KERAJAAN LAMAJANG
(Lamajang Tigang Juru Kerajaan di Selatan Mahameru)
Nama
Lumajang berasal dari kata Lamajang yang diketahui dari hasil penelusuran
Sejarah, data Prasasti, Naskah-naskah Kuno, bukti-bukti Petilasan dan hasil kajian
pada beberapa diskusi.
Beberapa
bukti peninggalan sejarah yang menyebut-menyebut tentang
Lumajang
adalah :
1.
Prasasti Mula Malurung
2.
Naskah Negara Kertagama
3.
Kitab Pararaton
4.
Kidung Harsa Wijaya
5.
Kitab Pujangga Manik
6.
Serat Babat Tanah Jawi
7.
Serat Kanda
8.
Kidung Sorandaka
9.
Kidung Panji Wijayakrama
10. Kidung Ranggalawe
11. Prasasti Kudadu
12. Prasasti Sukamerta
Pada
masa Kerajaan Kediri (abad XII), Lamajang yang merupakan wilayah dari Kerajaan
Kediri pada masa itu sudah banyak dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai penjuru
Nusantara dan mereka yang datang itu selain untuk melakukan ritual upacara persembayangan
juga untuk memperdalam agama Hindu yang pada masa itu berkembang pesat di
wilayah Kerajaan Kediri.
Lamajang
menjadi sentra agama Hindu pada masa itu dikarenakan daerah ini berada di
lereng Gunung Semeru yang mana disebutkan di dalam Kitab Tantu Pagelaran bahwa
Dewa Shiwa bersama dengan Dewa Brahma dan Dewa Wishnu memindahkan puncak Gunung
Mahameru di India ke atas Pulau Jawa yang karena kondisinya pulau tersebut
masih terombang-ambing di lautan luas dan sering berguncang dan kemudian puncak
Gunung Mahameru tersebut sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru yang
diyakini sebagai tempat bersemayamnya para Dewa.
Dan
itulah sebabnya Pura Mandhara Giri Semeru Agung yang berada di Lumajang diyakini
oleh Umat Hindu sebagai Pura yang dituakan se Asia Tenggara karena diyakini dahulu
merupakan tempat persembayangan yang berada di lereng Gunung Semeru.
Pada
masa kekuasaan Raja Kameswara dari Kerajaan Kediri pada tahun 1182 M, Bumi
Lamajang sudah dikenal dan mempunyai arti penting sebagai tempat ritual menuju
Gunung Semeru dan dalam perkembangannya di daerah ini juga dikembangkan sentra-sentra
keagamaan karena kepentingan ritual para pejabat Kerajaan Kediri pada
waktu
itu sehingga mereka perlu membuat tempat-tempat yang bisa disinggahi dalam perjalanannya
untuk melakukan ritual ke Gunung Semeru.
Beberapa
peninggalan sejarah banyak diketemukan di Kabupaten Lumajang yang merupakan
fakta Sejarah antara ialah : Arca Pada (dua arca yang berada di puncak gunung
Semeru sebagai tempat pemujaan), Prasasti Ranu Kumbolo (yang menjelaskan bahwa
Raja Kameswara dari Kerajaan Kediri merupakan raja yang pertama dan secara resmi
memelopori perjalanan suci pendakian ke puncak Gunung Semeru). Prasasti Tesirejo
(prasasti yang diketemukan di Dusun Tesirejo Desa Kertosari Kecamatan Pasrujambe
berangka tahun 1113 Saka atau tahun 1191 M dan dari data prasasti ini diperkirakan
pada masa kekuasaan Raja Kertajaya dari Kerajaan Daha, sehingga dapat diduga
bahwa ada hubungan erat antara Kerajaan Daha dengan daerah Lumajang pasca
Raja
Kameswara) , Prasasti Pasrujambe serta situs-situs yang tersebar di wilayah Kabupaten
Lumajang seperti Situs Kedung Moro di Kecamatan Kunir, Situs Candi Gedung Putri
di Kecamatan Candipuro yang diperkirakan bekas Pura untuk persembayangan Umat
Hindu pada masa lalu.
Ketika
Kerajaan Kediri runtuh dan digantikan dengan munculnya Kerajaan Singasari, maka
Lumajang masih tetap menjadi suatu daerah yang banyak dikunjungi oleh
masyarakat dari berbagai penjuru Nusantara termasuk Raja dan para Bangsawan.
Kerajaan Singasari untuk melakukan ritual persembayangan di daerah lereng Semeru tersebut. Waktu terus berlalu, dari Raja Singasari yang pertama hingga Raja Singasari yang keempat yaitu Ranggawuni atau Wishnuwardana atau yang dikenal dengan Nararya Sminingrat meletakkan tonggak sejarah baru di Bumi Lamajang, sebagaimana yang tertuang di dalam Prasasti Mulamalurung lempengan VII halaman a baris 1 – 3, yang menyebutkan bahwa pada tahun 1177 Saka (1255 M) Nararya Kirana dinobatkan sebagai penguasa Lamajang oleh ayahnya Raja Singasari Nararya Sminingrat dan sejak saat itulah Nararya Kirana sebagai penguasa Lumajang yang pertama kali.
Ketika Kerajaan Singasari runtuh yang mana dijelaskan didalam Kitab Pararaton dan Prasasti Kudadu bahwa runtuhnya Kerajaan Singasari terjadi pada tahun 1292 M akibat dari pemberontakan Jayakatwang (Adipati Gelang-gelang).
Pasukan
kerajaan Singasari yang pada waktu itu dikerahkan dalam ekspedisi Pamelayu
untuk menghadapi serangan pasukan Mongol sebagai akibat diciderainya Meng Chi
utusan Khubilai Khan yang datang ke Singasari pada tahun 1289 untuk meminta
pengakuan Raja Kertanegara tunduk terhadap kekaisaran Mongol sehingga pada saat
itu kerajaan Singasari menjadi sangat lemah dibidang pertahannya karena
sebagian besar kekuatan pasukannya dikirimkan untuk menghadang kekuatan pasukan
Mongol.
Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Jayakatwang untuk menyerang Singasari karena kerajaan leluhurnya yaitu Kediri pernah dihancurkan oleh leluhur Kertanegara yaitu Sri Rajasa (Ken Arok).
Didalam penyerangan tersebut Singasari diserang dari arah utara dan selatan dimana untuk menghadapi serangan dari utara pasukan Singasari dipimpin oleh Raden Wijaya (menantu Raja Kertanegara) dan Ardharaja. Namun rupanya serangan dari utara tersebut hanya sebagai pancingan belaka karena serangan yang besar-besaran justru dari arah selatan yang dipimpin langsung oleh Jayakatwang hingga mampu menghancurkan seluruh kekuatan kerajaan Singasari dan berhasil membunuh Raja Kertanegara. Sejak saat itulah riwayat Kerajaan Singasari berakhir yang sejak berdirinya kerajaan ini pada tahun 1222 M.
Menyadari telah runtuhnya kerajaan Singasari serta telah terbunuhnya Raja Kertanegara maka kemudian Raden Wijaya menuju ke Terung (suatu daerah di utara Singasari), namun karena terus dikejar oleh musuh akhirnya memutuskan terus bergerak ke arah timur dan berkat bantuan Kepala Desa Kudadu ia akhirnya berhasil menyeberangi selat Madura untuk bertemu dengan Arya Wiraraja yang pada saat itu menjabat sebagai Adipati Sungenep (Sumenep). Arya Wiraraja yang pada saat mudanya pernah mengabdi kepada Narasingamurti (kakek Raden Wijaya), maka tentunya kedatangan Raden Wijaya beserta para pengikutnya disambut baik oleh Arya Wiraraja di Sungenep.
Akhirnya Raden Wijaya bersama dengan Arya Wiraraja merencanakan siasat untuk merebut kembali tahta kerajaan dari tangan Jayakatwang dan Raden Wijaya berjanji kepada Arya Wiraraja apabila berhasil mengalahkan Jayakatwang maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua dengannya. Dengan bantuan Arya Wiraraja kemudian Raden Wijaya menyerahkan diri kepada Jayakatwang dengan maksud untuk mengabdi kepada kerajaan Kediri. Mendengar berita itu kemudian Jayakatwang mengirim utusannya untuk menjemput Raden Wijaya dan Arya di Pelabuhan Jungbiru dan selanjutnya dibawa menghadap ke Jayakatwang di kerajaan Kediri. Untuk membuktikan kesetiaan Raden Wijaya tersebut kemudian Jayakatwang memerintahkan untuk membuka Hutan Tarik yang kemudian daerah ini dikenal dengan nama Wilwatikta sebagai kawasan wisata berburu bagi Jayakatwang dan sekaligus sebagai tempat bermukim Raden Wijaya. Ketika Raden Wijaya membuka Hutan Tarik, Arya Wiraraja kemudian mengirim orang-orang Sungenep untuk membantu Raden Wijaya didalam melaksanakan tugas tersebut.
Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah seorang berasal dari Sungenep tersebut menemukan buah Maja yang rasanya pahit sehingga kemudian desa pemukiman tersebut oleh Raden Wijaya diberi nama Majapahit. Didalam catatan Dinasti Yuan berdasarkan Naskah Yuan Shi mengisahkan bahwa pada tahun 1293 M Pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang bersama 1.000 kapal dengan bekal selama 1 tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak diberangkatkan dari pelabuhan Chuan Chou menuju Jawadwipa (Jawa) untuk menghukum Raja Kertanegara yang telah menghina utusannya dan pasukan Mongol ini tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293 M, disini mereka mempersiapakan penyerangan ke Jawa selama 1 bulan.
Adapun
pimpinan pasukan kerajaan Mongol tersebut terdiri dari Shi Bi (orang Mongol),
Ike Mese (orang Uyghur) dan Gaoxing (orang Cina).
Penyerbuan pasukan Mongol ke tanah Jawa itu selain ditulis didalam sejarah Dinasti Yuan juga ditulis pada Kidung Harsawijaya dan Kidung Ranggalawe. Kedatangan pasukan Mongol ini kemudian dimanfaatkan oleh Raden Wijaya setelah memperoleh saran dari Arya Wiraraja untuk menyerang Jayakatwang yang pada saat itu menjadi Raja Kediri setelah menghancurkan kerajaan Singasari.
Pasukan Mongol yang dibantu oleh Pasukan Raden Wijaya dan pasukan Aryawiraraja akhirnya berhasil menghancurkan pasukan kerajaan Kediri dan selain Raden Wijaya yang terlibat didalam penyerangan tersebut juga terdapat Lembu Sora dan Ranggalawe yang bergabung bersama pasukan Mongol menyerang kerajaan Kediri.
Kisah
penyerangan pasukan Mongol terhadap kerajaan Kediri tersebut juga diceritakan didalam
Yuan Shi yang terjadi pada tanggal 20 Maret 1293 M, akhirnya Jayakatwang berhasil
ditawan oleh pasukan Mongol dan dibawa ke Ujung Galuh yang sebelum meninggal
berhasil menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman.
Dengan dihancurkannya kerajaan Kediri tersebut maka berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri. Setelah berhasil mengalahkan kerajaan Kediri, kemudian pada saat mereka merayakan kemenangannya tersebut dalam suasana berpesta secara tiba-tiba pasukan Raden Wijya dan pasukan Arya Wiraraja berbalik melakukan penyerangan kepada pasukan Mongol tersebut dan hasilnya sebagian besar mereka terbunuh dan sisanya melarikan diri ke pantai Ujunggaluh untuk kembali ke negerinya. Dengan telah runtuhnya Kerajaan Kediri tersebut kemudian Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit dan mengangkat dirinya sebagai Raja Majapahit yang pertama. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit yang pertama bergelar Sri Kertarajasa Jayawardhana terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka atau bertepatan tanggal 12 Nopember 1293 M dan Mahapatih pertama kerajaan Majapahit adalah Nambi kemudian kerajaan Majapahit inilah yang kelak menjadi kerajaan besar yang mampu mempersatukan Nusantara.
Setelah berdirinya kerajaan Majapahit dengan rajanya Raden Wijaya (Sri Kertarajasa Jayawardhana) yang terjadi pada tahun1293 M, maka sebagai janji Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja atas jasanya didalam menghancurkan kerajaan Kediri, kemudian dianugerahkan separuh dari luas wilayah Kerajaan Majapahit (wilayah Majapahit sebelah timur) kepada Arya Wiraraja yang kemudian kerajaan ini dikenal dengan sebutan Kerajaan Lamajang Tigang Juru.
Arya
Wiraraja (Banyak Wide) dinobatkan sebagai raja Kerajaan Lamajang Tigang Juru
pada hari Kamis Legi, Wuku Landep, tanggal 25 bulan Bhadrapada (bulan Karo)
tahun 1216 Saka atau tanggal 26 Agustus 1294 M. Keraton Kerajaan Lamajang
Tigang Juru berada di Arnon (sekarang Kutorenon) dan terdapat juga benteng pertahanan
yang sangat kokoh seluas 135 Ha. Kerajaan Lamajang Tigang Juru merupaka suatu
kerajaan otonom yang tidak berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit serta kedua
kerajaan ini saling menjalin hubungan baik diatara keduanya.
Luas wilayah Kerajaan Lamajang Tigang Juru meliputi wilayah Lamajang, Besuki dan Blambangan hingga sampai ke Bali (meliputi Madura, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Situbondo, Jember, Bondowoso, Banyuwangi hingga Bali) dan hingga saat ini keturunan dari Raja Arya Wiraraja yang berada di Bali yang tergabung dalam komunitas Paiketan Wang Bang Pinatih masih tetap mengakui sebagai keturunan raja dari Lumajang. Selain mengalami masa kejayaannya, keberadaan Kerajaan Lamajang Tigang Juru juga menjadi awal berkembangnya kesenian Pandalungan yang pada saat ini tersebar di wilayah tapal Kuda Jawa Timur yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan dari Kerajaan Lamajang Tigang Juru.
Arya Wiraraja menjadi Raja di Kerajaan Lamajang Tigang Juru dengan dicintai oleh seluruh rakyatnya serta berhasil membangun kerajaannya dengan damai makmur dan sejahtera hingga sampai akhir hayatnya berada di Bumi Lamajang. Ketika mendengar kabar bahwa Arya Wiraraja meninggal dunia, maka Nambi yang pada saat itu masih menjabat sebagai Maha patih Majapahit dengan Rajanya Jayanegara (putra dari Raden Wijaya) kemudian memohon ijin kepada Raja Jayanegara untuk pulang ke Lamajang dalam suasana berkabung karena ayahnya meninggal dunia. Namun karena akal licik dari Halayudha (seorang pejabat Kerajaan Majapahit yang mengincar kedudukan Mahapatih Nambi) kemudian disampaikan kepada Raja Jayanegara bahwa Mahapatih Nambi tidak akan kembali ke Majapahit dan pada saat ini sedang menyusun kekuatan untuk menyerang Kerajaan Majapahit, mendengar berita itu kemudian Raja Jayanegara segera menyerang Mahapatih Nambi yang saat itu berada di Lamajang. Nambi tidak pernah menduga akan mendapat serangan besar dari Majapahit sehingga Kerajaan Lamajang berhasil dihancurkan dan Nambi berhasil dibunuh pada penyerangan besar itu.
Kisah ini diabadikan didalam Kitab Negarakretagama tentang runtuhnya Kerajaan Lamajang yang terjadi pada tahun 1316 M. Buntut dari penyerangan Kerajaan Majapahit terhadap kerajaan Lamajang tersebut adalah terjadinya peperangan-peperangan yang sporadis dilakukan oleh beberapa kerajaan kecil diwilayah Kerajaan Lamajang seperti Sadeng, Blambangan dan yang lainnya yang merasa tidak puas atas dihancurkannya Kerajaan Lamajang oleh Kerajaan majapahit.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M dan mulai munculnyaKerajaan Islam di tanah Jawa, keadaan ini membawa pengaruh terhadap keadaan Lumajang pada saat itu. Dibawah pemerintahan Panembahan Senopati dari Kerajaan Mataram Islam, daerah Lumajang dan sekitarnya berhasil direbut kembali dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam pada saat penaklukan daerah sebelah timur Lamajang (sekarang Lumajang) dan Renong (sekarang Kutorenon) oleh pasukan Kerjaan Mataram Islam yang dipimpin Ki Tumenggung Alap-alap yang berada di daerah Winongan atas perintah Raden Suro Tani. Inilah sebuah perjalanan panjang Sejarah Lamajang yang telah mengukir sejarah masa lalunya di Bumi Lamajang, semoga kesemuanya itu bisa kita jadikan suatu pembelajaran bagaimana kita sebagai pewaris Bumi Lamajang ini mempunyai spirit untuk mampu membangun kembali Bumi Lamajang ini kedepan dengan lebih baik bagi masyarakat di Bumi Lamajang.
Sejarah
dan Asal-usul Nama Lumajang
Pada
prasasti Mula Malurung sudah dikenal nama Lamajang yang merupakan nama kuno
Lumajang. Prasasti ini ditemukan dengan angka tahun 1177 Saka atau 1255 Masehi
dan nama Lamajang dikenal secara resmi.
Secara
spiritual, nama Lamajang berarti Luma (rumah) dan Hyang (Dewa) yang berarti
rumahnya para dewa atau rumah yang suci. Sementara, secara material yaitu
pandangan setiap orang yang melihat daerah sebelah timur Gunung Semeru akan
tampak seperti Lumah yang menjadi Ajang atau dengan kata lain seperti tempat
nasi atau tempat yang subur dan makmur.
Lamajang
pada masa Kerajaan Daha dan Singosari merupakan daerah yang penting. Pada waktu
Kerajaan Daha, daerah Lamajang tepatnya di Gunung Semeru dijadikan tempat
ritual. Bukti ini adalah dengan ditemukan Prasasti Tesirejo dan Arca Lembu
Nandini. Sedangkan pada waktu Kerajaan Singosari, selain dijadikan tempat
ritual, Lamajang juga dijadikan tempat lumbung pemenuh kebutuhan kerajaan.
Daerah ini sekarang dikenal dengan nama Candipuro.
Pendiri
Kerajaan Lamajang Tigang Juru adalah Adipati Sumenep yakni Banyak Wide atau
Arya Wiraraja. Banyak Wide dilahirkan di daerah Nangkaan (Ranuyoso). Banyak
Wide merupakan keturunan brahmana dan karirnya diawali dengan mengabdi kepada
Wangsa Rajasa. Karena kecerdasannya, Banyak Wide dinobatkan sebagai adipati di
Sumenep oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari.
Sebelum
pendirian Kerajaan Wilwatikta atau Majapahit, Raden Dyah Wijaya terikat
perjanjian dengan Banyak Wide karena turut membantu menjatuhkan kerajaan
Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara hingga berdirinya Kerajaan
Majapahit. Dalam Kitab Pararaton, bekas kerajaan Singosari dibagi menjadi dua
berdasarkan kesepakatan antara Raden Dyah Wijaya dan Banyak Wide melalui
Perjanjian Sumenep.
Bekas
wilayah Keraaan Singosari bagian barat yang kemudian bernama Majapahit dengan
Raja Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Kekuasaannya meliputi
saerah Singosari, Kediri, Gelang-Gelang (Ponorogo) dan Wengker dengan ibu kota
Majapahit di Trowulan Mojokerto. Bekas Kerajaan Singosari bagian timur kemudian
menjadi Kerajaan Lamajang Tigang Juru dengan kekuasaan meliputi Daerah
Lumajang, Panarukan, Blambangan, Madura dengan ibu kota di Kutorenon dengan
Raja Banyak Wide atau yang bergelar Arya Wiraraja.
Arya
Wiraraja dinobatkan sebagai raja Kerajaan Lamajang Tigang Juru pada hari Kamis
Legi, Wuku Landep, tanggal 25 bulan Bhadrapada (bulan Karo) tahun 1216 Saka
yang bertepatan dengan tanggal 26 Agustus 1294 Masehi. Nama gelar Arya Wiraraja
sendiri, Arya adalah orang pembesar atau bangsawan, sedangkan Wira adalah
pemberani dan Raja adalah pemimpin. Jadi, Arya Wiraraja berarti adalah seorang
pembesar dan pemimpin yang berani.
Kerajaan
Lamajang Tigang Juru dikelilingi oleh benteng pertahanan dengan tebal 6 meter,
tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Kawasan Situs Biting memiliki luas 135 ha
yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok Jeding 5
ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan blok Duren
12,8 ha. Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan dalam
perkembangan pada abad ke-17 disebut Renong dan dewasa ini masuk dalam desa
Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan Ketonon atau terbakar.
Kerajaan Lamajang Tigang Juru sendiri kemudian menurunkan raja-raja di Kerajaan
Patukangan atau Panarukan dan Blambangan seperti Prabu Tawang Alun.
Setelah
Arya Wiraraja meninggal, perselisihan mulai terjadi. Gesekan awal Majapahit dan
Lamajang Tigang Juru terjadi saat Benteng Arnon diserang mendadak atas perintah
Raja Jayanegara. Selanjutnya, Kerajaan Lamajang Tigang Juru Runtuh karena
kesalahpahaman dengan Majapahit. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat
kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang
kemudian dikenal sebagai Pasadeng atau Perang Sadeng dan Ketha pada tahun 1331
Masehi.
Sisa-sisa
reruntuhan Benteng Arnon atau Benteng Kutorenon yang dibangun oleh Arya
Wiraraja ditemukan di Lumajang dan dikenal dengan sebutan Situs Biting. Nama
Biting sendiri merujuk pada kosakata Madura bernama “benteng” karena daerah ini
memang dikelilingi oleh benteng yang kokoh.
Ketika
Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling daerah Lamajang pada tahun 1359
Masehi, ia tidak berani singgah di bekas ibu kota Arnon.
Kerajaan Islam Tertua Di Jawa Ternyata Ada Di Lumajang (Kerajaan
Lamajang)
Banyak
orangn menganggap bahwa kerajaan tertua di Jawa adalah kerajaan Demak.
Berdasarkan penelitian, kerajaan Demak berdiri pada abad ke-15 M, dengan raja
pertamanya yaitu Raden Patah.
Sedangkan
kembali diteliti oleh Agus Sunyoto, seorang sejarawan yang berdedikasi tinggi,
bahwa kerajaan Lamajang / Lumajang yang berdiri sejak abad ke-13 M adalah
kerajaan Islam tertua di Jawa, dengan raja pertamanya yaitu Arya Wiraraja.
Terjadi
hal yang menyimpang terhadap sebuah sejarah ini, merupakan suatu rekayasa dan
kepentingan dari misi kolonial Belanda. Agus Sunyoto juga melanjutkan penjelasannya,
bahwa kerajaan Demak sejatinya berada pada urutan kerajaan Islam tertua kelima
di Jawa setelah kerajaan Lumajang, Surabaya, Tuban, Giri, dan setelah itu baru
kerajaan Demak.
Sampai
saat ini, banyak sudah dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang
mendoktrin anak-anak usia dini, dengan penanaman pemahaman bahwa kerajaan Islam
tertua di Jawa adalah kerajaan Demak.
Berdasarkan
mengumpulkan fakta berdasarkan hasil lacakan Tome Pires, seorang Portugis yang
datang ke Jawa pada tahun 1513 M dan Antonio Pigafetta, seorang penelusur dari
Italia pada tahun 1522 M.
Dari
dua penelitian tersebut, dijelaskan secara kronologis, detail dan bahkan juga
disandarkan pada beberapa bukti artefak dan ideofak. Selain kedua peneliti
tersebut, menjadikan data arkeologi dan historiografi hasil penelusuran H.J. de
Graft dan Th.G.Th Pigeaud sebagai bukti tandingan.
Dari
beberapa bukti-bukti tersebut di atas, sehingga terbongkar sudah bahwa kerajaan
Islam tertua di Jawa sejatinya bukan kerajaan Demak yang terletak di Jepara
Jawa Tengah, merupakan kerajaan Lamajang yang terletak di kabupaten Lumajang
Jawa Timur.
Bahkan sampai saat ini, sudah banyak ditemukan sisa-sisa peninggalan dari kerajaan Lamajang dulu. Salah satunya, berada di Situs Biting Lumajang Jawa Timur.
Kerajaan Lamajang Merupakan Kerajaan Islam Tertua Di Nusantara
Dalam
Sejarah kita mengenal kerajaan Islam tertua ialah kerajaan Samudra Pasai atau
Kerajaan Samudera Darussalam ataupun Kesultanan Pasai yang terletak di pesisir
utara pulau Sumatera yang persisnya ada di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara
Provinsi Aceh. Kerajaan ini dibangun oleh Nazimuddin AL-Kamil atau Marah Silu
yang bergelar Sultan Malik As-Saleh pada abad ke-13 tepatnya pada tahun 1267
Masehi.
Bukan
Demak, tapi Kerajaan Lumajang lah Kerajaan Islam Tertua di Pulau Jawa.
Dalam
berbagai sumber, Demak disebut pelopor pertama penyebaran Islam di Jawa dan
Nusantara dengan salah satu peninggalannya Masjid Agung Demak.
Meski
tak lama yaitu pada tahun 1475 -1548, Demak tercatat dalam sejarah kita sebagai
Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Proses lahirnya Demak pun dilatar
belakangi konflik. Raden Patah memerangi Ayahnya Brawijaya V (Raja Majapahit
terakhir) agar masuk Islam.
Pada
sekitar tahun 1250 seorang ulama Persia bernama M. Syekh Abdurrahman Assyaibani
sampai di Kerajaan Lumajang. M. Syekh Abdurrahman Assyaibani diperintahkan oleh
Raja pertama dari Kesultanan Turki Usmani, Amir Ghazi menyebarkan ajaran Islam
ke wilayah timur atau Nusantara pada tahun 1230- 1281.
Di
daerah Lumajang lah M. Syekh Abdurrahman Assyaibani pertama kali menyebarkan
agama islam. Di Lumajang inilah dia banyak berinteraksi sehingga banyak M
asyarakat disana memeluk agama Islam. Kekuasaan kerajaan Lumajang sendiri
mencakup Probolinggo hingga ke timur sampai Banyuwangi dan nama kerajaan ini
sering disebut dengan kerajaan Lamajang Tigang Juru.
Kedekatan
Syekh Abdurrahman Assyaibani dengan Raden Arya Wiraraja membuatnya menjadi
penasihat penguasa Lumajang. Bahkan makam Arya Wiraraja dan sejumlah senopati
Kerajaan Lumajang berdekatan dengan makam Syekh Abdurrahman Assyaibani.
Sehingga konon sebagian warga di sekitar makam Arya Wiraraja menyakini jika
mantan Adipati Sumenep ini telah memeluk Agama Islam di akhir hayatnya dengan
bimbingan langsung dari Syekh Abdurrahman Assyaibani.
Nama
Syekh Abdurrahman Assyaibani memang kurang dikenal oleh Masyarakat awam, namun
ulama besar ini ternyata merupakan salah satu penyebar agama Islam pertama di
tanah Jawa, khususnya di Lumajang, Jawa Timur. Dan ternyata, kerajaan Lamajang
tigang juru yang merupakan kerajaan Islam pertama di pulau jawa. Islam masuk ke
kerajaan Lamajang pada tahun 1250 sedangkan kerajaan Demak yang berbasis Kerajaan
Islam berdiri pada tahun 1475.
Dengan
temuan situs purbakala beserta artefak-artefak di Situs Biting telah menguak
keberadaan Kerajaan Lumajang sebagai Kerajaan Islam tertua di Pulau Jawa.
Keterangan Situs Biting
Situs
Biting adalah sebuah situs arkeologis yang terletak di desa Kutorenon,
kecamatan Sukodono, Lumajang, provinsi Jawa Timur. Situs ini diperkirakan
merupakan peninggalan dari kerajaan Lamajang dan tersebar di atas kawasan
seluas (sekitar) 135 hektar. Bangunan yang paling mengesankan adalah bekas
tembok benteng dengan panjang 10 kilometer, lebar 6 meter dan tinggi 10 meter.
Kawasan
Situs Biting adalah kawasan ibu kota kerajaan Lamajang Tigang Juru yang
dipimpin oleh Prabu Arya Wiraraja dan dikelilingi oleh benteng pertahanan
dengan tebal 6 meter, tinggi 10 meter dan panjang 10 km. Hasil penelitian Balai
Arkeologi Yogyakarta tahun 1982-1991, Kawasan Situs Biting memiliki luas 135
hektare yang mencakup 6 blok/area merupakan blok keraton seluas 76,5 ha, blok
Jeding 5 ha, blok Biting 10,5 ha, blok Randu 14,2 ha, blok Salak 16 ha, dan
blok Duren 12,8 ha. Dalam Babad Negara Kertagama, kawasan ini disebut Arnon dan
dalam perkembangan pada abad ke-17 disebut Renong dan dewasa ini masuk dalam
desa Kutorenon yang dalam cerita rakyat identik dengan "Ketonon" atau
terbakar. Nama Biting sendiri merujuk pada kosakata Madura bernama
"Benteng" karena daerah ini memang dikelilingi oleh benteng yang
kokoh
Pada
tahun 1995 di Kawasan Situs Biting mulai dibangun Perumnas Biting yang tentu
saja banyak merusak peninggalan Sejarah (Situs) yang ada. Namun anehnya pihak-pihak
terkait yaitu Balai Pelstarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur yang
merupakan lembaga penyelamat seolah diam melihat perusakan ini sehingga lebih
kurang 15 Hektar kawasan ini rusak oleh pembangunan ini.
Advokasi Pelestarian oleh Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit
Timur
Pada
tahun 2010, berdasarkan lahir sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama
Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit Timur (MPPM Timur) melakukan advokasi
pelestarian Situs Biting. Setelah itu juga Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang
(KMPL) bergerak dalam advokasi ini dan kemudian juga elemen masyarakat lokal
Biting juga mulai sadar akan peninggalan sejarah yang ada di wilayahnya.
Advokasi
yang dilakukan oleh para pelestari Situs Biting telah melahirkan berbagai event
seperti Napak Tilas yang telah digelar selama 2 kali berturut-turut, lomba
lukis benteng maupun seminar Nasional. Untuk acara Napak Tilas kemudian menjadi
agenda resmi Pariwisata Jawa Timur dari Kabupaten Lumajang yang akan diadakan
setiap bulan juni.
Pelestarian
Situs Biting di Lumajang Jawa Timur merupakan contoh bagi para pecinta dan
pelestari sejarah dimana LSM, mahasiswa maupun masyarakat telah bahu-membahu
melakukan sosialisasi maupun advokasi terhadap peninggalan sejarah.
Sejarah Lamajang Tigang Juru
Dalam
sejarahnya, prasasti Kudadu menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan
diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Adipati Arya Wiraraja memberikan
bantuan kemudian melakukan kesepakatan "pembagian tanah Jawa menjadi
dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian
Sumenep". Setelah itu Adipati Arya wiraraja memberi bantuan besar-besar
kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik terhadap Prabu
Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Terik' menjadi sebuah desa
bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa
Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden wijaya sendiri datang di desa
Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.
Kira-kira
10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar
Mongol Tar Tar pimpinan Jendral Shih Pi yang mendarat di pelabuhan Tuban.
Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati raden wijaya untuk mengirim utusan
dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan
iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah
dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian
dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan
Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian
sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah
pimpinan Jendral Kau Tsing menjemput para putri tersebut di desa Majapahit
tanpa membawa senjata. Hal ini dikarenakan permintaan Arya wiraraja dan Raden
Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut untuk meletakkan senjata
dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan
senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tar Tar
masuk desa majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan
Ronggolawe maupun Mpu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh
pengusiran pasukan Mongol Tar Tar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabya)
maupun di Kediri oleh pasukan Madura dan laskar Majapahit. Dalam catatan
sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tar Tar ini merupakan kekalahan yang paling
memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Setahun
setelah pengusiran pasukan Mongol Tar Tar, menurut Kidung Harsawijaya, sesuai
dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 Nopember 1293 Masehi,
Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi
wilayah-wilaah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah
di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri kerajaan Lamajang Tigang
Juru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat
Lumajang disebut sebagai Prabu Menak Koncar I. Kerajaan Lamajang Tigang Juru
ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan
dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita
mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, dimana bekas
kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Mataraman, sedang bekas wilayah
kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran
Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu
Menak Koncar I (Arya Wiraraja)ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi.
Sepeninggal Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja), salah seorang penerusnya
yaiti Mpu Nambi diserang oleh Majapahit yang menyebabkan Lamajang Tigang Juru
jatuh dan gugurnya Mpu Nambi yang juga merupakan patih di Majapahit. Babad
Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka
"Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara
Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya
menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi. Jatuhnya Lamajang ini
kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan
perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang
sadeng dan ketha pada tahun 1331 masehi.
Ketika
Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling daerah Lamajang pada tahun 1359
Masehi tidak berani singgah di bekas ibu kota Arnon (Situs Biting). Malah perlawanan
daerah timur kembali bergolak ketika adanya perpecahan Majapahit menjadi barat
dan timur dengan adanya "Perang Paregreg" pada tahun 1401-1406
Masehi. Perlawanan masyarakat Lamajang kembali bergolak ketika Babad Tanah Jawi
menceritakan Sultan Agung merebut benteng Renong (dalam hal ini Arnon atau
Kutorenon) melalui Tumenggung Sura Tani sekitar tahun 1617 Masehi. Kemudian
ketika anak-anak Untung Suropati terdesak dari Pasuruan, sekali perlawanan
dialihkan dari kawasan Arnon atau Renong yang sekarang dikenal sebagai Situs
Biting Lumajang.