SENGKALAN DAN CANDRASENGKALA
Sengkalan atau candrasengkala adalah susunan kata-kata yang mempunyai arti atau makna perhitungan tahun. Candrasengkala terdiri dari dua kata yaitu Candra yang artinya sebutan, nama dan Sangkala yang artinya hitungan tahun.
Sengkala sebuah bentuk tulisan atau prasasti di mana huruf-huruf tertentu mewakili angka, sehingga jika dibaca secara khusus, huruf-huruf tersebut menunjukkan tanggal tertentu.
Sengkala atau sengkalan adalah sandi penulisan tahun dengan kalimat yang tiap kata atau bendanya merupakan perlambangan dari suatu angka. Berdasarkan susunan benda pada kalimat yang bersangkutan, sengkalan kemudian dapat diwujudkan dalam bentuk visual menjadi gambar yang melambangkan suatu tahun spesifik. Penggunaan sandi ini, secara umum dikenal sebagai kronogram, dapat ditemukan dalam beberapa budaya Asia Tenggara termasuk salah satunya dalam budaya Jawa dan Bali.
Jenis
Menurut bentuknya, terdapat dua sengkala, yaitu sengkala memet dan sengkala lamba. Sengkala memet menggunakan gambar atau benda, sementara sengkala lamba menggunakan kata-kata.
Menurut jenis kalender yang digunakan, terdapat surya sangkala dan candra sangkala. Surya sangkala menggunakan kalender gregorian yang berdasarkan perhitungan matahari, sementara candra sengkala menggunakan perhitungan bulan, seperti tahun saka, tahun Jawa, atau tahun Hijriah.
Sistem Sandi
Prinsip dasar dari sengkalan merupakan pengalihan atau subtitusi bilangan dari 0 hingga 9 dengan suatu kata yang mensimbolisasikan bilangan tersebut. Terdapat beragam kata yang dapat digunakan untuk mensubtitusikan tiap bilangan, namun asosiasi antar kata dan bilangan tidaklah selalu jelas dan dapat memiliki banyak intepretasi. Berikut contoh beberapa kata yang dapat ditemukan dalam sandi sengkalan Jawa :
Contoh Sengkala
Peresmian Museum Dewantara Kirti Griya ditandai dengan candra sengkala 'Miyat Ngaluhur Trusing Budi'. 'Miyat'=2, 'ngaluhur'=0, 'trusing'=9, 'budi'=1. Angka ini harus dibaca dari belakang, sehingga menunjukkan angka tahun 1902 Jawa. Sengkala tersebut termasuk sengkala lamba, karena hanya disimbolkan dengan kata-kata.
Bangunan Masjid Syuhada Yogyakarta termasuk sengkala memet, karena pada bangunannya terkandung makna angka 17-8-1945. Hal tersebut digambarkan dalam bagian-bagian penting bangunan seperti 17 anak tangga di bagian depan, delapan segi tiang gapura dan empat kupel bawah serta lima kupel atas. Simbol ini termasuk surya sengkala karena menggunakan penanggalan berdasar matahari.
Dalam sastra Bali, sengkala umum digunakan pada babad dan catatan sejarah. Salah satu contohnya misal dari naskah Babad Gumi:
ᬩᬩᬤ᭄ᬓᬯᭀᬦ᭄ᬩᬮᬫ᭄ᬩᬗᬦ᭄᭞ᬦᭀᬭᬢᬶᬗ᭄ᬳᬵᬮ᭄ᬪᬹᬢ᭄ᬣᬢᬸᬗ᭄ᬕᬮ᭄᭞᭑᭕᭒᭐᭟᭜᭟
Babad kawon Balambangan, nora tinghāl bhūttha tunggal, 1520
Gugurnya Balambangan, nora=0 tinghāl=2 bhūttha=5 tunggal=1, 1520 śaka (setara dengan 1598 masehi).
Kejadian ini merupakan salah satu kejadian pertama dalam babad ini yang tahunnya dapat dipastikan benar dengan membandingkan sumber sejarah Eropa pada masa yang sama. Pada akhir tahun 1596 masehi, penguasa Muslim Pasuruan mulai bertempur dengan penguasa Hindu Balambangan-Panarukan, suatu daerah di ujung timur pulau Jawa. Ketika penjelajah Belanda singgah di Bali pada Februari 1597, raja Gelgel Bali sedang membentuk pasukan besar sebagai upaya untuk menolong penguasa Balambangan. Upaya ini tampaknya gagal karena pada awal tahun 1601 Belanda mencatat bahwa beberapa tahun yang lalu pasukan Pasuruan telah berhasil menjatuhkan Balambangan dan memusnahkan keluarga kerajaannya.
Sengkalan merupakan rangkaian kata-kata menjadi kalimat panjang yang memiliki makna, yang juga menandakan tahun perhitungan tahun jawa. Dalam tradisi jawa biasanya tahun dihitung menggunakan peredaran bulan, yang dalam bahasa jawa disebut , candra. Bermula dari sinilah kemudian susunan kata-kata menjadi rangkaian kalimat panjang yang menjadi penanda tahun tersebut disebut Candra sengkala.
Penunjukan dan pemaknaan dalam Sengkalan tersebut didasarkan menurut watak (sifat) setiap kata atau kalimat yang masing-masin bermakna angka tertentu. Tata cara pembacaan angka tahunnya dimulai dari belakang.
Menurut bentuk wujudnya, Sengkalan dibedakan menjadi 2 macam :
1. Berupa rangkaian kata menjadi kalimat disebut dengan Sengkalan Lamba.
2. Berupa rangkaian gambar lukisan yang disebut dengan Sengkalan Memet.
Adapun beberapa contoh Watak (sifat) setiap kata adalah sebagai berikut :
Watak 1 : Gusti Allah, Nabi, Janma, Srengenge, Rembulan, Bumi, Lintang, Sirah, Gulu, Nata, Irung, Ati, Bunder, Iku, Urip, Aji, Praja, Tunggal, Wutuh, Nyata, Eko, lsp.
Watak 2 : Tangan, Suku, Mripat, Swiwi, Alis, Penganten, Kembar, Nembah, Nyawang, Nyekel, Mireng, Lumaku, Mabur, Dwi lsp.
Watak 3 : Geni, Murub, Panas, Putri, Estri, Welut, Jurit, Kaya, Lir, Guna, Cacing, Sorot, Tri, lsp.
Watak 4 : Banyu, Segara, Kali, Kreta, Keblat, Karya, Bening, Brahmana, Satriya, Sudra, Catur, lsp.
Watak 5 : Buta, Angin, Alas, Jemparing, Tata, Pandawa, Panca, lsp.
Watak 6 : Rasa (legi, pait, asin), Tawon, Lemut, Obah, Wayang, Mangsa, Kayu, Sad,lsp
Watak 7 : Gunung, Tunggangan, Pandita, Swara, Guru, Mulang, Sapta, lsp.
Watak 8 : Gajah, Naga, Baya, Wasu, Pujangga, Tekek, Kadal, Ngesthi, Wanara, Astha,lsp.
Watak 9 : Lawang, Gapura, Guwa, Jawata, Menga, Ganda, Terus, Nawa,lsp.
Watak 0 : Suwung, Sirna, Rusak, Tanpa, Ilang, Mati, Muluk, Duwur, Awang-awang, Suwarga, Langit, Adoh, Dasa, lsp.
Contoh penggunaan Sengkalan atau Candra Sekala sepaerti :
1. Gapura Trus Gunaning Janmi
9 9 3 1 Menjadi 1399 tahun Jawa menunjukkan berdirinya Masjid Demak
2. Naga Muluk Tinitihan Janma
8 0 7 1 Menjadi 1708 tahun Jawa menunjukkan berdirinya panggung Sanggabuwana di pelataran Kraton Surakarta
3. Sirna Ilang Kretaning Bumi
0 0 4 1 Menjadi 1499 tahun Jawa atau tahun Saka atau tahun 1478 M tahun runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Penjelasan Sengkalan yang lain adalah sebagai berikut :
Dalam Bahasa Jawa, tembung sengkala berarti :
1) kecelakaan, halangan,
2) angka tahun yang dilambangkan dengan kata-kata, atau gambar yang mempunyai makna. Dalam artikel ini, akan dibahas sengkala dalam arti angka tahun yang dilambangkan dengan kata-kata atau gambar yang mempunyai makna.
Kata sengkalan ini berasal dari kata saka , dan kala . Saka adalah nama suku (Caka ) dari India yang pernah migrasi ke Jawa, dan kala yang berarti waktu, atau tahun. Jadi saka kala berarti Tahun Saka. Tahun Saka dimulai sejak Raja Saliwahana, Ajisaka, naik tahta, pada tahun 78 Masehi. Tembung saka berubah bunyi menjadi sangka , lalu berubah menjadi sengka. Tembung sengka diikuti tembung kala , menjadi sengkala .
Ada surya sengkala , yaitu sengkalan yang dibuat berdasar kalender surya (solar calendar), misalnya Tahun Masehi. Ada juga candra sengkala yang dibuat berdasar kalender bulan (lunar calendar ), misalnya kalender Islam Hijriyah atau Kalender Jawa. Sengkalan boleh memakai kalender Masehi, Islam, atau Jawa.
Sengkalan dapat dipakai untuk menandai lahirnya seseorang, berdirinya suatu lembaga, daerah, kota, negara, atau berdirinya suatu bangunan (istana, kantor, gapura). Bisa juga untuk menandai kematian, berakhir, bubar, atau ditutupnya suatu lembaga.
Ada sengkalan lamba, miring, memet , dan sastra . Sengkalan lamba mempergunakan kata-kata yang sederhana , misalnya "Buta Lima Naga Siji". Buta berwatak 5, lima berwatak 5, naga berwatak 8, dan siji berwatak 1, setelah digabung menjadi 5581, lalu dibalik, berarti tahun 1855.
Sengkalan miring merupakan sengkalan lamba juga, tetapi mempergunakan kata-kata miring (padanan), yang lebih rumit daripada sengkalan lamba. Misalnya sengkalan "Lungiding Wasita Ambuka Bawana ". Kata lungid berarti tajam; yang dimaksud adalah tajamnya senjata (gaman ), gaman mempunyai watak 5. Kata wasita berarti pitutur jati , atau nasihat suci; pitutur jati berkaitan dengan resi, wiku , atau pandhita yang berwatak 7. Yang dimaksud dengan kata ambuka, adalah lawang atau gapura yang berwatak 9, dan kata bawana maksudnya adalah bumi yang berwatak 1. Diperoleh angka 5791, yang berarti tahun 1975.
Contoh lain, misalnya "Naga Salira Ambuka Bumi ". Naga dan salira merupakan lambang angka 8, ambuka lambang 9, dan bumi lambang 1. Jadi tersusun 8891. Susunan angka ini harus dibalik, sehingga menjadi tahun 1988.
Menurut buku Babad Tanah Jawi (sejarah Majapahit), runtuhnya kerajaan Majapahit ditandai dgn sengkalan "Sirna Ilang Kretaning Bumi" , masing-masing menunjukkan angka 0, 0, 4, dan 1, lalu dibalik menjadi 1400 Tahun Saka atau 1478 M. Gedung DPRD Wonosobo diberi sengkalan "Sabda Pandhawa Raga Nyawiji ", karena didirikan pada tahun 1957. Contoh lain, misalnya ada orang yang lahir pada tahun 2011 M. Mula-mula angka ini dibalik menjadi 1102, lalu pilih kata yang dianggap cocok, misalnya "Aji Budaya Muluk Samya ". Artinya: nilai budaya yg terbang (manfaat, berkembang) bersama sesama.
Sengkalan memet memakai lukisan, gambar, atau ornamen, atau memakai Huruf Jawa. Sengkalan memet dapat dijumpai pada arca, candi, atau gedung.
Di bagian bagian atas gapura magangan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, ada ornamen dua naga, yang ekornya ke mengarah atas, lalu melilit, menyatu. Ornamen ini dibaca "Dwi Naga Ngrasa Tunggal" . Dwi berwatak 2, naga berwatak 8, ngrasa berwatak 6, dan tunggal berwatak 1. Diperoleh susunan angka 2, 8, 6, dan 1,sehingga diperoleh tahun 1682, yaitu saat dibangunnya bagian itu.
Di kraton Surakarta, ada ornamen yang dibaca "Naga Muluk Tinitihan Janma" . Naga berwatak 8, muluk (terbang) berwatak 0, tinitihan (ditunggangi) berwatak 7, dan janma (manusia) berwatak 1; setelah digabung menjadi 8071, setelah dibalik menjadi 1708.
Sengkalan merupakan chronogram (Yunani; chrono : waktu, gramma : huruf). Chronogram adalah kalimat yang menyembunyikanangka-angka, yang berkaitan dengan tahun. Sebagai contoh, kalimat AM ORE M ATV RI TAS, jika diambil huruf yg bold , menjadi MMVI, lambang angka Romawi untuk tahun 2006. M y D ay C losed I I n I mmortality, adalah chronogram , yang menunjukkan tahun wafatnya Ratu Elizabeth I, MDCIII= 1603.
Berikut adalah tembung (kata) dan wataknya.
Watak 1 (satu)
Benda atau sifat yang berwatak 1, adalah:
1. Cacahnya satu: aji (harga, nilai), bangsa , bathara , budaya, budi , dewa , dhara (perut), gusti, hyang, nabi, narendra , narpa (raja), narpati (raja), nata (raja), pangeran, praja (negara), raja, ratu. swarga (surga), tata (aturan), wani (berani), wiji (biji), urip (hidup).
2 Bentuknya bulat: bawana (bumi), bumi , candra (bulan), jagad (bumi), kartika (bintang), rat (bumi), srengenge (matahari), surya (matahari), wulan (bulan).
3. Berarti ‘satu’: eka, nyawiji (menyatu) , siji, tunggal.
4. Berarti ‘orang’: janma, jalma, manungsa, tyas, wong
Watak 2 (dua)
Benda atau sifat yang berwatak 2, adalah :
1. Cacahnya dua : asta (tangan), kuping, mata, netra, paningal (mata), soca (mata), swiwi (sayap), talingan (telinga), sungu (tanduk), supit.
2. Fungsi no 1 di atas: ndeleng (melihat), ndulu (melihat), ngrungu (mendengar)
3. Berarti ‘dua’: apasang, dwi, kalih, kembar, penganten.
Watak 3 (tiga)
1. Berarti ‘api’ : agni , dahana , geni , pawaka , puji
2. Sifat api: benter (panas), murub (menyala), kukus (asap), panas , sorot , sunar (sinar, cahaya), urub (nyala).
3. Berarti ‘tiga’: hantelu, mantri , tiga, tri, trisula, trima, ujwala, wredu
Watak 4 (empat)
1. Berkaitan dengan air: bun (embun), her , tirta, toya, samodra, sendang, segara (laut), sindang, tasik (laut), wedang, udan.
2. Berarti ‘empat’: papat, pat, catur, sekawan, keblat, warna (kasta)
3. Berarti ‘bekerja’: karya, karta, kirti, kretaning, pakarti
Watak 5 (lima)
1. Cacahnya lima: cakra (roda), driya (indra), indri, indriya, pandawa
2. Berarti ‘raksasa’ : buta , danawa, diyu, raseksa, raseksi, wisaya, yaksa
3. Berarti ‘senjata’: bana, gaman , panah, pusaka, sara, jemparing , warajang, lungid (tajam)
4. Berarti ‘angin’ : angin , bayu, samirana, maruta, sindung
5. Berarti ‘lima’: lima , gangsal, panca, pandawa
Watak 6 (enam)
1. Berkaitan dengan ‘rasa’: amla, asin, dura, gurih, kecut, legi , pait, pedes, rasa, sinesep, tikta
2. Benda ‘asal rasa’: gendis, gula, uyah
3. Berarti ‘enam’: nem, retu (enam tahun), sad,
4. Hewan ‘berkaki enam’: bramara, hangga-hangga (laba-laba), kombang, semut , tawon
Watak 7 (tujuh)
1. Berkaitan dengan ‘petapa’: biksu, dhita, dwija, muni , pandhita, resi, sabda, suyati wiku, yogiswara, wasita
2. Berarti ‘kuda’ : aswa, jaran, kapal, kuda, turangga , wajik.
3. Berarti ‘gunung’: ancala , ardi, arga, giri, gunung, prawata, wukir
4. Berarti ‘tujuh’: pitu, sapta,
Watak 8 (delapan)
1. Berkaitan dengan ‘hewan melata’ : bajul, baya, bunglon, cecak, menyawak, slira, tanu, murti.
2. Berarti ‘gajah’: gajah, dirada , dwipangga, esthi, kunjara, liman, matengga
3. Berarti ‘naga’: naga, sawer, taksaka , ula
4. Berarti delapan : asta, wolu
Watak 9 (sembilan)
1. Benda ‘berlubang’: ambuka, babahan, butul (tembus), dwara, gapura, gatra (wujug), guwa, lawang, rong, song, trusta, wiwara, wilasita,
2. Berarti ‘sembilan’: nawa, raga, rumaga, sanga.
Watak 0 (nol)
1. Bersifat tidak ada atau hampa: asat, boma, gegana, ilang , murca (hilang) , musna , nir (tanpa), sirna (hilang), suwung, sunya, tan, umbul (melayang).
2. Berarti ‘langit’: akasa, gegana, dirgantara, langit, swarga, tawang ;
3. Sifat langit: duwur, inggil, luhur
4. Bersifat menuju langit : tumenga, mumbul, muluk, mesat.
Untuk membuat sengkalan, kalimat harus punya makna yang utuh.
Imajiner Nuswantoro


