Kalender Jawa
Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua:
Siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, dan Siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran.
Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah (saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
![]() |
| Contoh Kalender Jawa |
Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II: seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (=Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.
Daftar bulan Jawa Islam
Di bawah ini disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil dari Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sansekerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra (lunar).
1. Sura
2. Sapar
3. Mulud
4. Bakda Mulud
5. Jumadilawal
6. Jumadilakir
7. Rejeb
8. Ruwah (Arwah, Saban)
9. Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan)
10. Sawal
11. Sela (Dulkangidah, Sela, Apit) *
12. Besar (Dulkijah)
Catatan :
Nama alternatif bulan Dulkangidah adalah Sela atau Apit. Nama-nama ini merupakan peninggalan nama-nama Jawa Kuna untuk nama musim ke-11 yang disebut sebagai Hapit Lemah. Sela berarti batu yang berhubungan dengan lemah yang artinya adalah “tanah”. Lihat juga di bawah ini.
Bulan Jawa Kalender Matahari.
Pada tahun 1855 Masehi, karena penanggalan komariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, dikodifikasikan oleh Sri Paduka Mangkunegara IV atau penggunaannya ditetapkan secara resmi. Sebenarnya pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang asli Jawa dan sudah digunakan pada zaman pra-Islam. Lalu oleh beliau tanggalnya disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya. Tetapi lama setiap mangsa berbeda-beda.
Pranata Mangsa (baca : panoto mongso) sebagai berikut :
- Kasa - (23 Juni-2 Agustus)
- Karo - (3 Agustus-25 Agustus)
- Katiga (Katelu) - (26 Agustus-18 September)
- Kapat - (19 September-13 Oktober)
- Kalima - (14 Oktober-9 November)
- Kanem - (10 November-22 Desember)
- Kapitu - (23 Desember-3 Februari)
- Kawolu - (4 Februari-1 Maret)
- Kasanga - (2 Maret-26 Maret)
- Kasepuluh - (27 Maret-19 April)
- Dhesta - (20 April-12 Mei)
- Sadha - (13 Mei-22 Juni)
Dalam bahasa Jawa Kuna mangsa kesebelas disebut hapit lemah sedangkan mangsa keduabelas disebut sebagai hapit kayu. Lalu nama dhesta diambil dari nama bulan ke-11 penanggalan Hindu dari bahasa Sansekerta jyes.t.ha dan nama sadha diambil dari kata âs.âd.ha yang merupakan bulan keduabelas.
Siklus Windu
Budaya Barat menggabung-gabungkan tahun-tahun kedalam kelompok 100 tahun (century, abad), dekade (10 tahun), maka kalender Jawa menggabungkan tahun-tahun menjadi semacam dekade yang terdiri dari delapan satuan lebih kecil dari abad atau dekade. Setiap satuan Jawa ini terdiri atas 8 tahun dan disebut Windu. Di bawah disajikan nama-nama windu :
- Alip
- Ehe
- Jimawal
- Je
- Dal
- Be
- Wawu
- Jimakir
Pembagian Pekan
Siklus Pekan hari dalam istilah umum adalah 7 hari. Pekan dalam bahasa Jawa adalah (peken : pasar), sehingga satu pekan adalah 5 hari pasaran.
Pada masa Pra-Islam, orang Jawa mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, namun dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama :
- dwiwara,
- triwara,
- caturwara,
- pañcawara (pancawara),
- sadwara,
- saptawara,
- astawara dan
- sangawara.
Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, namun di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih dipakai.
Pekan dalam arti Pasar, terdiri atas lima hari ini terdiri dari hari-hari :
- Legi,
- Paing,
- Pon,
- Wage, dan
- Kliwon.
Penggabungan antara Siklus 5 hari pasaran dengan Siklus 7 hari kalender matahari yang berarti (5 x 7) = 35 hari, disebut Selapan , mis : Selasa Pon, Minggu Pahing, dls pasti akan ketemu setiap 35 hari kedepannya. Jika budaya barat merayakan hari lahir setiap tahun sekali, maka Masyarakat Jawa memperingati hari kelahiran setiap 35 hari sekali yang dirayakan dengan acara "bancakan" dengan membuat Jenang Merah Putih atau "Nasi Megono" mengundang teman-teman sebaya.
Kemudian istilah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang juga dikenal di budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30 pekan. Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka muncul siklus baru lagi. Siklus ini yang secara total berjumlah 210 hari adalah semua kemungkinannya hari dari pekan yang terdiri atas 7, 6 dan 5 hari berpapasan.
Mengenal Kalender Jawa: Nama-nama Hari, Bulan, dan Tahun
Kalender Jawa merupakan sistem penanggalan yang masih kerap dipercaya oleh masyarakat Jawa. Biasanya kalender ini digunakan untuk menghitung atau menentukan hari baik pernikahan, membaca perwatakan maupun peruntungan.
Sama halnya dengan kalender Masehi, kalender Jawa juga memiliki 12 bulan di dalamnya. Namun, mengenai penamaan hari, bulan, dan tahun tidak sama dengan kalender Masehi. Pada tahun 2023 ini, merupakan tahun ke 1956 dalam kalender Jawa.
Menurut Ki T. Yasmiran, seorang ahli penanggalan Jawa dari Museum Radya Pustaka Solo, menjelaskan terdapat beberapa istilah yang kerap ditemukan dalam penanggalan Jawa dan perhitungannya, seperti hitungan pasaran atau lima harian, paringkelan atau enam harian, dan padinan atau tujuh harian, kombinasi ketiganya menghasilkan hitungan wuku yang bersiklus 210 hari.
Saptawara atau padinan terdiri atas tujuh hari bersamaan dengan siklus mingguan dalam kalender Masehi.
Nama Hari dalam Kalender Jawa
Berikut adalah nama-nama hari dalam kalender Jawa, terdapat 7 hari yang diberi nama berikut ini :
1. Radite-Ngahad-Minggu: Melambangkan meneng (diam)
2. Soma-Senen-Senin: Melambangkan maju
3. Hanggara-Selasa-Selasa: Melambangkan mundur
4. Buda-Rebo-Rabu: Melambangkan mangiwa (ke kiri)
5. Respati-Kemis-Kamis: Melambangkan manengen (ke kanan)
6. Sukra-Jemuwah-Jumat: Melambangkan munggah (ke atas)
7. Tumpak-Setu-Sabtu: Melambangkan tumurun (turun)
Nama Pasaran dalam Kalender Jawa
Adapun pancawara juga biasa disebut sebagai pasaran. Berikut nama-nama pasaran dalam kalender Jawa
1. Kliwon-Kasih: Melambangkan jumeneng (berdiri)
2. Legi-Manis: Melambangkan mungkur (ke belakang)
3. Pahing-Jenar: Melambangkan madhep (menghadap)
4. Pon-Palguna: Melambangkan sare (tidur)
5. Wage-Cemengan: Melambangkan lenggah (duduk)
Nama Bulan dalam Kalender Jawa.
Nama-nama bulan juga mengalami perubahan dan disesuaikan dengan bahasa orang Jawa, yaitu menjadi Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dzulqoidah, dan Besar.
Nama Tahun dalam Kalender Jawa.
Penamaan tahun dalam kalender Jawa memiliki siklus 8 tahun dengan 3 tahun wuntu atau panjang dan 5 tahun wastu atau pendek.
Berikut nama-nama tahun dalam satu windu (8 tahun /1 siklus).
1. Tahun pertama disebut tahun Alip (ا)
2. Tahun kedua disebut tahun Ehe (ه)
3. Tahun ketiga disebut tahun Jim Awal (ج)
4. Tahun keempat disebut tahun Ze (ز)
5. Tahun kelima disebut tahun Dal (د)
6. Tahun keenam disebut tahun Be (ب)
7. Tahun ketujuh disebut tahun Wawu (و)
8. Tahun kedelapan disebut tahun Jim Akhir (ج)
Cara Membaca Kalender Jawa.
Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, kalender bukan sekadar penunjuk tanggal. Kalender Jawa adalah sebuah sistem penanggalan yang kaya akan makna filosofis dan spiritual, serta masih dipakai hingga kini untuk berbagai keperluan, seperti menentukan hari baik untuk pernikahan dan memahami karakter seseorang.
Membaca kalender Jawa mungkin tampak rumit pada awalnya, tetapi sebenarnya cukup sederhana jika memahami komponen-komponen utamanya. Mari kita bahas cara membaca kalender Jawa dengan mudah!
Apa Itu Kalender Jawa ?
Kalender Jawa adalah sistem penanggalan yang unik karena menggabungkan dua siklus alam, yaitu pergerakan bulan terhadap bumi (lunar) dan pergerakan bumi mengelilingi matahari (solar).
Sistem gabungan yang disebut lunisolar ini menjadikannya berbeda dari kalender Masehi (solar) atau kalender Hijriah (lunar).
Sejarah mencatat, sistem penanggalan ini diperkenalkan dan disempurnakan pada masa pemerintahan Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1633 Masehi.
Tujuannya untuk menyatukan sistem penanggalan Saka berbasis matahari dengan sistem Hijriah yang berbasis bulan sehingga perayaan adat dan keagamaan dapat berjalan selaras.
Komponen Penting dalam Kalender Jawa.
Supaya bisa membacanya, kita perlu mengenal unsur-unsur utama yang ada di dalamnya.
1) Hari dan Pasaran Jawa (Pancawara)
Selain siklus tujuh hari (Saptawara) yang sama dengan kalender Masehi (Senin, Selasa, dst.), kalender Jawa memiliki siklus lima hari pasaran yang disebut Pancawara.
Saptawara (Siklus 7 Hari) :
1. Senin (Soma)
2. Selasa (Anggara)
3. Rabu (Budha)
4. Kamis (Respati)
5. Jumat (Sukra)
6. Sabtu (Tumpak)
7. Minggu (Radite)
Pancawara (Siklus 5 Hari Pasaran) :
1. Legi
2. Pahing
3. Pon
4. Wage
5. Kliwon
Kombinasi dari tujuh hari dan lima pasaran inilah yang disebut weton.
2) Bulan dalam Kalender Jawa (Wulan)
Satu tahun dalam kalender Jawa terdiri dari 12 bulan (wulan) dengan jumlah hari yang sedikit berbeda dari kalender Masehi. Nama-nama bulannya pun sangat khas :
1. Sura: 30 hari
2. Sapar: 29 hari
3. Mulud: 30 hari
4. Bakda Mulud: 29 hari
5. Jumadilawal: 30 hari
6. Jumadilakhir: 29 hari
7. Rejeb: 30 hari
8. Ruwah: 29 hari
9. Pasa: 30 hari
10. Sawal: 29 hari
11. Sela/Apit: 30 hari
12. Besar: 29 atau 30 hari (tergantung tahun kabisat Jawa)
3) Tahun (Taun) dan Windu
Kalender Jawa juga memiliki siklus tahunan yang unik. Setiap tahun memiliki nama spesifik dalam siklus delapan tahun yang disebut windu.
Nama-nama tahun tersebut adalah: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir.
Cara Membaca Kalender Jawa
Setelah mengenal komponennya, mari kita praktikkan cara membacanya. :
1. Menentukan Hari dan Pasaran
Cara paling mudah dengan melihat kalender Jawa yang sudah jadi. Di sana akan tertera tanggal Masehi beserta padanan hari dan pasarannya.
Contohnya, tanggal 21 Oktober 2025 mungkin akan tertulis sebagai Selasa Kliwon.
2. Menghitung Weton
Weton adalah gabungan antara hari kelahiran (dari siklus 7 hari) dan hari pasaran (dari siklus 5 hari). Misalnya, jika seseorang lahir pada hari Selasa dan pasaran Kliwon, maka wetonnya adalah Selasa Kliwon.
Weton inilah yang menjadi dasar dari banyak interpretasi dalam primbon Jawa, mulai dari watak, nasib, hingga kecocokan jodoh.
3. Menafsirkan Makna Hari dan Pasaran
Menafsirkan makna hari lahir merupakan salah satu penggunaan kalender Jawa untuk keperluan pribadi. Proses ini dilakukan dengan menghitung neptu, yaitu nilai atau angka yang diberikan pada setiap hari (Saptawara) dan pasaran (Pancawara).
Jumlah dari kedua neptu inilah yang menjadi dasar untuk melihat watak, peruntungan, hingga kecocokan jodoh seseorang.
Setiap hari dan pasaran memiliki nilai neptu sebagai berikut :
Nilai Neptu Hari (Saptawara)
Nilai Neptu Pasaran (Pancawara)
Mari kita ambil contoh seseorang yang lahir pada hari Selasa Kliwon.
Cari Nilai Neptu Hari: Berdasarkan tabel, hari Selasa memiliki neptu 3.
Cari Nilai Neptu Pasaran: Pasaran Kliwon memiliki neptu 8.
Jumlahkan Keduanya: Total neptu weton (atau bobot weton) dihitung dengan menjumlahkan nilai hari dan pasaran. 3 (Selasa) + 8 (Kliwon) = 11
Jadi, weton Selasa Kliwon memiliki total neptu 11.
Dalam primbon Jawa, angka 11 ini kemudian digunakan sebagai acuan untuk menafsirkan berbagai hal. Sebagai contoh, orang dengan neptu 11 sering digambarkan memiliki watak yang cerdas, berwibawa, dan tidak suka diatur.
Banyak situs web atau aplikasi konversi yang bisa digunakan untuk mencari weton dari tanggal lahir Masehi kamu.
Fungsi dan Makna Kalender Jawa dalam Kehidupan
Di era modern, Kalender Jawa masih memegang peranan penting, terutama dalam konteks budaya.
1. Fungsi Sosial dan Budaya
Kalender ini menjadi acuan utama untuk menentukan hari baik (hari baik) untuk menyelenggarakan acara-acara penting, seperti pernikahan, pindah rumah, memulai usaha, hingga upacara adat.
2. Pelestarian Kearifan Lokal
Penggunaan kalender Jawa adalah salah satu cara masyarakat menjaga warisan dan kearifan lokal. Cerminan dari hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan yang diajarkan oleh para leluhur.
Dengan memahami cara membacanya, kita turut mempelajari sistem penanggalan sekaligus berperan menjaga dan melestarikan salah satu warisan budaya Nusantara.
Kalender Jawa Sultan Agungan

Kalender Sultan Agungan yang Dipakai Dalam Lingkungan Keraton Yogyakarta
Kalender ini disebut sebagai Anno Javanica. Prinsip utama Kalender Sultan Agungan adalah hitungan 5 hari (pasaran), 6 hari (paringkelan), 7 hari (minggu), siklus 35 hari (7×5) (mongsowuku), siklus 210 hari (30×7) (pawukon), 29-30 hari (bulan), 354-355 hari (tahun) dan siklus delapan tahun (windu).
Terdapat dua sistem penanggalan yang digunakan oleh Keraton Yogyakarta, kalender Masehi dan kalender Jawa. Kalender Masehi digunakan agar urusan administrasi keraton dapat selaras dengan kegiatan sehari-hari masyarakat umum, sedang kalender Jawa digunakan sebagai patokan bagi upacara-upacara adat yang diselenggarakan oleh keraton.
Kalender Jawa juga disebut sebagai Kalender Sultan Agungan karena diciptakan pada pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Sultan Agung adalah raja ketiga dari Kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India. Kalender Saka didasarkan pergerakan matahari (solar), berbeda dengan Kalender Hijriyah atau Kalender Islam yang didasarkan pada pergerakan bulan (lunar). Oleh karena itu, perayaan-perayaan adat yang diselenggarakan oleh keraton tidak selaras dengan perayaan-perayaan hari besar Islam.
Sultan Agung menghendaki agar perayaan-perayaan tersebut dapat bersamaan waktu. Untuk itulah diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriyah. Sistem penanggalan inilah yang kemudian dikenal sebagai kalender Jawa atau kalender Sultan Agungan. Kalender ini meneruskan tahun Saka, namun melepaskan sistem perhitungan yang lama dan menggantikannya dengan perhitungan berdasar pergerakan bulan. Karena pergantian tersebut tidak mengubah dan memutus perhitungan dari tatanan lama, maka pergeseran peradaban ini tidak mengakibatkan kekacauan, baik bagi masyarakat maupun bagi catatan sejarah.
Siklus Hari pada Penanggalan Jawa.
Tahun Jawa, atau tahun Jawa Islam Sultan Agung, memiliki berbagai macam siklus. Siklus harian yang masih dipakai sampai saat ini adalah saptawara ( siklus tujuh hari) dan pancawara (siklus lima hari). Saptawara, atau padinan, terdiri dari Ngahad (Dite), Senen (Soma), Selasa (Anggara), Rebo (Buda), Kemis (Respati), Jemuwah (Sukra), dan Setu (Tumpak). Siklus tujuh hari ini sewaktu dengan siklus mingguan pada kalender Masehi; Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat,dan Sabtu.
Pancawara terdiri dari Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar), Pon (Palguna), dan Wage (Cemengan). Pancawara juga biasa disebut sebagai pasaran. Siklus ini dahulu digunakan oleh pedagang untuk membuka pasar sesuai hari pasaran yang ada. Karena itu kini banyak dikenal nama-nama pasar yang menggunakan nama pasaran tersebut, seperti Pasar Kliwon, Pasar Legi, Pasar Pahing, Pasar Pon, dan Pasar Wage.
Selain pancawara dan saptawara, masih ada siklus 6 hari yang disebut sadwara atau paringkelan. Walau kadang masih digunakan dalam pencatatan waktu, paringkelan tidak digunakan dalam menghitung jatuhnya waktu upaca-upacara adat di keraton. Paringkelan terdiri dari Tungle, Aryang, Warungkung, Paningron, Uwas, dan Mawulu.
Siklus Bulan pada Penanggalan Jawa.
Seperti pada penanggalan lainnya, kalender Jawa memiliki dua belas bulan. Bulan-bulan tersebut memiliki nama serapan dari bahasa Arab yang disesuaikan dengan lidah Jawa; Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Umur tiap bulan berselang-seling antara 30 dan 29 hari.
![]() |
| Prosesi Garebeg tahun Dal yang Dilaksanakana Setiap 8 Tahun Sekali |
Siklus Tahun pada Penanggalan Jawa
Satu tahun dalam kalender Jawa memiliki umur 354 3/8 hari. Untuk itu terdapat siklus delapan tahun yang disebut sebagai windu. Dalam satu windu terdapat delapan tahun yang masing-masing memiliki nama tersendiri; Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Tahun Ehe, Dal, dan Jimakir memiliki umur 355 hari dan dikenal sebagai tahun panjang (Taun Wuntu), sedang sisanya 354 hari dikenal sebagai tahun pendek (Taun Wastu). Pada tahun panjang tersebut, bulan Besar sebagai bulan terakhir memiliki umur 30 hari.
Selain itu, terdapat siklus empat windu berumur 32 tahun di mana nama hari, pasaran, tanggal, dan bulan akan tepat berulang atau disebut tumbuk. Keempat windu dalam siklus itu diberi nama Kuntara, Sangara, Sancaya, dan Adi. Tiap windu tersebut memiliki lambang sendiri, Kulawu dan Langkir. Masing-masing lambang berumur 8 tahun, sehingga siklus total dari lambang berumur 16 tahun.
Meski demikian, masih ada perbedaan perhitungan antara tahun Jawa dan tahun Hijiriyah. Tiap 120 tahun sekali, akan ada perbedaan satu hari pada kedua sistem penanggalan tersebut. Maka pada saat itu tahun Jawa diberi tambahan satu hari. Periode 120 tahun ini disebut dengan khurup. Sampai awal abad 21 ini, telah terdapat empat khurup; Khurup Jumuwah Legi/Amahgi (1555 J-1627 J/1633 M-1703 M), Khurup Kemis Kliwon/Amiswon (1627 J-1747 J/1703 M-1819 M), Khurup Rebo Wage/Aboge (1867 J-1987 J/1819 M-1963 M), dan Khurup Selasa Pon/Asapon (1867 J-1987 J/1936 M-2053 M). Nama khurup yang berlangsung mengacu pada jatuhnya hari pada tanggal 1 bulan Sura tahun Alip. Pada Khurup Asapon, tanggal 1 bulan Sura tahun Alip akan selalu jatuh pada hari Selasa Pon selama kurun waktu 120 tahun.
Wuku dan Neptu
Terkait dengan penanggalan Jawa, dikenal pula periode waktu yang dianggap menentukan watak dari anak yang dilahirkan seperti halnya pada astrologi yang terkait dengan kalender Masehi. Periode ini disebut Wuku dan ilmu perhitungannya disebut sebagai Pawukon. Terdapat 30 Wuku yang masing-masing memiliki umur 7 hari, sehingga satu siklus Wuku memiliki umur 210 hari yang disebut Dapur Wuku.
Selain Wuku, terdapat juga Neptu yang digunakan untuk melihat nilai dari suatu hari. Ada dua macam Neptu, Neptu Dina dan Neptu Pasaran. Neptu Dina adalah angka yang digunakan untuk menandai nilai hari-hari pada saptawara, sedang Neptu Pasaran digunakan untuk menandai nilai hari-hari pada pancawara. Nilai-nilai ini digunakan untuk menghitung baik buruknya hari terkait kegiatan tertentu juga perwatakan seseorang yang lahir pada hari tersebut.
Kalender Sultan Agungan yang dimulai pada Jumat Legi tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 J, atau 1 Muharram 1043 H, atau 8 Juli 1633. Peristiwa ini terdapat pada Windu Kuntara Lambang Kulawu dan ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi “Jemparingen Buta Galak Iku” (Panahlah raksasa buas itu).
Sejak saat itu, Kerajaan Mataram dan penerusnya mampu menyelenggarakan perayaan-perayaan adat seirama dengan hari-hari besar Islam. Upacara-upacara tradisi seperti Garebeg tidak menjadi halangan bagi perkembangan Islam, namun malah dimanfaatkan sebagai syiar agama itu sendiri. Sistem penanggalan baru ini merupakan upaya seorang pemimpin yang berpandangan jauh ke depan untuk menggabungan dua arus peradaban pada masa itu, sebuah rekonsilasi antara gelombang kebudayaan Islam dengan peradaban pra Islam. Peradaban baru yang kini dikenal sebagai Mataram Islam.
Sumber Referensi :
- Wikipedia, ensiklopedia bebas
- Pigeaud, Th., 1938, Javaans-Nederlands Woordenboek. Groningen-Batavia: J.B. Wolters
- Ricklefs, M.C., 1978, Modern Javanese historical tradition: a study of an original Kartasura chronicle and related materials. London: School of Oriental and African Studies, University of London
- KRT Rintaiswara. 2015. Tahun Jawa Islam Sultan Agungan. Yogyakarta: KHP Widyabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
- Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Imajiner Nuswantoro





