GAPURA BENTAR MAJAN KEDUNGWARU TULUNGAGUNG
Tradisi dan budaya yang terdapat di skala lokal memang memberikan petunjuk terhadap adanya peradaban leluhur yang sudah terjadi. Sehingga kehidupan leluhur merupakan wujud nyata dalam membentuk pola-pola kehidupan. Maka dari itulah, daerah Tulungagung perlu untuk digali potensinya, agar generasi ke generasi mampu mengetahui dan memahami warisan leluhur di Tulungagung. Ragam peninggalan maupun warisan leluhur yang masih dapat ditemui, adalah wujud anugerah yang harus disyukuri, dinikmati, dan dipahami oleh setiap generasi sebagai refleksi kehidupan kedepannya. Sehingga ragam kajian lokalitas mampu menghadirkan nuansa pembelajaran peradaban yang beradab.
Akulturasi antara nilai-nilai Islam dengan kebudayaan lokal, memang menjadi tolok ukur dalam perkembangan dakwah Islam pada masanya. Sehingga keragaman kebudayaan yang ada di suatu daerah memang tidak bisa terlepas dari adanya filosofi dan akulturasi Islam dan budaya yang ada.
Ragam kebudayaan yang ada pada suatu daerah, dalam hal ini mencoba untuk mengkaji keberadaan Gapura Bentar, dalam lidah masyarakat Jawa menyebutnya Gapuro. Peninggalan masa lalu, atau bangunan baru yang menyerupai warisan leluhur, saat ini memang masih bisa ditemui di daerah Tulungagung. Meskipun demikian keberadaan Gapuro sendiri memiliki nilai-nilai lingkungan yang menghadirkan eksotisme serta etika kemanusiaan.
Gapuro
Sering kali melihat bangunan pembatas lingkungan rumah, tempat beribadah, pembatas wilayah kekuasaan, maupun jenis lainnya. Gapurolah yang menjadi bagian penting pembatas tersebut, masih banyak masyarakat yang menyepelekan keberadaan Gapuro, dikarenakan masih belum tahu secara optimal fungsi dan tujuan dibangunkannya. Untuk itulah betapa pentingnya khasanah kebudayaan bangunan klasik maupun modern bisa dicatat.
Gapura juga ada sebagai bangunan pembatas pintu masuk, baik di halaman rumah, makam, bangunan suci, dan lain sebagainya. Keunikan dan keindahan yang ada pada bangunan Gapuro telah memberi nuansa etika dan estetika pada kehidupan manusia. Bangunan Gapura telah menandakan suatu simbolisasi pengaruh kuat atas dasar pembangunannya pada suatu wilayah.
Patut diketahui, bahwasanya Gapura adalah wujud bangunan yang mampu menghadirkan nilai-nilai kearifan lokal bagi masyarakatnya, wujud kerukunan. Gapura akan memberikan suatu simbolisasi pada masyarakat, bahwasanya daerah tersebut telah memiliki wujud-wujud kearifan masyarakat.
Gapura senantiasa menjadikan wujud masyarakatnya yang memiliki hakikat hidup lebih baik. Salah satu contoh yang pernah ditulis pula dalam blog ini, keberadaan Gapura putih di Masjid Jami’ Tawangsari, Kedungwaru, Tulungagung. Ketika pada zaman dahulu ingin masuk ke kawasan masjid dan lingkungan ndalem Tawangsari, mereka berjalan jongkok.
Jejak-Jejak Sejarah Tawangsari, Tulungagung
Jejak-jejak peradaban masyarakat lama memang dapat diketahui dari peninggalan yang masih bisa dipelajari dan didokumentasikan. Gapura merupakan warisan lama antar peradaban yang mampu memberikan kontribusi ilmu pengetahuan pada generasi ke generasi.
Ada pula yang mengistilahkan Gapuro itu wujud simbolisasi sepuro, minta maaf, pengampunan (kalau memasuki ruang suci), dan masih banyak lainnya tafsiran mengenai Gapuro. Namun pada esensinya wujud bangunan Gapuro merupakan petanda suatu wilayah penting yang masih memiliki nilai-nilai sejarah, kebudayaan, dan bahkan sifat religi.
Untuk itu sebagaimana diketahui oleh para pendahulu, bahwasanya Gapuro adalah perwujudan benda bangunan yang menjadi pembatas suatu wilayah atau daerah. Sebagaimana diketahui sampai saat ini, bangunan Gapuro senantiasa terus ada dan dibangun sesuai dengan selera orang yang membangunnya (berduit), dan adapula Gapura dibangun di rumah yang dihias sedemikian, menandakan dari status yang empunya rumah.
Raden KH Khasan Mimbar dan Kisah Bersejarah Masjid Tertua di Tulungagung.
Dengan sumber daya alamnya yang melimpah Kabupaten Tulungagung dikenal sebagai penghasil marmer terbaik di Indonesia. Namun demikian, sejatinya bicara mengenai Tulungagung bukan hanya bicara ekonomi. Jika ditelisik secara historis, Tulungagung faktanya juga kaya dengan keragaman budaya dan warisan sejarah.
Salah satu warisan sejarah di Kabupaten Tulungagung adalah Masjid Al Mimbar di Desa Majan, Kecamatan Kedungwaru. Masjid Al-Mimbar merupakan masjid tertua dan saksi sejarah penyebaran agama Islam di Kabupaten Tulungagung. Catatan sejarah menyebutkan, masjid ini didirikan oleh Raden KH Khasan Mimbar pada 1790.
Masjid ini unik, berbentuk limasan dengan menara dan memiliki gapura dengan gaya arsitektur Kasultanan Mataram. Masjid ini menjadi maskot wisata religi di Tulungagung dan masih digunakan untuk beribadah bagi masyarakat di Desa Majan.
Keberadaan masjid ini merupakan bukti sejarah jika Islam disebarkan dengan damai di Tulungagung. Bentuk asli dari masjid ini adalah serambinya di mana tidak ada dinding yang mengelilingi. Kini setelah melalui berbagai renovasi, yang paling unik dari masjid ini adalah gerbang. Bentuk asli gerbang Masjid Al Mimbar yang terbuat dari batu-bata merah yang disusun hingga berbentuk pintu masuk khas Kesultanan Mataram masih bisa dilihat hingga saat ini.
Berdasarkan catatan sejarah, Raden KH Khasan Mimbar tiba di Ngrowo (nama lawas Tulungagung) sekitar awal abad ke-17 di masa sebelum Perjanjian Giyanti. 1727, Raden KH Khasan Mimbar diberi tugas oleh Raja Kasultanan Mataram Sri Susuhunan Pakubuwono II melalui Bupati Ngrowo I (cikal bakal Tulungagung) Adipati Kiai Ngabehi Mangundirono untuk berdakwah sekaligus melaksanakan urusan pernikahan secara islam.
Untuk menjalankan misi penyiaran Islam, Raden KH Khasan Mimbar juga mendapatkan senjata pusaka berupa golok. Pusaka tersebut diterima secara langsung dari Sinuhun Sri Susuhunan Pakubuwono II. Pusaka inilah yang kemudian populer dengan nama Kiai Golok. Dengan ditemani oleh pusaka Kiai Golok inilah, Raden KH Khasan Mimbar menyebarkan ajaran agama Islam di Majan sehingga Islam berkembang sangat pesat di seluruh Tulungagung hingga hari ini.
Dalam menjalankan tugasnya di Ngrowo, Raden KH Khasan Mimbar diberikan tanah perdikan di wilayah Majan. Sebagai tanah perdikan kraton, Majan saat itu diberikan kebebasan untuk tidak membayar pajak kepada Hindia Belanda karena masih punya jejak historis dengan Mataram.
Catatan sejarah juga menyebutkan, pada abad ke 16-17 M, penduduk Kadipaten Ngrowo memang sudah banyak yang memeluk agama Islam. Namun tradisi dan tata cara beribadah mereka masih campur aduk dengan tradisi agama Hindu. Terutama dalam keseharian adat-istiadat seperti tradisi sesajen, penghormatan terhadap arwah, pernikahan adat, dan upacara-upacara adat lainnya. Kebiasaan masyarakat dalam menjalankan ibadah ini menjadi pekerjaan rumah utama Raden KH Khasan Mimbar.
Misi dakwah Raden KH Khasan Mimbar berhasil memisahkan asal tradisi antara ajaran Islam dengan ajaran Hindu. Raden KH Khasan Mimbar juga berhasil memasukkan unsur Islam dalam setiap lini kehidupan masyarakat Kadipaten Ngrowo. Dengan syiar agama Islam dan kajian kitab Al-Quran, masyarakat Kadipaten Ngrowo kemudian hidup beragama sesuai syariat.
Jika ditelusuri secara silsilah, Raden KH Khasan Mimbar masih merupakan keluarga Kasultanan Mataram. Raden KH Khasan Mimbar adalah putra Kiai Ageng Wiroyudo. Kiai Ageng Wiroyudo merupakan putra dari Raden Tumenggung Sontoyudo II. Jika ditarik keatas lagi, Raden Tumenggung Sentoyudo II adalah putra dari Raden Tumenggung Sontoyudo I. Raden Tumenggung Sentoyudo I adalah putra dari Raden Mas Ayu Sigit. Raden Mas Ayu Sigit tak lain merupakan putra dari Kanjeng Ratu Mas Sekar. Ratu Mas Sekar adalah adik Sultan Agung Raja Ketiga Kasultanan Mataram Islam. Dua kakak beradik ini merupakan putra-putri dari Panembahan Hanyakrawati, Raja kedua Kasultanan Mataram.
Raden Kiai Khasan Mimbar masih satu saudara dengan Ki Ageng Derpoyudo, ayah dari Raden Ronggo Prawirosentiko. Raden Ronggo Prawirosentiko adalah panglima perang Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I) pada Perang Jawa I. Raden Ronggo Prawirosentiko kemudian menjadi Bupati Madiun ke-14 merangkap Bupati Wedana Mancenegara Timur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1755 setelah Perjanjian Giyanti yang memecah Kasultanan Mataram menjadi dua kerajaan yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Keponakan Raden KH Khasan Mimbar yakni Raden Ronggo Prawirosentiko adalah orang kepercayaan Sri Sultan Hamangkubuwono I. Setelah Perjanjian Giyanti, Raden Ronggo Prawirosentiko berperan ikut membantu Sri Sultan Hamengkubuwono I merancang desain Karaton Yogyakakarta dan Tamansari. Dua bangunan ini menjadi warisan sejarah penting bagi peradaban dan kemegahanya bisa disaksikan hingga saat ini.
Sepak terjang Raden KH Khasan Mimbar hingga kini masih membekas di hati masyarakat Tulungagung. Sebagai pendakwah yang diutus kerajaan, ajaran utama Raden KH Khasan Mimbar kepada murid-muridnya adalah tauhid yakni dzikir lailaha illallah. Dasar dari ajaran tersebut adalah sikap seorang hamba kepada tuhannya bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran tauhid melalui dzikir ini masih sering dilantunkan jamaah di Masjid Al-Mimbar hingga sekarang.
Tak jauh dari Masjid Al Mimbar terdapat Pondok Pesantren Nggrenjol. Di pondok inilah, para keturunan Raden KH Khasan Mimbar dahulu berdakwah. Meski kini mati suri, pondok ini dulunya merupakan tempat para santri menimba ilmu agama dan ilmu pengetahuan.
Perjuangan Raden KH Khasan Mimbar menyebarkan agama Islam di Tulungagung terus dilanjutkan oleh keturunannya. Setelah Raden KH Khasan Mimbar wafat, Tanah Perdikan Majan diambil alih pemerintah Indonesia pada 1979. Meski demikian, proses dakwah Islam masih tetap berlanjut sampai saat ini di Masjid Al-Mimbar dengan imam utamanya Raden KH Moh Yasin.
Bukti kuat jika Tanah Perdikan Majan punya posisi penting di pemerintahan Kadipaten Ngrowo adalah di barat pemakaman terdapat makam beberapa bupati yang pernah memimpin daerah tersebut. Diantaranya Kanjeng Pangeran Haryo Kusumoyudho (Patih Jogja ke-3), Raden Mas Tumenggung Pringgodiningrat Bupati Ngrowo (sekarang Tulungagung) ke-4, Raden Mas Tumenggung Adipati Joyodiningrat (Bupati Ngrowo ke-5) dan Raden Mas Tumenggung Pringgokusumo (Bupati Ngrowo ke 10). Dari seluruh makam, makam Raden KH Khasan Mimbar adalah yang paling banyak dikunjungi peziarah.
Imajier Nuswantoro