KISAH-KISAH SABDO PALON NOYO GENGGONG
Sabdo Palon Noyo Génggong,
Saya akan datang 500 tahun lagi guna menagih janji, Janji Sabdopalon sebelum berpisah dengan Prabu Brawijaya V.
Suatu saat akan datang sang pemimpin dari pinggiran kali Solo yang mampu mewujudkan impian anak cucuku.
Dumono pemimpin itu memberikan hak-hakku yang sebelumnya telah direbut bangsa keturunan Kurawa. Ditempat yang barulah seluruh dunia akan Silau akan Cahaya Nuswantoro
Ingat berdirinya :
Garudho Wisnu Kencana di Pulau Maha Dewa akan mengawali Tonggak Dunia
Nuswantoro Terlahir kembali (nukilan Serat Mohomiru).
Kisah Sabdopalon dalam serat Dharmo Gandhul (tahun 1830).
Awal cerita yang melatar belakangi kepercayaan sebagian orang Jawa ini adalah ketika runtuhnya Kerajaan Majapahit di tangan Prabu Brawijaya V yang memerintah tahun 1453-1478.
Dalam Serat Darmagandhul pada bait-bait terakhir memberikan gambaran konflik sosial religius dan keruntuhan kekuasaan kerajaan Hindu di Nusantara.
Serat Dharmagandhul menceritakan kisah pertemuan antara :
Kanjeng Sunan Kalijaga Shang Prabu Brawijaya V, Sabdo Palon Noyo Génggong di daerah Blambangan.
Pertemuan ini terjadi ketika Kanjeng Sunan Kalijogo mencari keberadaan Prabu Brawijaya V pasca Penyerbuan Majapahit oleh Demak Bintoro.
Kanjeng Sunan Kalijogo menemukan Prabu Brawijaya V yang tengah lari ke Blambangan dalam upaya mencari bantuan Kerajaan di Bali untuk menyerang balik serangan si Anak Durhaka, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit.
Namun hal ini bisa dicegah oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, atas hancurnya Majapahit dengan kekalahan Raja Brawijaya V, maka Kanjeng Sunan Kalijaga memaksa Shang Prabu Brawijaya V untuk pindah agama anyar
Namun Sabdo Palon tidak bersedia masuk Islam sehingga akhirnya mereka sepakat untuk berpisah.
Nukilan Nasehat Sabdopalon kepada Prabu Brawijaya V Sabdo Palon berkata kepada Prabu Brawijaya :
“Paduko sampun kelajeng kelorob, karso dados Jawan, irib-iriban, temen manut nunut-nunut, tanpo guno kulo êmong,
Kulo wirang dhatêng bumi langit,
Wirang momong tiyang cabluk,
Kulo badhé pados momongan ingkang aMripat saTunggal,
Kulo botên rêmên momong paduko
Manawi paduko botên pitados, kang kasêbut ing Pikêkah Jawi,
Nomo Manik Moyo, puniko kulo
ingkang yoso kawah wédang sak ngingGiling rêdi Mohomeru puniko sadoyo kulo …”.
Sabdopalon matur yen arêp misah,
Barêng didangu lungané mênyang ngêndi,
"Kulo ora lungo , nanging ora manggon ing kono,
mung hanêtêpi jênêngé Sêmar, nglimputi saliré wujud, angleléli Kalingan Padhang. …..”.
“Kulo niki "Ratu Dhang Hyang" sing ngRumêkso Tanah Jowo
Sintên ingkang jumênêng Noto, dados momongan kulo.
Wiwit saking lêluhur Paduko rumiyin, Sang Wiku Manumanoso ,Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki,
Kulo momong mikukuhi lajêr Jawi,
Dumugi sapriki umur kulo sampun 2.000 langkung 3 taun,
Momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang éwah Agamanipun,
"Paduko punopo kêkilapan dhatêng nomo kulo "Sabdapalon..?" noon..
"Sabdo" têgêsipun "Pamuwus"
"Palon" meniko "Pikukuh kandhang"
"Noyo" têgêsipun 'Ulat",
"Génggong" puniko "Langgêng" botên ewah.
Dados wicantên kulo puniko :
kénging kanggé Pikêkah Ulat
"Pasêmoning Tanah Jawi, Langgêng Salaminipun.”
SABDO PALON BERTEMU SYEH SUBAKIR
Ini adalah dialog imajiner antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir di atas Gunung Tidar. Gunung Tidar adalah Gunung paku, pakunya Tanah Jawa. Juga gunung patok, patoknya Tanah Jawa. Juga disebut gunung punjer yang berarti punjer atau pusernya Tanah Jawa.
Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.
Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala)Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.
Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyangnya (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.
Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?
Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.
Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.
Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang 'alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang 'alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut 'Ulama.
Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?
Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.
Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan Buda yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?
Syeh Subakir : Biarkan kawulo (rakyat) memilih keyakinannya sendiri. Bukuankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau 'ajaran' asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?
Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada 'kapitayan' asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.
Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.
Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat 'tan keno kinoyo ngopo', tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan 'alam manusia'. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai 'wakil' dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung. Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi SANG MAHA ADA. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.
Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.
Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.
Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.
Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.
Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?
Sabdopalon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat - syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.
Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namu jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.
DONGENG SEMAR & SYEKH SUBAKIR
Tugu itu berdiri di puncak gunung Tidar. Dan ini uniknya tugu itu berdiri diantara makam/petilasan Syekh Subakir dan makam/petilasan Eyang Semar. Dua tokoh yang dalam dongengnya pernah berseteru di zamannya. Dan seperti cerita sinetron di televisi, kalian tahu lah siapa pemenangnya jika ada pertempuran antara orang yang berbaju gamis vs orang berbaju daerah.
Tugu itu memiliki tiga sisi dan tiap sisinya tertera satu huruf Jawa "S". Dan tiga huruf "S" tersebut bisa dibaca ; "Sopo-Salah-Seleh". Terjemahan bebasnya : " Barang siapa yang bersalah akan ketahuan.."
Syekh Subakir adalah misionaris Islam utusan Sultan Turki Utsmaniyah, tugas utamanya adalah untuk meng-islamkan orang-orang di tanah Jawa. Tapi tugas mereka selalu gagal karena di Jawa dihuni banyak iblis, setan, dan jin yang diketahui oleh Eyang Semar. Baru di tangan Syekh Subakir inilah Eyang Semar dan para pengikutnya bisa dikalah-taklukan???
Anda percaya dengan dongeng semacam itu? Silakan. Tapi kalau saya tidak percaya! Bahkan menurut saya itu dongeng penuh pembodohan. Islam masuk tanah Jawa itu sekitar abad 13-14, dan jauh sebelum itu, di tanah Jawa sudah berdiri kerajaan-kerajaan besar macam-macam seperti : Majapahit, Singosari, dan Mataram kuno.
Ketika Eropa masih di zaman kegelapan, manusia Jawa sudah bisa membuat Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang teknologinya masih tetap membuat takjub manusia zaman digital saat ini. Leluhur kita sudah tahu etika, estetika, keluhuran falsafah, budaya dan spiritualitas yang sangat dalam.
Tidak usah jauh-jauh lah, di saat berdirinya kerajaan Majapahit saja di desa Tarik pada tahun 1293, itu tahun yang hampir sama dengan di Inggris sana sudah ada parlemen. Jadi suatu pembodohan yang parah ketika di Inggris sudah ada parlemen dan Thomas Aquina sudah menuliskan karyanya yang sampai kini masih berpengaruh Sumna Theologica (1256). Dan di zaman Majapahit ada Mpu Prapanca yang menulis Kitab Negarakertagama {negara dengan tradisi (agama)} yang suci. Dari kitab ini kita bisa melihat dan membaca bagaimana kerajaan Majapahit dari pandangan sosial budaya, ekonomi, politik luar negeri, wilayah Majapahit, keadaan-situasi, negara bawaan Majapahit dan sebagainya.
Jadi jelas, cerita Syekh Subakir mengalahkan Eyang Semar, adalah dongeng pembodohan, pengaburan sejarah dan usaha memutus hubungan kita dengan leluhur Nusantara yang sebenarnya cerdas secara intelek (IQ) dan sangat arif secara emosional (EQ)/spiritual. Kebutaan kita jadi bangsa bermental inferior. Di otak bawah sadarnya selalu merasa sebagai bangsa keturunan bangsa setan, jin, dan demit yang hanya bisa bikin ribut dan rusuh? Bahkan untuk urusan yang paling sepele seperti cara makan, berpakaian, bahasa, serta cara cebok dan potong kuku pun, dll, harus diajarin??!!
Leluhur Nusantara itu punya peradaban yang sangat maju, tidak hanya mampu membuat candi-candi yang megah, artistik, dan penuh makna. Tapi leluhur Nusantara juga pelaut-pelaut tangguh yang berarti bahwa tahu ilmu astronomi, punya penanggalan untuk menandai musim, tahu teknik pengecoran logam, buat irigasi, tata pemerintahan yang teratur dan sebagainya. Jadi sebenarnya apa tujuan penulisan/propaganda kisah manusia Nusantara, khususnya orang Jawa. Yang diputar balik seolah jadi Negeri dongeng yang hanya diisi para jin, iblis, dan setan yang harus dikalahkan?.. Kita dibuat memandang masa silam, terasa begitu jauh, padahal jaraknya tak selama ribuan tahun. Kita memandang diri kita seakan tanpa geografis hidup di negeri dongeng antah berantah.
Saya tidak anti agama Islam. Banyak tokoh sufi/tasawuf yang pemikir Islam yang saya kagumi. Jadi yang saya kritisi di sini ya sebatas institusi, budaya dan manusia-manusianya yang membawa bendera Islam, dalam berperilaku. Itu saja.!!
Jadi jelas, metode-uji saya sangat sederhana tapi akurat dan tak terbantah. Anda cukup beri angka tahun atau abad ke berapa Syech Subakir datang ke Nusantara. Saya akan tunjukkan dengan kebenaran fakta sejarah (bukan asumsi atau keyakinan), bahwa dongeng Syekh Subakir mengalahkan Eyang Semar itu adalah : "Dongeng para penipu yang penuh pembodohan..!!
WUKIR MAHENDRA GIRI
Sebuah patung yang dinisbatkan
sebagai Sabda Palon Semar di Candi Cetho, Karanganyar, Jawa Tengah tepatnya di dusun Ceto, desa Gumeng di Lereng Gunung Lawu (Wukir Mahendra Giri).
Ada yang menyebut Sabdo Palon Semar telah ada di bumi Nusantara 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya era Prabu Brawijaya
Keberadaan Semar diyakini dengan istilah mencolo putro, mencolo putri
artinya dapat mewujud/menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa.
Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan sebagai sosok "Begawan atau Pandhita".
Hal ini dapat dipahami karna dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep Menitis dan Cokro Manggilingan.
"...Paduka punapa kekilapan dhateng nami kula Sabdo Palon ? Sabdo tegesipun pamuwus, Palon ; pikukuh kandhang
Naya tegesipun ulat,
Genggong ; langgeng boten ewah
Dados wicanten kula punika, kenging kangge pikekah ulat pasemoning
tanah Jawi langgeng salaminipun "
"...apakah Paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon ? Sabda artinya kalimat/perkataan. Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup
di tanah Jawa, abadi selamanya "
SABDO PALON NAGIH JANJI
Kisah Sabdo Palon banyak dibicarakan orang tepat sesaat setelah Gunung Merapi beraktivitas erupsi 5 kali dalam jangka waktu tiga hari. Muncul narasi, Sabdo Palon akan menagih janji karena tahun 2020 merupakan tepat 500 tahun penasehat Prabu Brawijaya V ini muksa di Gunung Lawu.
Sesuai janjinya, Sabdo Palon akan datang kembali setelah 500 tahun untuk mengembalikan masa kejayaan yang dahulu diraih bersama Kerajaan Majapahit. Saat dimana ilmu budi menjadi yang utama sebagai pedoman hidup masyarakat Jawa.
Kisah diawali dengan adanya persidangan di Istana Kesultanan Turki Utsmania di Istambul yang dipimpin langsung oleh Sultan Muhammad I. Persidangan kali ini membahas mimpi Sang Sultan. Menurut Sultan Muhammad, beliu bermimpi mendapat perintah untuk menyebarkan dakwah islamiah ke Tanah Jawa. Adapun mubalighnya haruslah berjumlah sembilan orang. Jika ada yang pulang atau wafat maka akan digantikan oleh ulama lain asal tetap berjumlah sembilan.
Maka dikumpulkanlah beberapa ulama terkemuka dari seluruh dunia Islam waktu itu. Para ulama yang dikumpulkan tersebut mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, ahli perubatan, ahli tumbal, dll. Titah dari Baginda Sultan Muhammad kepada mereka adalah perintah untuk mendatangi Tanah Jawa dengan tugas khusus yaitu penyebaran Agama Islam.
Suatu hari, Raja kerajaan Majapahit, yakni Raja Brawijaya V pindah keyakinan. Dari keyakinan lama menjadi pemeluk Islam. Sehingga terpaksa dia juga harus berpisah dengan guru spiritualnya yang bernama Sabdo Palon Noyo Genggong. Sang guru tidak rela muridnya meninggalkan kepercayaan lama yang telah mengakar.
Maka, Sabdo Palon pun marah. Dia mengatakan agama baru yang sempurna itu tidak dijalankan paripurna oleh pemeluknya. Oleh karena itu agama ini akan hancur dan agama lama kembali berjaya.
Diingatkan seperti itu, sang Raja tetap pindah keyakinan dan ini membuat Sabdo Palon semakin marah. Dengan berat hati, Sabdo Palon pun melepas murid kesayangannya itu. Kemudian Sabdo Palon mengubah wujud menjadi sinar, dan berkelebat cepat terbang menuju timur.
Sabdo Palon konon akhirnya menjadi penguasa Alas Purwo, memerintah makhluk halus se-tanah Jawa. Dia juga berjanji 500 tahun lagi akan merebut tanah Jawa dan agama lama akan Berjaya kembali.
Syeh Subakir adalah salah satu ulama yang diutus Sultan Muhammad untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Sabdo Palon dan Syekh Subakir membuat sebuah perjanjian yang diucapkan di atas gunung Tidar.
Saat itu Sabdo Palon memberikan sebuah syarat jika para ulama ingin menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Kurang lebih, inilah syarat yang disebutkan oleh Sabdo Palon,
"Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat-syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro".
3 NASIHAT SUNAN KALIJAGA LEWAT LAKON SEMAR
1. Ojo ngaku pinter yen durung biso nggoleki lupute awake dhewe (Jangan mengaku pintar jika belum bisa mencari kesalahan diri sendiri).
2. Ojo ngaku unggul yen ijeh seneng ngasorake wong liyo (Jangan mengaku unggul jika masih senang merendahkan orang lain).
3. Ojo ngaku suci yen durung biso manunggal ing Gusti (Jangan mengaku suci jika masih belum bisa manunggal dalam Gusti).
Semar sesungguhnya sudah dikenal masyarakat Jawa jauh sebelum Kanjeng Sunan Kalijaga lahir. Nama Semar sendiri bisa ditemukan misalnya dalam kakawin Majapahitan, Sanghyang Nawaruci dan Sudamala (yang juga terdapat dalam relief di Candi Sukuh). Beliau dipahami sebagai prototipe manusia Jawa sejati, sosok paripurna yang telah menemukan jati dirinya. Manusia Jawa sejati adalah ia yang senantiasa sadar diri, tahu diri, “sumeleh ing pamikir” (bersikap rendah hati dalam berpikir) dan “sumarah ing karep” (memasrahkan seluruh keinginan pada kehendak Gusti).
Kata Jawa sendiri oleh para leluhur dimaknai sebagai keadaan sadar, mengerti, eling, dan waspada. Meskipun seseorang keturunan Jawa, tetapi jika belum sadar diri dan tahu diri, oleh leluhur ia disebut “ora njowo”. Sebaliknya, meskipun seseorang bukan keturunan Jawa, tetapi jika senantiasa sadar diri dan tahu diri, ia disebut “njowo”. Melalui lakon Semar dalam kesenian wayang, Kanjeng Sunan Kalijaga, Sang Guru Agung Tanah Jawa, membabar ajaran tentang Manusia Jawa Sejati.
WELINGE MBAH SEMAR SABDO PALON
Noto Ati Ben Uripe Mukti
Noto Ilat Ben Ora Kualat
Noto Roso Ben Ora Ciloko
Noto Polah Ben Ora Salah
Sak bejo-bejone wong kang lali, isih luwih bejo wongkang eling lan waspodo
NGUNDUH WOHING PAKARTI
Sebuah Filsafah dalam masyarakat Jawa yg mengingatkan manungso
manunggaling roso tentang hukum sebab akibat atas perbuatan yang sudah dilakukan.
Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula yang akan dipetiknya
Dalam ajaran Hindu manusia itu
swatantra katah berarti bebas melakukan apa saja namun tidak akan bebas dari akibatnya karna di alam semesta ini ada hukum karma yg tak dapat dibendung.
Kehidupan manusia baik dan buruk adalah akibat dari perbuatan manusianya itu sendiri
SEMAR & KEARIFAN LOKAL NUSANTARA
بِسْÙ…ِ اللَّÙ‡ِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ الرَّØِيمِ
Allohumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala aali sayidina Muhammad
Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu : Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi.
Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Sunda, Jawa bahkan Nusantara secara luas sejak jaman Prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Nusantara.
Semar / Ismaya, MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada. Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu :
1. Tidak pernah lapar
2. Tidak pernah mengantuk
3. Tidak pernah jatuh cinta
4. Tidak pernah bersedih
5. Tidak pernah merasa capek
6. Tidak pernah menderita sakit
7. Tidak pernah kepanasan
8. Tidak pernah kedinginan.
Kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta.
Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti.
Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati.
Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan.
Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta.
Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin.
Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar.
Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada.
Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol, berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
Semar adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.
Tokoh bernama Semar adalah salah satu tokoh dalam dunia pewayangan (wayang golek dan wayang kulit).
Pada wayang golek tokoh Semar digambarkan berkulit hitam, wajahnya putih, memiliki rambut (kuncung) yang berjumlah 99 helai, jari tangannya mengepal kecuali telunjuknya yang keluar mengacung. Ia tidak memakai baju, pinggangnya memakai kain berwarna hitam dan putih, membawa kantong selendang.
Jika ia berjalan setiap tiga langkah ia menengok ke kanan dan ke kiri lalu menengok ke belakang.
Gambaran sosok Semar ini memiliki makna yang mengajarkan bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya sebagai manusia sejati.
Makna yang tersirat dari sosok bernama Semar. Karena konotasi adalah makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal, maka saya uraikan sesuai pengalaman personal.
Semar berkulit hitam, menggambarkan manusia yang selalu berjuang. Ia tidak ingin mendapatkan untung tanpa usaha. Warna hitam juga adalah hakikat dari tanah (bumi).
Pada zaman dahulu ilmu dibagi menjadi empat tahap yakni : Saepi Geni (api), Saepi Bayu (angin), Saepi Banyu (air) dan Bumi (tanah).
- Pertama Saepi Geni (api) adalah gambaran manusia yang baru belajar ilmu, sifatnya panas. Ia tidak ingin mengalah, selalu menjajal ilmunya dan ia ingin selalu keatas seperti sifat api dan angkuh.
- Saepi Bayu (angin) adalah gambaran manusia yang ilmunya lebih tinggi lagi, sifatnya angin rata. Ia melihat semua manusia sama. Ia tidak membeda-bedakan yang tua, muda, anak-anak, miskin, kaya, pejabat dan rakyat dimatanya tetap sama sebagai manusia. Umur tua dan muda hanya raganya, kaya dan miskin hanya lahiriahnya, pejabat dan rakyat hanya statusnya di dunia yang fana. Hakikatnya semua manusia sama di mata Tuhan, semuanya layak mendapat penghormatan dan kasih sayang tanpa dibeda-bedakan.
- Saepi Banyu (air) adalah gambaran manusia yang ilmunya lebih tinggi lagi, sifatnya air turun kebawah. Ia selalu rendah hati, ia selalu sopan dan santun kepada siapa pun. Ia tidak merasa dirinya lebih berilmu daripada yang lain.
- Ilmu Bumi (tanah) adalah gambaran manusia yang ilmu lahir dan batinnya sangat dalam, seperti tokoh Semar yang berkulit hitam gambaran manusia yang sudah sampai pada Ilmu Bumi. Bumi sifatnya diam, Bumi diinjak oleh banyak orang tetap diam, Bumi tidak marah walau manusia merusaknya. Semua kekuatan api, air dan angin adanya di dalam Bumi, tetapi ia memendamnya dan tidak menunjukannya.
Artinya tidak sombong walau memiliki banyak ilmu dan kemampuan. Semua tumbu-tumbuhan tumbuh di bumi. Hewan dan manusia memakan hasil tanaman yang tumbuh di bumi. Artinya manusia yang sudah mencapai Ilmu Bumi ia mampu memberi manfaat kepada tumbuhan, hewan dan manusia. Kasih, sayang dan cintanya dia persembahkan untuk alam beserta isinya (tumbuhan, hewan dan manusia).
Maka demikianlah tokoh Semar yang berkulit hitam menjelaskan ia adalah manusia yang mencapai Ilmu Bumi.
Wajahnya putih menggambarkan hati dan pikirannya yang bersih, yang tercermin di wajahnya. Untuk bisa membersihkan hati dan pikiran diperlukan perjuangan lahir dan batin. Salah satunya adalah wudu (mensucikan diri sebelum salat), mensucikan diri lahir dan diri batin. Untuk menghilangkan kotoran yang menempel di tubuh tentu saja akan lebih bersih dengan mandi daripada wudu, tetapi kenapa harus tetap berwudu? Karena wudu itu berfungsi membersihkan batin.
Saat selesai berwudu pikiran harus bersih dari segala pikiran yang kotor, hati harus bersih dari segala penyakit hati, pandangan mata harus dijaga, pendengaran telinga harus dijaga, mulut tidak berbicara hal-hal yang tidak baik dan tangan tidak boleh menyentuh apa yang bukan haknya. Manusia yang baik tidak terlepas dari wudu, artinya setiap saat ia menjaga pandangannya, pendengarannya, perkataannya, hatinya dan pikirannya.
Maka dari wajahnya akan terpancar sinar kebaikan yang dilambangkan dengan warna putih pada wajah Semar.
Rambutnya (kuncung) berjumlah 99 helai. Nama Tuhan dalam Islam juga ada 99. Artinya 99 nama Tuhan harus diingat dan selalu dijadikan landasan berpikir sebelum bertindak, dilambangkan dengan 99 helai rambut Semar yang ada di kepalanya.
Begitu juga lubang yang ada di tubuh manusia berjumlah sembilan. 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut dan 2 lubang lagi adalah lubang penis dan dubur.
9 lubang yang ada pada tubuh manusia adalah kenikmatan dan anugrah yang tiada tara. Tanpa lubang telinga misalkan, manusia tidak bisa mendengar. 9 lubang itu juga yang akan menjadi saksi apa yang telah manusia kerjakan semasa hidup. Matanya akan menjadi saksi untuk apa yang ia lihat, mulutnya akan menjadi saksi untuk apa yang ia ucapkan, telingannya akan menjadi saksi untuk apa yang ia dengarkan, dst.
Jadi 99 helai rambut Semar yang ada di kepala bagian depan mengisaratkan bahwa segala tindakan harus dipikirkan dulu. Berpikir sebelum bertindak.
Jari tangannya mengepal kecuali jari telunjuknya yang mengacung. Satu jari telunjuk yang mengacung mengisaratkan bahwa jalan dan tujuan hidupnya lurus menuju Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan hidupnya tidak untuk harta, tahta maupun wanita.
Di dunia yang penuh tipu daya dan godaan, manusia terkadang lupa tujuan hidupnya untuk apa? Ada manusia yang terjebak dan habis umurnya untuk mengejar dan mengumpulkan harta, ada manusia yang tujuan hidupnya untuk mendapatkan tahta tertinggi sebelum mati, ada manusia (laki-laki) yang masa hidupnya sebagian besar dihabiskan untuk bersenang-senang bersama wanita dan memuja berhala cantik kemudian rela berbuat dosa dan keji.
Itu sebabnya jari telunjuk manusia harus selalu diacungkan sambil mengucapkan syahadat untuk mengingatkan tujuan hidup manusia yang sebenarnya dan ini dilambangkan dengan jari telunjuk Semar yang mengacung setiap saat.
Tokoh Semar pada wayang golek tidak memakai baju, menggambarkan manusia yang sederhana dan tidak sombong dengan harta dunia.
Baju/ pakaian manusia yang sebenarnya adalah kesucian, kehormatan dan kebaikan. Semar tidak memakai baju yang dibuat oleh tangan manusia artinya Semar melepaskan segala sifat dari diri manusia, yakni sifat sombong, angkuh, amarah, iri, dengki, jail, keji dst.
Manusia yang telah mengenal jati dirinya akan bersikap rendah hati, tidak sombong dan tidak merasa memiliki apa-apa karena ia sadar semuanya adalah pemberian Tuhan. Manusia yang telah mengenal Tuhannya akan bersikap bijaksana karena ia mengetahui pasti bahwa dirinya tidak pintar dan tidak pantas berbuat tidak adil di hadapan Tuhannya. Ia sungguh mengetahui pasti kebesaran Tuhannya hingga ia takut dan merasa kecil di hadapan Tuhannya.
Tokoh Semar berjalan setiap tiga langkah menengok ke kiri, ke kanan dan kemudian kebelakang. Artinya manusia harus peka pada lingkungan sekitarnya. Mengengok ke kiri dan ke kanan adalah kepedulian manusia kepada lingkungan dan tetangganya. Apakah ada tetangga, teman dan saudara yang sedang kesulitan dan membutuhkan pertolongan? Dengan kepedulian antara manusia akan tercipta keharmonisan dan budaya saling membantu. Dari sikap peduli juga akan lahir kedamaian, kesejahteraan dan kemajuan.
Setiap tiga langkah Semar menengok ke belakang. Artinya langkah yang pertama adalah niat, langkah yang kedua adalah ucapan dan langkah yang ketiga adalah perbuatan. Semar menengok kembali setelah tiga langkah. Apakah niat, ucapan dan perbuatan dia telah benar? Apakah niat, ucapan dan perbuatan dia telah melukai manusia lain? Apakah niat, ucapan dan perbuatannya telah sama, tidak seperti pendusta dan manusia munafik yang niat dan ucapannya tidak sama, ucapan dan perbuatannya tidak sama.
Segala sesuatu yang ia kerjakan dilihat kembali, jika meninggalkan kesalahan ia segera akan meminta maaf dan memohon ampun pada Tuhan.
Itulah tokoh Semar merupakan gambaran manusia sejati yang telah mengenal jati dirinya dan telah mengenal Tuhannya. Wujud, gerak dan sifatnya memiliki arti yang sangat dalam. Dengan demikian membuktikan kebudayaan wayang golek adalah kebudayaan yang cedas dan luhur.
Nenek moyang kita dahulu menonton hiburan wayang yang memiliki nilai-nilai kehidupan dan spiritual yang teramat luhur. Wayang bukan sekedar hiburan tanpa nilai dan makna.
Melalui kebudayaan yang menghibur, juga tersirat nilai, makna dan ajaran kehidupan untuk manusia. Membuktikan peradaban dan pendidikan bangsa Indonesia sangat maju sejak zaman dahulu.
Sumber referensi : dari berbagai sumber kajian dan data dari cuplikan-cuplikan postingan online.