Tan Jing Sing Menjabat Bupati Pertama Yogyakarta Pendiri Trah Secodiningrat
Tidak banyak yang mengenal nama Tan Jin Sing, kecuali masyarakat Tionghoa yang berada di Yogyakarta karena Tan Jin Sing adalah tokoh yang sangat dibanggakan. Bukan sekedar kebanggaan di masa lalu tetapi juga sebagai bukti pengabdian masyarakat Tionghoa dalam perjalanan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Bukti pengabdian masyarakat Tionghoa yang sangat besar adalah terdapat tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta. Antara lain Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo.
Raden Agung Rawit atau Pangeran Secodiningrat II.
R. Agung Rawit memerintah Sumenep antara tahun 1366-1386 M dengan gelar Pangeran Secodiningrat II.21 Sebelumnya R. Agung Rawit telah memperistri bibinya sendiri yang bernama R. Ayu Dewi Retna Sarini, yaitu putri dari pangeran Bukabu. Dan pernikahan tersebut dikaruniai keturunan bernama R. Ayu Dewi Saini atau lebih dikenal dengan julukan “R. Ayu Potre Koneng” yang kisahnya menjadi legenda.
Dua puluh tahun sudah R. Agung Rawit memerintah di Sumenep, dan untuk seterusnya setelah usianya telah tua, maka pemerintahan beralih kepada Panembahan Blingi yang berkeraton di daerah Blingi Podai (Sepudi). Tidak banyak penjelasan para ahli sejarah tentang peralihan pemerintahan tersebut.
Trah Secodiningrat adalah trah yang diturunkan Kanjeng Raden Temenggung Secodiningrat yang merupakan Bupati Nayoko (menteri) pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono III (Sultan Raja).
KRT Secodiningrat adalah gelar Kapitan Tan Jin Sing yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono III. Sebagai kapitan pimpinan masyarakat Tionghoa, Tan Jin Sing adalah tokoh yang mempertemukan budaya Jawa dengan budaya Tionghoa pertama kali.
Tan Jin Sing secara fisik memiliki wajah yang tampan, gagah, berwibawa, berkulit hitam manis, bermata tidak sipit, sekaligus memiliki sorot mata yang tajam dan bersih layaknya bangsawan di masa itu.
Tan Jin Sing tumbuh di lingkungan keluarga Oei The Long yang merupakan juragan gadai di Wonosobo (Jawa Tengah). Banyak yang meragukan kalau Tan Jin Sing adalah keturunan Oei The Long karena berbeda warna kulit. Beliau merupakan keturunan asli dari bangsawan Jawa yaitu cicit dari Adipati Danurejo I, yang merupakan patih pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Bupati Banyumas Raden Temenggung Yudonegoro III yang merupakan keturunan dari Sultan Amangkurat Agung memiliki banyak keturunan. Hal yang lumrah bagi kalangan elit waktu itu karena diterapkannya tradisi memiliki banyak istri. Anak ke-16 yang bernama Raden Ayu Pratrawijaya dipinang Demang Kalibeber, Wonosobo. Dari pernikahan dengan Demang Kalibeber, mereka memiliki tiga putra dan anak bungsunya diberi nama Raden Luwar.
Sepeninggal Demang Kalibeber bersamaan dengan remajanya Raden Luwar, teman dekat Kalibeber yaitu Oei The Long (juragan gadai) mengasihani Raden Luwar karena yatim. Lalu Oei The Long meminta Raden Ayu Pratawijaya agar mengasuh Raden Luwar.
Setelah Raden Luwar diangkat sebagai anak, hampir setiap hari Raden Ayu Pratawijaya bertemu dengan anaknya, seperti halnya Raden Luwar yang selalu merenung dan menangis ingin bersama ibunya.
Karena pertemuan sering terjadi, tumbuhlah benih cinta antara Oei The Long dengan Raden Ayu Pratawijaya. Akhirnya Oei The Long menikahi Raden Ayu Pratawijaya dengan cara islam, karena kebetulan Oei The Long adalah Tionghoa penganut agama Islam. Setelah resmi menjadi anak tiri, Oei The Long memberi nama Tionghoa kepada Raden Luwar yaitu Tan Jin Sing.
Di tahun 1757, Pangeran Mangkubumi berhasil menguasai sebagian wilayah Mataram sesuai dengan perjanjian Giyanti dan mendirikan Kesultanan Ngayogyakartadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Ia kemudian membawa Bupati Banyumas Yudonegoro III ke Yogyakarta sekaligus diangkat sebagai Patih dan diberi gelar Kanjeng Adibapati Danurejo I.
Alasan pengangkatan Yudonegoro III menjadi patih karena jasanya yang besar pada Mangkubumi dalam memperjuangkan haknya di Mataram. Putra sulung Yudonegoro III menggantikan kedudukannya sebagai Bupati Banyumas yang bergelar Yudonegoro IV.
Kepindahan Yudonegoro III ke pusat pemerintahan Yogyakarta dengan memangku gelar baru sebagai Patih tentu diikuti sejumlah anggota keluarganya termasuk menantunya (juragan Oei The Long). Pada saat itu juga Tan Jin Sing (Raden Luwar) menetap di pusat Kesultanan Yogyakarta.
Setelah Tan Jin Sing beranjak dewasa, ia menikahi putri seorang Kapitan Yap Sa Ting Ho (Kapitan Cina di Yogyakarta) pada masa itu. Pernikahan ini menjadikan naiknya derajat Tan Jing Sing. Karena Tan Jin Sing menantu seorang kapitan, maka ia cukup disegani masyarakat Tionghoa apalagi ia dipercaya merupakan orang yang cakap dan memiliki kesaktian yang tinggi. Setelah Kapitan Yap Sa Ting Ho wafat, diangkatlah Tan Jin Sing sebagai penggantinya dengan gelar Kapitan(Lurahing Pacino) di Yogyakarta.
Pada tahun 1813-1815, terjadi kegoyahan di Kesultanan Yogyakarta karena perselisihan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan putra mahkotanya (Sultan Raja). Saat itu Raffles tengah menjabat gubernur jendral di Jawa. Penolakan Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk tunduk kepadanya membuat Raffles mengirim pasukan dari India dan Gurkha untuk menghukum Sultan. Pasukan itu disebut pasukan Sepehi oleh rakyat Yogyakarta. Campur tangan Raffles untuk menyingkirkan Sri Sultan Hamengku Buwono II dari kedudukannya ini dikenal sebagai “Geger Sepehi” di Yogyakarta.
Perselisihan tersebut berlanjut antara prajurit pengikut Sultan Raja dan pengikut setia Sri Sultan Hamengku Buwono II yang disebut Sultan Sepuh. Dalam peperangan tersebut Tan Jin Sing mengikuti pihak Sultan raja dengan cara memberikan bantuan berupa segala kebutuhan perang hingga logistik.
Setelah Raffles berhasil mengasingkan Sultan Sepuh ke pulau Penang, Sultan Raja naik tahta dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III. Bersamaan dengan kenaikan Sultan Raja sebagai Sultan, derajat Tan Jin Sing pun ikut naik. Karena bantuan yang besar dari Kapitan Tan Jin Sing, Sri Sultan mengangkatnya menjadi Bupati Nayoko di Yogyakarta yang diberi nama Raden Temenggung Secodiningrat.
Tak hanya itu Tan Jin Sing juga mendapat bantuan dari Sri Sultan sebanyak 1000 ringgit setiap bulan. Keputusan tersebut dikarenakan tunjangan tersebut diberikan turun temurun, jika yang menjadi raja berdarah Sultan Raja.
Selain itu Sri Sultan juga menghadiahi Tan Jin Sing tanah yang terletak di Desa Padokan, Bantul, di wilayah tertentu di bawah pengawasannya. Wilayah tersebut diberikan seiring dengan pemberian pada Tan Jing Sing gelar KRT (Kanjeng Raden Temenggung) Secodinigrat sehingga wilayah ini disebut tlatah atau Bumi Secodiningrat yang wilayahnya meliputi Pecinan (Malioboro), Pajeksan, Gondomanan dll.
Setiap anak laki-laki keturunan KRT Secodiningrat diberi gelar Raden, bila anak pertama laki-laki diwajibkan menggunakan nama kebangsaan Jawa. Sedangkan untuk anak perempuan diberi gelar Raden Roro, jika menikah dengan bangsawan mendapat gelar Raden Nganten.
Hingga tahun 1760-1831 Kapitan Tan Jin Sing mempunyai tiga pendamping. Istri pertama keturunan asal Tionghoa Peranakan yang disebut Nyonya kapitan, istri kedua keturunan Jawa bergelar Mas Ajeng Secodiningrat, sedangkan istri ketiga juga perempuan Jawa yang dipanggil Raden Nganten Secodiningrat. Keturunan KRT Secodiningrat berkembang karena ketiga orang istrinya ini.
Pada tanggal 10 Mei 1831 Kapitan Tan Jin Sing meninggal dunia, dan dimakamkan secara Islam. Kedudukannya sebagai Kapitan Cina sekaligus Bupati Nayoko digantikan putranya yang bernama Raden Dagang, yang memiliki gelar Tumenggung Secodiningrat II. Raden Dagang dilahirkan dari istri pertama atau dari Nyonya Kapitan yang bernama Yap Sa Ting Ho.
Karena lahir dari ibu yang berbeda, dari Tionghoa dan Jawa menjadikan keturunan Secodiningrat tersebar menjadi dua kelompok yaitu budaya Tionghoa dan Budaya Jawa. Meskipun terdapat perbedaan budaya, namun mereka tetap bersatu dalam keluarga besar KRT Secodiningrat dalam wadah Trah Secodiningrat.
Keluarga Trah Secodiningrat banyak tersebar diberbagai kota terutama Jawa. Dan tak hanya beragama Islam, tetapi juga agama lain seperti Katholik, Kristen, dan Budha. Keturunan KRT Secodiningrat menjunjung tinggi perpaduan budaya Jawa dan Tionghoa, sekaligus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Tan Jin Sing, Bupati Tionghoa yang Akhir Hayatnya Diolok-olok
Di akhir hayatnya, Tan Jin Sing ditolak peranakan Tionghoa, dicurigai kaum ningrat Jawa, dan tak diberi jaminan keamanan oleh golongan Eropa.
Dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta, Tan Jin Sing tak sekadar fenomenal tapi juga kontroversial. Karier politiknya dimulai pada 1793, ketika ia menggantikan Oei Tek Liong, ayahnya, sebagai Kapiten Cina di Kedu. Usianya saat itu 33 tahun.
Pada 1802, atas desakan ayah mertuanya yang tua dan sakit-sakitan, ia pindah ke Yogyakarta. Selain untuk meneruskan usaha, Tan Jin Sing juga diminta untuk menggantikannya sebagai kapiten di wilayah tersebut.
Dipercaya Inggris dan Putra Mahkota.
Kepindahan Tan Jin Sing ke Yogyakarta bersamaan dengan masa-masa penuh kemelut di lingkungan keraton, mulai sengketa pewaris takhta antara Raden Mas Surojo dan Pangeran Notodiningrat hingga Geger Sepehi yang membuat Sultan Hamengku Buwono II lengser dari singgasana dan harta benda keraton dijarah.
Menurut Baha Uddin dalam "Kedudukan dan Relasi Politik Tan Jin Sing pada Peristiwa Geger Sepehi dalam Babad Panular, Babad Mangkubumi, dan Babad Pakualaman" (Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya, 2022, Vol. 23), saat pasukan Inggris yang dipimpin Sir Thomas Stamford Raffles merebut Hindia Belanda pada 18 September 1811, situasi politik di Yogyakarta ikut terdampak. Dua bulan menyusul pergantian rezim, Raffles mengangkat John Crawfurd sebagai Residen Yogyakarta.
Untuk melancarkan proses transisi, Crawfurd mengundang pejabat Kasultanan Yogyakarta dan pejabat publik di luar keraton ke kediamannya, salah satunya Tan Jin Sing. Besarnya pengaruh sang Kapiten Cina membuat Crawfurd tertarik menjalin hubungan baik dengannya.
Seturut Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825 (2008:63), golongan Eropa menggambarkan Tan Jin Sing sebagai “seorang laki-laki yang benar-benar cerdas dan terampil”, yang memadukan ketajaman seorang Tionghoa dengan pengetahuan lokal dan kecerdikan orang Jawa.
Selain berhubungan baik dengan John Crawfurd, Tan Jin Sing juga mendapat kepercayaan dari Raden Mas Surojo. Tak sebatas teman, ia juga menjadi asisten dan penerjemahnya. Menurut Peter Carey di buku yang sama, Kapiten Cina itu memang bisa berkomunikasi dalam berbagai bahasa, mulai Hokkian, Melayu, Jawa, Belanda, dan Inggris.
Tan Jin Sing mulai terseret ke dalam intrik politik di internal keraton setelah menjadi utusan rahasia Raden Mas Surojo kepada Residen Crawfurd. Berkat kontak diam-diam yang ia lakukan, Raffles berjanji membantu Raden Mas Surojo merebut kekuasaan dari tangan ayahnya.
Dalam surat yang ia tanda tangani, Raffles memerintahkan Sultan Hamengku Buwono II agar menyerahkan kekuasaannya kepada Raden Mas Surojo. Sultan menerima surat itu, membacanya dengan saksama, lalu membuangnya. Segera setelah it, ia perintahkan prajurit keraton agar bersiap menghadapi kemungkinan terburuk sebagai akibat dari penolakannya.
Sesudah upaya diplomasi gagal, pada 19-20 Juni 1812, pasukan Inggris yang kebanyakan berasal dari India menyerbu keraton dengan kekuatan 1.200 personel ditambah 500 prajurit Mangkunegaran dan 400 tentara Surakarta. Peristiwa tersebut dikenal dengan Geger Sepehi.
Setelah dibombardir dari segala penjuru, pasukan keraton gagal mempertahankan diri. Ketika pasukan Inggris merangsek masuk, sedikitnya 45 manuskrip dan sekira 350 kilogram emas dijarah. Sultan Hamengku Buwono II kemudian diasingkan ke Penang.
Menjadi Bupati Tionghoa Pertama.
Sebelum penyerbuan, Tan Jin Sing dipercaya untuk menyiapkan suplai logistik bagi pasukan Inggris. Dalam Babad Mangkubumi, dikisahkan bahwa Kapiten Cina tersebut sampai harus “menjual baju untuk mendapatkan bahan-bahan makanan.”
Sebagai imbalan atas kesetiaannya, Tan Jin Sing diangkat oleh Raden Mas Surojo--selanjutnya bergelar Sultan Hamengku Buwono III--sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Secodiningrat.
Pengangkatan tersebut mungkin tak lepas dari campur tangan Inggris. Yang pasti, ia juga mendapatkan apanase atau jatah tanah untuk bangsawan sebanyak 1.000 cacah (pembayar pajak per kepala keluarga). Tanah yang berlokasi di sebelah timur Bagelen itu semula merupakan kawasan perkebunan merica dan nila milik VOC.
Tak lama setelah menjabat sebagai bupati, bekas Kapiten Cina itu menyatakan masuk Islam dan dikhitan. Ia juga memotong taucang alias kuncir rambut yang merupakan identitas kultural warga Tionghoa.
Meski birokrat dari etnis Tionghoa merupakan hal lumrah di Jawa bagian timur dan kawasan pantai utara, tidak demikian di Yogyakarta. Tidak heran jika pengangkatan Tan Jin Sing sebagai bupati memantik keresahan sejumlah pihak.
Salah satu yang paling berang dengan pengangkatan itu adalah Pakualam I, ayah Pangeran Notodiningrat. Kemarahan Pakualam I tentu beralasan, sebab Tan Jin Sing adalah orang di balik suksesi Raden Mas Surojo, pesaing anaknya, sebagai penguasa baru Kasultanan Yogyakarta.
Selain Pakualam I yang terang-terangan berniat menghabisi Tan Jin Sing, bangsawan keraton lain juga melancarkan teror padanya. Hidup mantan Kapiten Cina itu berangsur kalut, terlebih setelah pelindungnya yakni Sultan Hamengku Buwono III mangkat pada 3 November 1814.
Di luar statusnya yang tak biasa berdarah Cina dan menjabat sebagai bupati kebencian pejabat keraton terhadap Tan Jin Sing juga disebabkan perilakunya yang dinilai kurang ajar.
Dalam buku yang sama, Peter Carey mencontohkan sikap tak terpuji Tan Jin Sing, di antaranya duduk di kursi yang sejajar dengan para pangeran senior dalam resepsi keraton, menyuruh utusan keraton bersimpuh sewaktu menemuinya, dan memberi gelar Raden Ayu, yang lazimnya diperuntukkan bagi perempuan ningrat, kepada istri Jawanya yang berasal dari rakyat jelata.
Di Persimpangan Tiga Dunia.
Asal-usul Tan Jin Sing sebenarnya penuh kabut, termasuk soal etnisitasnya. Satu pendapat menyebutnya lahir di tengah keluarga priyayi Jawa tapi kemudian diangkat anak oleh pasangan Tionghoa. Pendapat lain menyatakan ia sebenarnya hasil kawin campur antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan Jawa.
Kembali mengutip Baha Uddin dalam "Kedudukan dan Relasi Politik Tan Jin Sing pada Peristiwa Geger Sepehi dalam Babad Panular, Babad Mangkubumi, dan Babad Pakualaman" (Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya, 2022, Vol. 23), ibu Tan Jin Sing adalah perempuan Jawa bernama RA Patrawijaya, putri Raden Mas Kunting, yang tidak lain keturunan ketiga Sunan Amangkurat I. Artinya, Tan Jin Sing adalah keturunan kelima Sunan Amangkurat I atau keturunan keenam Sultan Agung, raja ketiga Kasultanan Mataram.
Sewaktu Wouter Hendrik van Ijsseldijk, Duta Besar Luar Biasa Belanda, berkunjung ke Yogyakarta pada September 1816, dengan cepat ia memahami posisi Tan Jin Sing yang telah terisolasi dari pergaulan bangsawan dan pejabat keraton.
Lebih-lebih pada kesempatan itu, Pakualam I menulis surat kepada van Ijsseldijk yang berisi tuduhan bahwa bekas Kapiten Cina tersebut adalah antek-antek Inggris. Dan sebagaimana ramalan Sultan Hamengku Buwono I, seorang Tionghoa seharusnya tidak menduduki jabatan berpengaruh di istana, sebab akan menimbulkan malapetaka.
Atas dasar itu, van Ijsseldijk menyarankan Tan Jin Sing pindah ke luar Yogyakarta. Namun, ia menolak lantaran masyarakat Tionghoa di kota-kota terdekat yakni Surakarta dan Semarang juga membencinya, akibat status politiknya yang unik di Yogyakarta.
Jalan terakhir baginya adalah mengajukan permohonan agar disamakan dengan golongan Eropa (gelijkgestelde) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Namun, usaha tersebut juga sia-sia. Bupati yang awalnya memiliki karier cemerlang itu kemudian menjalani sisa hidupnya di tengah persimpangan kultural yang aneh dan tidak nyaman.
Ia ditolak sesama peranakan Tionghoa karena melucuti identitas kulturalnya sendiri, dicurigai kaum ningrat Jawa sebagai orang kaya baru yang ambisius, sementara golongan Eropa yang pernah memanfaatkannya sebagai informan politik enggan memberinya jaminan keamanan dan persetujuan asimilasi yang diajukannya.
Pada akhir Perang Jawa (1825-1830), bunglon politik itu terpaksa menjual tanah-tanahnya untuk membayar utang. Pada 10 Mei 1831, ia meninggal dunia diiringi sebuah ungkapan olok-olok dari masyarakat Yogyakarta, “Cino wurung, Londo durung, Jowo tanggung (bukan lagi Tionghoa, belum jadi orang Belanda, Jawa pun masih tanggung)”.
Tan Jin Sing Bupati Yogyakarta jaman dulu penemu candi Borobudur
Tan Jin Sing (1760-1831) adalah seorang kapiten Tionghoa yang kemudian diangkat menjadi Bupati Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat pada 18 September 1813 oleh Thomas Stamford Raffles[4]. Pengangkatan ini terjadi sebagai imbalan atas jasanya membantu Inggris menggulingkan Sultan Sepuh dan mengangkat Sultan Hamengkubuwono III[4][9].
Meskipun memiliki nama Tionghoa, Tan Jin Sing sebenarnya adalah keturunan Jawa asli. Nama aslinya adalah Raden Luwar, putra Demang Beber dari Wonosobo dengan Raden Ayu Patrawijaya (putri Sunan Amangkurat IV). Saat masih dalam kandungan, ayahnya meninggal dunia, dan setelah lahir ia diadopsi oleh seorang kapiten Tionghoa bernama Oei The Long yang kemudian mengganti namanya menjadi Tan Jin Sing[1].
Tan Jin Sing memiliki peran penting dalam penemuan kembali Candi Borobudur. Pada 3 Agustus 1812, saat bertamu di rumah residen Inggris John Crawfurd yang sedang bersama Thomas Stamford Raffles, Tan Jin Sing mengetahui bahwa Raffles tertarik pada candi-candi di Jawa. Ia kemudian memberitahu bahwa seorang mandornya semasa kecil pernah melihat sebuah candi besar di Desa Bumisegoro, dekat Muntilan[3][6].
Setelah pertemuan tersebut, Tan Jin Sing menemui mandornya dan bersama-sama mereka pergi ke Desa Bumisegoro. Di sana mereka menemukan sebuah candi besar yang dipenuhi pepohonan dan tanaman liar, dengan bagian bawahnya tertimbun tanah. Tan Jin Sing melakukan pengamatan, membuat catatan dan peta lokasi yang kemudian dikirimkan kepada Raffles[6].
Meskipun Raffles yang tercatat dalam sejarah sebagai penemu Candi Borobudur, sesungguhnya Tan Jin Sing-lah yang bekerja keras menemukan lokasi candi tersebut berdasarkan informasi dari mandornya[6]. Setelah menerima laporan dari Tan Jin Sing, Raffles mengutus Hermanus Christiaan Cornelius untuk menyelidiki candi tersebut. Cornelius kemudian mengerahkan sekitar 200 penduduk untuk membersihkan semak belukar dan batu-batu di sekitar lokasi, sehingga wujud Candi Borobudur mulai terlihat jelas[5][8].
Di akhir hayatnya, Tan Jin Sing dikucilkan oleh masyarakat Jawa sekaligus masyarakat Tionghoa dan meninggal dalam keadaan relatif miskin pada Mei 1831[4]. Posisinya yang unik digambarkan dalam pantun Yogyakarta: "Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung" (bukan lagi Cina, belum jadi Belanda, seorang Jawa setengah matang)[4].
Citations :
[1] Tan Jin Sing: Orang Jawa Jadi Tionghoa, Bupati Jogja, Penemu ... https://kumparan.com/pandangan-jogja/tan-jin-sing-orang-jawa-jadi-tionghoa-bupati-jogja-penemu-candi-borobudur-228Vg1DYDoL
[2] Sejarah Singkat Candi Borobudur, Warisan Budaya Peninggalan ... https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7307043/sejarah-singkat-candi-borobudur-warisan-budaya-peninggalan-dinasti-syailendra
[3] Tan Jin Sing Menyingsing Lelap Candi Borobudur Setelah Berabad ... https://budaya.jogjaprov.go.id/berita/detail/364-tan-jin-sing-menyingsing-lelap-candi-borobudur-setelah-berabad-abad
[4] Tan Jin Sing - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas https://id.wikipedia.org/wiki/Tan_Jin_Sing
[5] Sempat Hilang dari Catatan Sejarah, Inilah Awal Mula Penemuan ... https://www.tempo.co/politik/sempat-hilang-dari-catatan-sejarah-inilah-awal-mula-penemuan-candi-borobudur--342164
[6] Siapakah Tan Jin Sing? (3) - PIKIRAN POSITIF https://www.tinbejogja.com/2023/03/siapakah-tan-jin-sing-3.html
[7] Tan Jin Sing, Sang Bupati Yogyakarta - Historia https://historia.id/politik/articles/tan-jin-sing-sang-bupati-yogyakarta-DB8Wk
[8] Sejarah Penemuan Candi Borobudur Hingga Tahap Restorasi ... https://tirto.id/sejarah-penemuan-candi-borobudur-hingga-tahap-restorasi-pemugaran-gs7X
[9] Tan Jin Sing, Bupati Tionghoa yang Akhir Hayatnya Diolok-olok https://tirto.id/tan-jin-sing-bupati-tionghoa-yang-akhir-hayatnya-diolok-olok-g2ce
[10] Sejarah Candi Borobudur: Simbol Dinasti Syailendra yang pernah ... https://www.bbc.com/indonesia/majalah-61701745
[11] [PDF] TAN JIN SING DAN KOMUNITAS TIONGHOA DI YOGYAKARTA ... https://online-journal.unja.ac.id/siginjai/article/download/30809/18299/103237
Biografi Tan Jin Sing
Tan Jin Sing terlahir dengan nama Raden Luwar dari pasangan Demang Beber dari Wonosobo dan Raden Ajeng Patrawijaya,putri dari Patih Danuredjo I/RT Yudhonegoro III. Tan Jin Sing lantas diangkat oleh Oei The Long, seorang kapitan Cina dari Wonosobo setelah bapaknya meninggal dan ibunya tidak mampu merawat. Pada usia 11 tahun, Tan Jin Sing sudah menguasai lima bahasa, yaitu Belanda, Inggris, Jawa, Hokkian, Mandarin. Tan Jin Sing sendiri diketahui memang memiliki dua istri, satu dari kalangan Keraton sementara satunya adalah keturunan Tionghoa bermarga Yap.[butuh rujukan]
Pengangkatan sebagai bupati :
Atas jasanya dalam membantu Inggris menggulingkan Sultan Sepuh dan mengangkat Sultan Hamengkubuwana III (ayah Pangeran Diponegoro), ia diangkat sebagai bupati (Bupati Nayoko) pada tanggal 18 September 1813 oleh Thomas Stamford Raffles dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat.[1] Dengan demikian, ia menjadi cikal bakal salah satu dari tiga keturunan Tionghoa di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, yaitu Trah Secodiningrat, sementara dua keturunan lain adalah Trah Honggodrono dan Trah Kartodirjo.[2] Selain diangkat sebagai bupati bagi Keraton Yogyakarta, ia juga mendapatkan lahan sebesar 800 cacah yang sebagian besar berada di Loano di bagian timur Bagelen.[3]
Namun hal ini adalah pemberian jabatan yang dilakukan di bawah tekanan. Pemberian sebuah jabatan kepada seseorang yang merupakan keturunan Tionghoa seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di Keraton Yogyakarta. Walaupun sebelumnya, pada periode pra-Giyanti, hal serupa pernah terjadi, di mana keturunan Tionghoa menjadi pemungut pajak petani di wilayah pesisir utara Jawa. Hal ini sebelumnya malah dilarang oleh Hamengkubuwana I di mana orang keturunan Tionghoa dilarang memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan karena hal ini dapat memicu perselisihan. Pengangkatan Tan Jin Sing sebagai bupati juga menjadi pemicu sentimen anti-Tionghoa selama Perang Diponegoro.[3]
Keterlibatan dalam Geger Sepehi :
Meskipun memiliki jasa besar terhadap Hamengkubuwana III, pengangkat Tan Jin Sing sebagai bupati memicu kontroversi karena perannya dalam peristiwa Geger Sepehi telah membuatnya dibenci oleh pihak keraton yang membela Sultan Sepuh. Ia juga dibenci oleh kalangan etnis Tionghoa karena dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa dalam peristiwa Perang Diponegoro.[1][4]
Saat penyerangan Inggris terhadap keraton, Tan Jin Sing berjasa dalam penyelamatan rombongan purtra mahkota Hamengkubuwana III, termasuk Diponegoro, saat mereka dikepung prajurit sipahi di jalan Ngasem waktu sedang mencari perlindungan di Taman Sari. Setelah HB III menjadi sultan pada 21 Juni 1812, Tan Jing Sing terus berjasa dalam negosiasi dengan Inggris tentang perjanjian baru antara pemerintah Inggris dan keraton-keraton Jawa tengah-selatan. Karena jasanya itulah beliau diangkat sebagai seorang tumenggung Keraton Yogyakarta dan tanah apanase 800 cacah (keluarga petani penggarap), terutama di Loano, Bagelen Utara.[5]
Penemuan Candi Borobudur :
Tan Jin Sing berjasa besar dalam membuat kemegahan Candi Borobudur dikenal dunia. Candi Borobudur awalnya ditemukan oleh anak buah Tan Jin Sing. Setelahnya, Tan Jin Sing sendiri mengeksplor candi tersebut dan meminta Thomas Stamford Raffles untuk melakukan restorasi.[butuh rujukan]
Akhir Hayat :
Tan Jin Sing dikucilkan oleh masyarakat Jawa sekaligus masyarakat Tionghoa dalam akhir hayatnya dan meninggal secara relatif miskin pada Mei 1831. Meskipun setelah mendapatkan posisi istimewa setelah tahun 1812 dan mendapatkan koneksi bagus dengan pejabat Eropa (baik Inggris dan Belanda) maupun Keraton selama pemerintahan HB III dan HB IV namun menimbulkan kecemburuan dan dibenci kalangan konservatif Istana karena sudah merebut hak-hak istimewa untuk dirinya sendiri. Sayangnya dia juga dijauhi dan dicurigai oleh komunitas Tionghoa karena posisi politiknya yang unik dan sikapnya yang meninggalkan adat Tionghoa. Posisi aneh ini menggantung tidak nyaman diantara tiga dunia (dunia Cina, Eropa, dan Jawa) disimpulkan dengan bagus dalam pantun cerdik Yogyakarta: "Cina wurung, Londo durung, Jawa tanggung" (bukan lagi Cina, belum jadi Belanda, seorang Jawa setengah matang).[5]
Tan Jin Sing meninggal pada tahun 1831 pada usia 71. Jejak-jejak kehidupan Tan Jin Sing lainnya bisa ditemukan di Kampung Ketandan, Yogyakarta.[butuh rujukan]
Kultur populer :
Nama Secodiningrat menjadi nama jalan di dekat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Referensi :
1) ^ Lompat ke:a b Budi Susanto (editor). 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 979-21-0851-3.
2) ^ Sutirman Eka Ardhana. 21 November 2013. Lurahing Pacino Kapitan Tan Jin Sing.
3) ^ Lompat ke:a b Carey, P. B. R.; A. Noor, Farish (2022). Ras, kuasa, dan kekerasan kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 97–98. ISBN 978-602-481-656-8. OCLC 1348391104.
4) ^ Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.
5) ^ Lompat ke:a b Carey, Peter (2022). Percakapan Dengan Diponegoro. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). hlm. 178–179. ISBN 978-602-481-900-2.
Koleksi Artikel Imajier Nuswantoro
Dicuplik dari berbagai sumber dan versi (karena tokoh Tan Jin Sing sangat menarik hingga menjadi bupati Jogyakarta)