SAWUNGGALING (JAKA BEREG)
Ing sawijining dina sawise mulih saka dolan, Jaka Bereg katon susah atine. Dheweke ora gelem mangan lan praupane katon mbesengut wae. Ibune kang asma Dewi Sangkrah utawa Rara Blengoh takon marang Jaka Bereg apa sing mentas dialami. Jaka Bereg jawab pitakone ibune, bilih dheweke wis ora kuwat saben dina dilokne kanca-kancane. Atas perinatahe Eyang Wangsadarna Rara Blengoh nyritakake kejadian 13 taun kepungkur ilih rama asline Jaka Bereg yaiku Adipati Jayengrana, Adipati ing Kadipaten Surabaya.
Jaka Bereg iku anak sing sregep tumandang gawe. Saben dina ngarit golek suket kanggo sapine Eyang Wangsa. Ora lali dheweke golek woh galing kanggo pakan pitik jago. Sawunge Jaka Bereg wules wiring kuning , katon endah , mulus langilap. Senegane mangan woh galing , mulane wong-wong asring nyeluk Jaka Bereg kanthi sebutan Sawunggaling. Eyang Wangsa uga nagjari Jaka Bereg olah kanuragan lan olah kagunan senjata. Wwis telung taun kliwat anggone ngenteni palilane ibune saperlu sowan marang ramane.
Ibune ora kuwawa menggak niyate putrane. Jaka Bereg banjur pamitan marang ibu lan eyange. Sadurunge budal Bereg sungkem marang ibune lan eyange. Rara Blengoh maringake Cindhe Puspita peparingan garwane nalika isih mapan ing kadipaten. Satekane kutha kadipaten Sawunggaling ora bisa sowan marang ramane. Sawunggaling nekat kepingin sowa. Para prajurit padha kuwalahan ngadepi Sawunggalig, weaksane sing ngadepi Sawungrana lan Sawungsari. Adipati ngendekake anggone padudon. Sawise Adipati nekoni marang Sawunggaling Adipati sadar bilih Sawunggaling iku putrane, lan Sawunggaling ditepungake marang Sawungrana lan Sawungsari. Sawungrana lan Sawungsari mung esem kecut.
Jayengrana ora gelem dia ajak kompromi karo Walanda. Adipati Jayengrana gugur ing glanggang payudan nalika perang musuh Walanda. Sri Pakubuwana I ing Kraton Kartasuranganakake sayembara. Sayembarane sopo wong sing kasil nyodor umbul-umbul yudha ing Pucuking Menara Galah ,bakal didaekake Adipati ing Kadipaten Surabaya. Sawunggaling winisuda dadi Satriyatam lan dadi Adipati ing Kadipaten Surabaya.Kanthi gelar Kanjeng Adipati Jayengrana II. Eyang lan ibune kaboyong saka kampung ing Kadipaten. Jiwa kasatriyane Sawunggaling sing berbudi bawa leksana , jujur lan adil. Sawunggaling gugur ing madyaning palagan rikala dimadi perang gede anatarane Kadipaten Surabaya mungsuh Kompeni Walanda.
Sawunggaling gugur dadi kusumaning bagsa lan asmane angganda arum nganti saiki ing madyaning kutha Surabaya.
Gagal Meracuni Sawunggaling, Belanda Murka dan Rakyat Surabaya Digilas.
Tidak seperti ayahnya, Adipati Jayengrana yang berhasil diracuni, dan saat tak berdaya dihabisi beramai-ramai oleh kaki tangan Kompeni Belanda. Adipati Sawunggaling lebih sulit dibunuh. Sejak berangkat dan tiba di Kraton Kartasura, Adipati Surabaya tersebut sudah menyiapkan kewaspadaan tinggi. Ia tahu, ayahnya terbunuh karena dicurangi. Dicekoki anggur bercampur racun arsenik. Sebelum meregang nyawa, Sawungsari (Kakak Sawunggaling lain ibu) yang turut menjadi korban dalam tragedi tersebut, menceritakan semuanya. Dalam keadaan setengah sekarat, Jayengrana dikeroyok . Tubuhnya dihujami berbagai senjata tajam hingga tewas. Peristiwa berdarah itu berlangsung Juli 1718. Karenanya, saat menerima uluran sloki berisi anggur dari Van Hoogendorf, petinggi VOC untuk wilayah Jawa bagian Timur, Sawunggaling tidak buru-buru meneguknya. Cerita itu kembali melintasi benaknya. Di tangannya. Sloki berisi anggur itu, hanya ia goyang-goyang. "Para hadirin sekalian. Mari kita minum bersama demi kesuksesan hidup Adipati Sawunggaling," ucap Van Hoogendorf seperti diceritakan Febricus Indri dalam kisah " Sawunggaling Sebuah Legenda Surabaya". Di tangan orang-orang di dalam Kraton Kartasura . Semua sloki berisi minuman keras diangkat tinggi-tinggi sekaligus berseru : "Hidup Adipati Sawunggaling. Semoga sukses dan panjang umur". Saat itu bulan Januari 1719. Pesta yang digelar di Kraton Kartasura hanyalah akal-akalan Kompeni Belanda . Melalui Susuhunan Pakubuwono I, Van Hoogendorf meminta Raja Kartasura tersebut mengundang Sawunggaling untuk datang. Itu setelah Cakraningrat III, penguasa Bangkalan Madura yang dianggap pemberontak, berhasil ditaklukkan.
Kompeni Belanda berkepentingan menghabisi Sawunggaling dengan mengulangi cara licik. Dendam Van Hoogendorf sulit padam. Sejak masa Adipati Jayengrana, penguasa Kadipaten Surabaya tersebut diketahui diam-diam bersimpati dengan gerakan Untung Surapati . Perintah Kompeni melalui Raja Pakubuwono I membasmi gerakan Surapati beserta keturunannya, tidak pernah serius dilakukan. Sikap membangkang itu dilanjutkan Adipati Sawunggaling, putra bungsu Jayengrana. Kemarahan Hoogebdrof semakin berlipat setelah tahu Benteng Providencia atau Benteng Miring juga dikuasai Sawunggaling. Baca juga: Tumpes Kelor, Cara Keji Belanda Menghabisi Keturunan Untung Surapati di Jawa Timur Sawunggaling lahir dari rahim Rara Blengoh. Seorang perempuan, anak Kepala Desa Lidah Wetan (Sekarang Kecamatan Lakarsantri) yang bernama Wangsadrana. Setelah dinikahi Jayengrana yang berstatus duda lima anak, Rara Blengoh menyandang gelar Raden Ayu Sangkrah. Sejak lahir Sawunggaling dikenal bernama Jaka Berek. Ia tumbuh bersama ibu dan kakeknya di Desa Lidah Wetan dengan status ayah yang dirahasiakan. Sejak kecil, Berek yang banyak belajar kanuragan dan dianggap memiliki kelebihan, gemar menyabung ayam dan tak pernah kalah. Ia memiara seekor ayam jago andalan yang diberi nama Galing. Saat mulai tumbuh dewasa dan akhirnya berhasil menemui ayahnya di Kadipaten Surabaya , nama Jaka Berek diubah menjadi Sawunggaling. Sebagai putra Adipati Surabaya yang masyhur, Sawunggaling lebih bisa membawa diri dibanding lima kakak tirinya. Nasib baik juga senantiasa berpihak kepadanya. Sawunggaling berhasil memenangkan sebuah sayembara dengan hadiah diambil menantu Raja Pakubuwono I. Saat Adipati Jayengrana mangkat karena dibunuh secara licik oleh Kompeni Belanda, ia juga yang ditunjuk menggantikan jabatan Adipati Surabaya. Begitu juga saat di pesta yang disiapkan Kompeni Belanda untuk menghabisinya. Di ruangan komplek Kraton Kartasura. Sawunggaling hadir bersama Arya Suradireja, tangan kanannya. Pandangannya mengitari isi ruangan. Namun tidak terlihat satupun petinggi Kraton Kartasura yang hadir. Pakubowono I yang sekaligus mertuanya juga tidak terlihat. Van Hoogendorf beralasan raja berhalangan hadir karena sedang tidak enak badan. Justru yang banyak terlihat para petinggi Kompeni. Termasuk Kapitan Komisaris Pieter Speelman, juga hadir. Kemenakan Gubernur Jendral Belanda Cornelis Speelman tersebut, ditunjuk sebagai wakil Kompeni dari Batavia.
Saat membaui sloki anggur di tangannya. Sawunggaling mencium aroma ganjil yang menyengat. Sawunggaling seketika meradang. Van Hoogendorf dihardiknya dengan suara menggelegar. "Van Hoogendorf, kurang ajar, kamu licik!. Bila engkau benar-benar laki-laki minumlah sloki ini!, " hardik Sawunggaling seperti dikisahkan Febricus Indri. Wajah Hoogendorf mendadak pucat. Ia tidak menyangka rencana liciknya terbongkar. Sloki berisi minuman keras di tangan Sawunggaling memang sudah ia campuri racun arsenik. Racun dengan kadar paling tinggi. Bahkan hanya mencicipi saja, akibatnya bisa fatal. Suasana di ruangan sontak hening. Tidak ada lagi orang bernyanyi-nyanyi. Semuanya terdiam. Hoogendorf tiba-tiba lari ke dalam ruangan lain, dan saat kembali tangannya mengacungkan pistol ke arah Sawunggaling. Sawunggaling tidak gentar. Adipati Surabaya itu mencabut sebilah keris . Pada saat itulah pistol di tangan Hoogendorf menyalak. Timah panas melesat arah dada Sawunggaling. Namun tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat melindunginya. Bayangan itu adalah Van Jannsen, perwira Kompeni Belanda. Jannsen adalah sahabat Sawunggaling karena hidupnya pernah diselamatkan (Sawunggaling). Jannsen tewas seketika dengan peluru merobek jantungnya . Sawunggaling selamat. Dengan amarah, keris ditangannya meliuk cepat menikam dada Hoogendorf. Kompeni Belanda penyebab kematian Jayengrono tersebut ambruk, dan tewas seketika. Para prajurit Kompeni masih tertegun dengan insiden yang terjadi.
Sebelum semuanya tersadar sepenuhnya, Arya Suradireja langsung mengajak Sawunggaling meninggalkan lokasi. Sementara melihat dua perwiranya tewas, Kapitan Komisaris Pieter Speelman murka. Dipimpin Letnan Herman De Wilde, wakil Peiter Speelman, pengejaran langsung dilakukan."Tidak tanggung-tanggung, 200 pasukan berkuda Kompeni tergabung dalam pengejar," tulis Fabricus Indri. Sawunggaling dan Arya Suradireja berhasil keluar dari Kartasura. Di wilayah Sragen, mereka sengaja menerobos kawasan hutan. Di hutan itu Sawunggaling sempat berkontak dengan Gerombolan Gagak Mataram. Yakni sekelompok bandit sosial pimpinan Gagak Lodra yang pernah berhutang nyawa dengan Sawunggaling. Di hutan Sragen itu pasukan Kompeni yang berusaha menyusul, dihancurkan. Kabar kematian dua petinggi Kompeni Belanda di Kartasura, menggemparkan dan dengan cepat tersebar hingga ke Batavia. Kabar tersebut sampai ke telinga Gubernur Jendral Belanda Hendrick Zwaardeckroon. Ultimatum langsung dikeluarkan: "Tangkap Adipati Sawunggaling hidup atau mati".
Penyerangan ke Surabaya dipimpin Kapitan Komisaris Pieter Speelman sekaligus pengganti Hoogendorf. Sebanyak 5.000 orang pasukan yang terdiri dari prajurit Eropa dan pribumi dikerahkan. Serangan dilakukan melalui perang darat dan laut. Sementara di Kadipaten Surabaya, Adipati Sawunggaling berusaha menyatukan kekuatan Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan). Pertempuran dahsyat tidak terelakkan. Pada tanggal 10 Februari 1723. Pasukan Sawunggaling berhasil memukul mundur Kompeni Belanda di Lamongan. Kompeni yang terbiasa melakukan perang terbuka, dibuat kocar-kacir saat harus menghadapi serangan gerilya dari rumah ke rumah.
Kapitan Pieter Speelman yang marah, turun langsung memimpin peperangan. Tiga kapal perang diberangkatkan untuk menggempur Surabaya dari arah laut. Perintahnya ke setiap pimpinan pasukan adalah tidak ada tawanan perang. Artinya semua termasuk Adipati Sawunggaling dihabisi. Perang berlangsung sengit. Karena kalah jumlah pasukan serta persenjataan, laskar Sawunggaling terdesak. Saat itu awal Maret 1723. Kondisi yang ada diperparah dengan ditariknya bantuan pasukan dari orang-orang Bali yang sebelumnya berada di Pasuruan dan Probolinggo. Penarikan pasukan dikarenakan di Bali juga sedang terjadi peperangan. Sawunggaling bersama istri dan putranya, Arya Bagus Narendra yang masih berusia balita mengungsi ke dalam Benteng Providencia . Makanan Rakyat Kadipaten Surabaya dikosongkan. Agar tidak dipakai pasukan Kompeni Belanda. Saat meninggalkan kota, seluruh rumah-rumah yang ada lebih dulu dibakari. Termasuk kediaman Sawunggaling juga tidak luput dihanguskan. "Asap hitam mengepul di mana-mana. Surabaya menjadi karang abang (lautan api)," tulis Febricus Indri.
Tanggal 8 Maret 1723. Pasukan Kompeni masuk Surabaya melalui Sidoarjo. Saat yang sama, pasukan Kompeni lain yang datang dari arah Kadipaten Gresik, dan Gunungsari juga masuk Surabaya. Mereka merangsek ke arah benteng Providencia , tempat pertahanan terakhir Sawunggaling. Di dalam benteng masih ada 800 orang pejuang laskar Sawunggaling yang siap bertempur sampai titik darah penghabisan. Perang yang tidak seimbang tersebut berlangsung sengit. Pasukan Kompeni berhasil merangsek masuk sekaligus menewaskan Arya Suradireja. Dengan sisa pasukan yang ada, Sawunggaling terus melawan. Pistol di tangan kanannya tidak henti-henti menyalak. Begitu juga dengan pedang di tangan kirinya tidak berhenti mengayun. Perlawanan Sawunggaling berakhir setelah peluru menembus lehernya dan bayonet dari segala arah menikami tubuhnya. Adipati Surabaya tersebut ambruk dengan bersimbah darah, dan gugur. Namun sebelum ajal menjemput, konon Adipati Sawunggaling sempat melontarkan sumpah kutukan kepada Kompeni Belanda. Bahwa saat ini dirinya memang kalah dalam jumlah pasukan dan persenjataan . "Namun kelak bila saatnya tiba, bila ada petarung-petarung berbadan pendek (katai), berkulit kuning, berasal dari arah timur laut dan jumlahnya berlaksa-laksa, saat itulah akan datang kembali dan membalas perbuatan kalian".
Sawunggaling, Adipati Surabaya yang Jujur.
Kota Surabaya memiliki cerita rakyat atau legenda yang terkenal, yakni Jaka Berek atau Raden Sawunggaling. Tokoh Sawunggaling terkenal dengan keberanian, ketulusan, dan kesaktiannya. Sawunggaling sering menjadi lakon kesenian, seperti judul karya tari maupun drama tari yang dipentaskan, bahkan namanya diabadikan sebagai nama salah satu gedung Pemerintah Kota Surabaya.
“Sekilas Legenda Jaka Berek/R. Sawunggaling” karya Cak Moel, yang saya dapatkan dari Setyo Budi, Juru Kunci Makam Sawunggaling bahwa Sawunggaling yang mempunyai nama kecil Jaka Berek adalah putra Adipati Jayengrana dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah.
Adipati Jayengrana (kisaran 1677 -1709, menurut Sedjarah Regent Soerabaja) tidak mau bersekutu dan mengikuti perintah kolonial Belanda. Ketika Belanda mulai merajalela dan bersekutu dengan banyak bupati atau adipati di tanah Jawa dia sangat prihatin. Dia sadar Belanda semakin kuat dan akan menguasai tanah Jawa, khususnya Surabaya.
Pada suatu ketika, Adipati Jayengrana bersemedi di hutan di tepi rawa Wiyung. Dalam persemediannya itu, ia bertemu dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah, gadis desa kampung Lidah Dorowati yang mampu menggagalkan semedinya.
Tak lama dari waktu itu, Adipati Jayengrana meninggalkan Raden Ayu Dewi Sangkrah yang sedang hamil untuk bertugas sebagai Adipati di Surabaya. Ia meminta Dewi Sangkrah untuk tetap tinggal di kampung Lidah Wetan, yang dulunya bernama kampung Lidah Donowati dengan meninggalkan selembar cinde (selenda sutra). Lahirlah bayi laki-laki dinamai Jaka Berek.
Jaka Berek tumbuh sebagai pemuda desa dan tidak mempunyai ayah, dia memelihara ayam jago. Karena tak kuat ejekan tema-teman sebagai anak tak berayah, Jaka Berek mendesak ibunya untuk menunjukkan siapa ayahnya. Ayu Dewi Sangkrah lantas menceritakan bahwa ayahnya adalah Jayengrana, Adipati di Surabaya.
Dengan berbekal cinde yang diberikan Adipati Jayengrana, Ayu Dewi Sangkrah melepas Jaka Berek pergi mencari ayahnya di Surabaya. Jaka Berek pun tak lupa membawa serta ayam jago kesayangannya yang selalu menang jika diadu.
Sesampai di Kadipaten Surabaya, meskipun mengaku anak Adipati Jayengrana, Jaka Berek dilarang masuk oleh penjaga. Datanglah Sawungrana dan Sawungsari, keduanyaputra Adipati Jayengrana dengan seorang putri dari Jawa Tengah.
Sementara itu, karena Adipati Jayengrana tidak mau bersekutu dengan pemerintah VOC, kepemimpinannya di Surabaya tidak diakui oleh Belanda. Belanda berusaha melengserkan Adipati Jayengrana sebagai adipati dan menggantikannya dengan yang lain yang mau bekerja sama dengan Belanda.
Dengan tipu muslihat bekerja sama dengan Sosrohadiningrat, Adipati dari Jawa Tengah, Belanda mengadakan lomba sodor atau memanah. Siapa pun yang mampu memanah cinde puspita (kain selendang sutra berbunga) akan diangkat sebagai Adipati Anom di Surabaya untuk mengganti Adipati Jayengrana.
Cakraningrat, Adipati dari Madura, yang merupakan sesepuh Jawi Wetan, ditunjuk sebagai penyelenggara. Karena hubungan kekerabatan yang baik, Adipati Jayengrana menyetujui siasat Belanda tersebut karena yakin bahwa Sawungrana dan Sawungsari, keduanya anaknya,pasti mampu memenangi lomba.
Setelah beberapa hari pelaksanaan lomba tidak ada seorang pun kesatria yang mampu memanah cinde puspita. Sawungrana dan Sawungsari pun gagal. Adipati Jayengrana gelisah tak ada anak turunnya yang bakal menggantikan. Akhirnya Jaka Berek memberanikan diri menghadap Adipati Cakraningrat bermaksud ingin ikut sayembara.
Lantaran Cakraningrat tidak tahu jika Jaka Berek adalah anak Adipati Jayengrana ia marah dan menolak karena Jaka Berek berasal dari rakyat jelata. Jaka Berek tetap ngotot, ia beralasan rakyat jelata pun berhak mengikuti sayembara.
Berdasar keyakinan dengan bukti cinde pemberiannya, Adipati Jayengrana meminta agar Jaka Berek diizinkan mengikuti sayembara. Ia katakan bahwa Jaka Berek adalah putranya sendiri dengan ibunya bernama Ayu Dewi Sangkrah. Setelah melakukan ritual doa, dengan keberanian, ketrampilan, dan ketulusan, akhirnya Jaka Berek mampu memanah cinde puspita.
Melihat keberhasilan Jaka Berek, Belanda, Sosrohadiningrat, Sawungsrana dan Sawungsari berusaha menghalangi Jaka Berek menjadi Adipati Surabaya. Mereka menggunakan akal licik dengan memberikan syarat tambahan agar Jaka Berek membabat Alas Nambas Keling, sekarang Banyu Urip, yang terkenal angker dan ganas.
Dengan tombak Beliring Lanang, Jaka Berek berhasil membabat hutan tersebut tetapi karena luas dan banyak gangguan makhluk peri penjaga hutan hingga tidak kunjung selesai. Tiba-tiba muncul peri Ayu Pandansari bersedia membantu Jaka Berek karena ia tertarik ketampanan Jaka Berek.
Awalnya menolak, karena selain hutan luas juga banyak gangguan anak buah peri Ayu Pandansari akhirnya Jaka Berek menyetujui bantuan Ayu Pandansari dengan berjanji akan mengawininya tetapi dalam ujud alam yang sama. Ayu pandansasi harus berinkarnasi menjadi seorang gadis.
Setelah saling berjanji, Ayu Pandansari, peri sakti, menyatu ke dalam tombak Beliring Lanang. Dalam sekejap akhirnya Alas Nambas Keling rata dengan tanah. Mendengar keberhasilan Jaka Berek, Adipati Cakraningrat dan Adipati Jayengrana gembira karena kursi kadipaten tidak lepas dari keluarganya.
Meski Belanda tidak rela memberikan kursi kadipaten dengan segala tipu muslihat, atas kesaktian dan keberaniannya, Adipati Cakraningrat dan Adipati Jayengrana menganugerahi gelar kebangsawanan, yaitu Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro.
Pada akhir kisah, Raden Sawunggaling berjanji akan selalu memusuhi Belanda meskipun dalam generasi yang berbeda. Kelak jika terjadi perang besar di Surabaya, semangat juang dan keberanian Raden Sawunggaling akan kembali melawan Belanda dalam bentuk generasi yang berbeda pula.