Garuda / Garudeya
(Putra Rsy Kasyapa+Dewi Winata)
Garuda merupakan putra Rsy Kasyapa dengan Dewi Winata. Demi membebaskan Ibunda tercinta dari perbudakan Para Naga, maka Garuda rela mencuri air Amrta yang dimiliki Para Dewa.
Namun dalam perjuangan mengambil air suci Amrta tersebut, Garuda harus berhadapan dengan para Dewa. Aksi nya tersebut dapat dihentikan oleh Dewa Wisnu. Garuda dapat membawa air Amrta dengan syarat ia menjadi kendaraan Dewa Wisnu
Garuda sebagai simbol pembebasan ibu pertiwi dari belenggu perbudakan dan penjajahan pernah digunakan sebagai lancana Sri Maharaja Dharmawangsa Airlangga (932 – 974 Saka) dengan nama “Garudamukha Lancana”. Raja Airlangga pada tahun 974 Saka membagi wilayah kerajannya menjadi dua (2), yaitu Bumi Panjalu (Kadhiri) dan Bumi Janggala.
Garuda adalah perlambang kemerdekaan dan perjuangan yang sungguh berat dari seorang anak untuk dapat membebaskan ibunya dari perbudakan dan penjajahan.
Burung Garuda yang awalnya berwujud sosok manusia setengah burung elang tersebut dalam pengertian simbol dan makna yang terkandung didalamnya tersurat sebagai berikut :
- Kepalanya berbentuk burung elang sebagai simbol transformasi diri yaitu dengan penuh energi untuk menggapai tujuan yang lebih baik di masa depan.
- Atribut burung garuda dilengkapi dengan membawa kendi berisi air kehidupan dalam simbol ornamen ragam hias arsitektur Bali disebutkan bermakna atman itu tidak bisa mati hanya pindah kealam lainnya.
- Sebagai wahana Dewa Wisnu yang membawa tirta amerta kamandalu pada pahatan belakang padmasana sebagai simbol kesejahteraan dan kesehatan serta umur panjang bagi penyungsungnya yang dalam Lontar Adi Parwa sebagaimana disebutkan dalam kutipan catatan pengertian padmasana dan aturan pembuatan padmasana secara detail, yang diceritakan kisah garuda sebagai wahana / kendaraan dari Wisnu yaitu sebagai berikut :
- Garuda yang tak lain juga disebutkan merupakan putra dari Bhagawan Kasyapa dan Sang Winata. Sang Winata dan Sang Kadru yang keduanya tersebut merupakan istrinya Bhagawan Kasyapa,
- Sang Kadru berputra naga yang ribuan banyaknya
- Sang Winata berputra Sang Aruna dan Sang Garuda.
- Nilai-Nilai yang terkandung dalam ketokohan mahluk mitologi Garuda;
- Pantang Menyerah (Wira Sarwa Yudha)
- Rela Berkorban
- Berjiwa Besar
- Menepati Janji (Satya Semaya)
Alkisah
Diceritakan pada suatu ketika kedua istri Rsi Kasyapa membicarakan Uchaisrawa, kuda yang keluar dari pemuteran gunung Mandaragiri,
Sang Kadru mengatakan warna kuda itu hitam, sedangkan
Sang Winata mengatakan kuda itu putih.
Karena sama-sama teguh mempertahankan pendapat akhirnya mereka sepakat untuk bertaruh, bahwa siapa yang kalah akan mejadi budak dari yang menang.
Para naga putra Sang Kadru tahu bahwa warna kuda itu putih dan untuk memenangkan ibunya para naga menyemprotkan bisa ke Uchaiswara sehingga berwarna hitam.
Sang Winata kalah lalu menjadi budak Sang Kadru tetapi alangkah mulia dan beraninya anak dari Sang Winata, yakni Garuda yang ingin membebaskan ibunya dari perbudakan.
Lamalah sudah Sang Garuda dan ibunya menjadi budak dari para naga sebagaimana dikisahkan dalam mitologi alang-alang sebagai rumput suci, akhirnya Garuda pun menjadi bosan. Ia pun lalu menanyakan kepada naga
Garruda Bertanya kepada para naga, apakah ada cara sebagai pengganti atau penebusannya, agar dia bisa bebas dari perbudakan ?
Setelah lama berpikir, para naga pun sepakat akan membebaskan Sang Garuda dari perbudakan kalau bisa mencarikan Tirtha Amerta ke surga di swah loka untuk mereka.
Konon barang siapa yang dapat minum Amerta itu akan bisa bebas dari kematian. Dengan demikian para naga beranggapan tidak perlu lagi ada penjaga seperti Sang Garuda, karena tidak ada yang menyebabkan mereka bisa mati kalau sudah minum Tirtha Amerta.
Sang Garuda pergi ke Surga untuk mencari Tirtha Amerta, sehingga ia berhadapan dengan para Dewa yang menjaga Tirtha Amerta itu. Dewata Nawa Sanga dikalahkan semua dan akhirnya para Dewa pun mohon bantuan kepada Bhatara Wisnu untuk menghadapi Garuda.
Perang antara Dewa Wisnu dengan Sang Garuda terjadi cukup lama, akhirnya Bhatara Wisnu menanyakan mengapa Sang Garuda sampai melakukan hal itu dan untuk apa dia mencari Amerta tersebut ?
Setelah Sang Garuda menjelaskan tujuannya mencari Amerta untuk membebaskan dirinya dan Ibunya dari perbudakan para naga maka Bhatara Wisnu berkenan memberikan Tirtha Amerta itu, dengan syarat Sang Garuda bersedia menjadi kendaraan Dewa Wisnu.
Sang Garuda menyetujui dan Tirtha Amerta pun diserahkan oleh Dewa Wisnu dengan syarat “barang siapa yang akan meminumnya hendaknya bersuci-suci terlebih dahulu, kalau tidak demikian maka Tirtha Amerta tidak akan Sidhi atau bermanfaat”.
Sang Garuda segera menyerahkan Tirtha Amerta itu kepada para naga dengan segala persyaratannya. Para naga setelah menerimanya, mereka berlomba dan saling mendahului pergi mandi dan menyucikan diri, karena takut tidak kebagian sehingga Tirtha itu ditinggalkan begitu saja di tengah rumput alang-alang.
Mengetahui hal itu maka Bhatara Wisnu bersama Garuda pun mengambil kembali Tirtha itu dengan segera sehingga Tirtha Amerta terciprat di daun alang-alang tersebut, dan membawanya ke Surga. Dengan kecewa akhirnya para naga menjilati alang-alang itu, karena daunnya yang tajam sehingga menyebabkan lidah para naga itu terbelah.
Burung Garuda (Sanskerta: Garuḍa dan Bahasa Pāli Garula) Ia merupakan wahana Dewa Wisnu, salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu.
Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang.
Garuda / Garudeya
Bukan suatu kebetulan. Bukan suatu mimpi. Bukan juga suatu perencanaan. Saat saya bisa berada di Candi Sukuh, yang pernah saya lihat dan baca tentang cerita arkeologisnya. Termasuk ikon Garudeya atau Garuda atau Jatayu ini yang ternyata berkaitan dengan literasi-literasi yang saya baca tentang sejarah Lambang Negara Burung Garuda yang kemudian menjadi sebutan Garuda Pancasila.
Kalau menyimak sekilas cerita epos tentang Garudeya ini dari sub Maha Karya Bujangga dunia yaitu cerita Mahabarata, ada kisah Adiparwa pada masa Raja Darmawangsa Tguh sekitar abad 9, yang disadur dan diterjemahkan dari bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Jawa Kuno.
Inti makna cerita di balik ikonografis Garudeya itu yang dipahatkan pada relief salah satunya di Candi Sukuh pada jaman Kerajaan Majapahit abad ke 14, bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Sang Garudeya atau Garuda anak dari Dewi Winata (salah seorang istri Bagawan Kasyapa) merupakan ekspresi bakti anak kepada ibu.
Dalam konteks yang lebih luas, kisah itu bisa disebut sebagai bakti kepada Ibu Pertiwi atau Tanah Air. Artinya, perjuangan untuk membebaskan Tanah Air dari penjajahan asing demi meraih kemerdekaan. Dalam konteks demikian, Sang Garuda tercitrakan sebagai ikon pejuang kemerdekaan.
Saya coba mengupas /menginterpretasi terkait ikonografi Garuda di Candi Sukuh itu bahwa :
Tokoh Bhagawan Kasyapa yang dalam kisah Ramayana Rsi Kasyapa adalah putra Rsi Marici dan cucu Dewa Brahma. Dewa Brahma merupakan penguasa arah Selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya “Ba”, di Bali dia dipuja di Pura Andakasa. Dewa Brahma merupakan Bapak Dewa Ilmu Pengetahuan.
Kalau menilik ke Nusantara, ragam budaya di Nusantara ini sejak masa kuno sudah menjadi inspirasi para ilmuwan dunia, para tokoh ilmuwan yang mempelopori bidang-bidang Ilmu Pengetahuan Alam & Sosial. Meski cerita ini tidak banyak terungkap dikisahkan (entah disengaja oleh bangsa luar atau memang kekurangtahuan para ilmuwan negeri ini ?).
Namun, minimal dengan banyaknya bukti-bukti arkeologis dengan ragam karya budaya arkeologis seperti menhir, lingga Yoni, circle stone, relief-relief, patung-patung, candi-candi dan ragam artefak arkeologis lainnya dari berbagai bahan mineral bumi Nusantara (batu, tembaga, emas dan logam-logam lainnya) ini saja sebagai bukti jauh sebelum peradaban kemajuan di bangsa luar Nusantara sana, leluhur bangsa Nusantara sudah memiliki peradaban pengetahuan yang tinggi, luhur dan agung.
Rsi atau Bhagawan Kasyapa adalah rohaniawan yang berpengaruh terhadap para dewa karena sifatnya yang adil dan bijaksana.
Leluhur bangsa Nusantara sudah religius sebelum datangnya misi-misi keagamaan dari agama-agama pendatang dari luar Nusantara. Sehingga tidak tepat jika ada yang mengatakan bahwa leluhur bangsa Nusantara baru mengenal hakikat “Tuhan” setelah pengaruh datangnya misi dan syiar agama-agama pendatang dari luar bangsa Nusantara.
Justru karena bangsa Nusantara ini sudah berkarakter berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka ketika datangnya pengaruh misi dan syiar agama-agama dengan ragam aliran-aliran dan sekte keagamaannya bisa hidup berdampingan di bumi Nusantara. Karena para Empu, RSI, Bhagawan, Para Ajar, para Raja, Prebu dan pinandita leluhur Nusantara ini begitu Arif dan bijaksana maka mereka bisa menerima kebenaran ajaran-ajaran agama luar tersebut dengan tidak harus saling memaksakan keyakinan satu dengan lainnya.
Diah/Dewi Winata (ibunda Garudeya) adalah tokoh epos Adiparwa dari Maha Barata. Dia sebagai salah seorang istri dari Bhagawan Kasyapa. Istri lain bernama Kadru. Winata mengutamakan kualitas. Kadru mengutamakan kuantitas.
Para kaum perempuan Nusantara memiliki sifat keibuan yang “gugon tukon” atau taat kepada adat dan tradisi leluhur Nusantara yang sarat dengan nilai-nilai tuntunan etika moral yang luhur meski ada yang sifatnya lebih mengutamakan kualitas ataupun kuantitas. Namun mereka semua begitu bertanggungjawab terhadap para generasi penerus bangsanya.
Garudeya atau Garuda atau Jatayu sebagai anak dari Dewi Winata (yang kemudian menjadi inpirasi para pendiri bangsa baik M. Yamin, Supomo, Sukarno dan tokoh bangsa lainnya). Merupakan gambaran putra Nusantara yang memiliki jiwa pemberani, melawan ketidakadilan, berbakti pada orangtua dan leluhurnya, juga pejuang kemerdekaan dan kedaulatan budaya bangsa dan tanah airnya. (Tulisan Ira Indrawardana Antropolog Unpad).
Kisah Garuda Wisnu Kencana
Alur Cerita
Berdasarkan deskripsi yang diberikan kepada pengunjung, cerita ini diambil dari kitab Adi Parwa yang menceritakan tentang perjalanan sang Garuda mencari Tirta Amerta dan menjadi tunggangan Dewa Wisnu.
Tersebutlah Diah Winata yang kalah dalam menebak warna kuda Uchisrawa, kekalahan karena kecurangan Kadru yang selalu iri kepadanya. Akhirnya menjalani masa hukuman menjadi budak Kadru dan Naga, anaknya. Diah Winata dan Kadru adalah istri dari Rsi Kasyapa yang sebenarnya sangat adil dan bijaksana, namun Kadru senantiasa iri pada Diah Winata sehingga selalu mencari cara licik untuk menjatuhkannya. Melihat kejadian itu, putra Diah Winata, sang Garuda merasa iba dan bertekad membebaskan ibunya dari perbudakan. Berkali-kali bertarung dengan Naga dalam posisi Seri, Naga akhirnya memberi syarat jika Garuda bisa memberikan tirtha amertha (air kehidupan) untuknya maka ibu Garuda akan dibebaskan. Garudapun berpamitan kepada Diah Winata untuk mencari tirta mertha (air kehidupan) di Sorga dan memberikannya kepada Naga. Sang Garuda pun berangkat ke Sorga.
Suasana di Sorga
Diceritakan di sorga, para bidadari dan para penjag sorga sedang bercanda ria, mendadak terganggu oleh kedatangan sang Garuda. Para raksasa penjaga sorga berusaha menangkap Sang Garuda namun mereka tak dapat mengalahkan kesaktian sang Garuda, bahkan oleh Dewa Indeta sekalipun.
Dewa Indra akhirnya menghadap Dewa Wisnu Dan menceritakan kejadian ini. Dewa Wisnu mencari keberadaan sang Garuda dan pertempuran kembali terjadi yang kemudian dimenangkan oleh Dewa Wisnu. Namun Dewa Wisnu terharu oleh ketulusan hati sang Garuda yang datang ke Sorga untuk mencari tirta amertha guna mrmbebaskan ibunya dari perbudakan. Dewa Wisnu akhirnya memberikan tirta Amertha dengan syarat sang Garuda harus bersedia menjadi tunggangan Dewa Wisnu. Sang Garuda menyanggupi tapi terlebih dahulu akan memohon ijin dari ibunya sekaligua menunaikan kewajibannya untuk membebaskan sang ibu.
Alam Manusia
Setelah mendapatkan tirta amertha, sang Garuda kembali ke dunia untuk membebaskan ibunya dari perbudakan. Setelah menyerahkan tirta amertha kepada para Naga (yang kemudian sebelum sempat diminum oleh para naga, berhasil direbut kembali oleh para penjaga sorga), Diah Winata kemudian dibebaskan. Saat tirtha amertha ini berhasil direbut kembali, tertinggal beberapa tetes diilalang. Dengan bernafsu Naga menjilat tetesan itu, namun karena sangat tajam maka terbelahlah lidah sang Naga. Itulah sebabnya hingga kini lidah Naga dan turunannya yaitu ular dan sejenisnya menjadi terbelah.
Setelah ibunya bebas dari perbudakan, Sang Garuda lalu mohon ijin ibunya terkait janji kepada Dewa Wisnu untuk menjadi tunggangannya. Maka dikenallah sebagai Garuda Wisnu Kencana
Bagaimana seorang anak berbhakti kepada ibunya, hingga bersedia menghadapi segala rintangan demi kebahagiaan sang ibu. Perjuangannya yang mempertaruhkan nyawa sungguh adalah teladan yang luar biasa.
Begitu pula tentang janji yang ditunaikan. Setelah tujuannya tercapai, sang Garuda berbesar hati kembali ke Sorga menjadi tunggangan Dewa Wisnu. Mengingatkan kita agar selalu menepati janji yang telah terucap.
Disisi lain ada cerita tentang kelicikan Kadru dan Naga untuk memenangkan persaingan dengan Diah Winata. Tebakan tentang warna kuda uchaiswara tersebut seharusnya dimenangkan oleh Diah Winata yang menebak warna putih, namun karena kelicikannya yang sudah tahu akan kalah, Kadru meminta Naga untuk menyembur kuda uchaiswara dengan racunnya sehingga tampak berwarna hitam. Namun kemudian walaupun telah menerima tirta amertha, naga akhirnya tak dapat menikmatinya. Ini membuktikan bahwa kejahatan akan kalah oleh kebaikan.
Kashyapa Bapaknya Semua Mahkluk
(Mitospedia Veda / Vedic)
Nama lain : Kahsyap, Kasyapa
Arti Nama : Kura-kura atau Rusa
Ras : Prajapati, Manu
Pasangan : 13 Putri Prajapati Daksha (Aditi, Diti, Kadru, Danu, Arishta, Surasa, Surabhi, Vinata, Tamra, Krodhavasa, Ida, Vishva dan Muni) dan beberapa wanita lainnya.
Anak : Aditya, Daitya (Asura), Danawa (Asura), Raksasa, Yaksha, Naga, dan Garuda.
Kisah Legenda
Kashyapa mungkin punya gelar yang sama dengan Odinbyakni ‘Ayah Semua Makhluk’ karena boleh dikata ialah yang memang menurunkan semua makhluk dalam mitologi Hindu, antara lain Naga, Garuda, Dewa, Asura, dan Wanara. Kashyapa adalah Prajapati – putra Brahma sekaligus anggota tetap Sapta Rsi. Di jajaran Prajapati ia memiliki banyak saudara, salah satunya Daksha yang sekaligus menjadi mertuanya. Di kalangan Sapta Rsi ia memiliki enam kolega lainnya yakni Atri, Wasista (muncul dalam Ramayana), Wiswamitra (guru Rama dan Laksmana), Jamadagni (ayah Parasurama, posisinya kemudian digantikan Parasurama), Bharadwaja, dan Gautama.
Versi lain menyatakan bahwa ia bukanlah Prajapati, melainkan keturunan Prajapati yakni Prajapati Marichi. Meski begitu ia tetaplah dianggap Manu – jajaran manusia pertama.
Pasangan dan Anak-anak.
Sebagai Manu – manusia pertama di muka bumi dalam suatu periode tertentu – dan Prajapati – anak-anak Brahma, Kashyapa ‘diizinkan berpoligami’. Kashyapa memiliki banyak istri dan keturunan. Jumlah istri Kashyapa ada lebih dari 13 orang, dan 13 di antaranya adalah anak dari saudara lelakinya yakni Prajapati Daksha (Dia menikahi keponakannya sendiri).
Berikut adalah daftar istri dan anak-anak Kashyapa :
- Dari Aditi ia menurunkan para Aditya yakni Sakra(Indra), Bhumidevi, Surya, Wisnu (Wamana Awatara), Surya dan lain sebagainya. Aditya kelak akan diangkat menjadi Dewa.
- Dari Diti ia menurunkan Hiranyaksa dan Hiranyakasapu, para Daitya (sub-ras Asura). Diti juga melahirkan para Marut – roh-roh halilintar – yang kelak akan mengabdi pada Indra. Diti juga melahirkan Maya – ilusi.
- Dari Winata ia menurunkan ras Garuda yakni Aruna dan Garudeya.
- Dari Kadru ia menurunkan para Naga.
- Dari Danu ia menurunkan para Danawa (sub-ras Asura)
- Dari Kasha ia menurunkan para Yaksha
- Dari Kalaka ia menurunkan seekor monster bernama Kalkanja
- Dari Krodhavasa ia menurunkan Pishachas – raksasa pemakan daging.
- Dari Muni ia menurunkan Maumeya dan Puloma. Dua anak ini tampaknya adalah ras manusia.
- Dari Somathi ia menurunkan Sumathi, yang kelak akan menikahi Sagara, penguasa lautan (tampaknya merujuk pada Baruna – dewa laut).
- Dari Syeni ia menurunkan Jatayu.
- Dari Unmathi ia menurunkan Sempati.
- Dari seorang istri yang tak diketahui namanya ia menurunkan Subali dan Sugriwa.
- Dari Surabhi ia menurunkan para Rudra (yang konon merupakan wujud awal Siwa) dan istrinya Rohini. Pasangan ini menurunkan hewan-hewan ternak.
Peran Dalam Legenda
Peran Kashyapa dalam legenda amat minim. Tapi ketika anak-anak dan keturunannya yakni Aditya (dipimpin Indra) dan Asura (dipimpin Mahabali) saling bertikai, ia dan istri pertamanya Aditi bersemadi memohon supaya Wisnu bersedia turun ke bumi. Pada akhirnya Wisnu memang turun ke bumi dan menjadi anak Aditi. Kashyapa menamai anak ini Wamana yang artinya ‘Si Pendek’.
Kashyapa diceritakan tidak memihak Aditya maupun Asura, Naga ataupun Garuda. Ia bersikap netral dan baru turun tangan (baca : memihak) kalau sampai ada keturunannya yang melanggar batas. Ia mengizinkan Hiranyaksa mengamuk sesukanya karena dia tahu Wisnu akan menghentikan anaknya. Ia membiarkan saja Hiranyakasipu berbuat ‘aneh-aneh’ karena ia tahu cucunya Prahlada adalah seorang yang punya kualitas sebagai Rsi.
Trivia
• Dalam kisah yang berkembang belakangan Jatayu dan Sempati adalah anak dari Aruna (kakak Garudeya) sementara wanara berasal dari keturunan lain.
• Dalam versi lainnya Rudra (Siwa) sudah ada sejak awal penciptaan.
• Dalam kepercayaan Sanatana Dharma (Hindu), manusia pertama jumlahnya bukan satu pasang seperti Adam dan Hawa, melainkan banyak pasangan. Selain itu karena siklus penciptaan dan kehancuran selalu berulang, Kashyapa bukanlah satu-satunya Manu yang pernah ada. Tapi Kashyapa adalah Manu yang paling terkenal.
Pertiwi Matta - Ibu Bumi
(Mitospedia Veda / Vedic)
Nama lain : Pertiwi, Prthivi, Dyavaprthivi, Bhumi, Dharti, Shree, Sri, Ibu Pertiwi
Arti Nama : Ibu Bumi (Pertiwi Matta), Sang Pemberi (Pertiwi), Langit dan Bumi (Dyavaprthivi), Tanah (Bhumi), Sang Maha Penyedia (Dharti), Yang Agung (Shree / Sri)
Ras : Dewi
Golongan : Primordial
Pasangan : Dyaus Pitar, Prithu Awatara, Waraha Awatara
Anak : Indra (Petir), Agni (Api), Ushas (Senja) dan Dewi Sinta.
Peran : Dewi Bumi dan Kesuburan.
Dyavaprthivi
Menurut Rigveda – bagian tertua dari kitab Veda, pada mulanya Pertiwi (Bumi) dan Dyaus (Angkasa) adalah satu entitas bernama Dyavaprthivi yang kemudian memisah. Bersama entitas primordial ketiga : Antariksha (Ruang Antar Planet), Dyaus dan Pertiwi adalah dewa-dewi pertama di muka bumi.
Jatuhnya Dyaus
Dyaus ‘menghamili’ Pertiwi dengan hujan dan dari rahim Pertiwi lahirlah para Aditya, di antaranya Indra dan Agni. Untuk alasan yang tidak diketahui, Indra menarik jatuh Dyaus dari angkasa dan melemparkannya ke bumi lalu mengambil tempat Dyaus sebagai raja angkasa.
Hubungan Dengan Wisnu
Kitab-kitab Veda berikutnya serta sejumlah Purana kemudian mengisahkan hubungan Pertiwi yang sangat dekat dengan Wisnu. Salah satu awatara Wisnu (dalam versi 22 awatara) yakni Raja Prithu pernah nyaris membunuh Pertiwi karena pada masa Prithu bertahta, bumi menjadi kering kerontang sebab Pertiwi enggan menumbuhkan benih-benih ke muka bumi. Prithu menghantamkan senjatanya ke permukaan bumi, memaksa Pertiwi keluar dari dalam bumi lalu lari menghindari Prithu.
Pertiwi mengambil wujud seekor sapi dan Prithu terus mengejarnya. Pertiwi menemui Brahma, meminta perlindungan Brahma dari Prithu namun Brahma tidak mau melindungi Pertiwi, sebaliknya Brahma malah menyarankan Pertiwi menikahi Prithu dan membuat tanaman bersemi kembali di muka bumi. Pertiwi kemudian menyatakan syaratnya pada Prithu. Ia bersedia menjadi pasangan Prithu jika Prithu bisa memastikan tidak ada kejahatan di muka bumi. Prithu pun setuju dan bersumpah akan menjadi pelindung Pertiwi. Sejak saat itu Pertiwi menjadi pasangan Prithu.
Setelah Prithu mangkat, Pertiwi muncul beberapa kali dalam kitab-kitab Purana, menemui Wisnu untuk meminta bantuan Wisnu beberapa kali lagi setiap kali kejahatan di muka bumi sudah terlalu merajalela.
Hubungan Dengan Laksmi
Rigveda adalah bagian pertama dan tertua dalam Veda, dan karena pada mulanya Veda (yang terdiri dari empat kitab dan tebalnya 2-3 tumpuk batu bata) diturunkan dari guru ke murid via tradisi lisan, bukan mustahil ada bagian dari Rigveda yang hilang. Keterangan yang minim soal Pertiwi dalam Rigveda serta kisah hubungannya dengan Prithu dan Waraha juga kesamaan atribut kedua dewi (sama-sama pemberi anugerah dan kemakmuran) kemudian memunculkan anggapan bahwa Pertiwi sebenarnya adalah wujud lain dari Laksmi, istri Wisnu.
Dewi Sri Hubungan Pertiwi di Nusantara.
Masyarakat Nusantara, utamanya di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur punya sosok yang menyerupai gambaran Pertiwi. Sosok ini disebut Dewi Sri (di Jawa Barat tokoh ini disebut Nyi Pohaci). Konon, suatu ketika Batara Guru (Siwa) hendak membangun sebuah istana baru dan ia memerintahkan semua penghuni kahyangan membantu pembangunannya. Siapa yang tidak membantu akan dipotong tangan dan kakinya.
Batara Narada diutus untuk menyampaikan hal itu kepada segenap dewa sampai tibalah ia di kediaman Antaboga, sang ular naga. Begitu mendengar kabar itu, Antaboga bersedih karena ia tidak punya tangan ataupun kaki. Antaboga pun menangis, dan tiga tetes air matanya menjelma mustika telur. Narada menyarankan Antaboga pun menyerahkan tiga telur itu ke Batara Guru supaya ia tidak dipenggal.
Dalam perjalanan menemui Batara Guru, dua telur bawaannya pecah oleh serangan gagak. Satu telur yang tersisa diterima oleh Batara Guru, dan Antaboga diperbolehkan tidak membantu bangun istana jika mengerami telur tersebut.
Dari telur itu lahirlah Ni Pohaci Sanghyang Sri. Sahyang Sri kemudian diasuh oleh Batara Guru dan istrinya namun lama kelamaan Batara Guru lupa diri dan hendak menjadikan Dewi Sri sebagai salah satu istrinya. Seluruh kahyangan gempar, sebab hal itu akan merusak tatanan kahyangan. Karena itu mereka kemudian meracuni Sahyang Sri dan menguburkan jasadnya di suatu tempat di muka bumi. Dari pecahan tubuhnya tumbuh berbagai macam tanaman :
• Pohon kelapa (dari kepala / dahi)
• Sayuran dan tanaman bumbu (dari hidung, mulut, dan telinga)
• Rumput dan aneka bunga (dari rambut)
• Buah-buahan (dari maaf ... dada)
• Tumbuhan keras / kayu (dari lengan)
• Pohon kawung / aren (dari maaf ... vagina)
• Bambu (dari paha)
• Umbi-umbian (dari betis)
• Padi (dari perut)
Trivia
• Tanah air kita juga sering disebut ‘Ibu Pertiwi’, bahkan di Tugu Monas ada sebuah patung yang menggambarkan sosok Pertiwi (gambar sebelah kiri)
• Dalam versi lain, ibu dari Agni dan Indra adalah Aditi – istri Kashyapa.
• Dyaus dalam perkembangannya kemudian menjadi bagian dari Astawasu (Delapan Elemen) dan dia tidak menikahi Pertiwi.
• Pemujaan terhadap Dewi Sri masih berlangsung hingga saat ini, meski di Jawa sudah banyak berkurang tapi di Bali masih ada upacara untuk Dewi Sri.
• Dalam kepercayaan Tolotang (kepercayaan masyarakat Bugis Kuno) ada dewi yang juga bernama Sang Hyang Serri, yang juga mati muda dan tubuhnya menjadi benih-benih tanaman.
• Dalam suatu versi, Sinta – istri Rama, konon merupakan anak dari Pertiwi. Ketika tiba waktunya ia meninggalkan dunia, Sinta tidak moksa seperti Rama, melainkan terbenam ke dalam bumi, kembali ke dekapan ibunya.
Imajiner Nuswantoro