Makrifat Jawa
Makrifat Jawa adalah ajaran yang mengarah pada paham manunggaling kawula Gusti. Ajaran ini bertingkat-tingkat, dari tingkat satu sampai sembilan. Tingkatan pertama, kedua dan ketiga berisi tentang seluk beluk diri atau Dzat Tuhan. Tingkatan keempat, kelima dan keenam bertutur tentang seluk-beluk singgasana Tuhan. Tingkatan ketujuh dan kedelapan berisi tentang penerapan, yaitu peneguh kekuatan iman dan penyaksian. Tingkat kesembilan berisi tentang penjabaran manunggaling kawula Gusti. Tingkat kesembilan ini sengaja disimpan dan tidak diajarkan, kecuali kepada orang-orang yang super khusus. Seperti Sunan Ampel yaitu orang super khusus, wali yang menguasai kesembilan tingkatan makrifat ini. Ajaran makrifat Jawa berasal dari para wali legendaris yang sudah tidak asing lagi namanya di tanah Jawa ini, tak terkecuali juga peran penting Syekh Siti Jenar. Ilmu makrifat ini dilestarikan oleh generasi berikutnya sampai pada puncaknya oleh petinggi Kerajaam Mataram, yaitu Sultan Agung. Pada jaman Sultan Agung ajaran ini terus dilestarikan, yaitu dengan cara diajarkan, diamalkan dan dikembangkan pada para ulama maupun masyarakat umum. Hingga akhinya ajaran ini sangat akrab dengan ‘Kaum Kejawen’. Buku ini menguraikan dan menelaah secara detail bagaimana silsilah dan ajaran makrifat Jawa yang sebenarnya. Puncak ajaran makrifat Jawa ini yaitu “manunggaling kawula Gusti”.
Pengenalan
Amalan Dzat Menurut Tasawuf Jawa
Ini adalah isi wirid yang menjadi
bekal bagi murad/guru serta maksudnya, sebagai pembuka Hidayat yang menjadi
petunjuk untuk memahami ilmu makrifat. Berasal dari dalil, hadist, ijma dan
qiyas.
Dalil maksudnya penjelasan tentang
firman Allah. hadist berisi tentang keteladanan Rasulullah. Ijma adalah
kumpulan wejangan para wali. Qiyas adalah penyebaran ajaran para
pandhita/ulama.
Kesemuanya ini menjadi pembuka dalam
proses penjelasan rahasia ghaib tentang kesejadian hidup, agar hidupnya
tentram, lestaru dari awal sampai akhir. Setidak-tidaknya, sebagai hamba
apabila sudah sampai ajal yang telah di tentukan mudah-mudahan bahagia dalam
kesempurnaan hakikat, mulia keadaanya di alam baka jangan sampai jatuh kedalam
alam kesesatan. Adapun yang menjadi intisari ilmu makrifatini bersumber dari
hadist sabda kanjeng Nabi Muhammad, yang beliau wejangkan kepada sayyidina Ali.
Yakni tentang adanya Dzat sebagaimana tersebut dalam dalil utama, dari firman
Tuhan yang maha suci, dibidikkan melalui telinga kiri. Bunyinya sbb: Sesungguhnya
tidak ada apa-apa, karena ketika masih awung-awung/kosong belum ada sesuatupun.
Yang ada saat itu hanyalah Aku. Tidak ada Tuhan selain Aku, dzat sejati yang
maha suci, yang meliputi sifat-ku, menyertai namaku, dan menandai perbuatanku.
Pengertiannya sebagai berikut:
Sesungguhnya yang mengatakan bahwa Dzat adalah maha suci itu tiada lain adalah
hidup kita sendiri, karena ketitipan rahasia Dzat yang agung. Yang meliputi
sifat ini tiada lain adalah rupa kita sendiri, karena ketambahan warna Dzat yang
elok. Yang menyertai nama itu tiada lain adalah nama kita sendiri, karena telah
diakui sebagai sebutan bagi Dzat yang mahakuasa.
Buktinya bisa dilihat bahwa tingkah
laku kita sendiri benar-benar mencerminkan perbuatan Dzat yang sempurna. Bisa
dikatakan, Dzat itu mengandung sifat, sifat menyertai nama, nama memberikan
tanda bagi perbuatan, dan perbuatan menjadi wahana bagi Dzat. Hubungan antara
Dzat dan sifat ini bisa diumpamakan seperti madu dan manisnya. Jelas keduanya
tidak bisa dipisahkan. Sifat menyertai nama ini dapat diumpamakan seseorang
yang bercermin dengan bayangan dalam cermin tersebut. Tentu, apa saja yang
dilakukan seseorang tadi akan diikuti oleh bayanganya.
Jadi sebenarnya, yang di sebut Dzat
itu adalah tajjali/ penampakan muhammad. Sedangkan yang bernama muhammad itu
adalah wahana cahaya yang meliputi badan. Ia berada dalam hidup kita. Hidup itu
sendiri mandiri tanpa ada yang menghidupkan , oleh karena itu ia berkuasa,
mendengar, mencium, berbicara dan merasakan rasa. Semua itu berasal dari kodrat
Dzat kita sendiri.
Maksudnya, Dzat Tuhan yang maha suci
melihat dengan mata kita, mendengar dengan telinga kita, mencium dengan hidung
kita, bersabda dengan mulut kita, dan merasakan semua rasa dengan alat perasa
kita. Tidak perlu khawatir dalam pikiran karena wahana wahya dyatmiko ada dalam
diri kita. Maksudnya, lahir batinya Allah sudah ada dalam hidup kita pribadi.
Jika diperibahasakan, lebih tua Dzat manusia dari pada sifat Allah, karena
kejadian Dzat itu lebih terdahulu pada zaman azali serta kekal, paling dahulu
di kala masih hampa keadaan kita. Sedangkan kejadian sifat itu adalah baru
ketika berada di alam dunia.
Akan tetapi keduanya saling
tarik-menarik menguatkan. Semua Dzat pasti mengandung sifat dan semua yang
bersifat pasti memiliki Dzat. Tentang urutan kejadian Dzat dan sifat ini
disebutkan pada dalil kedua, dari firman Tuhan yang maha suci sebagai berikut :
Sesungguhnya Aku adalah Dzat yang maha pencipta dan maha kuasa, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu,terjadi dalam seketika, sempurna lantaran kodrat-ku. Sebagai pertanda perbuatanku, sebagai kenyataan kehendak-ku. Mula-mula aku menciptakan hayyu bernama syajaratul yakin. Tumbuh dalam alam adam makdum yang azali abadi. Setelah itu cahaya bernama nur muhammad, cermin bernama mir’atul haya’i, nyawa bernama roh idhafi, lampu bernama kandil, permata bernama dharrah, dan dinding jalal bernama hijab yang menjadi penutup hadirat-ku.
Maksudnya sebagai berikut :
1.
Syajaratul Yakin. Tumbuh
dalam alam hampa yang sunyi senyap azali abadi. Ia adalah pohon kehidupan yang
berada dalam ruang hampa dan sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatupun. Ia
merupakan Hakikat Dzat mutlak yang qadim. Artinya, ia adalah hakikat yang pasti
dan paling dahulu, yaitu Dzat atma yang menjadi wahana bagi alam ahadiyat.
2.
Nur Muhammad. Artinya
cahaya yang terpuji. Dikisahkan dalam hadist, ia seperti burung merak, berada
dalam permata putih dan berada pada arah Syaratul Yakin. Itulah hakikat cahaya
yang diakui tajalli Dzat, berada dalam nukat ghaib, merupakan sifat atma dan
menjadi wahana bagi alam wahdah.
3.
Mir’atul Haya’i. Artinya
adalah kaca wira’i. Dikisahkan dalam hadist, ia berada di depan Nur Muhammad.
Ia adalah hakikat pramana yang diakui rahsa Dzatnya, sebagai nama bagi atma
serta menjadi wahana bagi alam wahidiyat.
4.
Roh Idhafi. Artinya
adalah nyawa yang jernih. Dikisahkan dalam hadist, ia berasal dari Nur
Muhammad. Ia adalah Hakikat suksma yang diakui sebagai keadaan Dzat, serta
merupakan perbuatan atma. Ia menjadi wahana bagi alam arwah.
5.
Kandil. Artinya adalah
lampu tanpa api. Dikisahkan dalam hadist, ia berupa permata, cahaya berkilauan,
serta bergantung pada alat pengait. Itulah keadaan Nur Muhammad dan tempatnya
berkumpul semua ruh. Ia adalah Hakikat angan-angan yang diakui sebagai bayangan
Dzat, bingkai bagi atma dan menjadi wahana alam misal.
6.
Dharrah. Artinya adalah
permata. Dikisahkan dalam hadist, ia memiliki sinar yang beraneka warna, satu
tempat dengan para malaikat. Ia menjadi hakikat budi, yang diakui sebagai
perhiasan Dzat, pintu nama, dan menjadi wahana alam ajsam.
7. Hijab. Artinya adalah dinding yang agung dan disebut sebagai dinding jalal. Dikisahkan dalam hadist, ia adalah yang timbul dari permata beraneka warna. Pada saat bergerak akan menimbulkan buih, asap, dan air. Ia adalah hakikat jasad, merupakan tempat bagi atma, dan menjadi wahana bagi alam Insan Kamil .
Menurut keterangan dai ijma’ dan
qiyas, dinding agung yang berupa buih, asap, dan air tadi dibagi menjadi 3
bagian.
1.
Buih, mengeluarkan tiga
hijab yaitu :
a.
Hijab kisma, menjadi
perwujudan jasad luar seperti kulit, daging, dan sebagainya.
b.
Hijab Rukmi, menjadi
perwujudan jasad dalam, seperti otak, manik, hati, jantung , dan sebagainya.
c.
Hijab Retna, menjadi
perwujudan jasad yang lembut seperti mani, darah, sumsum, dan sebagainya.
2.
Asap
a.
Hijab kegelapan, menjadi
perwujudan nafas dan yang lainya
b.
Hijab guntur, menjadi
perwujudan panca indra
c.
Hijab api, menjadi
perwujudan nafsu.
3.
Air
a.
Hijab embun air hidup,
menjadi perwujudan suksma
b.
Hijab nur rasa, menjadi
perwujudan rahsa
c. Hijab nur cahaya yang sangat terang, menjadi perwujudan atma.
Semua itu merupakan dinding bagi Dzat
yang berada pada insan kamil atau manusia sempurna. Tidak perlu kuatir karena
keadaan Arsy, kursi, lauh mahfudz, kalam, timbangan, jembatan shiratal
mustaqim, surga, neraka, bumi, langit, dan semua isinya ini sudah termasuk
dalam tabir yang diimbasi oleh Dzat kita yang maha agung. Ia terpancar menjadi
keelokan sifat kita yang tunggal, menyertai nama kita yang berkuasa, menandai
kekuasaan perbuatan kita yang sempurna.
Sesungguhnya Aku menciptakan Adam
berasal dari empat unsur yakni tanah, api, amgin dan air. Semuanya menjadi
perwujudan sifat-ku, untuk Aku masuki lima macam mudah yaitu nur, rahsa, roh,
nafsu, dan budi untuk menjadi penutup wajah-ku yang maha suci.
Maksudnya, mudah itu adalah Dzat
hamba, wajah itu adalah Dzat gusti yang bersifat kekal. Dalam suatu hadist.
Disebutkan bahwa masuknya mudah kedalam jasad melalui lima macam proses.
Bermula dari ubun-ubun, berhenti di otak, turun ke mata, turun ke telinga,
turun ke hidung, turun ke ulut, turun kedada, tersebar ke seluruh tubuh, dan
akhirnya sempurna menjadi insan kamil.
Inilah kehendak tambahan dari Dzat
yang maha suci. Ia menciptakan singgasana Dzat , diatur dalam baitullah menjadi
tiga susunan. Semua itu merupakan kenyataan. Segala sesuatu merupakan ciptaan
Dzat yang maha agung, maha mulia, maha kekal tanpa ada perubahan. Disebutkan
dalam tiga buah firman Tuhan yang maha suci.
1.
Ayat pertama tentang susunan
singgasana dalam Baitul Makmur. Sesungguhnya Aku mengatur singgasana dalam
baitul makmur, yaitu rumah tempat kesukaanku. Tempat itu berada dalam kepala
adam. Dalam kepala itu ada otak, dalam otak itu ada manik, dalam manik itu ada
budi, dalam budi ada nafsu, dalam nafsu ada suksma, dalam suksma ada rahsa,
dalam rasa ada aku. Tidak ada Tuhan selain aku,dzat yang meliputi semua
keadaan.
2.
Ayat kedua tentang
susunan dalam baitul Muharram. Sesungguhnya Aku mengatur singgasana berada
dalam baitul muharram, yaitu rumah tempat pingitanku. Tempat itu berada di
dalam dada adam, didalam dada adam ada hati hati, didalam hati itu ada jantung,
didalam jantung itu ada budi, didalam budi itu ada jinem/angan-angan, didalam
jinem ada suksma, didalam suksma ada rahsa, didalam rahsa ada Aku, tidak ada
Tuhan selain Aku, Dzat yang meliputi semua keadaan.
3. Ayat ketiga tentang susunan singgasana Baitul Muqaddas. Sesungguhnya Aku mengatur singgasana di dalam baitul muqaddas. Itu adalah rumah, tempat yang Aku sucikan. Berada dalam kontholnya adam. Dalam konthol itu ada pringsilan/buah pelir, diantara pringsilan itu ada nutfah yaitu mani, didalam mani ada itu ada madi, di dalam madi ada wadi, didalam wadi itu ada manikem, dalam manikem ada itu ada rahsa, dalam rahsa itu ada aku, tidak ada Tuhan selainn Aku, Dzat yang meliputi semua keadaan, bertakhta dalam nukat gaib, turun menjadi jauhar awal. Disitulah alam ahadiyat berada /alam wahdah dan alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, dan alam insan kamil, menjadi manusia sempurna yaitu sifatku yang sejati.
Setelah memahami firman Tuhan diatas, maka bijaksanalah dalam hati sebagai perwujudan syukur karena telah menerima anugerah. Anugerah itu adalah pemahaman tentang Dzat Tuhan, yakni menerima sifat sebagai hamba yang telah manunggal dengan Tuhan tanpa batas dalam badan kita.
Penjelasan dari ayat di atas
adalah sebagai berikut:
Pertama, tentang unsur-unsur yang terdapat dalam Baitul Makmur, artinya
rumah yang makmur.
Kepala adalah bentuk lahir dari
Baitul Makmur.
1.
Otak adalah keadaan
kontha, yang dapat menarik terangnya cahaya dan merupakan pembuka bagi
pemahaman tentang Dzat.
2.
Manik adalah keadaan
pramana, memperjelas warna, dan menjadi pangkal penglihatan.
3.
Budi adalah keadaan
pranawa, memperjelas kehendak, dan menjadi pangkal dalam berbicara.
4.
Nafsu adalah keadaan
hawa, memperjelas suara, dan menjadi pangkal bagi pendengaran.
5.
Suksma adalah keadaan
nyawa, memperjelas cipta, dan menjadi pangkal penciuman.
6. Rahsa adalah keadaan atma, memperjelas kuasa, dan menjadi pangkal bagi perasaan.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka para guru yang mengajarkan tentang susunan singgasana dalam baitul makmur ini berpesan agar tidak makan otak dan manik. Bahkan jangan sampai ada keinginan untuk makan kesuanya. Manfaatnya, menurut pengalaman yang sudah-sudah, ilmunya akan diterima.
Kedua, tentang unsur-unsur yang terdapat dalam baitul muharram, artinya
rumah tempat bagi hal-hal yang dilarang.
1.
Dada adalah bentuk lahir
keadaan baitul muharram.
2.
Hati adalah keadaan
panca indra,memperjelas nafsu, dan menjadi pangkal munculnya nafas.
3.
Jantung adalah keadaan
panca maya, memperjelas rasa birahi, dan menjadi pangkal timbulnya denyutan.
4.
Budi adalah keadaan
pranawa, memperjelas kehendak, dan menjadi pangkal munculnya pembicaraan.
5.
Jinem adalah keadaan
angan-angan, memperjelas suara, dan menjadi pangkal munculnya pendengaran.
6.
Suksma adalah keadaan
nyawa, memperjelas cipta, dan menjadi pangkal bagi timbulnya penciuman.
7.
Rahsa adalah keadaan
atma, memperjelas kekuasaan, dan menjadi pangkal munculnya perasaan.
Guru yang mengajarkan ilmu tentang susunan singgasana dalam baitul muharram ini juga berpesan agar tidak makan hati dan jantung. Bahkan jangan sampai ada keinginan untuk memakan keduanya. Manfaatnya, menurut pengalaman yang sudah-sudah, sering di terima ilmunya.
Ketiga, tentang unsur-unsur yang terdapat dalam baitul muqaddas, artinya
rumah yang disucikan.
1.
Konthol adalah bentuk
lahir dari baitul muqaddas.
2.
Buah pelir adalah
keadaan purba, diresapi rasa birahi, serta menimbulkan asmaranala yakni
tertariknya hati.
3.
Mani adalah keadaan
kontha, diresapi hawa nafsu, serta menimbulkan asmaratura yakni tertariknya
penglihatan
4.
Madi adalah keadaan
warna, diresapi oleh kehendak, serta menimbulkan asmaraturida yakni tertariknya
pendengaran.
5.
Wadi adalah keadaan
rupa, diresapi daya pemikiran,serta menimbulkan asmaradana yakni tertariknya
kesamaan pembicaraan.
6.
Manikem adalah keadaan
suksma, diresapi oleh perasaan, serta menimbulkan asmaratantra, yakni rasa
tertarik karena bersinggungan.
7.
Rahsa adalah keadaan
atma, diresapi rasa kuasa, serta menimbulkan asmaragama, yakni kesenangan yang
timbul dalam bersenggama.
Guru yang mengajarkan tentang ilmu
susunan singgasana dalam baitul muqaddas ini berpesan agar tidak makan daging
buah pelir dan semacamnya. Setidaknya jangan sampai mengobral kata mani.
Manfaatnya menurut pengalaman yang sudah-sudah, akan diterima ilmunya.
Setelah paham, sebaiknya ia mengamalkan amalan yang dapat memperteguh kekuatan iman, yakni syahadat jati yang dibaca di dalam hati. Bunyi syahadat tersebut adalah :
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Aku. Dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya muhammad itu adalah utusanku.
Setelah memahami makna syahadat jati
ini, kemudian mengangkat janji terhadap sanak saudara kita, yaitu semua makhluk
yang tersebar di penjuru dunia seperti langit, bumi, matahari, bintang, bulan,
api, angin, air dan sebagainya. agar semuanya menjadi saksi bahwa kita telah
mengaku menjadi Dzat Tuhan yang maha suci.
Menjadi sifat Allah yang
sesungguhnya, menyebut dalam batin seperti berikut :
Aku bersaksi kepada Dzatku sendiri
bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku bersaksi bahwa
sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan-ku.sesungguhnya yang bernama Allah itu
adalah badanku rasul itu adalahrahsaku, muhammad itu adalah cahayaku. Akulah
yang senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati. Akulah yang selalu ingat dan
tidak akan pernah lupa. Akulah yang kekal abadi dan tidak pernah mengalami
perubahan dalam keadaan apapun. Akulah yang bijaksana. tidak ada sesuatu pun
yang tersembunyi dari-ku. Akulah yang maha kuasa, berkuasa lagi bijaksana,
tidak ada kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benderang, tidak dapat
diraba, tidak kelihatan, hanya aku yang meliputi alam semesta karena kodrat-ku.
Syariat Dalam
Perspektif Makrifat Jawa
Bagi tasawuf jawa Al Qur’an terbagi
atas dua macam pertama qur’an garing (kitab garing) dan kitab teles (kitab
basah). Kitab garing adalah kitab al Qur’an yang tertulis sebagai petunjuk
dalam memahami ayat-ayat Tuhan. Kitab basah adalah al Qur’an yang terdapat
didalam hati. Kedudukan kitab basah derajatnya lebih tinggi, juga kedudukanya
karena ia menyangkut ayat-ayat semesta, dan sebagai sumber untuk memahami makna
kehidupan. Posisinya atas kitab basah, kitab kering berfungsi sebagai lampu
penerang, agar kitab basah dapat berfungsi dengan baik dan tidak berjalan dalam
kegelapan.
Kitab suci yang kering, hanyalah sebagai tanah kosong yang perlu di cangkul, dipupuk dan ditanami. Untuk itulah diperlukan kitab suci basah, atau yang terdapat dalam diri manusia. Kitab suci sebagai formaslisme syariat yang harus menemukan benih yang tepat, yakni hati yang bersih, dan penanam yang tepat pula. Itulah sang salik, yang hatinya bersih, dan segenap jiwanya diarahkan kepada Allah. Hal ini menjadi salah satu berimbangan antara syariat dan makrifat. Berikut penulis petikkan dari serat nitisruti pupuh dhandhanggula bait 11~14 karya sunan kajenar yang terjemahanya sebagi berikut:
” Maksud ajaran yang permulaan
mengenai kududukan uluma, bilamana sudah benar sesuai penempatanya, jujurnya
perasaan didalam hati tiada tabir, karena sudah waspada kedudukanya yang di
sembah dan yang menyembah, menjadi biasa dalam keberadaan sejati, menjadi mulia
yang sebenarnya, selarasnya yang demikian itu sebenarnya, tidak terbuka dalam
hati manusia, yang tanpa pengetahuan, dan yang masih bodoh, sungguh bodoh
pemikiranya, oleh karena itu haruslah, hati terus berusaha, mengambil teladan
guru, kepada para ulama yang mahir, sebagai kemuliaan sejati. Maksud rasa hati
yang sudah sampai pada kebenaran, kotoran diri sudah sirna, mencegah segala
yang tidak baik, bagaikan tubuh yang cantik, yang demikian itu bilamana, sudah
sampai luar dalam, akhirnya selaras bersih tak bercampur, dalam dalam suasana
yang indah yang di sebut benar-benar sirna sifat manusiawinya. Jelas sekali
sebenarnya yang demikian itu sudah tak ada gusti dan hamba, karena sudah sirna
rasanya, sedangkan yang tidak tau ,pengetahuan yang diuraikan, tak dapat
diceritakan bagaimana cara hidupnya, sudah penuh bisa, hanya kedurjanaan yang
dilakukan, lain halnya bagi yang sudah kokoh budiny …”
Pupuh diatas sangat mewakili ajaran
mistik dan makrifat islam jawa. Terutama yang di sebarkan oleh sunan kajenar
dan sunan kaliajaga. Mistik makrifat yang secara mudahnya berarti “inisiasi”
adalah praktek kontak spiritual langsung dengan Tuhan melalui kontemplasi atau
pengalaman psikologis. Oleh karenanya rahasia dan rasanya hanya dapat dirasakan
oleh pelakunya saja, dan masing-masing pelaku ( salik ) akan selalu memiliki
pengalaman yang berbeda-beda. Namun secara jelas dan tegas dapat dinyatakan
bahwa tanpa laku, tanpa penghayatan langsung dan nyata, maka keadaan yang
sesungguhnya dari pengalaman keagamaan, rasa agama (al-halawat al-iman), atau
apa pun namanya dari buah lelaku tersebut niscaya tidak dapat dirasakan dan
tidak bisa diperoleh.
Demikian pula pengetahuan keagamaan sedalam apapun tidaklah bisa disebut sebagai makrifat. Mendalamnya ilmu syariat juga belum bisa tentu sanggup mengantarkan pemilikannya sampai pada kemakrifatan. Mungkin mereka mengetahui tentang Tuhan. Ia tahu segala sifat-sifatnya melalui buku dan guru. Karena mereka tahu tapi tidak pernah kontak, maka hasilnya juga menjadi kurang benar. Maka dalam makrifat di butuhkan lelaku. Dalam bahasa sufi, makrifat merupakan buah dari perjalanan, suluk, seorang hamba kepada Tuhannya. Dari proses perjalanan itulah maka akan tercapai makrifatullah. Dan di ketahui secara jelas apa itu sangkan paraning dumadi( inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).
Dalam hal ini syariat bukanlah
sekedar aturan-aturan formal keagamaan, yakni yang sering hanya dibatasi
sebagai fiqih. Sekarng ini kata-kata “syariat islam” telah direduksi oleh para
agamawan hanya sebatas fiqih, aturan formal keagamaan yang dibakukan dalam
berbagai karya hukum keagamaan oleh manusia. Fiqih sebenarnya hanyalah produk
perjalanan ulama dalam sejarah Islam, bukan syariat itu sendiri. Sedangkan
syariat dalam tataran makrifat adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai
tujuan.
Adapun cara untuk menempuh laku
syariat itu di sebut sebagai terekat, yang tentu terkait dengan masing-masing
tempat, zaman, tradisi dan budaya yang berbeda.praksisme keagamaan inilah yang
pernah diusung oleh parah tokoh sufi jawa pada abad ke 15 yang lalu.dalam hal ini
bahwa syariat baru menjadi berarti setelah dilalui melalui proses tirakat atau
lelakon. Dalam melakukan hal tersebut, maka yang pertama kali harus
diperhatikan adalah upaya untuk melongok kedalam diri sendiri atau introspeksi.
dalam hal inilah diperlukan adanya laku untuk mengendalikan hawa nafsu. Tahapan
utama untuk ini adalah khalwat, tahannuts atau meditasi (menempuh laku heneng
dan hening). Jika prose ini berhasil maka akan mengantarkan pelakunya untuk
mendapatkan apa yang ia sebut sebagai inspirasi spiritual dan sebagainya. Dari
ilham yang di peroleh maka akan melahirkan berbagai pengetahuan baru dan
perilaku-perilaku yang berasas pada keluhuran budi sebagai buah ber-musyahadah
(menyaksikan dan berkontak langsung dengan Allah), Atau buah iman. Dengan demikian
maka kita berjalan menuju kepada Nya, kita menyatu dengan-nya, dan kita telah
membangun sikap hidup yang berdasarkan kehendak Tuhan itu sendiri……
Dalam sistimatika makrifat jawa
persoalan sholat mendapatkan perhatian cukup penting. Dalam hal ini, yang cukup
signifikan untuk dibahas pada tempat ini adalah yang berkaitan dengan tiga hal
pokok, yang sering mendatangkan kontraversi, yakni tentang sholat tarek, sholat
daim, dan tentunya, terkait dengan hal tersebut adalah tentang adanya sholat.
Dalam qur’an sholat dikategorikanmenjadi dua seperti firman Allah SWT:
“Peliharalah semua sholatmu dan sholat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam
sholat) yang khusyu’ “ ( QS. AL-Bagarah/2:238).
Dalam sistem islam jawa makna sholatmu” dalam ayat tersebut mengacu pada sholat syariat atau lahir, dan sholat wustha pada sholat hati. Secara lahir sholat dilakukan dengan berdiri, membaca al-fatihah, sujud, duduk dan sebagainya, yang melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah sholat jasmani dan fisikal karena semua gerakan badan berlaku dalam semua sholat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawati (segala shalat), yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian lahiriah.
Bagian kedua adalah shalat wustha.
Yang di maksud secara sufistik adalah shalat hati. Wustha dapat diartikan
pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah ,yakni di
tengah”diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan sholat
ini adalah untuk mencapai kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah,
antara kanan dan kiri, antara depan dan belakang, antara bawah dan atas, dan
antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga
di ibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana Allah membolak-balikkan
kemana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah dua sifat
Allah, yaitu sifat yang Maha Menghukum dan Mengazab dengan sifat yang indah,
yang kasih sayang, yang lemah lembut.
Sholat dan ibadah yang sebenarnya
adalah shalat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila
hati lalai dan tidak khusyu’, maka jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau
ini terjadi kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi sholat jasmani
hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyu’. Kalau hati tidak khusyu’, serta
tidak dapat konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak
bisa disebut shalat. Juga tidak akan dipahami apa yang diucapkan, dan tentu
apapun yang di lakukan dengan bacaan dan gerakanya tidak akan mengantarkan
sampai kepada Allah.
Urgensi kekhusukan itu berhubungan
dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat, bukan sekedar permintaan
hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan
tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam
shalat, tidak perduli akan makna rohani sholat, shalat yang di lakukan tersebut
tidak akan memberikan manfaat apapun. Sebab semua yang di lakukan jasmaninya
sangat tergantung kepada hati sebagai zat untuk badan. Ingatlah sabda Rasulullah
:” ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik,
baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu.
Daging itu adalah hati…”
Kekhusukan hati akan membawa shalat
yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusuk akan menjadi obat bagi hati
yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan
hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak,yakni hati yang
tidak dapat hadir kepada Allah. Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki
keterbatasan dalam semua hal: tempa, waktu, kesucian badan, pakaian dan
sebagainya, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat
oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalul dilakukan terus-menerus sejak di dunia
hingga akhirat. Masjid untuk rohani ada didalam hati. Jamaahnya terdiri dari
anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang berzikir dan membaca
al-asma’ al-husna dalam bahasa rohaniah. Imamnya dalam shalat rohani adalah
kemauan atau keinginan yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah shalat
daim yang di ajarkan oleh guru saya yang memperoleh ajaran ini dari para orang
bijak seperti sunan kajenar dan Sunan Kalijaga dan sebagainya.
Shalat yang demikian itu hanya dapat
dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan
jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya
sedang tidur. Inilah tahapan orang-orang yang sudah mencapai makrifatullah,
tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu ia ada tanpa dirinya, karena dirinya
telah fana’ telah hilang lenyap. Ingatanya yang teguh dan suci tercurah hanya
kepada Allah. pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut, tidak ada lagi
gerakan berdiri, sujud, rukuk dan sebagainya. Dia telah telah
berbincang-bincang dengan Allah.sebagaimana firman Allah :” Hanya engkau yang
kami sembah, dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan.” (QS
Al-Fatihah/1:5).
Firman tersebut menunjukkan betapa
tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah mengalami beberapa
tingkata alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid
atau keesaan Allah dan berpadu denganya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu
tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang
dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun, mereka pun sering tidak mau
mengungkapkannya, tidak ingin membocorkan rahasia ketuhanan yang tersimpan di
dalam lubuk hatinya oleh Allah. hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir,
yang bukan semat-mata ucapan ‘Allahu akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang
lahir dari firman Allah untuk memuji kebesaran Dzatnya.
Jadi takbir sebenarnya merupakan
suara Tuhan yang meminjam mulut hambanya. Bukan hasil dari dorongan emisional.
Karenannya. Takbir sejati adalah menyatakan kebesaran Allah dari af’al Allah
sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. dan
takbir sejati adalah penyebutan namanya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan
takbir yang demikian itu, maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi
tidak ada. Yang ada hanya Allah. kemanapun kita menghadap yang ada hanya wajah
Allah. maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, Roh dan
Hati seperti yang tergambar itu. Membawanya msuk kehadirat Allah, hatinya
berpadu mesra dengan Allah. dalam alam nyata ia menjadi hamba yang alim dan
wara’. Dalam alam rohani ia menjadi hamba yang ma’rifah yang telah sampai pada
tingkatan kesempurnaan mengenal Allah. inilah makna bahwa shalat yang
dilaksanakan mencegah perilaku keji dan moral. Sebaliknya menghasilkan
kehalusan dan kemuliaan budi dan perilaku. Jika shalat telah dihilangkan makna
hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fiqih sebagaimana tampak
pada kebanyakan manusia dewasa ini. Sholat yang tidak tau makna hakikatnya
mendapat kritik tajam dari sunan kajenar sebagai berikut :
” syahadat, shalat, puasa semua tanpa
makna termasuk zakat dan haji ke mekkah itu semua telah menjadi palsu tidak
bisa di jadikan panutan hanya menghasilkan kerusakan bumi membohongi makhluk
lain, hanya ingin surga kelak orang bodoh mengikuti para wali sementara
kenyataanya sama saja belum mencapai tahapan hening”
Sunan kajenar mengkritik pelaksanaan
hukum fiqih pada masa kerajaan demak. Karena ibadah-ibadah formal tersebut
telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti dan hikmah kehidupan. Hal
itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan para ulama ketika itu menjadi
kebohongan yang menina bobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak,
yang belum ada kenyataanya. Oleh karenannya. Para tokoh sufi jawa dan para sufi
lainya yang sudah benar-benar mencapai tahapan ma’rifah mengajarkan shalat yang
fungsional. Berbeda dengan para ulama yang hanya mengandalkan hukum fiqih semata.
Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syariat, dan shalat daim sebagai shalat
yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh budi pekerti kehidupan.
Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesioanalnya secara benar, disiplin,
ikhlas, dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut
telah melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat daim. Sunan kalijaga pun
memiliki wejangan shalat daim sebagai berikut :
Terjemahannya “wahai anak cucuku,
setiap engkau menyelesaikan shalat lima waktu, segeralah mendirikan shalat
daim, shalat kekal, shalat wustha. Mensucikan diri tanpa air melainkan dengan
bacaan istighfar yang senilai suci. Caranya tanpa rukuk dan sujud, melainkan
dengan serba merasa diri menghadap, mengabdi kepada Tuhan yang maha suci dikala
engkau sedang diam, bergerak dan bekerja apa saja. Syaratnya hanya satu: niat
menghambakan diri secara sempurna kepada Allah, dengan memberikan kebajikan
kepada orang lain. Itulah wahai anak cucuku, jalan mencapai saat kematian
sejati, memperoleh akhir hidup yang sempurna dikaruniai rahmat Allah.
Jadi shalat daim tidak terbatas oleh
waktu, keadaan atau batasan-batasanyang lain. Dalam sulik linglung sunan
kalijaga menegaskan bahwa shalat daim dilaksanakan tanpa menggunakan air wudhu
untuk menghilangkan najis dan hadas, shalat daim merupakan shalat batin yang
sebenarnya. Shalat yang seseorang di dalamnya boleh dengan makan, tidur,
bersenggama, maupun buang kotoran.
Sunan Bonang pun memiliki ajaran
shalat daim sebagai berikut : “Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat,
sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat isa atau
maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila di sebut shalat, maka itu hanyalah
hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama.”
Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu
yang hanya di lakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama,
aturan keberagaman. Sementara shalat daim merupakan shalat yang sebenarnya,
yakni kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Yang Maha Agung di dalam
diri-nya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya
merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah
tindakan sembahnya. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada
putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk tidak menebar kekejian dan
kemungkaran. Mampu menghadirkan ramatan lil ‘alamin.
Dalam sukuk wujil Sunan Bonang pun
memberikan penjelasan tentang makna shalat.
“Janganlah menyembah wahai engkau
wujil, jika tidak kelihatan nyata. Sembah dan pujian tidak ada gunannya. Bila
yang disembah itu jelas ada dihadapanmu, (maka engkau) mengerti adamu sebagai
Yang Maha Agung, adamu sendiri tidak ada. Itulah yang dinamakan daim pada orang
yang memuji, menjadi nyata kehendak purba.”
Orang yang melaksanakan sembahyang,
akan tetapi tidak bisa mengarahkan ibadahnya tersebut kepada pengetahuan akan
Tuhan, dalam ajaran suluk islam jawa dianggap sia-sia. Demikian pula jika
shalat hanya dimaksudkan untuk sekedar mendapatkan pahala, maka hal tersebut
sia-sia. Orang yang menyembah harus mengetahui benar siapa yang disembah.
Dalam suluk wujil Sunan Bonang
berkata :
“ Manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya ditebar tak ada satupun yang mengenai burung sasaranya. Akhirnya, Cuma menyembah adam sarfin, penyembahnya menjadi sia-sia tidak ada gunanya.””
Dalam serat Wedhatama di sebutkan
bahwa shalat merupakan sembah raga, yang pelakunya baru disebut magang, agar ia
dapat menjalankan penyembahan pada kualitas yang lebih tinggi. Dalam tasawufnya
di sebut sebagai riyadhah( latihan ). Adapun tujuan dari sembah raga adalah
untuk memperoleh kondisi badan yang lebih sehat dan segar. Agar shalat
daim/Dzikr yang dilaksanakan dapat mencapai sasaran yang optimal, maka
pelaksanaanya harus dengan sepenuh hati dan pikiran, serta semua daya hanya
ditujukan kepad Allah. hal tersebut dinyatakan salam suluk supanalaya, bahwa
dzikr harus dengan amuntu hakikat.
Yakni dengan mengheningkan cipta dan
merenungkan hakikat Tuhan disertai dengan hati yang penuh dengan kerinduan atau
hidayat Tuhan. Jika kinerja tersebut terdapat penyertaan dari Allah yang berupa
diberikanya rahmat serta hidayahnya, maka dipastikan orang tersebut akan bisa
manunggal dengan Allah. apa yang diciptakan terjadi, dan yang dikehendaki
terlaksana. Selemat merenungkan galilah wawasan dari mana saja datangnya untuk
pengetahuan.