BABAD PASEK
Babad Pasek adalah naskah lontar dalam tradisi Bali yang menceritakan sejarah, silsilah, dan kisah leluhur dari klan atau marga Pasek, yang diperkirakan berasal dari keturunan Mpu Sanak Pitu dari Majapahit. Naskah-naskah ini berfungsi sebagai catatan sejarah keluarga dan seringkali disalin secara turun-temurun untuk melestarikan identitas dan pengetahuan leluhur, seperti "Babad Pasek Gelgel" dan "Babad Pasek Bandesa".
Isi dan Fungsi
- Sejarah dan silsilah: Babad Pasek mendokumentasikan asal-usul, perjalanan, dan perkembangan keturunan para leluhur Pasek.
- Identitas dan warisan budaya: Naskah ini sangat penting bagi masyarakat Bali untuk mengetahui leluhur mereka, menumbuhkan rasa identitas, dan menghubungkan generasi muda dengan masa lalu.
- Catatan peristiwa: Selain silsilah, babad ini juga memuat kisah-kisah tentang peristiwa penting yang dialami oleh leluhur, yang seringkali diceritakan dengan unsur magis dan legendaris.
- Berbagai jenis: Terdapat berbagai versi babad, seperti "Babad Pasek Gelgel" dan "Babad Pasek Dukuh Sebun," yang masing-masing mencatat sejarah dan keturunan dari wilayah atau cabang keluarga yang berbeda.
Asal-usul dan Perkembangan
- Keturunan Mpu Sanak Pitu: Babad Pasek mengaitkan keturunan Pasek dengan para resi (Mpu) yang datang ke Bali atas permohonan Patih Gajah Mada dari Majapahit.
- Penyebaran: Keturunan para resi ini kemudian menyebar dan mendirikan berbagai marga atau ättä (grup) di Bali, seperti Pasek Gelgel, Pasek Denpasar, Pasek Bandesa, dan lainnya.
- Penggunaan gelar: Seiring waktu, istilah "Pasek" tidak hanya digunakan oleh keturunan para resi, tetapi juga diadopsi oleh warga lain sebagai gelar untuk pemimpin atau pengurus.
Cara Pelestarian
- Penyalinan: Naskah-naskah babad ini disalin dari lontar (daun lontar) ke generasi berikutnya untuk menjaga kelestariannya.
- Pengarsipan: Beberapa naskah disimpan dan didokumentasikan di perpustakaan atau pusat dokumentasi, seperti yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Isi Singkat Babad Pasek
Mulai dari jaman Bahari di mana di Bali masih keadaan guncang maka Bhatara Pasupati memerintahkan putranya 3 orang untuk mengukuhkan Bali. Ketiga putra ini yang nantinya menurunkan para Brahmana dan para Mpu di Jawa dan Bali.
Diceriterakan di Majapahit diperintah oleh Sri Aji Majalangu dengan Maha patih Yang terkenal Kryan Gajah Mada. Pada suatu ketika Sang Prabu Majapahit didatangi oleh para Mpu untuk memohon Raja di Bali. Hal ini diterima dan dipikirkan agar kelak Bali menjadi kerajaan yang kuat dan berwibawa. Setelah itu Kryan Gajah Mada mengusulkan kepada Sri Aji Majalangu untuk diangkatnya putra-putra dari Mpu Kepakisan karena dipandang cocok dan penuh bijaksana. Hal ini diterima, lalu diangkatnya yang tertua di Blangbangan, yang kedua di Pasuruhan dan yang wanita di Sumbawa serta yang bungsu di Gelgel. Putra yang bungsu bernama Sri Aji Kresna Kepakisan pergi ke Gelgel/ Samprangan dengan diiringkan oleh para Arya seperti Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Tan Wikan, Arya Kuta Waringin yang nantinya menurunkan para Ksatria di Bali. Dan juga tidak ketinggalan para Wesya seperti Tan Kawur, Tan Kober, Tan Mundur yang selalu setia kepada Dalem Gelgel sehingga mendapat kepercayaan. Setelah beberapa hari kemudian datang juga Arya Gajah Para dan bertempat di Tianyar. Memang sebelumnya di Bali telah dihuni oleh para Brahmana dan keturunan Ksatria dari Jawa. Sri Aji Kresna Kepakisan sangat bijaksana, semua para ksatria diberikan sawah dan wilayah serta dituntut untuk tetap bakti kepada Dalem. Lambat-laun Kiyai Pasek Agung Gelgel mengembang banyak yang mana telah berjanji/ bersumpah mengabdikan dirinya serta menjadi kaki tangan Dalem, maka diberikan tugas mengatur Bale Agung di pelosok desa di Bali.
Diceritakan De Gurun Pasek Gelgel mempunyai 2 orang anak yang bernama De Gurun Pasek Gelgel yang memerintah dan mengatur Bale Agung di desa Gelgel, dan adiknya De Pasek Togog mengatur di. Besakih dan bermukim di Muntig, kemudian De Gurun Pasek Gelgel mempunyai putra I Dukuh Ambengan, I Dukuh Subudi dan yang bungsu I Dukuh Bunga. Ada pun De Dukuh Ambengan menurunkan Ki Dukuh Prawangsa.
Lagi anak I Gusti Pasek Agung Gelgel yang lahir dari I Luh Tangkas Koriagung mempunyai 4(empat) orang laki-laki seperti I Tangkas Koriagung, I Nyoman Pasek Tangkas, I Bandesa Tangkas dan I Pasek Bandesa Tangkas Koriagung. Ada pun turunan I Pasek Agung Gelgel yang menjadi penghulu Bale Agung di desa-desa adalah I Pasek Budaga, De Pasek Sangkan Bhuwana, De Pasek Mandwang, De Pasek Aan, De Pasek Akah, De Pasek Gobleg, De Pasek Bebetin, dan De Pasek Depaa. Semua Pasek- Pasek ini menurunkan keturunan yang menyebar ke desa-desa seperti De Pasek Akah menurunkan 3 orang putra dan De Pasek Gelgel menurunkan De Pasek Muntig, De Pasek Babi, De Pasek Tista, De Pasek Denpasar, De Pasek Watudawa, De Pasek Tulamben, De Pasek Marga, dan De Pasek Kekeran. Tetapi De Pasek Toh Jiwa dan keturunannya menjaga bumi Tohjiwa.
Kini turunan Kyayi Pasek Subadra dipindahkan dari Gelgel dan diserahi tugas menyelenggarakan upacara di Silayukti. Dan De Pasek Dukuh Suladri menjadi pemangku di Pura Dalem di Suladri dan dari sana lah menyebar keturunannya.
Dan De Pasek Kusamba, De Pasek Baleagung Bangli dan saudara-saudaranya yang menurunkan keturunan Kiyai Pasek Agung Padang Subadra. Dan juga turunan-turunan De Pasek Tatar. Dengan demikian banyak keturunan Pasek di Bali yang memerintah dan memegang Kapasekan di Baleagung di seluruh Bali.
Diceriterakan kisah ekspedisinya Danghyang Nirartha dari Blangbangan ke Bali menuju Gelgel dan mendirikan ajaran agama serta parhyangan-parhyangan seperti Pura Pulaki.
Banyak para Brahmana yang datang ke Bali yang memang dari leluhurnya bersaudara seperti Danghyang Sidhimantra yang berputra Manik Angkeran yang selanjutnya menurunkan keturunan Brahmana di Bali.
Dengan pemerintahan Dalem Di Made di Gelgel, maka De Bandesa Pasek Tangkas diperintahkannya untuk menjadi Bandesa di seluruh desa-desa, Baleagung di Bali serta di berikan imbalan tanah (pelabaan desa). Mulai kini lah dibagikan wilayahnya Kapasekan kepada Pasek seperti di sebelah utara Gelgel Gunung Agung diberikan kepada De Pasek Tohjiwa dan duduk di Tulamben. Keempat putra dari De Pasek Padang Subadra di Banjar Carukcuk, I Wayan Gaduh di Banjar Batugiling. I Gede Tangkas Jaya di Banjar Sibetan, De Wayan Gelgel di Banjar Caniga sebelah Barat Laut Baleagung. De Pasek Kubakal di Banjar Dalundungan, De Wayan Kadangkan di Banjar Desa, De Pasek Tatar di Banjar Peken. Tetapi De Pasek Prateka melakukan tapa bratayoga samadi di Gunung Gamongan, serta Pasek Dukuh Belatung di desa Belatung sebagai tegal pegagaan.
Pada babad ini juga diceriterakan dan dipaparkan pemerintahan Dalem dengan para patih, Manca, Brahmana serta keturunannya sampai hancur dan runtuhnya Dalem. Di samping itu juga perselisihan di antara putra Dalem, para Ksatria, dan juga kepercayaan terhadap Brahmana dan pendeta yang semakin merosot.
Keterangan :
Nama/ Judul Babad : Babad Pasek
Nomor/ kode : Va. 963/6 Gedong Kirtya, Singaraja.
Koleksi : Nang Bintit, Tegal Jadi (Marga).
Alamat : Tegal Jadi, Marga, Tabanan.
Bahasa : Jawa Kuna.
Huruf : Bali
Jumlah halaman : 137 halaman, 4 baris, panjang 50 cm, lebar 4 cm,
Ditulis oleh : I Gede Subrata.
Colophon/ Tahun :
Sumber referensi :
- Ida I Dewa Gde CatraJalan Untung Surapati Gg. Flamboyan No.2 Amlapura, Karangasem BALI
BABAD PASEK
Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.
LAHIRNYA PANCA TIRTHA
Mari kita kembali kepada hal-hal yang terjadi di Puncak Tohlangkir. Pada tahun Çaka 27 (th 105 M) Gunung Agung meletus lagi dengan sangat hebatnya, entah hal-hal apa yang terjadi pada waktu itu. Beberapa tahun kemudian, tahun Çaka 31 (th 109 M), Betara Tiga beryoga di Puncak Tohlangkir (Gunung Agung), untuk membersihkan Nusa Bali tepatnya pada hari Anggara (Selasa) Kliwon, wara Kulantir, dikala bulan Purnama raya, Sasih Kelima, atas kekuatan yoga Betara Tiga, Gunung Agungpun meletus lagi dengan sangat hebatnya.
Memang Dewata telah mengatur sedemikian rupa, setiap upacara besar keagamaan di Baliyang besifat umum, Gunung Agung tetap meletus atau paling tidak akan terjadi gempa bumi. Setelah upacara pembersihan Nusa Bali, pada tahun Çaka 31 itu juga Gunung Agung masih meletus, pada hari yang sangat baik, Betara Tiga di Puncak Tohlangkir, sama bertujuan agar mempunyai putra, maka Betara Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya beryoga dengan sangat hebatnya, menghadapi api pedipaan, betapa alunan suaranya bunyi genta, hujan kembang dari angkasa.
Akibat dari kekuatan / kesucian yoganya Betara kalih, Gunung Agung menambah hebat letusannya lagi, keluar banjir api dari lubang kepundannya, kilat, gempa berkesinambungan, hujan sangat lebatnya, dentuman-dentuman suara letusan tiada hentinya. Maka dari kekuatan yoga Hyang Agni Jaya, keluar dari Panca Bhayunya seorang laki-laki bernama Mpu Withadharma. Alkisah Mpu Withadharma alias Çri Mahadewa melakukan yoga semadi dengan teguh dan disiplin. Dari kekuatan Panca Bhayunya lahirlah dua orang anak laki-laki dan diberi nama Mpu Bhajrasattwa alias Mpu Wiradharma dan adiknya diberi nama Mpu Dwijendra alias Mpu Rajakertha.
Mpu Dwijendra kemudian melakukan yoga semadhi. Berkat yoga semadhinya itu, lahirlah dua orang anak laki-laki, yang sulung bernama Gagakaking alias Bukbuksah dan adiknya bernama Brahmawisesa. Selanjutnya, Brahmawisesa melakukan yoga semadhi, dari kekuatan Panca Bhayunya, lahirlah dua anak laki-laki, masing-masing bernama Mpu Saguna dan Mpu Gandring. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring sendiri. Sedang Mpu Saguna, dari yoga semadhinya melahirkan seorang putra laki-laki bernama Ki Lurah Kepandean, yang selanjutnya menurunkan Wang Bang yaitu Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande).
Adapun Mpu Bhajrasattwa, berkat yoga semadhinya, menurunkan seorang putra bernama Mpu Tanuhun alias Mpu Lampitha. Kemudian Mpu Tanuhun juga melakukan yoga semadhi, kemudian dari kekuatan bhatin dan Panca Bhayunya, beliau menurunkan lima orang putra yang juga dikenal dengan sebutan Panca Tirtha (Panca Sanak). Kelima putranya tersebut antara lain :
1. Sang Brahmana Panditha (Mpu Gni Jaya).
2. Mpu Mahameru (Mpu Semeru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5. Mpu Beradah (Peradah)
Semua telah menjadi wiku. Semenjak beliau masih kecil-kecil, semuanya tekun menjalankan swadharmanya masing-masing.
Selanjutnya dari yoga Hyang Putra Jaya, lahir dua orang putra putri masing-masing bernama, yang laki bernama Betara Ghana dan yang perempuan bernama Betari Manik Gni. Ketujuh putra-putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya, pergi ke Gunung Semeru, menghadap Hyang Pasupati, untuk memperdalam ajaran agama dan kependetaan. Setelah sama dewasa dan telah sama tamat dalam hal menuntut ilmu, maka Betari Manik Gni dikawini oleh Sang Brahmana Panditha, sejak perkawinannya itu Sang Brahmana Panditha, berganti nama Mpu Gni Jaya. Setelah sekian lama putra putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya berada di Gunung Semeru, pada suatu hari yang baik, Hyang Pasupati bersabda kepada cucu-cucunya, sabda Betara Kasuhun: “Wahai cucu-cucuku semua, kamu telah sama dewasa dan telah tamat dari menuntut ilmu, demikian juga telah sama menjadi Pendeta, aku memberi ijin kepadamu untuk kamu kembali ke Nusa Bali menghadap orang tuamu, turut menjaga Nusa Bali”. Demikian sabda Hyang Pasupati.
Imajiner Nuswantoro



