serat jakalodang
(Rangga Warsita Basa Kadaton - Basa
Kadaton Rangga Warsita)
Rongeh jleg tumiba
Gagaran santosa
Wartane meh teka
SIkara karoda
Tatage tan katon
Barang-barang ngerong
Saguh tanpa raga
Katali kawawar
Dadal amekasi
Tonda murang tata
Gambuh
Jaka Lodang gumandhul
Praptaning ngethengkrang sru muwus
Eling-eling pasthi karsaning Hyang
Widhi
Gunung mendhak jurang mbrenjul
Ingusir praja prang kasor
Joko Lodang berayun lalu berlagak
dengan sombong, sambil berkata dengan lantang. Hati-hatilah sudah menjadi
kehendak Tuhan bahwa kelak gunung-gunung akan menjadi rendah, sebaliknya jurang
yang curam akan timbul kepermukaan, zaman yang serba terbalik, karena kalah
perang maka akan diusir dari negerinya.
Nanging awya kliru
Sumurupa kanda kang tinamtu
Nadyan mendak mendaking gunung wis
pasti
Maksih katon tabetipun
Beda lawan jurang gesong
Namun jangan salah memahami.
Ketahuilah kabar yang telah digariskan. Walau serendah apapun gunung akan tetap
masih tampak terlihat. Berbeda dengan jurang yang curam.
Nadyan bisa mbarenjul
Tanpa tawing enggal jugrugipun
Kalakone karsaning Hyang wus pinasti
Yen ngidak sangkalanipun
Sirna tata estining wong
(Jurang) meskipun dapat timbul, namun
kalau tidak ada tanggulnya akan longsor juga. Kejadian itu sudah menjadi
kehendak Tuhan YME, bilamana telah menginjak masa : tahun Jawa 1850. Sirna ; 0,
Tata ; 5, Esthi ; 8 dan Wong ; 1. Atau tahun 1919-1920 masehi.
Sinom
Sasedyane tanpa dadya
Sacipta-cipta tan polih
Kang reraton-raton rantas
Mrih luhur asor pinanggih
Bebendu gung nekani
Kongas ing kanistanipun
Wong agung nis gungira
Sudireng wirang jrih lalis
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira
Segala yang dikehendaki tidak
terwujud, segala yang dicita-citakan mengalami kegagalan, yang direncanakan
berantakan, langkah dan keputusan salah perhitungan, ingin menang malah kalah.
Datanglah hukuman dahsyat dari Tuhan. Yang tampak hanyalah perbuatan nista.
Orang besar kehilangan kebesarannya, pilih menanggung malu ketimbang mati,
rakyat kecil tidak memahami diri sendiri.
Wong alim-alim pulasan
Njaba putih njero kuning
Ngulama mangsah maksiat
Madat madon minum main
Kaji-kaji ambataning
Dulban kethu putih mamprung
Wadon nir wadorina
Prabaweng salaka rukmi
Kabeh-kabeh mung marono tingalira
Banyak orang berlagak sok alim (penuh
kepalsuan), luarnya “putih” dalemnya “kuning”, banyak ulama gemar maksiat. Suka
mabuk, main perempuan, dan berjudi. Yang sudah naik haji pun rusak moral dan
kelakuannya. Perempuan kehilangan kewanitaannya, karena mengejar harta benda.
Harta benda menjadi tujuan hidup semua orang.
Para sudagar ingargya
Jroning jaman keneng sarik
Marmane saisiningrat
Sangsarane saya mencit
Nir sad estining urip
Iku ta sengkalanipun
Pantoging nandang sudra
Yen wus tobat tanpa mosik
Sru nalangsa narima ngandel ing
suksma
Para pedagang bersukaria, harta benda
dipertuhan. Akibatnya penderitaan meliputi seluruh jagad, kesengsaraannya makin
menjadi-jadi. Tahun Jawa menunjuk tahun 1860 ; Nir ; 0, Sad ; 6, Esthining ; 8,
Urip ; 1. Tahun Masehi kurang lebih tahun 1930. Penderitaan usai bila semua
orang sadar lalu bertobat, kembali kepada jalan kebenaran.
Megatruh
Mbok Parawan sangga wang duhkiteng
kalbu
Jaka Lodang nabda malih
Nanging ana marmanipun
Ing waca kang wus pinesthi
Estinen murih kelakon
Mbok Perawan berpangku tangan merasa
sedih. Joko Lodang berkata lagi : “Namun ketahuilah bahwa ada hukum sebab
akibat, dalam ramalan yang sudah ditentukan, upayakan supaya terjadi “.
Sangkalane maksih nunggal jamanipun
Neng sajroning madya akir
Wiku Sapta ngesthi Ratu
Adil parimarmeng dasih
Ing kono kersaning Manon
Saatnya (kemerdekaan) masih dalam
zaman yang sama. Di akhir pertengahan abad. Tahun Jawa 1877 Wiku ; 7, Sapta ;
7, Ngesthi ; 8, Ratu ; 1. Bertepatan dengan tahun 1945 masehi. Datanglah
keadilan antara sesama manusia. Semua itu sudah menjadi kehendak Tuhan.
Tinemune wong ngantuk anemu kethuk
Malenuk samargi-margi
Marmane bungah kang nemu
Marga jroning kethuk isi
Kencana sesotya abyor
Kelak saat itu, segala sesuatu dapat
diraih dengan sangat mudah, ibarat orang yang mengantuk mendapat kethuk (gong
kecil) yang berada banyak dijalan. Gembira lah hati orang yang menemukan, sebab
di dalam berisi emas kencana.
SERAT
JAKA LODHANG
Serat
Jaka Lodhang dimulai dengan Bubuka (Pendahuluan) berupa dua ‘pada’ (bait)
geguritan atau sanjak. Masing-masing bait terdiri dari lima gatra (bagian).
Bubuka ini ada yang menyebut dengan nama Serat Kalut (kalut=kacau) sebagai
serat tersendiri.
Kata-kata
dan kalimat-kalimat geguritan tersebut berdasarkan susunan dan arti harfiahnya
dapat disimpulkan sebagai perlambang (lambang) berupa kata-kata bersayap yang
menyelubungi sesuatu maksud tertentu.
Di
dalam dua bait geguritan itu terdapat sandiasma dari pengarangnya yang
dijelaskan sebagai berikut :
Dalam
Geguritan ke-1 rangkaian suku kata-suku kata pertama dari tiap-tiap gatra
berbunyi ronggawarsita. Rangkaian dari suku kata-suku kata terakhir dari
tiap-tiap gatra berbunyi: basa kadhaton.
Dalam
Geguritan ke-2 rangkaian suku kata-suku kata pertama dari tiap-tiap gatra
berbunyi: basa kadhaton. Rangkaian suku kata-suku kata terakhir dari tiap-tiap
gatra berbunyi: ronggawarsita.
Serat
Jaka Lodhang ini adalah Serat Jangka, yaitu Ramalan, sebab dalamnya terdapat
angka tahun yang berbentuk Candrasengkala. Ramalan itu menunjukkan (akan)
terjadinya berbagai peristiwa.
BUBUKA
Geguritan
2 bait
Rongeh
*) jleg tumiba, gagaran
santosa, wartane meh
teka,
sikara
karodha,
tatage
tan katon.
–
Keadaan yang menggelisahkan terjadi tiba-tiba, (itu) menjadi pedoman kuat,
(akan hal yang) kabarnya hampir tiba, (yaitu) tindak sewenang-wenang,
(sehingga) ketabahan hati orang tidak tampak.
Barang-barang
ngerong, saguh
tanpa
raga,
katali
kawawar,
dhadhal
amekasi,
tondha
murang tata.
–
Apa (dan siapa) pun yang bersembunyi, sanggup bertekad mati, (sekalipun)
dibelenggu dipecah-pecah, (sebab percaya peristiwa itu) akhirnya (akan) hancur,
(karena) nyata-nyata melanggar tata (kemanusiaan).
*)
Perkataan rongeh, penulisannya dengan huruf Jawa umumnya (sekarang) adalah:
ro+ngeh, tetapi perkataan itu di sini harus memenuhi kepentingan sandiasma;
ronggawarsita. Oleh karenanya penulisannya dengan huruf Jawa adalah; rong+eh.
ISI
SERAT JAKA LODHANG
BAGIAN
I
Tembang
Gambuh 3 bait
Jaka
Lodhang *) gumandul, aneng ngepang ngethengkrang srumuwus, eling-eling pasthi
karsaning Hyang Widdhi, gunung mendhak jurang mbrenjul, ingusir praja prang
kasor.
–
Jaka Lodhang (Ki Pujangga) bergantungan di pohon, di atas dahan duduk santai
(lalu) berkata keras, ingat-ingatla (semua) kehendak Tuhan sudah pasti,
gunung-gunung (yang tinggi) merendah (runtuh), jurang-jurang (yang dalam)
membusut (bergundukan), (ada orang-orang) terusir dari negerinya (karena) kalah
perang.
*)
Jaka Lodhang berasal dari kata jaka = jejaka, lelaki muda+lodhang atau ludhang
= rampung, selesai, sudah selesai dengan suatu pekerjaan = bebas dari suatu
kewajiban. Jaka Lodhang berperan di dalam Serat ini sebagai juru bicara
pengarangnya, atau sebagai nama samaran pengarangnya dalam karya ini.
Nanging
aywa keliru, sumurupa kandha kang tinamtu, nadyan mendhak mendhaking gunung wus
pasthi, masih katon tabetipun, beda lawan jurang gesong.
–
Tetapi janganlah keliru (terima), ketahuilah kata-kata yang benar, meskipun
menjadi rendah (tetapi) rendahnya gunung sudah pasti, masih kelihatan bekasnya,
berbeda dengan jurang yang menggeronggong.
Nadyan
bisa mbarenjul, tanpa tawing enggal jugrugipun, kalakone karsaning Hyang wus
pinasthi, yen ngidak sangkalanipun, Sirna tata esthining wong. *)
–
Meskipun (jurang) membusut, tanpa kekuatan dinding (tentu) cepat runtuh,
(keadaan demikian itu) terjadi karena kehendak Allah telah pasti (yaitu)
setelah menginjak waktunya dengan Candrasengkala: Sirna tata esthining wong.
*)
Sirna tata esthining wong = Musnahlah tata (cara) tujuan orang. Candrasengkala
itu berarti tahun Jawa 1850. Tahun Jawa 1850 ialah dari tanggal 1 Sura (Jum’at
Wage) sampai dengan 29 Besar (Selasa Kliwon) 1850 = tahun Masehi tanggal 26
September 1919 sampai dengan 14 September 1920.
BAGIAN
II
Tembang
Sinom 3 Bait
Sasedyane
tanpa dadya, sacipta-cipta tan polih, kang raraton-raton rantas, mrih luhur
asor pinanggih, bebendu gung nekani, kongas ing kanisthanipun wong agung nis
gungira, sudireng wirang jrih lalis, ingkang cilik tan tolih ring cilikira.
–
(Mulai tahun 1850 tersebut) semua cita-cita (orang) tak ada yang berhasil,
apapun yang dikehendaki tak ada yang tercapai, yang membuat gerombolan bubar
semuanya, mengusahakan derajat luhur memperoleh kehinaan, kutuk Tuhan yang
keras tibalah, menonjollah kerendahan budi orang, orang bermartabat tinggi
hilang martabatnya, berani malu takut mati, yang (golongan) kecil tak mau tahu
diri.
Wong
alim-alim pulasan, njaba putih njeru kuning, ngulama mangsah maksiyat, madat
madon minum main, kaji-kaji ambanting, dulban kethu putih mamprung, wadon nir
wadonira, prabaweng salaka rukmi, kabeh-kabeh mung marono tingalira.
–
Orang (yang mengaku) pandai (sebenarnya) palsu, di luarnya tampak suci (putih)
di dalamnya kotor (kuning), ahli agama Islam melanggar larangan Tuhan, madat
melacur minum-minuman keras dan berjudi, haji-haji meninggalkan, sorban kopiah
putihnya beterbangan, wanita hilang kewanitaannya, (karena) daya pengaruh perak
dan emas, semua orang hanya memperhatikan harta benda.
Para
sudagar ingargya, jroning jaman keneng sarik, marmane saisining rat, sangsarane
saya mencit, Nir sad esthining urip *) iku to sangkalanipun, pantoging nandhang
sudra, yen wis tobat tanpa mosik, sru nalangsa narima ngandel ring Suksma.
–
Para saudagar yang (mestinya) dihormati, (hidup) dalam jaman yang terkutuk
(oleh Tuhan), maka seisi dunia, sengsaranya makin memuncak, (perhatikanlah) Nir
sad esthining urip, itulah waktunya (Candrasengkalanya), puncaknya menderita
hingga, (yaitu) bilamana (orang) sudah bertobat tanpa gerak (batinnya), amat
menyesali diri (dan) sadar percaya kepada (kekuasaan) Tuhan.
*)
Nir sad esthining urip = Hilang kering cita-cita hidup, adalah kalimat
Candrasengkala yang berarti tahun Jawa 1860.
Tahun
Jawa 1860 ialah mulai tanggal 1 Sura (Ahad Pon) sampai dengan 29 Besar (Kamis Pahing)
1860 = tahun Masehi tanggal 9 Juni 1929 sampai dengan 1930. Sad = enam; sebagai
kata bersayap, dapat diartikan sebagai: sat = asat = kering, habis.
BAGIAN
III
Tembang
Megatruh 3 bait
Mbok
Parawan sangga wang duhkiteng kalbu, Jaka Lodhang nabda malih, nanging ana
parmanipun, ing weca ji, nag wus pinasthi, esthinen murih kalakon.
–
Mbok Parawan bertopang dagu (karena) sedih, Jaka Lodhang berkata lagi, tetapi
ada kasih-sayang (Tuhan), (yaitu) di dalam ramalan yang sudah dipastikan,
usahakanlah agar (itu) terjadi.
Sangkalane
maksih nunggal jamanipun, neng sajroning madya akir, Wiku sapta ngesthi ratu
*), ngadil parimarmeng dasih, ing kono karsaning Manon.
–
(Terjadinya ramalan itu) waktunya masih dalam zaman, di pertengahan-akhir
(abad), (Candrasengkalanya) Wiku sapta ngesthi ratu, yang adil kasih-sayang
kepada rakyatnya, di sanalah kehendak Tuhan.
*)
wiku sapta ngesthi ratu = Tujuh orang pendeta menghendaki seorang raja.
Candrasengkala ini berarti tahun Jawa 1877. Tahun Jawa 1877 ialah mulai tanggal
1 Sura (Kamis Paing) sampai dengan 29 Besar (Ahad Paing) 1877 = tahun Masehi
tanggal 6 Desember 1945 sampai dengan 25 Nopember 1946.
Tinemune
wong ngantuk anemu kethuk, malenuk samargi-margi, marmane bungah kang nemu,
marga jroning kethuk isi, kancane sosotya abyor.
–
Terjadilah orang mengantuk menemukan kethuk, terdapat di sepanjang jalan, maka
senanglah yang menemukannya, karena kethuk itu berisi, emas intan berlian
(serba) gemerlapan.