Ida Bang Manik Angkeran menyembah: “Singgih paduka Sanghyang, hamba bernama
Sang Bang Manik Angkeran. Hamba mengikuti jalan Ayahanda hamba, menghaturkan
sarinya susu lembu ke hadapan paduka Sanghyang. “Demikian hatur beliau. Karena
demikian, sangat sukacitalah perasaan Ida Bhatara Basukih. Lalu diminumlah susu
itu, setelah berganti rupa menjadi ular naga besar berwibawa, seraya meminum
susu itu. Seusai meminum susu itu, bersabdalah beliau kepada Ida Bang Manik
Angkeran: “lh, Sang Bang, sekarang apa yang kamu inginkan, apapun yang ananda
minta akan kuberikan .”
Berkatalah
Ida Bang Manik Angkeran: “Singgih paduka Bhatara, hamba bermaksud untuk memohon
modal, nista sekali hamba berjudi, selalu kalah setiap hari “.
Saat
itu Ida Bhatara Basukih mengambil emas, bagaikan sebutir kelapa besarnya.
diberikan kepada Ida Bang Manik Angkeran, seraya bersabda: “Ambillah emas ini,
segera ananda pulang, poma, poma”. Lalu diambil emas itu, disertai sembah bakti
sekaligus memohon pamit ke hadapan Ida Bhatara Nagaraja.
Singkat
ceritera. tibalah Ida Bang Manik Angkeran kembali di rumah di Griya Daha,
menyimpan genta saja, lalu beliau pergi lagi untuk bermain judi. Atas kehendak
Hyang Widhi, tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya, itu sebabnya kembali
beliau mengelana, berhutang di perjudian tidak dapat, meminjam tidak diberi.
Karena itu, lalu beliau mengambil lagi genta milik ayahandanya, seraya mencari
sarinya Susu lembu, dan menyengkelit pedang yang bernama Ki Gepang, lalu segera
menuju Tohlangkir.
Setibanya
beliau di Tohlangkir, lalu beliau duduk seperti yang dilakukan sebelumnya,
mengheningkan cipta, memuja Dewa, serta membunyikan gentanya. Karena genta itu
betul-betul genta utama, gegerlah Ida Sanghyang Basukih ke luar guanya seraya
bersabda: “Ah Sang Bang Manik Angkeran kiranya yang datang. Datang lagi ananda
membawa susu. Apa lagi permintaanmu, katakan, semaumu akan kuberikan”.
Karena
kewibawaan Ida Bhatara Basukih demikian mempesona dan menggetarkan perasaan,
menjadi tak enak perasaan Ida Sang Bang, lalu mengatakan tidak memohon apa-apa.
Karena demikian kata Ida Sang Bang, lalu Ida Bhatara berganti rupa kembali
menjadi ular naga yang besar, seraya meminum susu lembu tersebut Setelah
menyantap susu lembu itu, Ida Bhatara kembali ke gua . Karena beliau berbadan
panjang, ketika bagian kepala beliau sudah tiba di tempat peraduan, maka bagian
ekor beliau masih berada di luar gua. Dilihat oleh Ida Bang Manik Angkeran ekor
Ida Bhatara menyala karena di tempat itu terdapat intan besar bagai ratna mutu
manikam beralaskan emas dan mirah yang menyala gemerlapan.
Ketika
itulah muncul rasa angkara loba Ida Bang Manik Angkeran, disusupi oleh niat
tamak untuk memiliki permata itu. Lalu beliau menghunus pedang Ki Gepang yang
dibawanya segera memenggal ekor Ida Sanghyang Nagaraja, sehingga terputus mata
intan yang ada di bagian ekor yang segera diambil dan dilarikan oleh Ida Manik
Angkeran.
Karena
demikian tingkah Sang Bang Manik Angkeran, tak terkira murka Ida Bhatara
Nagaraja, sebab merasa ekor beliau terluka, lalu beliau kembali bergerak ke
luar gua. Dilihat oleh beliau busana beliau dilarikan oleh Ida Bang Manik
Angkeran.
Segera
beliau menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Ida Bang Manik Angkeran
yang kemudian terbakar habis menjadi abu. Tempat itu belakangan bernama Cemara
Geseng dan menjadi lokasi Pura Manik Mas Besakih. Sementara itu permata milik
Ida Bang Manik Angkeran ditempatkan sebagai pusaka junjungan di Pura Dalem
Lagaan, Bebalang, Bangli.
Diceriterakan
Ida Mpu Bekung gundah perasaan beliau, karena putranya tidak pernah pulang ke rumah.
Desa-desa diselusuri mencari putranya, namun tiada juga ditemukan. Segera
beliau mengheningkan cipta. Karena kesaktian beliau, terlihat oleh beliau
putranya sudah menjadi abu. Segera beliau pergi menuju Bali, Besakih yang
ditujunya, berkehendak mengikuti perjalanan putranya. Tidak diceriterakan di
jalan tibalah beliau di Besakih. Di sana beliau melihat onggokan abu, sementara
buah genta berada di sebelah abu itu. Segera diketahui dengan jelas, bahwa
genta itu adalah milik beliau yang bernama Ki Brahmara. Jelas sudah abu itu
merupakan jasad putranya. Di sana beliau kemudian menumpahkan rasa
duka-citanya, seraya berpikir-pikir, jelas meninggalnya Ida Bang Manik Angkeran
disebabkan perbuatannya yang tak terpuji, disembur api oleh Ida Sanghyang
Nagaraja. Kemudian diambilnya genta Ki Brahmara yang sakti itu.
Karena
sudah jelas diketahui, maka beliau kemudian melanjutkan perjalanan berkehendak
untuk menghadap Ida Sanghyang Basukih. Setibanya di depan gua, seperti
sebelumnya, beliau kemudian duduk melakukan pemujaan utama memohon ke hadapan
Ida Sanghyang Basukih.
Lama
sudah beliau melakukan pemujaan. Lama beliau menunggu, tidak juga keluar Ida
Sanghyang Basukih, disebabkan demikian besar amarahnya, ingat diperdaya oleh
suara genta.
ltu
sebabnya beliau Mpu Bekung melanjutkan lagi pujastutinya dengan mengujarkan
Asta Puja, Basukih Stawa dan Utpeti, Stiti Mantra diiringi dengan suara genta
beliau. Karenanya, barulah Ida Bhatara keluar dan dilihatnya Ida Mpu ada di
sana yang kemudian merangkul, seraya menghaturkan sembah panganjali agar Ida
Bhatara memberikan anugrah dan berkata: “Om paduka Bhatara, ampunilah anak
hamba. Tahu betul hamba akan perbuatan anakku yang demikian tak berbudi dan tak
terpuji. Bila mana berkenan, sudilah Bhatara menceriterakan perbuatan anak
hamba itu . Lama Ida Bhatara berdiam diri. Mukanya cemberut, menunjukkan
kekesalan perasaannya yang tak terhingga. Namun, karena Ida Sang Mpu sudah
memohon maaf dengan tulus dan suci, maka Ida Bhatara berkata perlahan.
Menceriterakan segala perbuatan yang dilakukan Ida Sang Bang Manik Angkeran
yang mengatakan diutus oleh Sang Mpu untuk menghaturkan susu lembu, sampai
akhirnya dihanguskan menjadi abu oleh beliau.
Mana
kala Ida Mpu mendengar ceritera Ida Bhatara, meleleh air mata Ida Sang Mpu
Bekung, dan sesudah Ida Bhatara selesai bersabda, beliau kemudian kembali
menghaturkan sembah seraya berkata: “Singgih pukulun paduka Bhatara, demikian
memang dosa anakku itu, namun rupanya dia sudah menjalani kematian, habis sudah
dosanya. Inggih, hamba sekarang memohon anugerah pukulun Bhatara, sudilah
kiranya paduka Bhatara menghidupkan kembali Manik Angkeran, karena dialah anak
hamba satu-satunya, sebagai pewaris keturunan yang akan melanjutkan keberadaan
hamba kelak. Bila mana dia nanti hidup kembali, hamba akan menyerahkan dirinya
kepada paduka Bhatara, agar menghamba di sini sampai kelak kemudian hari”.
Mendengar
hatur Ida Sang Mpu Bekung sedemikian itu, merasa sedikit malu Ida Bhatara
seraya bersabda: “Ah, Sang Mpu, bila demikian permintaanmu, aku dengan suka
rela menghidupkan anakmu, namun agar sudi kiranya Sang Mpu menyambung kembali
ekorku”.
Lalu
menyembah Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, bila demikian keinginan paduka
hamba bersedia untuk menyambung kembali ekor paduka Bhatara: Namun, sebelumnya,
maafkanlah hamba berani berhatur sembah bila mana paduka Bhatara berkenan,
permata intan yang sebelumnya berada di ekor paduka, sebaiknya ditempatkan saja
di bagian mahkota paduka Bhatara, karena akan nampak sangat maha utama, dan
pula mereka yang jahat tidak akan tergoda untuk ingin memilikinya Dan juga bila
mana masih di bagian ekor, di samping terlihat nista, juga membuat paduka
Bhatara tidak bisa terbang karena keberatan di bagian ekor”.
Demikian
sukacita perasaan Ida Sanghyang Nagaraja tatkala mendengar hatur Ida Mpu
Bekung. Setelah usai bertemu wirasa, lalu Sang Mpu melaksanakan yoga samadhi
menghaturkan puja mantra, menyatukan batin beliau memuja Ida Bhagawan
Wiswakarma sebagai Dewanya sangging dan undagi (pekerja khusus bangunan
tradisional) di Surga.
Seusai
sempurna pujastuti serta permohonan beliau, segera beliau membuat gelung
mahkota, dengan hiasan candi kurung, garuda mungkur, dengan anting anting,
bergundala dan memakai sekar taji. Demikian indahnya memang kalau dilihat.
Singkat
ceritera, selesai sudah gelung agung itu, kemudian dipakai oleh Ida Bhatara.
Memang, demikian menakjubkan. Nampak semakin mempesona prabawa Ida Bhatara, dan
juga beliau sekarang bisa terbang. Demikian sukacita hati Ida Bhatara Nagaraja.
Karena
itu, segera pula Ida Bhatara menghidupkan jasad Sang Bang Manik Angkeran,
didahului dengan pujastuti weda mantra. Perlahan, Ida Sang Bang Manik Angkeran
bangun, seperti baru habis tidur layaknya, hidup seperti semula, dan ketika
sadar, beliau cepat lari. Tempat itu kemudian bernama Pura Bangun Sakti.
Segera
Ida Sang Bang diikuti oleh ayahandanya, kemudian dipegang dan diajak untuk
menghadap Ida Bhatara Hyang Basukih. Sesuai perjanjian, maka Ida Sang Bang
Manik Angkeran dihaturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di Basukih sampai
kelak di kemudian hari.
Demikian
suka citanya beliau berdua, karena semuanya sudah berhasil, disebabkan
kesaktian beliau masing-masing. Ida Sang Nagaraja sudah menghidupkan kembali
Ida Sang Bang Manik Angkeran. Juga Ida Mpu Bekung demikian saktinya bisa
menyambung kembali ekor Ida Bhatara Nagaraja. Ida Mpu Bekung kemudian
menghaturkan sembah terimakasih kepada Ida Sanghyang Basukih. Ida Sanghyang
Basukih kemudian bersabda: “Duh, Mpu Bekung, memang demikian saktinya anda ini.
Pantas anda bergelar Siddhimantra. demikian sakti dan makbulnya japa – mantra
anda. Sejak sekarang, tidak lagi Mpu Bekung nama anda, namun Danghyang
Siddhimantra nama anda sang pandita. Silakan, pulanglah sahabat karibku, semoga
Dirgahayu, panjang usia anda !” lalu Ida Sanghyang Nagaraja terbang menuju
Surga Loka. Sejak saat itu Ida Mpu Bekung bergelar Danghyang Siddhimantra.
Sebelum
Ida Danghyang Siddhimantra kembali ke Griya Daha, tidak lupa beliau memberikan
petuah kepada putranya Ida Sang Bang Manik Angkeran: ” Uduh mas juwita permata
hati ayah, engkau anakku Manik Angkeran. Ananda akan ayah tinggal sekarang ini.
Sebab Ayahanda akan kembali ke Jawa. l Dewa akan ayahanda haturkan kepada Ida
Sanghyang Basukih, sesuai dengan janji ayah kepada Ida Bhatara. Mungkin ananda
belum jelas tahu perihal keberadaan ananda sendiri yang sebelumnya dihanguskan
oleh Ida Bhatara sampai habis menjadi abu, disebabkan karena marah beliau tak
terhingga, perilaku ananda sungguh tak terpuji, memenggal ekor Ida Bhatara.
Lalu ayahandamu ini memohon kepada Ida Bhatara, agar beliau dengan senang hati
menghidupkan kembali ananda, dengan janji, kalau ananda bisa hidup kembali,
ananda akan ayah haturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di sini di Besakih.
Selain itu, kalau ananda kembali ke Jawa, jelas perilaku ananda akan kembali
seperti yang sudah-sudah, sebab lingkungan ananda di sana sudah demikian rupa.
Diamlah dan tinggal ananda di sini, ayahanda akan kembali ke Jawa. Jangan
ananda salah terima dan salah paham, sebab sebenarnya, perihal perasaan
ayahanda dan kasih sayang ayahanda kepada ananda, tidak pernah kurang sejak
dahulu sampai kapanpun. Ada petuah ayahanda ini yang sangat Penting, agar
diteruskan dharma bakti ananda ke hadapan Ida Bhatara di sini di Tohlangkir,
Besakih. Jangan sampai menurun, sebab kalau demikian, menjadi ingkar ayahanda
dengan janji ayahanda, sangat nista disebut orang. Kemudian ada lagi nasehat
ayahanda, sebab ananda sudah pernah pralina atau wafat menjadi abu kemudian
disucikan menjadi hidup kembali, hidup untuk keduakalinya, berdwijati namanya,
sekarang ananda berwenang menjadi pendeta, agar ananda senantiasa
menyelenggarakan, mengatur dan memimpin penyelenggaraan segenap upakara dan
upacara di sini di Besakih. Juga agar ananda mengatur semua masyarakat umat di
seluruh Bali, agar semakin meningkat bhakti dan sradha imannya, kepada Ida
Bhatara serta kepada sthana Ida Bhatara semuanya”.
Ida
Sang Bang Manik Angkeran mengiakan semua yang disampaikan oleh ayahandanya. Di
samping petuah tersebut, Ida Sang Bang juga diberikan pengetahuan suci yang
memberikan wewenang Ida Sang Bang untuk mengucapkan weda mantra, menyelesaikan
upacara, di samping diberikan pengetahuan kerohanian daya kebathinan yang
tinggi.
Seusai
Ida Sang Bang Manik Angkeran mendapat pengetahuan suci dan kerohanian, beliau
ditinggalkan oleh ayahandanya yang kemudian melakukan perjalanan pulang kembali
ke Jawa.
Tidak
diceriterakan perjalanan beliau, tibalah beliau di tanah genting – tempat
perbatasan antara Jawa dan Bali. Di sana beliau termenung -menung. teringat
beliau akan kelakuan putranya yang tak senonoh. ltu sebabnya timbul
kekhawatiran dalam perasaan beliau. seandainya Ida Sang Bang Manik Angkeran
kembali lagi ke Jawa, sehingga beliau berkeinginan mengupayakan bagai mana
caranya agar putranya tidak bisa lagi kembali, sebab janji beliau sudah
demikian pasti. ltu sebabnya kawasan itu akan diubah agar menjadi laut. Di sana
kemudian beliau menggelar yoga semadinya. Menyatukan batinnya, memuja Bhatara
di pegunungan agar berkenan dan tidak beliau menjadi kualat. Sudah bersatu
pikiran beliau dan juga sudah mendapatkan ijin anugrah, lalu tanah genting itu
digores dengan tongkat beliau. Bergetar dengan dahsyat kawasan Bali dan Jawa,
lindu dan gempa terjadi, kilat dan halilintar bertubi – tubi ! Terpisah dan
putuslah kawasan Bali dengan Jawa ! Laut memisahkan keduanya. Lalu laut itu
dinamakan dengan Segara Rupek. Tidak terhingga sukacita Dang Hyang
Siddhimantra. karena yakin putranya tidak akan bisa kembali lagi ke Jawa. Lalu
beliau kembali pulang ke Griya Daha di Jawa.
IDA
BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DUKUH SAKTI BELATUNG
Kembali
diceriterakan keberadaan Ida Bang Manik Angkeran di Besakih. Beliau membuat
pasraman di sebelah Utara gua, sekitar 300 depa jaraknya dari Gua itu.
pekerjaan beliau sehari-hari melaksanakan tapa brata yoga samadhi, serta
menjaga kebersihan dan kesucian kawasan Pura Besakih. Tak sekalipun beliau
lalai. Perilaku beliau berbeda benar jika dibandingkan dengan sebelum beliau
wafat dibakar oleh Ida Bhatara Nagaraja. Beliau melaksanakan Kadharmaan,
mengikuti ajaran dan perilaku seorang pendeta pura yang suci. Setiap hari
beliau menggelar Surya Sewana, memuja Sanghyang Parama Wisesa.
Suatu
ketika tatkala hari sukla paksa pananggalan menjelang purnama, beliau bermaksud
untuk membersihkan diri dengan mandi di Toya Sah, Besakih. Setelah membersihkan
diri, berkeinginan beliau berjalan-jalan meninjau kawasan Besakih. Lalu
terlihat oleh beliau seorang Iaki-laki tua sedang bekerja di ladang,
membersihkan padi gaga, membersihkan rumput dan menyiangi. Orang tua itu
bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian saktinya, namun tindak-tanduknya
bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang pamer. Baru dilihat seseorang
datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau bekerja, keluarlah keisengannya
untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian menaruh alat siangnya dan
melompat duduk di atas alat itu seraya mengambil sirih dan melumatkan sirih itu
di atas alat siang tadi.
Pikir
Ki Dukuh ingin supaya yang baru datang menjadi kagum. Namun Sang Bang Manik
Angkeran malahan menjadi sangat jengkel melihat aksi pamer Ki Dukuh, karena
jelas maksudnya untuk mencoba diri beliau. Lalu, dihampirinya Ki Dukuh seraya
berkata: “lh Bapak, kalau begini cara Bapak bekerja, sepertinya bermain-main,
sebanyak apa yang bisa Bapak hasilkan?”.
Lalu
berkata Ki Dukuh sedikit gugup: “Siapa pula anda yang bertanya ? Kok rasanya
Bapak tidak jelas tahu?”.
Berkata
Ida Bang Manik Angkeran: “Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau
Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida
Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu”.
Berkata
lagi Ki Dukuh: “Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal
keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung
(tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu,
kalau tidak anda ini brahmana hina”.
Sedikit
marah Sang Bang berkata: “lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya
memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan
putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.
Serta
saya berhak diperintah oleh Ida Bhatara, walaupun pekerjaan yang diperintahkan
itu menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau sudah Ida Bhatara yang
memerintahkan. Sekarang saya balik bertanya. Kakek ini siapa, serta dari
golongan apa ?”
Ki
Dukuh kemudian berkata: “Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung, sebagai penua di
desa Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini”.
Berkata
lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: “lh Bapak Dukuh, saya bertanya lagi
Itu ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan ?
“
“Akan
saya bersihkan !”.
“Bagaimana
cara Bapak membersihkan ?”
“Akan
saya bakar !”
“Apa
yang akan Bapak pakai membakar ?”
“Wah,
ini benar-benar brahmana aneh”. Ki Dukuh menjawab agak marah, apa lagi dipakai
membakar, kalau bukan api. Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?”.
“Wah”
demikian Sang Bang menjawab seperti mencibir, “kalau Bapak Dukuh masih membakar
sampah dengan memakai prakpak daun kelapa kering jelas tidak benar Bapak Dukuh
tahu dengan falsafah Tri Agni, yang berada di dalam diri sebenarnya. Kalau
saya, melalui air kencing saya saja sampah ini akan terbakar tidak bersisa”
Tatkala
didengarnya kata Ida Sang Bang demikian itu, menjadi terhenyak Dukuh, berdiam
diri, seraya lama termenung, kemudian menghaturkan sembah “Singgih, Ratu Sang
Bang, kalau benar seperti perkataan l Ratu, bisa membakar sampah ini dengan air
kencing l Ratu, hamba akan menghaturkan diri, serta semua milik hamba beserta
rakyat, serta pula anak hamba akan hamba serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu”
Usai
Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu
beliau berkata perlahan: “Nah, kalau benar seperti perkataan Bapak saya akan memperlihatkan
bukti. Namun agar semuanya sanggup datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida
Sanghyang Triyodasa Saksi”.
“Jangan
sekali-kali l Ratu ragu. Memang dari lubuk hati hamba yang ikhlas tidak akan
ingkar dengan janji”. Demikian hatur Ki Dukuh.
“Nah,
kalau begitu, ke sana Bapak pulang, beritahu sanak keluarga serta rakyat Bapak
agar datang manakala saya memberikan bukti di hadapan Bapak”. Demikian
perjanjian Ida Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah
selesai janji itu, Ki Dukuh lalu memberitahukan kepada anak, isteri serta
keluarganya, perihal janjinya kepada Ida Bang Manik Angkeran, serta imbalan
yang dimasukkan ke dalam janji itu sebagai taruhan. Yang mendengar semuanya
sama-sama paham di dalam hatinya menjadi taruhan.
Tersebutlah
pada hari yang telah disepakati, pagi – pagi hari Ida Sang Bang sudah
membersihkan diri dengan mandi di Tirtha Mas, serta kemudian melakukan yoga
samadhi memuja Sanghyang Agni agar memberikan anugrah. Setelah melakukan yoga
dan samadhi, lalu beliau berjalan menuju tempat tinggal Ki Dukuh.
Setelah
dekat dengan tempat Ki Dukuh, nampaknya semuanya lengkap hadir, Ki Dukuh dengan
isterinya, keduanya memakai pakaian putih-putih, ditemani dengan anak dan
kerabatnya, hanya tinggal menunggu kedatangan Ida Sang Bang. Setelah tepat benar
matahari di atas kepala, lalu beliau menuju tempat sampah yang bertimbun, di
sana beliau mengheningkan cipta-mamusti, menyatukan pikirannya, menegakkan
keteguhan batin Iaksana Gunung Mahameru. Tidak berapa lama, matang sudah yoga
beliau, seraya mengeluarkan air kencing di sampah itu. Dan sekejap air kencing
itu menjadi api yang menyala-nyala, berkobar. Terbakar semua sampah kebun di
tempat itu, hampir-hampir terbakar seluruh hutan di sana.
Keadaan
itu dilihat oleh Ki Dukuh serta semua iringannya, sangat kagum mereka pada
kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh merasa kalah, namun sekaligus merasa untung,
karena merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke Sorga Loka. Tatkala api
itu berkobar. saat itu pula Ida Sang Bang Manik Angkeran membelokkan ujung api
itu ke arah timur laut. Lalu beliau berkata kepada Ki Dukuh: “Bapak Dukuh, saya
memberi bekal Bapak dengan ganten. Turuti asap itu ke arah timur laut”
Saat
itu Ki Dukuh menemukan jalan baik seraya melihat ada Meru bertingkat 11
(sebelas). Ki Dukuh menuju api itu serta mengheningkan cipta dengan sikap
angeranasika mengheningkan cipta dengan melihat hidung, lalu beliau melompat ke
tengah-tengah api yang sedang memuncak kobarannya itu. Ki Dukuh naik moksa
seiring dengan asap yang mengepul tinggi itu serta kemudian tidak nampak lagi.
Keadaan itu diikuti oleh isteri Ki Dukuh yang memakai kerudung dan berkain
putih, kemudian mamusti, selanjutnya melompat juga ke api, sebagai tanda setia
bhakti kepada suami serta berkeinginan juga menemui jalan terbaik menuju Sorga.
Beliau berdua pulang ke Nirwana, melalui Jalan ke Sorga Loka yang utama, serta
Juga berdasarkan sasupatan – penyucian oleh Ida Bang Manik Angkeran, yang telah
menjadi pendeta yang bijak. Sejak saat itu Ki Dukuh Sakti dikenal dengan gelar
Dukuh Lepas atau Dukuh Sorga. Lama kelamaan tempat Ida Sang Bang Manik Angkeran
bersengketa dengan Ki Dukuh Sakti itu dinamai Gumawang,
Sekarang
diceriterakan yang masih hidup. Sesudah Ki Dukuh Sakti meninggal semua milik Ki
Dukuh serta rakyat se kawasan Desa Bukcabe, diserahkan kepada lda Sang Bang,
termasuk putri beliau yang merupakan seorang dara yang bijak, cantik tiada
bandingnya, bernama Ni Luh Warsiki. Kedua beliau itu sama-sama saling
mencintai, disebabkan yang satunya merupakan seorang jejaka yang tampan bersanding
dengan seorang dara yang jelita. Kemudian diselenggarakan Upacara Perkawinan.
Setelah
upacara selesai, lalu keduanya kembali ke Pasraman di Besakih. Sesampai di
Tegehing Munduk-tempat ketinggian, Ni Luh Warsiki menoleh ke tempat bekas
sampah dibakar, terhenyak beliau, lalu menangis, teringat akan ayah ibunya yang
sudah berpulang. Beliau tidak mau melanjutkan perjalanan sebelum pulih perasaan
beliau. Rakyat beliau kemudian membuatkan tempat beristirahat di sana. Lama
kelamaan tempat itu dikenal dengan nama Munduk Jengis.
Diceriterakan
kemudian rakyat semuanya sangat gembira pada perasaan mereka, disebabkan
sekarang mereka memiliki pujaan yang tampan serta sakti, pintar, bijaksana
serta dibya caksu, memiliki kesaktian bisa melihat kejadian tanpa hadir langsung.
Setelah
lama beliau berdua bersuami isteri saling mencintai, saling mengasihi maka
lahirlah seorang putra Iaki-laki, rupanya tampan serta memiliki prabawa yang
agung dinamai Ida Wang Bang Banyak Wide.
IDA
BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DENGAN BIDADARI
Tidak
terasa berapa tahun lamanya beliau bersuami-isteri, tatkala hari Purnama bulan
ke sepuluh, Ida Sang Pendeta keluar dari pasraman, membawa tempat air serta
seperangkat alat untuk mandi. Memang sudah menjadi kebiasaan beliau setiap hari
baik atau pada hari Purnama-Tilem, selalu beliau bepergian ke Tirtha Pingit
untuk mandi. Beliau berjalan naik perlahan sebab merasa senang beliau melihat
segala bunga yang tumbuh di tepi jurang, serta pula di berbagai tempat di
daerah Besakih. Banyak jenis bunganya serta beraneka rupa warnanya. Demikian
senang perasaan Ida Sang Pendeta melihat keadaan seperti itu, sampai beliau
menggumam bagaikan berbincang dengan bunga itu semua.
Setelah
beliau memasuki hutan, terdengar oleh beliau suara burung semakin ramai saling bersahutan,
Iaksana menyambut kedatangan Sang Pendeta. Beraneka macam memang suara burung
itu. Semua itu menambah gembira hati sang pendeta. Tahu-tahu beliau sudah
berada dekat dengan tempat Tirtha Pingit yang akan dituju.
Tiba-tiba
beliau berhenti. Karena terlihat oleh beliau seorang wanita sudah ada lebih
dahulu di tempat air suci itu, kemungkinan juga akan mandi. Beliau Sang Pendeta
lalu memperhatikan wanita itu. Demikian cantiknya serta berwibawa wanita itu.
Kemudian beliau merasa-rasa. Sepertinya beliau sudah pernah bertemu dengan
wanita itu, namun tidak ingat lagi beliau, di mana, siapa gerangan wanita itu.
Ingat lagi, kemudian lupa kembali. Tatkala itu, wanita itu juga diam menunduk,
sepertinya acuh.
Setelah
agak lama mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau mengingat, maka didekatinya
wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan: “Inggih, tuan puteri yang bijak,
siapakah gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri di tengah hutan begini. Dari
mana tuan puteri, apakah tuan puteri benar manusia, apa Wong samar orang maya,
ataukah Dewa ?”
Menjawab
wanita itu: “Inggih Sang Pendeta, yang sangat bijaksana, hamba ini bukanlah
manusia maya, dan juga bukan manusia”.
“Kalau
demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?”.
“Ya,
benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan, hamba memang bidadari dari
Sorga”.
“Aduh,
sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah Bidadari, karena kagum benar hamba
melihat kecantikan paras tuan puteri”.
“Inggih,
memang demikian Sang Pendeta. Kalau wanita, kecantikannya yang menyebabkan
orang itu kagum. Kalau Iaki-laki jelas kebijaksanaan dan keperwiraannya yang
membuat orang kagum serta bertekuk lutut di kakinya”. Demikian kata Sang
Bidadari.
Ketika
mendengar perkataan Sang Bidadari sedemikian itu, seperti terkena sindiran Sang
Pendeta. Seraya menyembunyikan rasa gugupnya, lalu beliau berkata: “Apa yang
mungkin tuan puteri cari, datang ke sini di tengah hutan seorang diri ?”
Menjawab Sang Bidadari: “Tidak ada yang hamba cari. Kedatangan hamba ke sini,
hanya bersenang-senang”.
Apa
yang menyebabkan tuan puteri datang ke sini untuk bersenang-senang. Apakah di
Sorga kurang tempat yang indah untuk bersenang-senang?” “Ya, memang demikian
Sang Pendeta. Di Sorga, memang tidak kurang tempat yang indah. Tetapi
sebenarnya sekali, yang membuat hati ini senang, tidak tempat yang indah saja,
namun senang atau sedih, suka atau duka, hanya tergantung pada hati perasaan
kita masing-masing. Kalau seperti hamba, sekarang ini, hanya tempat ini yang
paling indah, yang bisa memberikan kesenangan pada perasaan hamba. Sebenarnya
Sang Pendeta, bagaikan ditarik hati hamba, jadi berkeinginan hamba untuk datang
ke mari, mungkin ada sesuatu hal yang sangat indah di sini”.
Lagi
seperti dikenai sindiran, sampai Sang Pendeta menjadi makin gugup, lalu
kemudian beliau berkata lagi: “Memang betul tuan puteri datang dari Sorga,
sangat pintar dan bijak tuan puteri berkata, semakin menjadi kagum hamba kepada
tuan puteri”.
“Janganlah
berkata demikian Ratu Sang Pendeta. Terlalu banyak l Ratu memuji diri hamba.
Sebenarnya sekali, hamba masih terlalu muda”. Demikian Sang Bidadari segera
menjawab.
Setelah
lama berbincang-bincang serta keduanya merasa di hati masing -masing sudah
akrab serta bersemi lagi rasa cinta, lalu beliau Sang Pendeta memaksakan
dirinya untuk berkata: “Duh Dewa Sang Bidadari, perkenankanlah hamba memohon
maaf, kalau-kalau perkataan hamba tidak berkenan di hati, karena tidak bisa
sama sekali hamba akan menghentikan perasaan hamba yang mungkin bisa dikatakan
kurang baik, namun bisa juga disebut baik sekali”.
Lalu
menjawab Sang Bidadari: “Silakan Sang Pendeta, apa yang akan tuan sampaikan.
Hamba bersedia untuk mendengarnya. Jangan lagi Sang Pendeta merasa ragu dan
khawatir”.
Berkata
Sang Pendeta: “Duh, Dewa, terlebih dahulu hamba menghaturkan terimakasih yang
sebesar-besarnya atas anugerah Tuan Puteri. Pendek kata hamba ingin mengatakan,
jangan sekali Tuan Puteri marah, mudah-mudahan Tuan Putri berkenan. Ya, begini
…. diri hamba akan hamba serahkan ke hadapan Tuan Putri Namun karena hamba
belum bisa ikut ke Sorga Loka mengikuti Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan
Puteri akan hamba ajak di sini di dunia, di kawasan Besakih ini, menghamba dan
mengabdi kepada Ida Bhatara di sini”.
Menjawab
Sang Bidadari: “Ya kanda, sebelum hamba menjawab keinginan kanda tersebut,
berikan saya menceriterakan terlebih dahulu perihal kita berdua kala berada di
Kendran. Sebenarnya, dahulu, sebelum kanda diutus untuk turun ke dunia ini,
atas permohonan Ida Danghyang Siddhimantra, dinda sudah memilih
hubungan-bertunangan dengan kanda. Namun setelah kanda turun ke Marcapada ini
dinda masih sendirian berada di Sorga Loka. Lama dinda menunggu kedatangan
kanda, tidak juga ada datang-datang. ltu sebabnya dinda sekarang turun ke dunia
mengikuti jejak kakanda, agar bisa segera bertemu dengan kakanda, menyatukan
tali asih yang sudah bersemi di Sorga Loka. Karena itu, kalau memang benar ada
maksud kakanda akan bersatu dengan dinda, dinda tidak lagi berpanjang kata,
dinda bersedia mendampingi kanda, walaupun di sini di dunia, semasih kakanda berada
di sini”.
Setelah
mendengar perkataan Sang Bidadari demikian itu, merasa gugup dan terhenyak
perasaan Ida Sang Pendeta. Namun di lain pihak merasa gembira perasaan beliau,
seraya berkata: “Duh, permata hati kanda, l Dewa, dindaku, barangkali memang
betul sekali apa yang dinda katakan baru saja, kanda juga merasa-rasa dengan
perihal itu. Namun terasa sangat samar hal itu. Sekali lagi kanda ingin
menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya, karena demikian besar kesetiaan
dinda kepada kanda, sampai-sampai dinda mau turun ke dunia ini, meninggalkan
semua keindahan yang ada di Sorgaloka. Ya, kalau demikian, kanda sanggup, agar
kanda bisa bersama dengan dinda sampai kelak di kemudian hari, ke mana pergi
dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang kanda ragukan dalam hati kanda,
perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini bersama kanda, apakah tidak
akan membuat ribut di Sorgaloka, ke sana kemari para Dewa mencari dinda. Itu
yang sangat kanda khawatirkan di hati, agar tidak karena kanda yang menyebabkan
dinda menemui kesulitan, apalagi dinda sudah demikian berkenan memberikan
anugerah kepada kanda”.
Menjawab
Sang Bidadari dengan senyum manis: “Ya kanda, memang sepantasnya kanda
memikirkan keadaan dinda. Namun jangan kanda merasa khawatir. Sebab dinda sudah
memohon pamit kepada Ida Bhatara serta keluarga dinda semuanya di Sorga, serta
dinda sudah mendapatkan ijin dari Ida Bhatara. Memang benar dinda sedikit
bersikeras memohon diri kepada Ida Bhatara, karena janji Ida Bhatara dahulu, konon
kanda hanya sebentar saja diutus turun ke sini ke dunia.
Namun,
sesudah kanda selesai diruwat Ida Sang Nagaraja, seyogyanya kanda sudah kembali
pulang ke Sorga. Memang kanda sudah dapat pulang sekejap, namun karena keras
permohonan Ida Sang Nagaraja, yang sudah berjanji kepada Ida Danghyang
Siddhimantra, ayah kakanda, lagi pula memang kebetulan ada lain pekerjaan yang
harus kanda selesaikan di sini, jadi hambalah yang dikalahkan. Kanda
dikembalikan lagi ke dunia. Karena dinda tidak mau ditinggalkan oleh kanda
sedemikian lama, jadi dinda menghadap Ida Bhatara, memohon agar dinda
diperkenankan turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan kanda. Mungkin
permohonan dinda dianggap pantas, itu sebabnya dinda diberi ijin untuk mohon
pamit serta diberikan wara nugraha untuk bisa turun seperti ini ke dunia, tidak
lagi menjalani hal yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi seperti
kelahiran kanda dahulu. Sebab bila demikian perihalnya, jelas tidak bisa dinda
bertemu dengan palungguh kanda, seperti sekarang”.
Memang
demikian kagumnya beliau Sang Pendeta pada kadibyacaksuana wawasan Sang
Bidadari, kemudian beliau bertanya kembali: “Jadi, kalau demikian halnya, semua
perbuatan Kanda di dunia ini sudah dinda ketahui ?”
“Ya,
semua dinda ketahui”.
Baru
demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida Pendeta akibat malunya.
Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya tersenyum, Sang Bidadari
melanjutkan: “Namun semua itu merupakan titah atau kehendak dari Ida Bhatara di
Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan. Kalau kanda tidak dijadikan anak yang
durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat- meruwat Ida Sang Nagaraja, sebab tidak
lama kanda memenggal ekor beliau yang menjadi tempat berkumpulnya angkara.
Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata kepada kanda, karena beliau
sudah pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau melebur badan jasmani – stula
sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti oleh beliau dengan
badan jasmani baik seperti sekarang “.
Sang
Bidadari berhenti sebentar, kemudian melanjutkan lagi: “Dinda lanjutkan sedikit
lagi. Begini, perihal beliau Ki Dukuh Belatung. Memang beliau sangat sakti
matang sekali dalam hal yoga samadhi. Namun ada kekurangan beliau sedikit.
Yaitu beliau sedikit tinggi hati dan senang pujian. ltu sebabnya beliau
bersedia diruwat pada api yang keluar dari air kencing kanda. Namun sebenarnya,
hal itu merupakan kehendak Ida Bhatara, sebab kalau Ki Dukuh tidak tinggi hati,
dan senang pujian, tidak berhasil kanda akan memperlihatkan kesaktian membakar
sampah di hutan dengan memakai air kencing, yang menjadi jalan Ki Dukuh untuk
moksa. Sebab kalau kanda yang langsung bertindak lebih dahulu, jadi kanda akan
dianggap mendahului dan berlaku kurang senonoh. Kesaktian yang kemudian
memunculkan hal yang tidak baik jelas akan hilang keutamaannya”. Demikian
kata-kata Sang Bidadari.
Menjadi
semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau
kemudian berkata dengan manis: “Ah, muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka,
lebih bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian
halnya, menjadi tenang dan hening hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang.
Sekarang, kanda temani dinda menuju Pasraman. Namun jangan sekali disamakan
keadaan di sini dengan di Sorga”.
Cepat
berkata Sang Bidadari: “Janganlah itu lagi disinggung. Bisa bertemu dengan
kanda seperti ini saja, dinda sudah sangat dan lebih bahagia dibandingkan
dengan di Sorgaloka”.
Singkat
ceritera, pada akhirnya bersuami-istrilah Ida Sang Pendeta dengan Sang
Bidadari, kemudian mengadakan putera Iaki seorang, tampan, berprabawa cerdas,
mengagumkan sekali walaupun masih bayi, dinamai Ida Wang Bang Tulusdewa.
Semakin
lama, kawasan Bukcabe, Besakih, Tegenan serta Batusesa, semakin subur makmur,
tiada kurang makan dan minum. Itu sebabnya semakin bhakti rakyat di sana kepada
Sang Pendeta. Diceriterakan di kawasan Besakih, ada pendamping Ida Sang
Pendeta, sebagai pemuka warga Pasek di sana yang bernama Ki Pasek Wayabiya.
Beliau sangat bhakti kepada Sang Pendeta, Danghyang Bang Manik Angkeran, karena
anugerah beliau memberikan pelajaran tatwa, pengetahuan serta
kaparamarthan-kebathinan kepada Ki Pasek. Itu sebabnya Ki Pasek menghaturkan
puterinya yang bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita yang cantik jelita,
sebagai tanda pengikat bhakti beliau kepada Ki Pasek sekeluarga sampai kelak di
kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak menolak keinginan Ki Pasek Wayabiya.
Dengan
demikian sudah tiga orang Sang Pendeta memiliki isteri, semuanya menjadi wikuni
– pendeta wanita yang sangat fasih dengan weda mantra serta pula melaksanakan
tapa brata yoga samadhi. Dari isterinya – Ni Luh Murdani, lahir seorang putera
Iaki-laki, yang juga berprabawa agung, tampan, dinamai Ida Wang Bang Wayabiya
atau Ida Wang Bang Kajakauh.
Bagaikan
Brahma, Wisnu, Iswara rupa putra beliau bertiga: Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang
Tulusdewa miwah Ida Bang Wayabiya. Singkat ceritera, semua putranya itu
meningkat dewasa. Karena memang putera orang yang bijak, maka ketiga putranya
itu sangat setia dan akrab bersaudara, serta sangat berbakti kepada ayah
bundanya. Semuanya pandai, karena segala yang dikatakan oleh ayah-bundanya
berisikan Kadharman serta Kawicaksanaan. Isi dari Sanghyang Kamahayanikan,
Sanghyang Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra, sudah ditekuni dan
dilaksanakan. Serta tidak ingkar kepada isi dari Tri Ratna dan Asta Marga
Utama. Serta oleh Sang Pandita, putranya diberikan nasehat mengenai Putra
Sasana dan Tri Guna serta Tri Rna. Pendeknya segala ilmu filsafat yang baik-
baik ditekuni oleh Sang Tiga.
Selain
dengan memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan kepada para putera itu,
Sang Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke desa-desa memberikan nasehat
dan petuah keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat banyak ltu
sebabnya, kelak di kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih di pura-pura
sebagai bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.
IDA
BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA KI DUKUH MURTHI
Diceriterakan
sekarang, pada suatu hari. Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran
berjalan menuju ke arah Barat Laut, ke arah tempat kediaman Ki Dukuh Murthi.
Tidak diceriterakan di jalan, sampailah beliau di hutan Jehem, kemudian, menuju
Padukuhan, dan berjumpa dengan Ki Dukuh Murthi. Keduanya kemudian
berbincang-bincang mengenai mertua Sang Pendeta yakni Ki Dukuh Belatung yang
sudah moksa. Ki Dukuh Murthi memang bersaudara dengan Ki Dukuh Belatung. Pada
saat itu Ki Dukuh Murthi memiliki seorang anak wanita yang sangat cantik
bernama Ni Luh Canting. Putrinya itu dipersembahkan oleh Ki Dukuh kepada Sang Pendeta,
sebagai haturan utama yang tulus ikhlas, bukti besar bhaktinya Sang Dukuh
kepada Sang Pendeta, sebagai pengikat hingga kelak di kemudian hari. Beliau
Sang Pendeta sangat mencintai dan mengasihi Ni Luh Canting, serta bertemu cinta
didasari rasa kasih sayang yang suci. Namun karena ada pekerjaan yang sangat
mendesak serta didatangi oleh warga desa-desa lain untuk memberikan pelajaran
pengetahuan keagamaan, tergesa-gesa beliau meninggalkan Ni Luh Canting untuk
melanjutkan perjalanan memberikan petuah kepada warga desa-desa lainnya.
Ni
Luh Canting kemudian hamil, dan lama-kelamaan melahirkan seorang putra yang
tampan, diberi nama Sira Agra Manik. Belakangan Sira Agra Manik kembali ke
Besakih, sehubungan dengan pesan ayahandanya untuk menghaturkan Lawangan Agung.
Dengan
demikian Ida Danghyang Bang Manik Angkeran memiliki putra empat orang, yakni
Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa, Ida Bang Wayabiya dan Si Agra Manik,
yang keturunannya kemudian bernama Catur Warga.
6.
IDA DANGHYANG BANG MANIK ANGKERAN BERPULANG KE SUNYALOKA
Patut
diketahui perihal kesaktian Sang Bidadari sehari-hari, menanak nasi dengan
sebulir padi. Sehelai bulu ayam, jika dimasak, menjadi ikan ayam. Keadaan
demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh orang lain. Hal itu sudah dipermaklumkan
kepada Sang Pendeta, agar beliau jangan mencoba kesaktian Sang Bidadari, agar
kesaktian Sang Bidadari tidak hilang. Itu sebabnya keberadaan sehari-hari Sang
Pendeta dengan isteri dan putranya di Besakih, tiada kurang suatu apapun.
Setelah
berapa tahun lamanya, Ida Danghyang Bang Manik Angkeran melaksanakan swadharma
berkeluarga dengan istri beliau bertiga beserta putranya tiga orang di Besakih,
maka tibalah waktunya perjanjian Sang Bidadari harus kembali ke Sorgaloka.
Keluar pikiran Ida Sang Pendeta mencoba kesaktian sang istri. Beliau mengintip
isterinya Sang Bidadari sedang memasak, manakala isterinya menaruh sebulir
padi. Setelah lama nian memasak, dibukanya kekeb – penutup alat masak- itu oleh
Sang Bidadari. Dilihat padinya sebulir itu masih seperti sediakala. Saat itu,
berpikir Sang Bidadari, kemungkinan memang sampai saat itu Sang Bidadari
bersuamikan Sang Pendeta. Kemudian beliau menghadap dan menghaturkan sembah:
“Inggih kakandaku, Sang Pandita, rupanya sampai di sini dinda mengabdikan diri
– bersuamikan kanda. Sudah usai rupanya perjanjian kita. Dinda sekarang, akan
memohon diri ke hadapan palungguh kanda, untuk pulang kembali ke Sorgaloka”.
Sang
Pandita kemudian berkata halus: “Nah, kalau begitu Silakan adinda pulang lebih
dahulu, kanda akan mengikuti perjalanan dinda”. Sang Bidadari lalu kembali ke
Indraloka.
Sejak
saat itu Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran selalu melaksanakan
Yoga Panglepasan untuk pulang ke alam baka. Dan lagi, beliau menyadari akan
segera kembali pulang ke Sunyaloka, lalu beliau memanggil putranya bertiga,
memberitahukan bahwa putranya bertiga memiliki kakek di Jawa, yang bernama Ida
Danghyang Siddhimantra. Bersama isterinya yang dua orang itu, beliau memberikan
petuah yang sangat bermakna: ” l Dewa, Bang Banyak Wide, l Dewa, Bang
Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya, anakku bertiga yang sangat ayahanda cintai dan
kasihi, ayahanda sekarang bersama ibu-ibumu berdua, akan meninggalkan ananda.
Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan diri ananda dalam bersaudara. Ala
Ayu tunggal ! Duka maupun suka hendaknya tetap satu! Kemudian juga agar selalu
ingat kepada Bhatara Kawitan, serta senantiasa bhakti menyembah Ida Bhatara
semua di sini di Besakih serta Ida Bhatara Basukih. Tidak boleh ananda lalai
serta ingkar dengan petuah ayahandamu ini”. Demikian nasehat Ida Sang Pendeta,
dicamkan betul oleh para putranya bertiga.
Pada
hari yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi
Moksa-moksa yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua, karena keduanya memang
setia dan bhakti kepada beliau.
Diceriterakan,
beliau-beliau itu sudah menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para putranya bertiga,
ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah desa
Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti
Belatung dahulu. Pada saat itu, putera Ida Bang Manik Angkeran yang nomor empat
dari Ni Luh Canting yakni Sira Agra Manik, belum ada dan belum berdiam di
Besakih.
Tidak
terhitung berapa tahun ketiga putera itu ditinggal oleh ayah ibunya semua, lalu
ada keinginan Ida Sang Bang Banyak Wide akan berbincang dengan kedua adiknya.
Setelah semuanya duduk, maka berkatalah Ida Bang Banyak Wide “Inggih, adikku
berdua, yang kanda kasihi dan cintai. Teringat kanda dengan petuah Ida l Aji,
kata beliau Kakek kita yang bernama, mohon maaf, Ida Danghyang Siddhimantra,
bertempat tinggal di Pulau Jawa, tepatnya di daerah Daha. Kalau sekiranya dinda
berdua menyetujui, marilah kita pergi ke sana, bersembah sujud menghadap kepada
Ida l Kakiyang- kakek kita, agar kita mengetahui keberadaan beliau, agar jangan
seperti ungkapan yang mengatakan , tahu akan nama namun tidak tahu akibat rupa.
Lagi pula kalau Kanda pikir, mungkin sekali Ida l Kakiyang – kakek kita tidak
tahu sama sekali akan keberadaan kanda dinda, karena tidak ada yang
menceriterakan perihal keberadaan ayahanda kita serta kita bertiga”.
Baru
didengar perkataan kakaknya demikian, maka menjawablah Ida Sang Bang Tulusdewa
dengan sangat sopan: “Inggih palungguh kanda, mengenai perihal itu, perkenankanlah
dinda menyampaikan pendapat, namun mohon dimaklumi, bila mana ada yang tidak
berkenan di hati kanda. Perihal keinginan kanda , disebabkan niat bhakti
kehadapan Ida l Kakiyang, memang wajar sekali. Dinda sangat berbesar hati.
Namun bila mana kanda akan pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida Kakiyang
kakek kita, apalagi berkeinginan untuk bertempat tinggal di sana, mohon maaf
dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda tidak bisa mengikuti kehendak kanda
itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar ada yang melanjutkan yadnya dari
ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu di sini di Besakih, seperti
menjadi petuah dari ayahanda”.!
Kemudian
Ida Bang Wayabiya menghaturkan sembah: “Inggih palungguh kanda Sang Bang Banyak
Wide yang sangat dinda hormati, dinda juga, bukan karena kurang bhakti dinda
kepada Ida l Kakiyang, walaupun belum dinda ketahui. Yang nomor dua, tidak
kurang bhakti serta kasih dinda bersaudara dengan kakanda. Namun kalau
berpindah tempat meninggalkan Bali ini, berat rasanya bagi dinda, karenanya,
mohon maaf pula, dinda juga tidak ikut mendampingi kanda, seperti pula pada
yang dikatakan kanda Tulusdewa baru. Dinda tidak sekali akan menghalangi niat
luhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap kepada Ida l Kakiyang. Itu juga
sangat pantas. Kalau kakanda berkehendak akan pergi, silakan kakanda pergi
sendiri, agar ada yang memberitakan keberadaan di Bali ke hadapan Ida l
Kakiyang. Biarkan dinda berdua di sini di Bali “.
Baru
mendengar hatur adik-adiknya berdua, lama Ida Sang Banyak Wide berdiam,
berpikir-pikir. Karena memang tidak pernah berpisah dan mereka saling mengasihi
satu sama lainnya. Kemudian beliau berkata: “Inggih, kalau demikian pendapat
dinda berdua, patut juga, di Bali agar ada, ke Jawa, menurut kanda, juga agar
ada yang memberitahukan perihal keadaan kita di Bali ini, seperti yang
dikatakan dinda Wayabiya baru. ltu sebabnya perkenankan kanda akan sendirian
pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida l Kakiyang. Namun ada petuah kanda
kepada dinda berdua. Walaupun kanda tidak lagi berada di sini bersama dinda
berdua, di mana saja mungkin kanda – dinda berdiam, kalaupun kanda – dinda
menemui kebaikan atau keburukan, agar supaya tidak kita lupa bersaudara sampai
nanti kepada keturunan kita di kelak kemudian hari. Ingat betul nasehat suci
dari Ayahanda kita: Ala Ayu Tunggal! Ayu tunggal, Ayu kabeh. Ala tunggal, ala
kabeh! Duka dan suka tunggal! Kalau satu orang mendapatkan kegembiraan, agar
semuanya bisa ikut menikmatinya.
Demikian
juga kalau salah satu mengalami kedukaan agar semuanya merasakannya.
Mudah-mudahan kita semuanya bisa bertemu kembali. Kalau tidak kanda yang bisa
bertemu dengan dinda, semoga anak cucu kita bisa bertemu serta mengingatkan
persaudaraan kita di kelak kemudian hari”.
Inggih,
silakan palungguh kanda pergi, dinda menuruti semua apa yang kanda katakan,
Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan Ida l Kakiyang”. Demikian hatur
adiknya berdua.
Pada
hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya berdua,
seraya berangkat. Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak Wide, demikian
banyaknya desa, perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang yang
dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia. Banyak sekali kesulitan
yang ditemuinya di jalan tak usah diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide,
walau masih jejaka muda-belia, demikian teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah
takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan hambatan di jalan.
Pada
siang hari beliau berjalan, di mana beliau merasa lesu, di sana berharap untuk
beristirahat. Kalau hari sudah menjelang malam, beliau bermalam di mana beliau
mendapatkan tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya beliau menumpang di
tempat orang, namun seringkali beliau berada di tengah hutan, dan paksa tidur
di pohon-pohon kayu. Setiap kali beliau berjumpa dengan orang, tidak lupa
beliau menanyakan di mana negeri Daha itu.
Singkat
ceritera, sampailah beliau di perbatasan negeri Daha. Terkesan beliau akan
keadaan negeri itu yang demikian ramai dan indah. Berbeda sekali kalau
dibandingkan dengan desa Besakih, yang sedikit bangunannya. Bangunan di sana
semua besar-megah serta memakai tembok yang tinggi dari batu bata. Orang di
sana semuanya memakai pakaian yang bagus – bagus. Jalannya juga lebar, setiap
beberapa meter ada lampu yang berderet di sisi jalan.
Setelah
tenggelam sang mentari, kala itu nampak oleh beliau ada sebuah bangunan seperti
Jero, bertembok bata dengan memakai pintu gerbang kori agung Di bagian luar
dari bangunan yang serupa jero itu, ada balai-balai kecil: bale panjang layaknya
seperti tempat orang berteduh dan beristirahat. Di sana lalu beliau berteduh
dan beristirahat. Demikian gembiranya beliau, sebab mendapatkan tempat
beristirahat yang nyaman.
Tidak
lama, karena demikian lesunya, sekejap beliau sudah terlelap. Ternyata itu
ternyata sebuah Griya – tempat seorang pendeta yang bernama Ida Mpu Sedah Di
sana, di bagian luar dari Griya Ida Pandita terdapat sebuah batu ceper yang
berukuran besar, sebagai tempat Pendeta Mpu Sedah duduk-duduk tatkala beliau
beranjangsana. Konon, dahulunya, di tempat batu itu, tak seorangpun berani
bermain atau lewat di sana, apalagi untuk mendudukinya. Walau hanya seekor
capungpun, kalau hinggap di tempat itu,. langsung akan hangus terbakar.
Singkat
ceritera, ketika hari itu Ida Pandita keluar untuk berjalan-jalan, tiba-tiba
beliau berhenti sejenak ketika melihat ada seorang jejaka duduk di batu ceper
itu. Lalu didekatinya seraya berkata: ” Uduh kaki, ndi sang kayeng tuan, agia
tunggal-tunggal, eman-eman warnanta masmasku. Mwang siapa puspatanira ? Was
duga-duga kawongane sira, dadine sira Kaki pasti maweruha. Nah, anakku, dari
megerangan sebenarnya ananda ini datang sendirian ke mari. Kagum kakek
menyatakan prabawamu . Siapa namamu, serta apa keluarga dan kelahiran ananda?
Ayuh jelaskan agar kakek mengetahuinya !”
Kemudian
Ida Sang Bang Banyak Wide berkata, seraya menghaturkan sembah bakti “Singgih
pukulun Sang Pendeta, hamba adalah cucu dari Sang Pendeta Siddhimantra,
ayahanda hamba adalah Sang Pendeta Angkeran. Nama hamba Sang Banyak Wide, maksud
tujuan hamba adalah ingin bertemu dengan kakek Kakiyang hamba di Griya Daha,
Ida Sang Pendeta Siddhimantra itu”.
Baru
didengar hatur Ida Sang Banyak Wide demikian, menjadi sangat terharu perasaan
Ida Pandita, seraya berkata: “Aum cucuku tercinta, kalau demikian maksud tujuan
cucunda, ketahuilah bahwa kakek cucunda ini memiliki hubungan saudara dengan
kakekmu itu yang kini sudah tiada. Karena itu sekarang yang paling baik,
dengarkan kakekmu ini, jangan dilanjutkan keinginan cucunda pulang ke Griya kakekmu.
Di sini saja cucunda berdiam, mendampingi kakekmu ini yang sudah tua renta.
Cucuku menjadi pewaris keturunanku, sebab kakekmu ini tidak memiliki keturunan
atau anak. Dulu putera kakek ada Iaki-laki seorang, bernama Sira Bang Guwi.
Sudah dibunuh oleh sang raja, dosanya karena membangkang kepada raja. Sebab itu
sekarang putung – tidak berketurunan kakekmu ini, semoga berkenan cucunda
menjadi sentana-keturunan pewarisku, yang akan memelihara tempat kediaman ini
kelak di kemudian hari. Sekarang cucunda yang memerintah di kawasan ini. Di
samping itu ada petuah Kakek, sebab cucunda memakai pegangan Ke-Budhaan,
sementara kakekmu ini melaksanakan Kesiwaan, karena itu sekarang cucunda
janganlah lagi menggelar Kebudhaan, gelaran Siwa yang cucunda jadikan pegangan
“.Demikian wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide yang memahami dan
menyetujui kehendak Ida Pandita, sehingga akhirnya Ida Bang Banyak Wide
diresmikan sebagai putera angkat – kadharma putera.
Sangatlah
sukacita perasaan Sang Pendeta. sangat dimanja putranya Ida Bang Banyak Wide.
Singkat ceritera, sekarang telah berdiam Ida Sang Bang Banyak Wide di Griya
Daha mendampingi kakeknya Ida Mpu Sedah.