SERAT WEDHATAMA (Pintu Pembuka Rahasia Spiritual Raja-Raja Mataram)
Serat
Wedhatama (bahasa Indonesia: tulisan mengenai ajaran utama) adalah sebuah karya
sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis yang
sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini secara formal dinyatakan ditulis oleh
KGPAA Mangkunegara IV. Walaupun demikian didapat indikasi bahwa penulisnya
bukanlah satu orang.
Serat ini
dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke-19 dan memiliki
karakter mistik yang kuat. Bentuknya adalah tembang, yang biasa dipakai pada
masa itu.
Isi
Serat ini
terdiri dari 100 pupuh (bait, canto) tembang macapat, yang dibagi dalam lima
lagu, yaitu :
1. Pangkur (14 pupuh, I - XIV)
2. Sinom (18 pupuh, XV - XXXII)
3. Pocung (15 pupuh, XXXIII - XLVII)
4. Gambuh (35 pupuh, XLVIII - LXXXII)
5. Kinanthi (18 pupuh, LXXXIII - C)
Isinya
adalah merupakan falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa, bagaimana
menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi orang
berwatak ksatria.
Terdapat
beberapa bagian yang dapat dianggap sebagai kritik terhadap konsep pengajaran
Islam yang ortodoks, yang mencerminkan pergulatan budaya Jawa dengan gerakan
pemurnian Islam (Islam Garis Keras) yang marak pada masa itu.
Serat
Wedhatama pada masa kini
Teks ini
masih populer hingga sekarang. Kitab terjemahan ke dalam bahasa Indonesia serta
tafsirnya telah diterbitkan. Terjemahan dalam bahasa Inggris juga telah
dikerjakan.
Adityo
Djatmiko (1969).
Tafsir
Ajaran Serat Wedhatama. Penerbit Pura Pustaka.
Stuart
Robson (1990). The Wedhatama : an English translation. KITLV Press.
Yusro E.
Nugroho (2001).
Serat
Wedhatama, Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respons Pembaca. Penerbit Mimbar.
Penyanyi
Gombloh mengutip sebagian dua sajak yang populer dari Wedhatama (Pangkur, bait
I dan XII) ke dalam komposisinya, Hong Wilaheng Sekaring Bawono (1981).
Serat
Wedhatama
Serat
Wedhatama (asal kata dalam bahasa Jawa;
Wredhatama) merupakan salah satu karya agung pujangga sekaligus seniman besar
pencipta berbagai macam seni tari (beksa) dan tembang.
Wayang
orang, wayang madya, pencipta jas
Langendriyan (sering digunakan sebagai pakaian pengantin adat Jawa/Solo).
Beliau
adalah enterpreneur sejati yang sangat sukses memakmurkan rakyat pada masanya
dengan membangun pabrik bungkil, pabrik gula Tasikmadu dan Colomadu di Jateng
(1861-1863) dengan melibatkan masyarakat, serta perkebunan kopi, kina, pala,
dan kayu jati di Jatim dan Jateng.
Masih banyak
lagi, termasuk merintis pembangunan Stasiun Balapan di kota Solo. Beliau juga
terkenal gigih dalam melawan penjajahan Belanda.
Hebatnya,
perlawanan dilakukan cukup melalui tulisan pena, sudah cukup membuat penjajah
mundur teratur.
Cara inilah
menjadi contoh sikap perilaku utama, dalam menjunjung tinggi etika berperang
(jihad a la Kejawen); “nglurug tanpa bala” dan “menang tanpa ngasorake”.
Kemenangan diraih secara kesatria, tanpa melibatkan banyak orang, tanpa makan
korban pertumpahan darah dan nyawa, dan tidak pernah mempermalukan lawan.
Begitulah kesatria sejati.
Selain
terkenal kepandaiannya akan ilmu pengetahuan, juga terkenal karena beliau tokoh
yang amat sakti mandraguna.
Beliau
terkenal adil, arif dan bijaksana selama dalam kepemimpinannya.
Beliau
adalah Ngarsa Dalem Ingkang Wicaksana Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Sri
Mangkunegoro IV.
Raja di
keraton Mangkunegaran Solo. Berkat “laku” spiritual yang tinggi beliau
diketahui wafat dengan meraih kesempurnaan hidup sejati dalam menghadap Tuhan
Yang Mahawisesa; yakni “warangka manjing curiga” atau meraih kamuksan;
menghadap Gusti (Tuhan) bersama raganya lenyap tanpa bekas.
Wedhatama
merupakan ajaran luhur untuk membangun budi pekerti dan olah spiritual bagi
kalangan raja-raja Mataram, tetapi diajarkan pula bagi siapapun yang
berkehendak menghayatinya.
Wedhatama
menjadi salah satu dasar penghayatan bagi siapa saja yang ingin “laku”
spiritual dan bersifat universal lintas kepercayaan atau agama apapun.
Karena
ajaran dalam Wedhatama bukan lah dogma agama yang erat dengan iming-iming surga
dan ancaman neraka, melainkan suara hati nurani, yang menjadi “jalan setapak”
bagi siapapun yang ingin menggapai kehidupan dengan tingkat spiritual yang
tinggi. Mudah diikuti dan dipelajari oleh siapapun, diajarkan dan dituntun step
by step secara rinci. Puncak dari “laku” spiritual yang diajarkan serat
Wedhatama adalah; menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri sendiri,
manunggaling kawula-Gusti, dan mendapat anugrah Tuhan untuk melihat rahasia
kegaiban (meminjam istilah Gus Dur; dapat mengintip rahasia langit).
Serat yang
berisi ajaran tentang budi pekerti atau akhlak mulia, digubah dalam bentuk
tembang agar mudah diingat dan lebih “membumi”.
Sebab sebaik
apapun ajaran itu tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila hanya tersimpan di
dalam “menara gadhing” yang megah.
Kami sangat
bersukur kepada Gusti Allah, dan berterimakasih sebesar-besarnya kepada
Eyang-eyang Gusti dan para Ratu Gung Binatara yang telah njangkung lan
njampangi kami dalam membedah dan medhar ajaran luhur ini, sehingga dengan
“laku” yang sangat berat dapat kami susun dalam bahasa Nasional.
Karena
keterbatasan yang ada pada kami, mudah-mudahan tidak mengurangi makna yang
terkandung di dalamnya.
Tanpa adanya
kemurahan Gusti Allah dan berkat doa restu dari para leluhur agung yang
bijaksana, kami menyadari sungguh sulit rasanya, memahami dan menjabarkan
kawruh atau pitutur yang maknanya persis sama sebagaimana teks aslinya.
Mudah-mudahan
hakikat yang tersirat di dalam pelajaran ini dapat diserap secara mudah oleh
para pembaca yang budiman.
Harapan saya
mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapa saja, tanpa memandang latar
belakang agama dan kepercayaannya.
Bagi
siapapun yang lebih winasis pada sastra Jawa, saya tampilkan juga teks aslinya.
Mudah-mudahan
para pembaca, dapat memberikan koreksi, kritik dan saran kepada saya.
SERAT
WEDHATAMA
PANGKUR
(Sembah Raga/Syariat)
1
Mingkar
mingkuring angkara,
Akarana
karanan mardi siwi,
Sinawung
resmining kidung,
Sinuba
sinukarta,
Mrih
kretarta pakartining ngelmu luhung
Kang tumrap
neng tanah Jawa,
Agama
ageming aji.
Meredam
nafsu angkara dalam diri,
Hendak
berkenan mendidik putra-putri
Tersirat
dalam indahnya tembang,
dihias penuh
variasi,
agar
menjiwai hakekat ilmu luhur,
yang
berlangsung di tanah Jawa (nusantara)
agama
sebagai “pakaian” kehidupan.
2
Jinejer neng
Wedatama
Mrih tan
kemba kembenganing pambudi
Mangka
nadyan tuwa pikun
Yen tan
mikani rasa,
yekti sepi
asepa lir sepah, samun,
Samangsane
pasamuan
Gonyak
ganyuk nglilingsemi.
Disajikan
dalam serat Wedhatama,
agar jangan
miskin pengetahuan
walaupun
sudah tua pikun
jika tidak
memahami rasa sejati (batin)
niscaya
kosong tiada berguna
bagai ampas,
percuma sia-sia,
di dalam
setiap pertemuan
sering
bertindak ceroboh memalukan.
3
Nggugu
karsaning priyangga,
Nora nganggo
peparah lamun angling,
Lumuh ing
ngaran balilu,
Uger guru
aleman,
Nanging
janma ingkang wus waspadeng semu
Sinamun ing
samudana,
Sesadon
ingadu manis
Mengikuti
kemauan sendiri,
Bila berkata
tanpa dipertimbangkan (asal bunyi),
Namun tak
mau dianggap bodoh,
Selalu
berharap dipuji-puji.
(sebaliknya)
Ciri orang yang sudah memahami (ilmu
sejati) tak bisa ditebak
berwatak
rendah hati,
selalu
berprasangka baik.
4
Si pengung
nora nglegawa,
Sangsayarda
deniro cacariwis,
Ngandhar-andhar
angendhukur, Kandhane nora kaprah,
saya elok
alangka longkanganipun,
Si wasis
waskitha ngalah,
Ngalingi
marang si pingging.
(sementara)
Si dungu tidak menyadari,
Bualannya
semakin menjadi jadi,
ngelantur
bicara yang tidak-tidak,
Bicaranya
tidak masuk akal,
makin aneh
tak ada jedanya.
Lain halnya,
Si Pandai cermat dan mengalah,
Menutupi aib
si bodoh.
5
Mangkono
ngelmu kang nyata,
Sanyatane
mung weh reseping ati,
Bungah
ingaran cubluk,
Sukeng tyas
yen denina,
Nora kaya si punggung anggung gumrunggung
Ugungan
sadina dina
Aja mangkono
wong urip.
Demikianlah
ilmu yang nyata,
Senyatanya
memberikan ketentraman hati,
Tidak merana
dibilang bodoh,
Tetap
gembira jika dihina
Tidak
seperti si dungu yang selalu sombong,
Ingin dipuji
setiap hari.
Janganlah
begitu caranya orang hidup.
6
Urip sepisan
rusak,
Nora mulur
nalare ting saluwir,
Kadi ta guwa
kang sirung,
Sinerang ing
maruta,
Gumarenggeng
anggereng
Anggung
gumrunggung,
Pindha
padhane si mudha,
Prandene
paksa kumaki.
Hidup sekali
saja berantakan,
Tidak
berkembang, pola pikirnya carut marut.
Umpama goa
gelap menyeramkan,
Dihembus
angin,
Suaranya
gemuruh menggeram,
berdengung
Seperti
halnya watak anak muda
masih pula
berlagak congkak
7
Kikisane
mung sapala,
Palayune
ngendelken yayah wibi,
Bangkit tur
bangsaning luhur,
Lha iya
ingkang rama,
Balik sira
sarawungan bae durung
Mring
atining tata krama,
Nggon anggon
agama suci.
Tujuan
hidupnya begitu rendah,
Maunya
mengandalkan orang tuanya,
Yang
terpandang serta bangsawan
Itu kan
ayahmu !
Sedangkan
kamu kenal saja belum,
akan
hakikatnya tata krama
dalam ajaran
yang suci
8
Socaning jiwangganira,
Jer katara
lamun pocapan pasthi,
Lumuh asor
kudu unggul,
Semengah
sesongaran,
Yen mangkono
keno ingaran katungkul,
Karem ing
reh kaprawiran,
Nora enak
iku kaki.
Cerminan
dari dalam jiwa raga mu,
Nampak jelas
walau tutur kata halus,
Sifat pantang
kalah maunya menang sendiri
Sombong
besar mulut
Bila
demikian itu, disebut orang yang terlena
Puas diri
berlagak tinggi
Tidak baik
itu nak !
9
Kekerane
ngelmu karang,
Kekarangan
saking bangsaning gaib,
Iku boreh
paminipun,
Tan rumasuk
ing jasad,
Amung aneng
sajabaning daging kulup,
Yen kapengok
pancabaya,
Ubayane
mbalenjani.
Di dalam
ilmu yang dikarang-karang (sihir/rekayasa)
Rekayasa
dari hal-hal gaib
Itu umpama
bedak.
Tidak
meresap ke dalam jasad,
Hanya ada di
kulitnya saja nak
Bila
terbentur marabahaya,
bisanya
menghindari.
10
Marma ing
sabisa-bisa,
Bebasane
muriha tyas basuki,
Puruita-a
kang patut,
Lan traping
angganira,
Ana uga
angger ugering kaprabun,
Abon aboning
panembah,
Kang kambah
ing siyang ratri.
Karena itu sebisa-bisanya,
Upayakan
selalu berhati baik
Bergurulah
secara tepat
Yang sesuai
dengan dirimu
Ada juga
peraturan dan pedoman bernegara,
Menjadi
syarat bagi yang berbakti,
yang berlaku
siang malam.
11
Iku kaki
takok-eno,
marang para
sarjana kang martapi
Mring
tapaking tepa tulus,
Kawawa nahen
hawa,
Wruhanira
mungguh sanyataning ngelmu
Tan mesthi
neng janma wredha
Tuwin mudha
sudra kaki.
Itulah nak,
tanyakan
Kepada para
sarjana yang menimba ilmu
Kepada jejak
hidup para suri tauladan yang benar,
dapat
menahan hawa nafsu
Pengetahuanmu
adalah senyatanya ilmu,
Yang tidak
harus dikuasai orang tua,
Bisa juga
bagi yang muda atau miskin, nak !
12
Sapantuk
wahyuning Gusti Allah,
Gya dumilah
mangulah ngelmu bangkit,
Bangkit
mikat reh mangukut,
Kukutaning
jiwangga,
Yen mengkono
kena sinebut wong sepuh,
Lire sepuh
sepi hawa,
Awas
roroning atunggil
Siapapun
yang menerima wahyu Tuhan,
Dengan
cermat mencerna ilmu tinggi,
Mampu
menguasai ilmu kasampurnan,
Kesempurnaan
jiwa raga,
Bila
demikian pantas disebut “orang tua”.
Arti “orang
tua” adalah tidak dikuasai hawa nafsu
Paham akan
dwi tunggal (menyatunya sukma dengan Tuhan)
13
Tan samar
pamoring sukma, Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
Sinimpen
telenging kalbu,
Pambukaning
warana,
Tarlen
saking liyep layaping aluyup,
Pindha
pesating sumpena,
Sumusuping
rasa jati.
Tidak lah
samar sukma menyatu
meresap
terpatri dalam keheningan semadi,
Diendapkan
dalam lubuk hati
menjadi
pembuka tabir,
berawal dari
keadaan antara sadar dan tiada
Seperti
terlepasnya mimpi
Merasuknya
rasa yang sejati.
14
Sejatine
kang mangkana,
Wus kakenan
nugrahaning Hyang Widhi,
Bali alaming
ngasuwung,
Tan karem
arameyan,
Ingkang
sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula ulanira. Mulane wong anom sami.
Sebenarnya
ke-ada-an itu merupakan anugrah Tuhan,
Kembali ke
alam yang mengosongkan,
tidak
mengumbar nafsu duniawi,
yang
bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal muasalmu
Oleh karena
itu,
wahai anak
muda sekalian…
SINOM
(Sembah Cipta/Kalbu/Tarekat)
15
Nulada laku
utama
Tumrape wong
Tanah jawi,
Wong agung
ing Ngeksiganda,
Panembahan
Senopati,
Kepati
amarsudi,
Sudane hawa
lan nepsu,
Pinepsu tapa
brata,
Tanapi ing
siyang ratri,
Amamangun
karyenak tyasing sesama.
Contohlah
perilaku utama,
bagi
kalangan orang Jawa (Nusantara),
orang besar
dari Ngeksiganda (Mataram),
Panembahan
Senopati,
yang tekun,
mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin (bertapa),
serta siang
malam
selalu
berkarya membuat hati tenteram bagi sesama (kasih sayang)
16
Samangsane
pasamuan, mamangun marta martani,
Sinambi ing
saben mangsa,
Kala
kalaning asepi,
Lelana
teki-teki,
Nggayuh
geyonganing kayun,
Kayungyun
eninging tyas,
Sanityasa
pinrihatin,
Puguh
panggah cegah dhahar lawan nendra.
Dalam setiap
pergaulan,
membangun
sikap tahu diri.
Setiap ada
kesempatan,
Di saat
waktu longgar,
mengembara
untuk bertapa,
menggapai
cita-cita hati,
hanyut dalam
keheningan kalbu.
Senantiasa
menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu),
dengan tekad
kuat, membatasi makan dan tidur.
17
Saben mendra
saking wisma,
Lelana
lalading sepi,
Ngingsep
sepuhing supana,
Mrih pana
pranaweng kapti,
Tis tising
tyas marsudi,
Mardawaning
budya tulus,
Mesu reh
kasudarman,
Neng
tepining jalanidhi,
Sruning
brata kataman wahyu dyatmika.
Setiap
mengembara meninggalkan rumah (istana),
berkelana ke
tempat yang sunyi (dari hawa nafsu),
menghirup tingginya ilmu,
agar jelas
apa yang menjadi tujuan (hidup) sejati.
Hati
bertekad selalu berusaha dengan tekun,
memperdayakan
akal budi
menghayati
cinta kasih,
ditepinya
samudra.
Kuatnya
bertapa diterimalah wahyu dyatmika (hidup yang sejati).
18
Wikan
wengkoning samodra,
Kederan wus
den ideri,
Kinemat
kamot hing driya,
Rinegan
segegem dadi,
Dumadya
angratoni,
Nenggih
Kangjeng Ratu Kidul,
Ndedel
nggayuh nggegana,
Umara marak maripih,
Sor prabawa
lan wong agung Ngeksiganda
Memahami
kekuasaan di dalam samodra seluruhnya sudah dijelajahi,
“kesaktian”
melimputi indera
Ibaratnya
cukup satu genggaman saja sudah jadi, berhasil berkuasa,
Kangjeng
Ratu Kidul,
Naik
menggapai awang-awang,
(kemudian)
datang menghadap dengan penuh hormat,
kepada Wong
Agung Ngeksigondo.
19
Dahat denira
aminta,
Sinupeket
pangkat kanthi,
Jroning alam
palimunan, ing pasaban saben sepi,
Sumanggem
anyanggemi,
Ing karsa
kang wus tinamtu,
Pamrihe mung
aminta,
Supangate
teki-teki,
Nora ketang
teken janggut suku jaja.
Memohon
dengan sangat lah beliau,
agar diakui
sebagai sahabat setia, di dalam alam gaib,
tempatnya
berkelana setiap sepi.
Bersedialah
menyanggupi,
kehendak
yang sudah digariskan.
Harapannya
hanyalah meminta
restu dalam
bertapa,
Meski dengan
susah payah.
20
Prajanjine
abipraya,
Saturun-turuning
wuri,
Mangkono
trahing ngawirya,
Yen amasah
mesu budi,
Dumadya glis
dumugi,
Iya ing
sakarsanipun,
Wong agung
Ngeksiganda,
Nugrahane
prapteng mangkin,
Trah tumerah
dharahe padha wibawa.
Perjanjian
sangat mulia,
untuk
seluruh keturunannya di kelak kemudian hari.
Begitulah
seluruh keturunan orang luhur,
bila mau
mengasah akal budi
akan cepat
berhasil,
apa yang
diharapkan orang besar Mataram, anugerahnya hingga kelak dapat mengalir di
seluruh darah keturunannya, dapat memiliki wibawa.
21
Ambawani
tanah Jawa,
Kang padha
jumeneng aji,
Satriya
dibya sumbaga,
Tan lyan
trahing Senopati,
Pan iku
pantes ugi,
Tinelad
labetipun,
Ing sakuwasanira,
Enake lan
jaman mangkin,
Sayektine
tan bisa ngepleki kuna.
Menguasai
tanah Jawa (Nusantara),
yang menjadi
raja (pemimpin),
satria sakti
tertermasyhur,
tak lain
keturunan Senopati,
hal ini
pantas pula
sebagai
tauladan budi pekertinya,
Sebisamu,
terapkan di zaman nanti,
Walaupun
tidak bisa
persis sama
seperti di masa silam.
22
Lowung
kalamun tinimbang,
Ngaurip
tanpa prihatin,
Nanging ta
ing jaman mangkya,
Pra mudha
kang den karemi,
Manulad
nelad nabi,
Nayakengrat
gusti rasul,
Anggung
ginawe umbag,
Saben seba
mampir masjid,
Ngajab-ajab
tibaning mukjijat drajat.
Mending bila
dibanding orang hidup tanpa prihatin,
namun di
masa yang akan datang (masa kini),
yang
digemari anak muda,
meniru-niru
nabi, rasul utusan Tuhan,
yang hanya
dipakai untuk menyombongkan diri,
setiap akan
bekerja singgah dulu di masjid,
Mengharap
mukjizat agar mendapat derajat (naik pangkat).
23
Anggung
anggubel sarengat,
Saringane
tan den wruhi,
Dalil
dalaning ijemak,
Kiyase nora
mikani,
Ketungkul
mungkul sami,
Bengkrakan
mring masjid agung,
Kalamun maca
kutbah,
Lelagone
Dandanggendis,
Swara arum
ngumandhang cengkok palaran
Hanya
memahami sariat (kulitnya) saja, sedangkan hakekatnya tidak dikuasai,
Pengetahuan
untuk memahami makna dan suri tauladan tidaklah mumpuni
Mereka lupa
diri, (tidak sadar)
bersikap
berlebih-lebihan di masjid besar,
Bila membaca
khotbah
berirama
gaya dandanggula (menghanyutkan hati),
suara merdu
bergema gaya palaran (lantang
bertubi-tubi).
24
Lamun sira
paksa nulad,
Tuladhaning
Kangjeng Nabi,
O, ngger
kadohan panjangkah,
Wateke tan
betah kaki,
Rehne ta
sira Jawi,
Sathithik
bae wus cukup,
Aywa guru
aleman,
Nelad kas
ngepleki pekih,
Lamun
pangkuh pangangkah yekti karahmat.
Jika kamu
memaksa meniru,
tingkah laku
`Kanjeng Nabi,
Oh, nak
terlalu naif,
Biasanya tak
akan betah nak,
Karena kamu
itu orang Jawa,
sedikit saja
sudah cukup.
Janganlah
sekedar mencari sanjungan,
Mencontoh-contoh
mengikuti fiqih,
apabila
mampu,
memang ada
harapan mendapat rahmat.
25
Naging enak
ngupa boga,
Reh ne ta
tinitah langip,
Apata
suweting Nata,
Tani tanapi
agrami,
Mangkono
mungguh mami,
Padune wong
dahat cubluk,
Durung wruh
cara arab,
Jawaku wae
tan ngenting,
Parandene
paripaksa mulang putra.
Tetapi
seyogyanya mencari nafkah,
Karena diciptakan
sebagai makhluk lemah,
Apakah mau
mengabdi kepada raja,
Bercocok
tanam atau berdagang,
Begitulah
menurut pemahamanku,
Sebagai
orang yang sangat bodoh,
Belum paham
cara Arab,
Tata cara
Jawa saja tidak mengerti,
Namun
memaksa diri mendidik anak.
26
Saking duk
maksih taruna,
Sadhela wus
anglakoni,
Aberag
marang agama,
Maguru
anggering kaji,
Sawadine
tyas mami,
Banget
wedine ing mbesuk,
Pranatan
ngakir jaman,
Tan tutug
kaselak ngabdi,
Nora kober
sembahyang gya tinimbalan.
Dikarenakan
waktu masih muda,
Keburu
menempuh belajar pada agama,
Berguru
menimba ilmu pada yang haji, maka yang terpendam dalam hatiku, menjadi
sangat takut
akan hari kemudian,
Keadaan di
akhir zaman,
Tidak tuntas
keburu “mengabdi”
Tidak sempat
sembahyang terlanjur dipanggil.
27
Marang
ingkang asung pangan,
Yen kesuwen
den dukani,
Abubrah
kawur tyas ingwang,
Lir kiyamat
saben ari,
Bot Allah
apa Gusti,
Tambuh
tambuh solahingsun,
Lawas lawas
nggraita,
Rehne ta
suta priyayi,
Yen mamriha
dadi kaum temah nistha.
Kepada yang
memberi makan,
Jika
kelamaan dimarahi,
Menjadi
kacau balau perasaanku,
Seperti
kiyamat saban hari,
Berat
“Allah” atau “Gusti”,
Bimbanglah
sikapku,
Lama-lama
berfikir,
Karena anak
turun priyayi,
Bila ingin
jadi juru doa (kaum) dapatlah nista,
28
Tuwin ketip
suragama,
Pan ingsun
nora winaris,
Angur baya
ngantepana,
Pranatan
wajibing urip,
Lampahan
angluluri,
Kuna
kumunanira,
Kongsi
tumekeng samangkin,
Kikisane tan
lyan amung ngupa boga.
begitu pula
jika aku menjadi pengurus dan juru dakwah agama.
Karena aku
bukanlah keturunannya,
Lebih baik
memegang teguh
aturan dan
kewajiban hidup,
Menjalankan
pedoman hidup
warisan
leluhur dari zaman dahulu kala hingga kelak kemudian hari.
Ujungnya
tidak lain hanyalah mencari nafkah.
29
Bonggan kan
tan merlok-na,
Mungguh
ugering ngaurip,
Uripe lan
tri prakara,
Wirya arta
tri winasis,
Kalamun
kongsi sepi,
Saka
wilangan tetelu,
Telas
tilasing janma,
Aji godhong
jati aking,
Temah papa papariman
ngulandara.
Salahnya
sendiri yang tidak mengerti,
Paugeran
orang hidup itu demikian seyogyanya,
hidup dengan
tiga perkara;
Keluhuran
(kekuasaan), harta (kemakmuran), ketiga ilmu pengetahuan.
Bila tak
satu pun dapat diraih dari ketiga perkara itu,
habis lah
harga diri manusia.
Lebih
berharga daun jati kering, akhirnya mendapatlah derita, jadi pengemis dan
terlunta.
30
Kang wus
waspadha ing patrap,
Manganyut
ayat winasis,
Wasana
wosing jiwangga,
Melok tanpa
aling-aling,
Kang ngalingi
kalingling,
Wenganing
rasa tumlawung,
Keksi
saliring jaman,
Angelangut
tanpa tepi,
Yeku ingaran
tapa tapaking Hyang Suksma.
Yang sudah
paham tata caranya,
Menghayati
ajaran utama,
Jika
berhasil merasuk ke dalam jiwa,
akan melihat
tanpa penghalang,
Yang
menghalangi tersingkir,
Terbukalah
rasa sayup menggema.
Tampaklah
seluruh cakrawala,
Sepi tiada
bertepi,
Yakni
disebut “tapa tapaking Hyang Sukma”.
31
Mangkono
janma utama,
Tuman
tumanem ing sepi,
Ing saben
rikala mangsa,
Masah
amemasuh budi,
Laire
anetepi,
Ing reh
kasatriyanipun,
Susilo anor
raga,
Wignya met
tyasing sesami,
Yeku aran
wong barek berag agama.
Demikianlah
manusia utama,
Gemar
terbenam dalam sepi (meredam nafsu),
Di saat-saat
tertentu,
Mempertajam
dan membersihkan budi,
Bermaksud
memenuhi tugasnya sebagai satria,
berbuat
susila rendah hati,
pandai
menyejukkan hati pada sesama,
itulah
sebenarnya yang disebut menghayati agama.
32
Ing jaman
mengko pan ora,
Arahe para
taruni,
Yen antuk
tuduh kang nyata,
Nora pisan
den lakoni,
Banjur
njujurken kapti,
Kakekne arsa
winuruk,
Ngandelken
gurunira,
Panditane
praja sidik,
Tur wus
manggon pamucunge
Mring
makripat
Di zaman
kelak tiada demikian,
sikap anak
muda bila mendapat petunjuk nyata,
tidak pernah
dijalani,
Lalu hanya
menuruti kehendaknya,
Kakeknya
akan diajari,
dengan
mengandalkan gurunya,
yang
dianggap pandita negara yang pandai,
serta sudah
menguasai makrifat.
PUCUNG
(Sembah Jiwa/Hakekat)
33
Ngelmu iku
Kalakone
kanthi laku
Lekase lawan
kas
Tegese kas
nyantosani
Setya budaya
pangekese dur angkara
Ilmu
(hakekat) itu
diraih
dengan cara menghayati dalam setiap perbuatan,
dimulai
dengan kemauan.
Artinya,
kemauan membangun kesejahteraan terhadap sesama,
Teguh
membudi daya
Menaklukkan
semua angkara
34
Angkara gung
Neng angga
anggung gumulung
Gegolonganira
Triloka
lekeri kongsi
Yen den
umbar ambabar dadi rubeda.
Nafsu
angkara yang besar
ada di dalam
diri, kuat menggumpal, menjangkau hingga tiga zaman, jika dibiarkan berkembang
akan
berubah
menjadi gangguan.
35
Beda lamun
kang wus sengsem
Reh ngasamun
Semune
ngaksama
Sasamane
bangsa sisip
Sarwa sareh
saking mardi martatama
Berbeda
dengan yang sudah menyukai dan menjiwai,
Watak dan
perilaku memaafkan
pada sesama
selalu sabar
berusaha
menyejukkan
suasana,
36
Taman limut
Durgameng
tyas kang weh limput
Karem ing
karamat
Karana
karoban ing sih
Sihing sukma
ngrebda saardi pengira
Dalam
kegelapan.
Angkara
dalam hati yang menghalangi,
Larut dalam
kesakralan hidup,
Karena
temggelam dalam samodra kasih sayang, kasih sayang sukma (sejati) tumbuh
berkembang sebesar gunung
37
Yeku patut
tinulat tulat tinurut
Sapituduhira,
Aja kaya
jaman mangkin
Keh pra
mudha mundhi diri
Rapal makna
Itulah yang
pantas ditiru, contoh yang patut diikuti
seperti
semua nasehatku.
Jangan
seperti zaman nanti
Banyak anak
muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat
38
Durung becus
kesusu selak besus
Amaknani
rapal
Kaya sayid
weton mesir
Pendhak
pendhak angendhak
Gunaning
jalma
Belum
mumpuni sudah berlagak pintar.
Menerangkan
ayat
seperti
sayid dari Mesir
Setiap saat
meremehkan kemampuan orang lain.
39
Kang kadyeku
Kalebu wong
ngaku aku
akale
alangka
Elok Jawane denmohi
Paksa
langkah ngangkah met
Kawruh ing
Mekah
Yang seperti
itu
termasuk
orang mengaku-aku
Kemampuan
akalnya dangkal
Keindahan
ilmu Jawa malah ditolak.
Sebaliknya,
memaksa diri mengejar ilmu di Mekah,
40
Nora weruh
rosing rasa
kang rinuruh
lumeketing
angga
anggere
padha marsudi
kana kene
kaanane nora beda
tidak
memahami
hakekat ilmu
yang dicari,
sebenarnya
ada di dalam diri.
Asal mau
berusaha
sana sini
(ilmunya) tidak berbeda,
41
Uger lugu
Den ta mrih
pralebdeng kalbu
Yen kabul
kabuka
Ing drajat
kajating urip
Kaya kang
wus winahya sekar srinata
Asal tidak
banyak tingkah,
agar supaya
merasuk ke dalam sanubari.
Bila
berhasil, terbuka derajat kemuliaan hidup yang sebenarnya.
Seperti yang
telah tersirat dalam tembang sinom (di atas).
42
Basa ngelmu
Mupakate lan
panemune
Pasahe lan
tapa
Yen satriya
tanah Jawi
Kuna kuna
kang ginilut tripakara
Yang namanya
ilmu, dapat berjalan bila sesuai dengan cara pandang kita.
Dapat
dicapai dengan usaha yang gigih.
Bagi satria
tanah Jawa,
dahulu yang
menjadi pegangan adalah tiga perkara yakni;
43
Lila lamun
kelangan nora gegetun
Trima yen
ketaman
Sakserik
sameng dumadi
Tri legawa
nalangsa srah ing Bathara
Ikhlas bila
kehilangan tanpa menyesal,
Sabar jika
hati disakiti sesama,
Ketiga ;
lapang dada sambil
berserah
diri pada Tuhan.
44
Bathara gung
Inguger
graning jajantung
Jenek Hyang
wisesa
Sana
pasenedan suci
Nora kaya si
mudha mudhar angkara
Tuhan Maha
Agung
diletakkan
dalam setiap hela nafas
Menyatu
dengan Yang Mahakuasa
Teguh
mensucikan diri
Tidak
seperti yang muda,
mengumbar
nafsu angkara.
45
Nora uwus
Kareme
anguwus uwus
Uwose tan
ana
Mung janjine
muring muring
Kaya buta
buteng betah anganiaya
Tidak henti
hentinya
gemar mencaci
maki.
Tanpa ada
isinya
kerjaannya
marah-marah
seperti
raksasa; bodoh, mudah marah dan menganiaya sesama.
46
Sakeh luput
Ing angga
tansah linimput
Linimpet ing
sabda
Narka tan
ana udani
Lumuh ala
ardane ginawa gada
Semua
kesalahan
dalam diri
selalu ditutupi,
ditutup
dengan kata-kata
mengira tak
ada yang mengetahui,
bilangnya
enggan berbuat jahat
padahal
tabiat buruknya membawa kehancuran.
47
Durung
punjul
Ing kawruh
kaselak jujul
Kaseselan
hawa
Cupet
kapepetan pamrih
tangeh nedya
anggambuh
mring Hyang
Wisesa
Belum cakap
ilmu
Buru-buru
ingin dianggap pandai.
Tercemar
nafsu selalu merasa kurang,
dan tertutup
oleh pamrih,
sulit untuk
manunggal pada Yang Mahakuasa.
GAMBUH
(Langkah Catur Sembah)
48
Samengko
ingsun tutur
Sembah catur
supaya lumuntur
Dhihin raga,
cipta, jiwa, rasa, kaki
Ing kono
lamun tinemu
Tandha
nugrahaning Manon
Kelak saya
bertutur,
Empat macam
sembah supaya dilestarikan;
Pertama;
sembah raga, kedua; sembah cipta, ketiga; sembah jiwa, dan keempat; sembah
rasa, anakku !
Di situlah
akan bertemu dengan
pertanda
anugrah Tuhan.
49
Sembah raga
punika
Pakartine
wong amagang laku
Susucine
asarana saking warih
Kang wus
lumrah limang wektu
Wantu
wataking weweton
Sembah raga
adalah
Perbuatan
orang yang lagi magang “olah batin”
Menyucikan
diri dengan sarana air,
Yang sudah
lumrah misalnya lima waktu
Sebagai rasa
menghormat waktu
50
Inguni uni
durung
Sinarawung
wulang kang sinerung
Lagi iki
bangsa kas ngetokken anggit
Mintokken
kawignyanipun
Sarengate
elok elok
Zaman dahulu
belum
pernah
dikenal ajaran yang penuh tabir,
Baru kali
ini ada orang menunjukkan hasil rekaan,
memamerkan
ke-bisa-an nya
amalannya
aneh aneh
51
Thithik kaya
santri Dul
Gajeg kaya
santri brai kidul
Saurute
Pacitan pinggir pasisir
Ewon wong
kang padha nggugu
Anggere
padha nyalemong
Kadang
seperti santri “Dul” (gundul)
Bila tak
salah, seperti santri wilayah selatan
Sepanjang
Pacitan tepi pantai
Ribuan orang
yang percaya.
Asal-asalan
dalam berucap
52
Kasusu arsa
weruh
Cahyaning
Hyang kinira yen karuh
Ngarep arep
urub arsa den kurebi
Tan wruh
kang mangkono iku
Akale kaliru
enggon
Keburu ingin
tahu,
cahaya Tuhan
dikira dapat ditemukan,
Menanti-nanti
besar keinginan (mendapatkan anugrah) namun gelap mata
Orang tidak
paham yang demikian itu
Nalarnya
sudah salah kaprah
53
Yen ta jaman
rumuhun
Tata titi
tumrah tumaruntun
Bangsa
srengat tan winor lan laku batin
Dadi nora
gawe bingung
Kang padha
nembah Hyang Manon
Bila zaman
dahulu,
Tertib
teratur runtut harmonis
sariat tidak
dicampur aduk dengan olah batin,
jadi tidak
membuat bingung
bagi yang
menyembah Tuhan
54
Lire
sarengat iku
Kena uga
ingaran laku
Dhingin ajeg
kapindone ataberi
Pakolehe
putraningsun
Nyenyeger
badan mrih kaot
Sesungguhnya
sariat itu
dapat
disebut olah, yang bersifat ajeg dan tekun.
Anakku,
hasil sariat adalah dapat menyegarkan badan
agar lebih
baik,
55
Wong seger
badanipun
Otot daging
kulit balung sungsum
Tumrah ing
rah memarah
Antenging
ati
Antenging
ati nunungku
Angruwat
ruweding batos
badan, otot,
daging, kulit dan tulang sungsumnya menjadi segar,
Mempengaruhi
darah, membuat tenang di hati.
Ketenangan
hati membantu
Membersihkan
kekusutan batin
56
Mangkono
mungguh ingsun
Ananging ta
sarehne asnafun
Beda beda
panduk pandhuming dumadi
Sayektine
nora jumbuh
Tekad kang
padha linakon
Begitulah
menurut ku !
Tetapi
karena orang itu berbeda-beda,
Beda pula
garis nasib dari Tuhan.
Sebenarnya
tidak cocok
tekad yang
pada dijalankan itu
57
Nanging ta
paksa tutur
Rehne tuwa
tuwase mung catur
Bok lumuntur
lantaraning reh utami
Sing sapa
temen tinemu
Nugraha
geming kaprabon
Namun
terpaksa memberi nasehat
Karena sudah
tua kewajibannya hanya memberi petuah.
Siapa tahu
dapat lestari menjadi pedoman tingkah laku utama.
Barang siapa
bersungguh-sungguh akan
mendapatkan
anugrah kemuliaan dan kehormatan.
58
Samengko
sembah kalbu
Yen lumintu
uga dadi laku
Laku agung
kang kagungan Narapati
Patitis
tetesing kawruh
Meruhi
marang kang momong
Nantinya,
sembah kalbu itu
jika
berkesinambungan juga menjadi olah spiritual.
Olah
(spiritual) tingkat tinggi yang dimiliki Raja.
Tujuan
ajaran ilmu ini;
untuk
memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer)
59
Sucine tanpa
banyu
Mung
nyunyuda mring hardaning kalbu
Pambukane
tata titi ngati ati
Atetep
telaten atul
Tuladan
marang waspaos
Bersucinya
tidak menggunakan air
Hanya
menahan nafsu di hati
Dimulai dari
perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati (eling dan waspada)
Teguh, sabar
dan tekun,
semua
menjadi watak dasar,
Teladan bagi
sikap waspada.
60
Mring
jatining pandulu
Panduk ing
ndon dedalan satuhu
Lamun lugu
legutaning reh maligi
Lageane
tumalawung
Wenganing
alam kinaot
Dalam
penglihatan yang sejati,
Menggapai
sasaran dengan tata cara yang benar.
Biarpun
sederhana tatalakunya dibutuhkan konsentrasi
Sampai
terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan
Itulah,
terbukanya “alam lain”
61
Yen wus
kambah kadyeku
Sarat sareh
saniskareng laku
Kalakone
saka eneng ening eling
Ilanging
rasa tumlawung
Kono adiling
Hyang Manon
Bila telah
mencapai seperti itu,
Saratnya
sabar segala tingkah laku.
Berhasilnya
dengan cara;
Membangun
kesadaran, mengheningkan cipta, pusatkan
fikiran kepada energi Tuhan.
Dengan
hilangnya rasa sayup-sayup, di situlah keadilan Tuhan terjadi. (jiwa memasuki alam gaib rahasia Tuhan)
62
Gagare
ngunggar kayun
Tan
kayungyun mring ayuning kayun
Bangsa
anggit yen ginigit nora dadi
Marma den
awas den emut
Mring
pamurunging kalakon
Gugurnya
jika menuruti kemauan jasad (nafsu)
Tidak suka
dengan indahnya kehendak rasa sejati,
Jika
merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal.
Maka awas
dan ingat lah
dengan yang
membuat gagal tujuan
63
Samengko
kang tinutur
Sembah katri
kang sayekti katur
Mring Hyang
Sukma sukmanen saari ari
Arahen dipun
kacakup
Sembaling
jiwa sutengong
Nanti yang
diajarkan
Sembah
ketiga yang sebenarnya diperuntukkan
kepada Hyang sukma (jiwa).
Hayatilah
dalam kehidupan sehari-hari
Usahakan
agar mencapai sembah jiwa ini anakku !
64
Sayekti
luwih perlu
Ingaranan
pepuntoning laku
Kalakuwan
tumrap kang bangsaning batin
Sucine lan
awas emut
Mring alaming
lama maot
Sungguh
lebih penting, yang
disebut
sebagai ujung jalan spiritual,
Tingkah laku
olah batin, yakni
menjaga
kesucian dengan awas dan selalu ingat akan alam nan abadi kelak.
65
Ruktine
ngangkah ngukut
Ngiket
ngruket triloka kakukut
Jagad agung
ginulung lan jagad alit
Den kandel
kumadel kulup
Mring
kelaping alam kono
Cara
menjaganya dengan menguasai, mengambil, mengikat, merangkul erat tiga jagad
yang dikuasai.
Jagad besar
tergulung oleh jagad kecil,
Pertebal
keyakinanmu anakku !
Akan kilaunya
alam tersebut.
66
Kaleme mawi
limut
Kalamatan
jroning alam kanyut
Sanyatane
iku kanyatan kaki
Sejatine yen
tan emut
Sayekti tan
bisa awor
Tenggelamnya
rasa melalui suasana “remang berkabut”,
Mendapat
firasat dalam alam yang menghanyutkan,
Sebenarnya
hal itu kenyataan, anakku !
Sejatinya
jika tidak ingat
Sungguh tak
bisa “larut”
67
Pamete saka
luyut
Sarwa sareh
saliring panganyut
Lamun yitna
kayitnan kang mitayani
Tarlen mung
pribadinipun
Kang katon
tinonton kono
Jalan keluarnya
dari luyut (batas antara lahir dan batin)
Tetap sabar
mengikuti “alam yang menghanyutkan”
Asal
hati-hati dan waspada yang menuntaskan tidak lain hanyalah diri pribadinya
yang tampak
terlihat di situ
68
Nging away
salah surup
Kono ana
sajatining urub
Yeku urub
pangareb uriping budi
Sumirat
sirat narawung
Kadya
kartika katonton
Tetapi
jangan salah mengerti
Di situ ada
cahaya sejati
Ialah cahaya
pembimbing,
energi
penghidup akal budi.
Bersinar
lebih terang dan cemerlang,
tampak
bagaikan bintang
69
Yeku
wenganing kalbu
Kabukane
kang wengku winengku
Wewengkone
wis kawengku neng sireki
Nging sira
uga kawengku
Mring kang
pindha kartika byor
Yaitu
membukanya pintu hati
Terbukanya
yang kuasa-menguasai (antara cahaya/nur dengan jiwa/roh).
Cahaya itu sudah
kau (roh) kuasai
Tapi kau
(roh) juga dikuasai
oleh cahaya
yang seperti bintang cemerlang.
70
Samengko
ingsun tutur
Gantya
sembah ingkang kaping catur
Sembah rasa
karasa wosing dumadi
Dadine wis
tanpa tuduh
Mung kalawan
kasing batos
Nanti ingsun
ajarkan,
Beralih
sembah yang ke empat.
Sembah rasa
terasalah hakekat kehidupan.
Terjadinya
sudah tanpa petunjuk,
hanya dengan
kesentosaan batin
71
Kalamun
durung lugu
Aja pisan
wani ngaku aku
Antuk siku
kang mangkono iku kaki
Kena uga
wenang muluk
Kalamun wus
padha melok
Apabila
belum bisa membawa diri,
Jangan
sekali-kali berani mengaku-aku,
mendapat
laknat yang demikian itu anakku !
Artinya,
seseorang berhak berkata apabila sudah mengetahui dengan nyata.
72
Meloke ujar
iku
Yen wus
ilang sumelanging kalbu
Amung kandel
kumandel
Amarang ing
takdir
Iku den awas
den emut
Den memet
yen arsa momot
Menghayati
pelajaran ini
Bila sudah
hilang keragu-raguan hati.
Hanya
percaya dengan sungguh-sungguh kepada takdir
itu harap
diwaspadai, diingat,
dicermati
bila ingin menguasai seluruhnya.
73
Pamoting
ujar iku
Kudu santosa
ing budi teguh sarta sabar tawekal legaweng ati
Trima lila
ambeg sadu
Weruh
wekasing dumados
Melaksanakan
petuah itu
Harus kokoh
budipekertinya
Teguh serta
sabar
tawakal
lapang dada
Menerima dan
ikhlas apa adanya sikapnya dapat dipercaya
Mengerti
“sangkan paraning dumadi”.
74
Sabarang
tindak tanduk
Tumindake
lan sakadaripun,
Den ngaksama
kasisipaning sesami,
Sumimpanga
ing laku dur,
Hardaning
budi kang ngrodon.
Segala
tindak tanduk
dilakukan
ala kadarnya,
memberi maaf
atas kesalahan sesama,
menghindari
perbuatan tercela,
(dan) watak
angkara yang besar.
75
Dadya weruh
iya dudu,
Yeku
minangka pandaming kalbu,
Ingkang buka
ing kijab bullah agaib,
Sesengkeran
kang sinerung,
Dumunung
telenging batos.
Sehingga
tahu baik dan buruk,
Demikian itu
sebagai ketetapan hati,
Yang membuka
penghalang/tabir antara insan dan Tuhan,
Tersimpan
dalam rahasia,
Terletak di
dalam batin.
76
Rasaning
urip iku,
Krana momor
pamoring sawujud,
Wujudollah
sumrambah ngalam sakalir,
Lir manis
kalawan madu,
Endi arane
ing kono.
Rasa hidup
itu
dengan cara
manunggal dalam satu wujud,
Wujud Tuhan
meliputi alam semesta,
bagaikan
rasa manis dengan madu. Begitulah ungkapannya.
77
Endi manis
endi madu,
Yen wis bisa
nuksmeng pasang semu,
Pasamoaning
hebing kang Mahasuci,
Kasikep ing
tyas kacakup,
Kasat mata
lair batos.
Mana manis
mana madu,
apabila
sudah bisa menghayati gambaran itu,
Bagaimana
pengertian sabda Tuhan,
Hendaklah
digenggam di dalam hati, sudah jelas dipahami secara lahir dan batin.
78
Ing batin
tan kaliru
Kedhap kilap
liniling ing kalbu,
Kang
minangka colok celaking Hyang Widhi,
Widadaning
budi sadu,
Pandak
panduking liru nggon.
Dalam batin
tak keliru,
Segala
cahaya indah dicermati dalam hati,
Yang menjadi
petunjuk dalam memahami hakekat Tuhan,
Selamatnya
karena budi (bebuden) yang jujur (hilang
nafsu),
Agar dapat
merasuk beralih “tempat”.
79
Nggonira
mrih tulus,
Kalaksitaning
reh kang rinuruh,
Nggyanira
mrih wiwal warananing gaib,
Paranta lamun
tan weruh,
Sasmita
jatining endhog.
Agar usahamu
berhasil,
Dapat
menemukan apa yang dicari,
upayamu agar
dapat melepas penghalang kegaiban,
Apabila kamu
tidak paham ; lihatlah tentang bagaimana terjadinya telur
80
Putih lan
kuningipun,
Lamun arsa titah,
titah teka
mangsul,
Dene nora
mantra-mantra yen ing lair,
Bisa aliru
wujud,
Kadadeyane
ing kono.
Putih dan
kuningnya,
bila akan
mewujud (menetas),
wujud datang
berganti,
tak
disangka-sangka,
bila
kelahirannya
dapat
berganti wujud,
Kejadiannya
di situ !
81
Istingarah
tan metu,
Lawan
istingarah tan lumebu,
Dene ing
njro wekasane dadi njawi,
Rasakna kang
tuwajuh,
Aja kongsi
kabasturon.
Dipastikan
tidak keluar,
juga tidak
masuk,
Kenyataannya
yang di dalam akhirnya menjadi di luar,
Rasakan sunguh-sungguh,
Jangan
sampai terlanjur tak bisa memahami.
82
Karana yen
kebanjur,
Kajantaka
tumekeng saumur,
Tanpa tuwas
yen tiwasa ing dumadi,
Dadi wong
ina tan weruh,
Dheweke den
anggep dayoh.
Sebab
apabila sudah terlanjur,
akan tak
tenang sepanjang hidup, tidak ada gunanya bila kelak mati,
Menjadi
orang hina yang bodoh,
dirinya
sendiri malah dianggap tamu.
TEMBANG
KINANTHI
83
Mangka
kanthining tumuwuh,
Salami mung
awas eling,
Eling
lukitaning alam,
Dadi
wiryaning dumadi,
Supadi nir
ing sangsaya,
Yeku
pangreksaning urip.
Padahal
bekal hidup,
selamanya waspada
dan ingat,
Ingat akan
pertanda yang ada
di alam ini,
Menjadi
kekuatannya asal-usul, supaya lepas dari sengsara.
Begitulah
memelihara hidup.
84
Marma den
taberi kulup,
Anglung
lantiping ati,
Rina wengi
den anedya,
Pandak
panduking pambudi,
Bengkas kahardaning
driya,
Supaya dadya
utami.`
Maka
rajinlah anak-anakku,
Belajar
menajamkan hati,
Siang malam
berusaha,
merasuk ke
dalam sanubari,
melenyapkan
nafsu pribadi,
Agar menjadi
(manusia) utama.
85
Pangasahe
sepi samun,
Aywa esah ing
salami,
Samangsa wis
kawistara,
Lalandhepe
mingis mingis,
Pasah wukir
reksamuka,
Kekes
srabedaning budi.
Mengasahnya
di alam sepi (semedi),
Jangan
berhenti selamanya,
Apabila
sudah kelihatan,
tajamnya
luar biasa,
mampu
mengiris gunung penghalang,
Lenyap semua
penghalang budi.
86
Dene awas
tegesipun,
Weruh
warananing urip,
Miwah
wisesaning tunggal,
Kang
atunggil rina wengi,
Kang mukitan
ing sakarsa,
Gumelar
ngalam sakalir.
Awas itu
artinya,
tahu
penghalang kehidupan,
serta
kekuasaan yang tunggal,
yang bersatu
siang malam,
Yang
mengabulkan segala kehendak,
terhampar
alam semesta.
87
Aywa
sembrana ing kalbu,
Wawasen
wuwus sireki,
Ing kono
yekti karasa,
Dudu ucape
pribadi,
Marma den
sembadeng sedya,
Wewesen
praptaning uwis.
Hati jangan
lengah,
Waspadailah
kata-katamu,
Di situ
tentu terasa,
bukan ucapan
pribadi,
Maka
tanggungjawablah, perhatikan semuanya
sampai tuntas.
88
Sirnakna
semanging kalbu,
Den waspada
ing pangeksi,
Yeku
dalaning kasidan,
Sinuda saka
sethithik,
Pamothahing
nafsu hawa,
Linalantih
mamrih titih.
Sirnakan
keraguan hati,
waspadalah
terhadap pandanganmu,
Itulah
caranya berhasil,
Kurangilah
sedikit demi sedikit godaan hawa nafsu,
Latihlah
agar terlatih.
89
Aywa mematuh
nalutuh,
Tanpa tuwas
tanpa kasil,
Kasalibuk ing
srabeda,
Marma dipun
ngati-ati,
Urip keh
rencananira,
Sambekala
den kaliling.
Jangan
terbiasa berbuat aib,
Tiada guna
tiada hasil,
terjerat
oleh aral,
Maka
berhati-hatilah,
Hidup ini
banyak rintangan,
Godaan harus
dicermati.
90
Umpamane
wong lumaku,
Marga gawat
den liwati,
Lamun kurang
ing pangarah,
Sayekti
karendhet ing ri.
Apese
kasandhung padhas,
Babak
bundhas anemahi.
Seumpama
orang berjalan,
Jalan
berbahaya dilalui,
Apabila
kurang perhitungan,
Tentulah
tertusuk duri,
celakanya
terantuk batu,
Akhirnya
penuh luka.
91
Lumrah bae
yen kadyeku,
Atetamba yen
wus bucik,
Duweya
kawruh sabodhag,
Yen tan
nartani ing kapti,
Dadi kawruhe
kinarya,
Ngupaya
kasil lan melik.
Lumrahnya
jika seperti itu,
Berobat
setelah terluka,
Biarpun punya
ilmu segudang,
bila tak
sesuai tujuannya,
ilmunya
hanya dipakai mencari nafkah dan pamrih.
92
Meloke yen
arsa muluk,
Muluk ujare
lir wali,
Wola wali
nora nyata,
Anggepe
pandhita luwih,
Kaluwihane
tan ana,
Kabeh tandha
tandha sepi.
Baru
kelihatan jika keinginannya muluk-muluk,
Muluk-muluk
bicaranya seperti wali,
Berkali-kali
tak terbukti,
merasa diri
pandita istimewa,
Kelebihannya
tak ada,
Semua bukti
sepi.
93
Kawruhe mung
ana wuwus,
Wuwuse
gumaib gaib,
Kasliring
thithik tan kena,
Mancereng
alise gathik,
Apa pandhita
antiga,
Kang
mangkono iku kaki,
Ilmunya
sebatas mulut,
Kata-katanya
di gaib-gaibkan,
Dibantah
sedikit saja tidak mau, mata membelalak alisnya menjadi satu,
Apakah yang
seperti itu pandita palsu,..anakku ?
94
Mangka ta kang
aran laku,
Lakune
ngelmu sejati,
Tan dahwen
pati openan,
Tan panasten
nora jail,
Tan njurungi
ing kahardan,
Amung eneng
mamrih ening.
Padahal yang
disebut “laku”,
sarat
menjalankan ilmu sejati tidak suka omong kosong dan tidak suka memanfaatkan
hal-hal sepele yang bukan haknya,
Tidak iri
hati dan jail,
Tidak
melampiaskan hawa nafsu. Sebaliknya, bersikap tenang agar menggapai keheningan
jiwa.
95
Kaunanging
budi luhung,
Bangkit ajur
ajer kaki,
Yen mangkono
bakal cikal,
Thukul
wijining utami,
Nadyan bener
kawruhira,
Yen ana kang
nyulayani.
Luhurnya
budipekerti,
pandai
beradaptasi, anakku !
Demikian
itulah awal mula,
tumbuhnya
benih keutamaan,
Walaupun
benar ilmumu,
bila ada
yang mempersoalkan..
96
Tur kang
nyulayani iku,
Wus wruh yen
kawruhe nempil,
Nanging
laire angalah,
Katingala
angemori,
Mung ngenaki
tyasing liyan,
Aywa esak
aywa serik.
Walau orang
yang mempersoalkan itu, sudah diketahui ilmunya dangkal,
tetapi
secara lahir kita mengalah,
berkesanlah
persuasif,
sekedar
menggembirakan hati orang lain.
Jangan sakit
hati dan dendam.
97
Yeku
ilapating wahyu,
Yen yuwana
ing salami,
Marga wimbuh
ing nugraha,
Saking heb
Kang mahasuci,
Cinancang
pucuking cipta,
Nora ucul
ucul kaki.
Begitulah
sarat turunnya wahyu,
Bila teguh
selamanya,
dapat
bertambah anugrahnya,
dari sabda
Tuhan Mahasuci,
terikat di
ujung cipta,
tiada
terlepas-lepas anakku.
98
Mangkono
ingkang tinamtu,
Tampa
nugrahaning Widhi,
Marma ta
kulup den bisa,
Mbusuki
ujaring janmi,
Pakoleh lair
batinnya,
Iyeku budi premati.
Begitulah
yang digariskan,
Untuk
mendapat anugrah Tuhan.
Maka dari
itu anakku,
sebisanya,
kalian pura-pura menjadi orang bodoh terhadap perkataan orang lain,
nyaman lahir
batinnya,
yakni budi
yang baik.
99
Pantes
tinulat tinurut,
Laladane
mrih utami,
Utama
kembanging mulya,
Kamulyan
jiwa dhiri,
Ora ta yen
ngeplekana,
Lir leluhur
nguni-uni.
Pantas
menjadi suri tauladan yang ditiru,
Wahana agar
hidup mulia,
kemuliaan
jiwa raga.
Walaupun
tidak persis, seperti nenek moyang dahulu.
100
Ananging ta
kudu kudu,
Sakadarira
pribadi,
Aywa tinggal
tutuladan,
Lamun tan
mangkono kaki,
Yekti tuna
ing tumitah,
Poma
kaestokna kaki.
Tetapi harus
giat berupaya, sesuai kemampuan diri,
Jangan
melupakan suri tauladan,
Bila tak
berbuat demikian itu anakku,
pasti merugi
sebagai manusia.
Maka
lakukanlah anakku !
sabdalangit