KISAH PANGERAN PURBAYA
Dikutip dari Sumber referensi : Wikipedia bahwa nama aslinya Pangeran Purbaya adalah Jaka Umbaran. Ia merupakan putra dari Panembahan Senopati yang lahir dari istri putri Ki Ageng Giring.
Babad Tanah Jawi mengisahkan, Ki Ageng Giring menemukan kelapa muda ajaib yang jika airnya diminum sampai habis dalam sekali teguk, akan menyebabkan si peminum dapat menurunkan raja-raja tanah Jawa. Tanpa sengaja air kelapa muda itu terminum habis oleh Ki Ageng Pamanahan yang bertamu ke Giring dalam keadaan haus.
Ki Ageng Pamanahan merasa bersalah setelah mengetahui khasiat air kelapa ajaib itu. Ia lalu menikahkan putranya, yaitu Sutawijaya dengan anak perempuan Ki Ageng Giring. Namun karena istrinya itu berwajah jelek, Sutawijaya pun pulang ke Mataram dan meninggalkannya dalam keadaan mengandung.
Putri Giring kemudian melahirkan Jaka Umbaran (diumbar dalam bahasa Jawa artinya “ditelantarkan”). Setelah dewasa Jaka Umbaran pergi ke Mataram untuk mendapat pengakuan dari ayahnya. Saat itu Sutawijaya sudah bergelar Panembahan Senopati. Melalui perjuangan yang berat, Jaka Umbaran akhirnya berhasil mendapat pengakuan sebagai putra Mataram dengan gelar Pangeran Purbaya.
Naskah babad mengisahkan putra Panembahan Senopati yang paling sakti ada dua. Yang pertama adalah Raden Rangga yang mati muda, sedangkan yang kedua adalah Purbaya. Ia merupakan pelindung takhta Mataram saat dipimpin keponakannya, yaitu Sultan Agung (1613-1645).
Sebagian masyarakat Jawa percaya kalau Sultan Agung sebenarnya putra kandung Purbaya. Konon, Sultan Agung sewaktu bayi sengaja ditukar Purbaya dengan bayi yang dilahirkan istrinya. Kisah ini seolah berpendapat kalau Sultan Agung adalah perpaduan darah Mataram dan Giring. Namun pendapat ini hanyalah pendapat minoritas yang kebenarannya sulit dibuktikan.
Pangeran Purbaya hidup sampai zaman pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Ia hampir saja menjadi korban ketika Amangkurat I menumpas tokoh-tokoh senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya. Untungnya, Purbaya saat itu mendapat perlindungan dari ibu suri (janda Sultan Agung).
Purbaya meninggal dunia bulan Oktober 1676 saat ikut serta menghadapi pemberontakan Trunajaya. Amangkurat I mengirim pasukan besar yang dipimpin Adipati Anom, putranya, untuk menghancurkan desa Demung (dekat Besuki) yang merupakan markas orang-orang Makasar sekutu Trunajaya. Perang besar terjadi di desa Gogodog. Pangeran Purbaya yang sudah lanjut usia gugur akibat dikeroyok orang-orang Makasar dan Madura.
Kisah Wahyu Gagak Emprit
KLIK DISINI :
https://syehhakediri.blogspot.com/2024/10/wahyu-gagak-emprit-siapapun-yang.html
BERIKUT KISAH PANGERAN PURBAYA
Berawal dari munculnya Wahyu Gagak Emprit akhirnya Ki Ageng Pemanahan mengambil jalan tengah yaitu menjodohkan Danang Sutawijaya putranya dengan Niken Purwasari / Rara Lembayung putri dari Ki Ageng Giring III.
Akhirnya pernikahan antara Niken Purwasari dan Danang Sutawijaya pun berlangsung meski sebenarnya Danang Sutawijaya tidak tertarik dengan Niken Purwasari.
Pernikahan berlangsung di rumah Ki Ageng Giring III.
Beberapa minggu setelah pernikahan, Danang Sutawijaya meninggalkan istrinya kembali ke Pajang.
Sebelum kembali beliau meninggalkan sebuah keris tanpa warangka.
Sembilan bulan tlah berlalu, Niken Purwasari melahirkan jabang bayi laki laki yang di beri nama Jaka Umbaran. Jaka Umbaran tumbuh besar dalam asuhan kakeknya Ki Ageng Giring III dan Ibunya Rara Lembayung.
Hingga pada suatu hari Jaka Umbaran menanyakan siapa Bapaknya ?
Ibunya dan kakeknya sebenarnya tidak mau menjelaskan tapi karena desakan putranya akhirnya dengan berat hati Ibunya menjawab bahwa Bapaknya adalah seorang pembesar di Kotagedhe.
Singkat cerita berangkatlah Jaka Umbaran ke Kotagedhe untuk menemui Bapaknya.
Jaka Umbaran berangkat dengan membawa bukti sebilah keris tanpa warangka peninggalan Bapaknya.
Sesampai di Kotagedhe akhirnya Jaka Umbaran bisa bertemu dengan Bapaknya yaitu Danang Sutawijaya yang sekarang menjadi Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati.
Tetapi Bapaknya tidak begitu saja menerima Jaka Umbaran sebagai putranya.
Panembahan Senopati meminta Jaka Umbaran untuk pulang dan mengajukan syarat bahwa keris tersebut harus di beri warangka yang bernama Kayu Purwasari.
Sesampai di Sodo Gunungkidul, Jaka Umbaran menceritakan syarat yang di minta Bapaknya kepada Ibu dan kakeknya.
Kejadiannya cepat sekali,Rara Lembayung langsung mengambil keris yang di bawa putranya dan di tusukkan ke perut Rara Lembayung.
Rara Lembayung mengorbankan diri demi putranya.
Karena yang di maksud warangka oleh Panembahan Senopati adalah dirinya.
Sebelum wafat Rara Lembayung berpesan kepada putranya untuk memakamkan beliau di tempat yang mulia.
Setelah wafat Rara Lembayung di makamkan di Sodo Paliyan.
Meski sangat bersedih karena kehilangan Ibunya,Beberapa hari kemudian Jaka Umbaran kembali ke Kotagedhe dan bertemu dengan Bapaknya serta menceritakan tentang Ibunya yang meninggal secara tragis.
Panembahan Senopati terdiam sesaat tidak menyangka jika Rara Lembayung mengorbankan dirinya demi putra mereka.
Panembahan Senopati kemudian memeluk putranya dan meminta maaf atas kesalahan Beliau.
Akhirnya Panembahan Senopati menerima Jaka Umbaran sebagai putranya dan memberi nama Raden Purbaya atau lebih di kenal dengan nama Pangeran Purbaya.
Dan kepada Niken Purwasari istrinya, beliau memberi gelar Anumerta " Kangdjeng Ratu Giring "
Pangeran Purbaya selama di Kraton mendapat latihan Kanuragan dan ilmu agama serta Ilmu kehidupan lainnya.
Beberapa kali Pangeran Purbaya ikut Bapaknya perang melawan musuh salah satu perang melawan Panembahan Raden Madiun yang kemudian di kenal dengan " Bedhah Madiun "
Meskipun Pangeran Purbaya terlahir sebagai putra sulung Panembahan Senopati tetapi tidak terpilih sebagai pengganti Bapaknya sebagai Raja Mataram selanjutnya.
Namun demikian kelak keturunannya generasi ke lima menjadi Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Pakubuwana I.
Pada suatu hari Pangeran Purbaya teringat akan pesan Ibunya untuk di kuburkan di tempat yang mulia.
Kemudian Pangeran Purbaya kembali ke Sodo Paliyan Gunungkidul dan menggali makam Ibunya dan memasukkan tulang belulang Ibunya dan memasukkan ke dalam peti dan berusaha mencari tempat yang di maksud Ibunya.
Setelah melewati beberapa desa dan hutan pada suatu malam Beliau melihat cahaya terang yang berjalan dari langit,di ikutinya cahaya terang tersebut hingga akhirnya jatuh dan hilang di sebuah tempat.
Pangeran Purbaya yakin bahwa tempat jatuhnya cahaya tersebut adalah tempat yang di maksud Ibunya dulu.
Akhirnya peti berisi tulang belulang Ibunya kemudian di makamkan di tempat tersebut dan tempat tersebut beliau beri nama " Wot Galeh "
Rahayu Sagung Dumadi
Di tulis oleh K.R.T Koes Sajid Jayaningrat.