Babad Pakuan dan Babad Pajajaran
Babad Pakuan dan Babad Pajajaran merujuk pada naskah sejarah tentang Kerajaan Sunda (Pajajaran) yang berpusat di Pakuan, ibu kota kerajaan tersebut. Keduanya mengisahkan peristiwa penting mulai dari masa keemasan hingga kejatuhan kerajaan, termasuk pemerintahan raja-raja seperti Ciung Wanara dan Prabu Siliwangi, serta kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Meskipun sering digunakan secara bergantian, Babad Pajajaran adalah bagian dari naskah yang lebih besar, seperti yang dijelaskan dalam Babad Pakuan atau Babad Pajajaran II yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1977.
Perbedaan/Keterkaitan :
1. Babad Pakuan
Lebih spesifik merujuk pada cerita tentang ibu kota Kerajaan Sunda, yaitu Pakuan.
2. Babad Pajajaran
Istilah yang lebih luas untuk naskah yang bercerita tentang Kerajaan Sunda secara keseluruhan, yang ibu kotanya adalah Pakuan.
3. Kandungan Naskah
- Mencatat sejarah Kerajaan Pakuan Pajajaran, mulai dari pendiriannya hingga kejatuhannya.
- Memuat kisah-kisah penting seperti penobatan raja, pertempuran, dan intrik politik di dalam kerajaan.
- Menggambarkan kehidupan sosial, budaya, dan adat istiadat masyarakat Pakuan Pajajaran.
- Menjadi sumber penting untuk studi sejarah Jawa dan Indonesia, memberikan wawasan tentang dinamika pemerintahan dan strategi militer kerajaan tersebut.
Penerbitan dan Transkripsi :
- Naskah ini merupakan saduran dari babon yang lebih tua, sering kali dalam bentuk wawacan, yang kemudian ditranskripsi dan disajikan dalam bentuk buku, seperti yang dilakukan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Menggunakan bahasa Jawa Sunda dengan gaya bahasa yang khas Sunda.
Kisah
Pakwan Pajajaran, atau hanya disebut Pakuan atau Pajajaran, adalah ibu kota dari Kerajaan Sunda yang pernah berdiri pada tahun 932–1579 M di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa. Pada masa lalu, di Asia Tenggara terdapat kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya, sehingga Kerajaan Sunda sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaran. Kebanyakan sejarawan sepakat untuk menempatkan ibu kota Pakuan Pajajaran di Kota Bogor, Jawa Barat, pada masa pemerintahan Raja Jayadewata (Sri Baduga Maharaja) periode 1482-1521.
Menurut peta Portugis, lokasi berdirinya Pajajaran berada di suatu wilayah yang saat ini merupakan bagian dari Bogor, Jawa Barat. Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke-15 sampai awal abad ke-16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada masa itu digambarkan secara terperinci dalam naskah kuno tersebut.
Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu :
- Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Naskah berbahasa Sunda Klasik ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran berdasarkan keadaan di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
- K.F. Holle (1869) dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor). Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku dengan sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
- G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Menurutnya, Pakuan mengandung pengertian "paku" atau "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Rouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit. Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
- R. Ng. Poerbatjaraka (1921) dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis di Bogor). Dalam tulisan tersebut, ia menjelaskan bahwa kata Pakuan berasal dari bahasa Kawi pakwwan yang kemudian dieja pakwan (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti istana yang berjajar (aanrijen staande hoven).
- H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian Pakuan ada hubungannya dengan lingga (tonggak) batu yang terpancang di sebelah Prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian paku. Ten Dam berpendapat bahwa pakuan bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibu kota (hoffstad) dan harus dibedakan dari keraton. Kata pajajaran ditinjau berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dan Sungai Tanggerang (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama Pajajaran muncul karena untuk beberapa kilometer, Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau Dayeuh Pajajaran. Sebutan Pakuan, Pajajaran, dan Pakuan Pajajaran dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 dan 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat takhta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata). Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka-lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu istana yang berjajar. Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.
Diperkirakan ada lima bangunan keraton yang masing-masing bernama : Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati.
Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik panca persada (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surosowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam. Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibu kota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya: Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibu kota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan berarti ibu kota) dipandang benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibu kota kerajaan Sunda tersebut bernama Dayo (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan yang berjarak dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama Dayo didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata dayeuh bila bermaksud menyebut ibu kota dalam percakapan sehari-hari. Sedangkan kata pakuan digunakan untuk menyebut ibu kota dalam kesustraan. Karena lokasi Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga Pajajaran.
Berikut Babad Pakuan dan Babad Pajajaran :