KERAJAAN SUNDA (669 - 1579 M)
Kerajaan Salakanagara dan Tarumanagara Menurut Naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1
Naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa 1.1 merujuk pada bagian awal dari kelompok naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa yang disusun oleh tim di bawah pimpinan Pangeran Wangsakerta. Naskah ini terdiri dari empat buah (sarga), dengan sarga 1-3 berisi kisah atau uraian tentang berbagai negara yang pernah berperan di Pulau Jawa, sementara sarga keempat berisi keterangan tentang sumber-sumber yang digunakan dalam penyusunan naskah.
Penyusun : Pangeran Wangsakerta dan timnya, dari Kesultanan Cirebon.
Isi :
- Sarga 1-3: Kisah atau uraian mengenai negara-negara di Pulau Jawa.
- Sarga 4: Keterangan mengenai sumber-sumber naskah.
Keterangan tambahan :
- Naskah-naskah ini ditulis pada jenis kertas yang sama.
- Pengujian kimiawi menunjukkan kertasnya berusia sekitar 100 tahun lebih muda dari naskah aslinya, yang diperkirakan ditulis antara tahun 1677-1698 Masehi.
"1.1" kemungkinan merujuk pada bagian awal naskah, atau salah satu dari empat naskah dalam kelompok tersebut, yang mencakup Pustaka Nagara Nusantara, Pararatwan Sundawamsatilaka, dan Serat Ghaluh i Bhumi Sagandhu.
Kerajaan Sunda merupakan kelanjutan dari kerajaan tarumanagara, yang didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 561 caka sunda (669 M). Seperti halnya Tarumanagara, yang dikenal karena ibukotanya di sekitar sungai Citarum, nama kerjaan Sunda juga diazaskan atas nama ibukotanya Sundapura.
Raja terakhir Tarumanagara, Sri Maharaja Linggawarman yang berkuasa 3 tahun, dari tahun 666 -669 M, mempunyai 2 orang putri. Putri tertuanya, Dewi Manasih menikah dengan tarusbawa dari Sunda, sedang putri yang kedua Sobakancana menikah dengan Depuntahyang Srijanayasa, pendiri kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa, yang memindahkan ibukotanya ke Sundapura. Hal ini juga yang menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702 M).
Setelah kekalahan kerajaan Sunda oleh Banten, maka kerajaan Sunda sering disebut dengan nama kerajaan Pajajaran, yang dinisbahkan kepada nama ibukotanya, Pakuan Pajajaran.
Luas Wilayah dan Kekuasaan
Menurut naskah Wangsakerta, kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang menggantikan kerajaan Tarumanegara. Sejak zaman Sanjaya (mp. 723-732 M) sampai dengan Sribaduugamaharaja, wilayah kekuasaan kerajaan sunda meliputi seluruh Jawa barat sekarang, DKI Jakarta, bagian barat Jawa Tengah (daerah Banyumas, Brebes, Purwekerto, Cilacap), dari ujung kulon disebelah barat hingga sungai Cipamali (kali Brebes) dan sungai Ciserayu (kali Serayu) di sebelah timur, dan Lampung. Salah seorang penguasa Sunda yang menikah dengan putri dari penguasa Lampung adalah Prabu Niskala Wastu Kancana.
Tentang perbatasan wilayah timur, diceritakan dalam tulisannya oleh Bujangga Manik, seorang intelektual Sunda waktu itu dan juga seorang pelancong dan pendeta Hindu. Bujangga Manik atau Prabu jaya pakuan melakukan perjalanan ke Jawa, dan Bali untuk mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu pada awal abad 16 M. Tulisan bujangga Manik sekarang tersimpan di perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627 M.
Jaya pakuan menulis dalam perajalanan pertamanya:
”Sadatang ka tungtung Sunda, meuntasing di Cipamali,. Datang ka alas jawa”.
(Ketika ku mencapai perbatasan (tungtung = ujung / akhir) sunda, ku menyebrangi sungai Cipamali. Dan masuklah ke hutan Jawa).
Kemaharajaan Sunda merupakan gabungan dari beberapa kerajaan yang berdiri secara otonom. Kerajaan-kerajaan tersebut, antara lain:
Cirebon Larang
Cirebon Girang
Sindang Barang
Sukapura (galunggung)
Kidanglamatan
Galuh
Astuna Tajeknasinng
Sumedang Larang
Ujung Muhara
Ajong Kidul
Kamuning Gading
Pancakaki
Tanjung Singguru
Nusakalapa
Banten Girang
Ujung kulon
Galunggung
Panjalu
Ibukota
Pusat pemerintahan (ibukota) kerajaan sunda berpindah-pindah. Setidaknya ada 4 tempat yang pernah menjadi ibukota atau pusat pemerintahan kerajaan Sunda, yaitu: Sundapura (Prahyangan Sunda), Galuh, Kawali dan Pakuan Pajajaran. Disamping itu terdapat juga kota Saunggalah, yang pernah menjadi ibukota putra-putra mahkota raja, pada masa Rahiyang darmasiksa dan putranya, Prabu Ragasuci.
Menurut Saleh Danasasmita (1975:4), pusat kerajaan Sunda yang berpindah-pindah itu pernah berlokasi secara kronologis sebagai berikut: Galuh, Pakuan, Saunggalah, Pakuan, Kawali, dan Pakuan. Dengan demikian ibukota kerajaan Sunda berakhir pada waktu kerajaan Sunda berkedudukan di Pakuan Pajajaran. Sehingga kerajaan Sunda waktu itu lebih terkenal dengan nama Pakuan Pajajaran, yang dinisbahkan kepada nama ibukotanya.
Dengan demikian, istilah kerajaan Pajajaran diakhir kerajaan Sunda harus diartikan sebagai kerajaan yang ibukotanya bernama Pakuan Pajajaran.
Sundapura (Parahiyangan Sunda)
Sundapura atau Parahyangan adalah ibukota awal dari kerajaan Sunda. Kota ini menjadi pusat pemerintahannya di era pendirinya, Prabu Tarusbawa, kemudian Sanjaya. Ibukota Sundapura didirikan oleh raja Tarumanagara, Purnawarman.
Galuh
Galuh adalah suatu wilayah yang sekarang disebut Ciamis. Galuh berasal dari bahasa sangsekerta yang berarti batu permata. Pada awalnya Galuh merupakan ibukota kerajaan Kendan di era Tarumanagara, yang didirikan oleh Wretikandayun. Tetapi kemudian terkenal sebagai ibukota kerajaan yang merdeka setelah Tarumanagara mengalami kemunduran, dan dialihkan ke Sundapura, oleh Tarusbawa. Galuh menjadi ibukota kerajaan Galuh itu sendiri, yang diperintah oleh Wretikandayun hingga prabu Gajah kulon. Setelah Prabu gajah Kulon, Galuh dan Sunda merupakan satu kesatuan dan hanya disebut Sunda saja (atau Sunda Galuh).
Galuh menjadi ibukota kerajaan Sunda ketika masa pemerintahan Prabu Sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M).. Masa pemerintahan Galuh berakhir kira-kira tahun 1333 M, ketika Raja Adiguna Linggawisesa atau sang Dumahing Kending ( mp. 1333-1340 M) mulai bertahta di Kawali, sedangkan kakanya Prabu Citrganda atau Sang Dumahing Tanjung bertahta di Pakuan Pajajaran.
Saunggalah
Saunggalah menjadi ibukota kerajaan Sunda ketika masa awal pemerintahan Prabu Guru Darmasiksa (mp. 1175-1297 M) selama 12 tahun, tetapi kemudian ia memindahkan pusat kerajaannya di Pakuan. Pusat pemerintahan di Saunggalah diteruskan oleh anaknya Prabu Ragasuci yang memerintah tanah Sunda pada tahun 1297-1303 M.
Kawali
Dari tahun 1333 sampai dengan 1482 M, pusat pemerintahan Sunda (ibukota) berkedudukan di Kawali. Karena itu periode ini disebut sebagai zaman kawali dalam pemerintahan kerajaan Sunda dan mengenal 5 orang raja. Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam 2 preasasti batu peninggalan Prabu Wastukencana yang tersimpan di Astana Gede Kawali. Dalam prasasti itu di tegaskan ” Mangadeg di kuta kawali” (bertahta di kota kawali) dan keratonnya disebut Surawisesa, yang dijelaskan sebagai ”Dalem Sipawindu hurip ” (Keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Diantara raja-raja Sunda yang menjadikan Kawali sebagai ibukotanya, adalah: Prabu Lingga Dewata (mp. 1311-1333 M), Prabu Ajiguna Wisesa (mp. 1333-1340 M), dan Wastukancana.
Pakuan
Ibukota terakhir kerajaan Sunda adalah Pakuan. Pakuan menjadi pusat seluruh wilayah Sunda ketika masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, hingga kejatuhannya di masa cicitnya. Era Sri Baduga Maharaja atau yang terkenal dengan nama Prabu Siliwangi, kerajaan Sunda lebih terkenal dengan nama kerajaan Pajajaran, yang dinisbahkan kepada pusat pemerintahannya Pakuan Pajajaran.
Pakuan terkenal memiliki pertahanan yang kuat, baik secara alami maupun kokohnya benteng pertahanan. Kokohnya benteng pertahanan ini pada awalnya merupakan jasa daripada sang Banga (Hariang Banga) pada tahun 739 M, yang waktu itu berada di bawah pengaruh Sang Manarah (Ciung Wanara) yang berkuasa di kraton Galuh. Kemudian benteng pertahanan diperkuat lagi di era pemerintahan Sri Baduga Maharaja Jayadewata (Prabu Siliwangi).
Dalam laporan Tome Peres (1513) disebutkan bahwa letak ibukota kerajan Sunda, yang ia katakan sebagai (Dayeuh), dan terletak di daerah pegunungan 2 hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung.
Antara Galuh, Saunggalah, dan Pakuan
Telah disebutkan, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan saat itu belum dapat diterima; sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh pada masa sebelumnya. Karena perbedaan daerah asal inilah, Prabu Darmaraksa (891-895) akhirnya tewas mengenaskan. Nyawanya berakhir di tangan seorang menteri Sunda yang fanatik.
Semenjak peristiwa itu, setiap raja Sunda yang baru dinobatkan selalu memperhitungkan tempat kediaman yang akan dipilihnya menjadi ibukota. Maka dari itu, pusat pemerintahan sering berpindah-pindah dari timur ke barat dan sebaliknya (antara 895 hingga 1482 M). Sebagai contoh: ayah Sri Jayabhupati berkedudukan di Galuh, namun Jayabhupati sendiri memilih tinggal di Pakuan; tetapi putra Jayabhupati berkedudukan di Galuh lagi. Begitu pula dengan Prabu Guru Dharmasiksa (1175-1187) yang menurut Kropak 406, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan. Putranya, Prabu Ragasuci, berkedudukan di Saunggalah. Jadi, ada kalanya Galuh menjadi kerajaan utuh terlepas dari Kerajaan Sunda, ada kalanya berperan sebagai "kerajaan kembar" bersama Sunda.
Catatan :
- Dayeuh dalam bahasa sunda berarti kota. Banyak nama di wilyaha Pasundan yang daiawali dengan nama dayeuh, seperti: dayeuh Luhur di sumedang, hal ini menandakan bahwa kota itu pernah menjadi ibukota atau kota penting dikerajaan tersebut.
- Menurut Ekadjati (93:75) ada 4 kawasan yang pernah menjadi ibukota kerajaan Sunda, yaitu : Galuh, Parahyangan Sunda, Kawali dan Pakuan Pajajaran.
JATUHNYA KERAJAAN PADJADJARAN
A. Kekuasaan Pajajaran Hingga Tahun 1526 M
Sampai dengan tahun 1526 M, kerajaan pajajaran meliputi sejumlah negara bagian (bawahan/ negara daerah): Cirebon Larang, Cirebon Girang dengan raja Prabu Kasmaya, Sindang Barang dengan raja Panji Wirajaya, Sukapura dengan raja Lembu Jaya, kidang Lamatan dengan raja Menah Dermawangi, Galuh dengan Nara Wangkang ( atau Larang Tapa), Astan Larang dengan raja Nara Wingkang, Tajuknasing dengan raja Aji Narma, Sumedang Larang dengan raja Lembu Peteng Aji, Limar kancana dengan raja Ujang ngumbara, Ujung Kidul dengan raja Prabu gantangan, Kamuning Gading dengan raja Prabu Siliwangi, Pancakaki dengan raja Nitimuda Aji, Tanjung Sanguru dengan raja Lembu Wulung, Nusa (sunda) Kalapa dengan raja Pangeran rangsang Jiwa, Banten Girang dengan raja Mas Jongjo, Pulosari dengan raja Ajar Domas, dan Ujung Kulon.
Pada tahun 1526 M, Banten yang mencakup keraajaan-kerajaan kecil, seperti: Ujung Kulon, Ujung Kidul, Pulosari, Banten Girang, dan lainya direbut oleh tentara Cirebon-Demak, di kemudian hari menjadi Kesultanan Banten. Pada tahun berikutnya (1927 M), Sunda (Nusa) Kalapa juga jatuh ke tangan Cirebon Demak, dan kemudian diganti namanya menjadi jayakarta, dan menjadikerjaan dibawah kekuasaan Banten.
Menurunya kekuasaan Pakuan di daerah kekuasaannya yang letaknya jauh dari Pakuan, seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu dan lain-lain. Puncak kemunduran kejuasaan pakuan ketika diserang oleh tentara Surasowan dari banten pada 8 Mei 1579 M.
B. Pajajaran Burak (Bubar)
Dengan jatuhnya wilayah-wilayah lainnya, Pakuan sebagai benteng terakhir semakin terjepit oleh pasukan Cirebon-Demak di timur dan banten di barat. Akhirnya pada tahun 1579 M, pasukan banten yang dipimpin oleh Sultan maulana Yusuf, berahsil menduduki ibukota Pakuan.
Dalam Pustaka Nusantara, tentang kejatuhan ibukota kerajaan Pajajaran, Pakuan, disebutkan :
”Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang sakakala” (Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 saka).
Tanggal tersebut bertepatan dengan 8 Mei 1579 M.
Dalam naskah Banten, serangan tentara banten ke pakuan, disebutkan :
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari ahad tahun alif inilah tahun sakanya satu lima kosong satu.”
Benteng Pakuan terkenal sangat kokoh yang sulit ditembus. Setelah 12 tahun ditinggal raja, Pakuan masih bisa bertahan, dan baru dapat dibobol Banten dengan cara halus.
Dalam naskah Banten diceritakan bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadinya penghianatan. Komandan kawal benteng Pakuan mersa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Ia adalah saudara ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dulu dibukakan saudaranya itu.
Kisah ini mungkin diragukan tentang kebenarannya, tetapi hal ini menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat prabu Sri Baduga (Prabu Siliwangi). Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya.
C. Diboyongnya Palangka Sriman Ke Banten & Penyelamatan mahkota oleh 4 kandaga lante ke Sumedang Larang.
Dengan berhasilnya menduduki ibukota pakuan, Sultan Maulanan Yusuf kemudian memboyong benda-benda yang menjadi simbol kemaharajaan Sunda ke Banten, termasuk singgasana penobatan maharaja Sunda, Palangka Sriman Sriwacana. Dengan diboyongnya Palangka Sriman ini menandai berakhirnya kemaharajaan Sunda dan berakhirnya zaman Pajajaran (1482-1579 M).
Palangka Sriman, yang merupakan simbol tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, kemudian di boyong dari Pakuan ke Surasowan Banten oleh Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm diboyong ke Banten karena tradisi politik Sunda waktu itu mengharuskan demikian. Karena, pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena buyut perempuannya adalah putri Sri baduga Maharaja.
Tetapi Maulana Yusuf tidak bisa memboyong mahkota raja, karena telah diselamatkan oleh 4 ksatria sunda yang disebut Kandaga Lante dan menyerahkannya kepada raja Sumedang larang.
Menurut Sumber sejarah Sumedang Larang, ketika peristiwa jatuhnya Pakuan terjadi, 4 orang kepercayaan Prabu ragamulya Surya Kancana, raja pajajaran terakhir, yang dikenal dengan Kandaga Lante, yang terdiri dari: Sanghiyang Hawu (Jaya perkosa), Batara Adipati Wiradijaya (Nangganan), Sanghiyang Kondanghapa dan Batara Pencar Buang (Terong peot) berhasil menyelamatkan atribut pakaian kebesaran maharaja Sunda, yang terdri dari: mahkota emas simbol kekuasaan raja Pakuan, kalung bersusun 2 dan 3, serta perhiasan lainnya, seperti benten, siger, tampekan dan kilat bahu. Atribut-atribut kebeesaaran tersebut kemudian diserahkan kepada raden Angkawijaya, putra Ratu Inten Dewata (1530-1579 M) yang kemudian naik tahta Sumedang larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (mp. 1579-1601 M). Dan Sumedang larang inilah sebenarnya yang kemudian dianggap sebagai penerus kemaharajan Sunda terakhir, yang tidak pernah bisa dikuasai oleh Banten dan Cirebon.
Catatan :
Meskipun tahun alif baru dgunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, tetapi dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun alif.
D. JATUHNYA WILAYAH LAIN
Seperti halnya, Pakuan, yang merupakan benteng terakhir maharajaan Sunda, yang jatuh di tangan kesultan banten pada tahun 1579 M. Wilayah-wilayah lain satu persatu ditaklukan oleh pasukan Banten dan juga Cirebon - Demak.
Raja Talaga, Sunan Parunggangsa ditaklukan cirebon tahun 1529 M. Ia dan juga putrinya, Ratu Sunyalarang, juga menantunya Ranggamantri pucuk umun secara sukarela masuk Islam, dan mengakui kekuasaan Cirebon.
Di Sumedang larang, Ratu Setyasih atau Ratu Inten Deawata atau Ratu Pucuk Umun (1530-1579 M), meskipun tidak pernah kalah perang dan tidak pernah dikuasai oleh Cirebon, harus mengakui kekuasaan Cirebon dan masuk Islam, meskipun tetap independen, dan tidak pernah dikuasai. Ratu Setyasih kemudian menikah dengan pangeran Santri.
Di Kerajaan Kuningan, Ratu Selawati menyerah kepada pasukan Cirebon. Salah seorang putrinya kemudian menikah dengan anak angkat sunan gunung jati, yang bernama Suranggajaya. Suranggajaya ini kemudian diangkat menjadi bupati Kuningan dengan gelar Sang adipati Kuningan, karena kuningan menjadi bagian Cirebon.
Di Kerajaan Galuh, penguasa Galuh yang bernama Prabu ujang Meni, yang bergelar Maharaja Cipta sanghiyang di Galuh beruasah mempertahankan wilayahnya dari pasukan Cirebon. Tapi karena kekuatannya tidak seimbang, ia bersama putranya yang bernama Ujang ngekel yang kemudian naik tahta galuh bergelar Prabu Di Galuh Ciptapermana (mp. 1595-1608 M), juga mau tak mau harus mengakui kekuasaan Cirebon, dan juga secara sukarela masuk Islam. Demikian juga kerajaan sindang kasih (Majalengka) dan juga Panjalu.
Imajiner Nuswantoro


 
