Bocah Bajang nggiring angin,
Anawu banyu segara,
Ngon-ingone kebo dhungkul,
Sasisih sapi gumarang
Bocah Bajang nggiring angin,
Anawu banyu segara,
Ngon-ingone kebo dhungkul,
Sasisih sapi gumarang
ꦧꦺꦴꦕꦃꦧꦗꦁꦔ꧀ꦒꦶꦫꦶꦁꦄꦔꦶꦤ꧀
ꦄꦤꦮꦸꦧꦚꦸꦱꦼꦒꦫ꧈
ꦔꦺꦴꦤ꧀ꦆꦔꦺꦴꦤꦺꦏꦼꦧꦺꦴꦣꦸꦁꦏꦸꦭ꧀
ꦱꦱꦶꦱꦶꦃꦱꦥꦶꦒꦸꦩꦫꦁ
Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.
Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.
Sebuah dugaan, tokoh Semar dalam Pewayangan merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, jauh tak terbatas, dekat tidak bersentuhan, maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi. Maka yang muncul kemudian adalah bentuk yang tidak sempurna. Lahirnya karya yang disengaja tidak sempurnya seperti wayang Ki Semarasanta atau Semar, merupakan sebuah konsep kerendahan hati, penyadaran diri dan keterbukaan pribadi akan kelemahannya, kekurangannya, cacat-cacatnya. Karena dengan sikap tersebut manusia diyakini mampu nglenggahake (menghadirkan dan mendudukkan) yang Maha Sempurna.
Selain tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cebol berkulit hitam yang dimaksudkan untuk nglenggahake kesempurnaan yaitu Bathara Ismaya, di pewayangan juga ada tokoh lain yang dibuat bajang, kerdil, untuk tujuan yang sama yaitu: Sang Hyang Pada Wenang dan Dewa Ruci.
Untuk menandaskan munculnya tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cacat yang berpribadi mendua, diiringi dengan lagu Bocah Bajang sedang membawa binatang piaraan yang mempunyai sifat mendua pula. Yaitu Seekor Kerbau, binatang yang bodoh dan tumpul otaknya, menggambarkan kelemahan manusia. Dan seekor Sapi Gumarang, binatang yang cerdas dan mempunyai tanduk sangat tajam, menggambarkan ketajaman manusia akan misteri Ilahi.
Dari paparan tersebut tokoh Semar yang diekspresikan ke dalam bentuk wayang dan tokoh Bocah Bajang yang di ekspresikan ke dalam lagu jineman, mempunyai inti makna yang sama. Ke duanya memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.
Dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain, manusia membutuhkan perjuangan panjang, sepanjang umur manusia itu sendiri. Seperti Bocah Bajang nggiring angin dan nawu segara.
Bocah Bajang
Bocah bajang nggiring angin
Anawu banyu segara
Ingon-ingone kebo dhungkul
Sasisih sapi gumarang
Kanggo nandhesake bab iku, jumedhule Semar ing jagading pakeliran dibarengi jineman Bocah Bajang kang duwe ingon-ingon loro, yaiku kebo dhungkul kang nggambarake kethule rasa-pangrasa marang bab kasampurnan lan sisihe sapi gumarang kang nggambarake kalantipan ngrasakake lungiding kasampurnan. Bodhone kebo dhungkul pratandha kasekenganing manungsa, pintere sapi gumarang pratandha lantipe manungsa bisa nglenggahake Kang Maha Sampurna ing sajroning uripe.
Mula banjur mbutuhake pambudidaya tanpa kendhat kanggo nglenggahake sumbere Kasampurnan ana ing uripe manungsa kang sarwa ora sampurna. Kayadene bocah bajang sing sarwa ora sampurna lagi nggiring angin, ngiring kasampurnan lan nawu segara, nyidhuk sumbering kasampurnan kang datan bisa asat.
Pancen yen dirasakake sacleraman nggiring angin lan nawu segara iku mujudake pakaryan sing muspra ora guna ora ana rampunge. Ananging yen kersa ngenepake, nggiring angin lan nawu segara iku mralambangake manungsa sing terus-terusan, tanpa pedhot kanggo nglenggahake Sumbering Kasampurnan. Nanging nadyanta nggiring angin lan anawu banyu segara iku pakaryan mokal bisa rampunge, ananging yen ora gelem niru patrape bocah bajang, bakal bisa ngrasakake sumiliring angin kasampurnan lan telese banyu kalanggengan.
Imajiner Nuswantoro