KACANG ORA NINGGAL LANJARAN / ORA ANA BANYU MILI MENDUWUR
Adalah mengejar sesuatu yang kecil
tetapi kehilangan miliknya yang lebih besar.
Peribahasa Jawa mburu uceng
kelangan deleg
bermakna lantaran cenderung mengejar atau mengurusi hal-hal kecil (remeh), maka
kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil besar. Kalimat sindiran ini
berkenaan dengan sikap dan tindakan bodoh, lantaran tidak didasari kalkulasi
strategis atau kurang mampu memperhitungkan urgensi. Orang demikian sulit
menjadi orang besar, karena terjebak pada hal-hal sepele, remeh, tidak urgen,
dan kurang strtegis. Sementara terhadap hal-hal yang sesunggunya lebih memberi
peluang bagi perolehan keuntungan yang lebih besar, justru diabaikan atau
ditinggalkannya.
Mburu uceng kelangan deleg mengejar
sesuatu yang kecil tetapi kehilangan miliknya yang lebih besar.
Peribahasa Jawa ‘mburu uceng kelangan
deleg’ bermakna lantaran cenderung mengejar atau mengurusi hal-hal kecil
(remeh), maka kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil besar. Kalimat
sindiran ini berkenaan dengan sikap dan tindakan bodoh, lantaran tidak didasari
kalkulasi strategis atau kurang mampu memperhitungkan urgensi. Orang demikian
sulit menjadi orang besar, karena terjebak pada hal-hal sepele, remeh, tidak
urgen, dan kurang strtegis. Sementara terhadap hal-hal yang sesunggunya lebih
memberi peluang bagi perolehan keuntungan yang lebih besar, justru diabaikan
atau ditinggalkannya.
Uceng dan deleg adalah nama-nama ikan
air tawar (iwak kali). Sebutan ‘uceng’ diberikan kepada ikan kecil, seukuran
jari kelingking atau lebih kecil lagi, mirip anakan belut yang kecil-memanjang
dan biasanya hidup di arus deras. Oleh karena kecil dan berada di arus deras,
maka tidak mudah ditangkap dengan tangan telanjang. Pada dasawarsa terakhir,
ikan uceng menjadi kuliner khas di Kabupaten Blitar, khususya di daeah Wlingi
dan sekitarnya, yang digoreng untuk dijadikan lauk dengan kelengkapan sajian
sambal uleg dan lalapan. Kuliner khas ini menjadi pesaing bagi ikan sungai
wader, yang populer pada sekitar Bendungan Selorejo di Ngantang Kabupaten
Malang. Sedangkan ‘deleg’ merupakan sebutan bagi ikan sungai yang cukup besar,
yang kurang gesit dalam gerak, sehingga mudah ditangkap. Dalam peribahasa
tersebut, uceng digunakan sebagai perumpamaan untuk hal-hal kecil yang
cenderung diurusi (ditangani)nya. Adapun deleg adalah perumpamaan untuk
kesempatan atau perolehan besar justru lepas perhatian.
Bisa juga uceng-deleg diartikan dengan
sumbu (unceng, uceng-uceng) dan lampu minyak kuno (deleg). Dalam arti ini,
peribahasa itu bisa dimaknai dengan keinginan yang menyala-nyala (diumpamakan
dengan ‘uceng’), namun tanpa disertai dengan fasilitas (diumpakan dengan
‘deleg’) yang memadai. Atau boleh juga dimaknai dengan sarana (diumpamakan
dengan ‘uceng’) tanpa prasarana (diumpamakan dengan ‘deleg’). Akibatnya, tidak
membuagkan fungsi nyata, sebab keduanya adalah komponen dalam sebuah sistem,
yang masing-masing musti ada dan saling mengkontribusikan fungsinya. Berkebalikkan
dengan itu adalah sikap dan tindakkan yang ambisius, terlampau tergiur pada
hal-hal besar yang padahal belum tentu bisa diraihnya. Sementara hal kecil yang
bisa didapat atau bahkan riil telah diperolehnya dikesampingkan atau diabaikan.
Hal demikian acap dihadapi seseorang dalam kehidupan nyata, utamanya ketika
dihadapkan pada sesuatu yang menggiurkan minat, sehingga mengundang ambisinya
untuk dapat meraihnya. Padahal, yang mempesona itu jauh dari kemungkinan untuk
bisa didapat, lantaran kapasitas dirinya terbatas. Akibatnya, hal kecil yang
memungkinkan atau bahkan telah diperoleh diabaikan, sementara hal besar yang
diidamkan tak mungkin dicapainya, Apabila demikian, maka yang didapatkan hanya
‘cotho (merugi)’ alias tidak memperoleh apa-apa, dan akibatnya cuma bisa
‘deleg-deleg (termnung menyesal)’.
Kedua sikap dan tidakan tersebut
disarakan untuk dihindari, kerasa sama-sama tidak menguntungkan. Dalam kalimat
peribahasa, tak terkecuali pada paribasan Jawa, binatang acap dijadikan sebagai
unsur dalam kalimat peribahasa. Seperti, kalimat ‘gajah di pelupuk mata tidak
tampak, kerbau congek, buaya darat, dsb.’. Pilihan untuk menggunakan unsur
binatang dalam peribahasa amat boleh jadi karena unik sehingga menggelitik
untuk disingkapkan maknanya, familer karena binatang itu berada di lingkungan
sekitar, dan karennya diharapkan bakal lebih meresap dalam ingatan. Walaupun
binatang dijadikan unsur pembentuk kalimat peribahasa, namun makna yang
terkadung di dalamnya ditujukan bagi manusia. Dengan perkataan lain, perilaku
spesifik dari binatang atau perlakuan manusia terhadapnya, diharapkan dapat
menjadi ‘wahana pendidikan atau petuah’ bagi manusia agar bersikap dan
bertindak bijak dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan contoh teladan
tersebut.
Uceng dan deleg adalah nama-nama ikan
air tawar (iwak kali). Sebutan ‘uceng’ diberikan kepada ikan kecil, seukuran
jari kelingking atau lebih kecil lagi, mirip anakan belut yang kecil-memanjang
dan biasanya hidup di arus deras. Oleh karena kecil dan berada di arus deras,
maka tidak mudah ditangkap dengan tangan telanjang. Pada dasawarsa terakhir,
ikan uceng menjadi kuliner khas di Kabupaten Blitar, khususya di daeah Wlingi
dan sekitarnya, yang digoreng untuk dijadikan lauk dengan kelengkapan sajian
sambal uleg dan lalapan. Kuliner khas ini menjadi pesaing bagi ikan sungai
wader, yang populer pada sekitar Bendungan Selorejo di Ngantang Kabupaten
Malang. Sedangkan ‘deleg’ merupakan sebutan bagi ikan sungai yang cukup besar,
yang kurang gesit dalam gerak, sehingga mudah ditangkap. Dalam peribahasa
tersebut, uceng digunakan sebagai perumpamaan untuk hal-hal kecil yang
cenderung diurusi (ditangani)nya. Adapun deleg adalah perumpamaan untuk
kesempatan atau perolehan besar justru lepas perhatian.
Bisa juga uceng-deleg diartikan dengan
sumbu (unceng, uceng-uceng) dan lampu minyak kuno (deleg). Dalam arti ini,
peribahasa itu bisa dimaknai dengan keinginan yang menyala-nyala (diumpamakan
dengan ‘uceng’), namun tanpa disertai dengan fasilitas (diumpakan dengan
‘deleg’) yang memadai. Atau boleh juga dimaknai dengan sarana (diumpamakan
dengan ‘uceng’) tanpa prasarana (diumpamakan dengan ‘deleg’). Akibatnya, tidak
membuagkan fungsi nyata, sebab keduanya adalah komponen dalam sebuah sistem,
yang masing-masing musti ada dan saling mengkontribusikan fungsinya.
Berkebalikkan dengan itu adalah sikap
dan tindakkan yang ambisius, terlampau tergiur pada hal-hal besar yang padahal
belum tentu bisa diraihnya. Sementara hal kecil yang bisa didapat atau bahkan
riil telah diperolehnya dikesampingkan atau diabaikan. Hal demikian acap
dihadapi seseorang dalam kehidupan nyata, utamanya ketika dihadapkan pada
sesuatu yang menggiurkan minat, sehingga mengundang ambisinya untuk dapat
meraihnya. Padahal, yang mempesona itu jauh dari kemungkinan untuk bisa
didapat, lantaran kapasitas dirinya terbatas. Akibatnya, hal kecil yang
memungkinkan atau bahkan telah diperoleh diabaikan, sementara hal besar yang
diidamkan tak mungkin dicapainya, Apabila demikian, maka yang didapatkan hanya
‘cotho (merugi)’ alias tidak memperoleh apa-apa, dan akibatnya cuma bisa
‘deleg-deleg (termnung menyesal)’.
Kedua sikap dan tidakan tersebut
disarakan untuk dihindari, kerasa sama-sama tidak menguntungkan. Dalam kalimat
peribahasa, tak terkecuali pada paribasan Jawa, binatang acap dijadikan sebagai
unsur dalam kalimat peribahasa. Seperti, kalimat ‘gajah di pelupuk mata tidak
tampak, kerbau congek, buaya darat, dsb.’. Pilihan untuk menggunakan unsur
binatang dalam peribahasa amat boleh jadi karena unik sehingga menggelitik
untuk disingkapkan maknanya, familer karena binatang itu berada di lingkungan
sekitar, dan karennya diharapkan bakal lebih meresap dalam ingatan. Walaupun
binatang dijadikan unsur pembentuk kalimat peribahasa, namun makna yang
terkadung di dalamnya ditujukan bagi manusia. Dengan perkataan lain, perilaku
spesifik dari binatang atau perlakuan manusia terhadapnya, diharapkan dapat
menjadi ‘wahana pendidikan atau petuah’ bagi manusia agar bersikap dan
bertindak bijak dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan contoh teladan
tersebut.