KEJAWEN
Tembang
ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh) kepada mereka yang ingin
mempelajari kabatinan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki
dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup
sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia) dan
Gusti (Pencipta) (jumbuhing kawula Gusti) / pendekatan kepada Yang Maha Kuasa
secara total.
Keadaan
spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang
mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan
dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu
sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang
serta melalui kebersihan hati dan
tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan
untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti – hati suci itu
adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti, kejawen merupakan aset dari orang Jawa
tradisional yang berusaha memahami dan
mencari makna dan hakekat hidup yang
mengandung nilai-nilai.
Dalam
budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu suatu faham yang menggunakan
lambang atau simbol untuk membimbing pemikiran manusia kearah pemahaman
terhadap suatu hal secara lebih dalam.Manusia mempergunakan simbol sebagai
media penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan
manusia merupakan perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia
itu selanjutnya. Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari Tuhan, yang
diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu ditelaah
dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami
agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap yang
berberda-beda.
Biasanya
sebutan orang Jawa adalah orang yang hidup di wilayah sebelah timur sungai
Citanduy dan Cilosari. Bukan berarti wilayah di sebelah barat-nya bukan wilayah
pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa
kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya “saiyeg saekoproyo “
yang berarti sekata satu tujuan.
Kisah suku Jawa diawali dengan kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan tarikh Caka.
Kejawen
adalah faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya
berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi
juga mengakui mistik yang berkebang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.
Tindakan
tersebut dibagi tiga bagian yaitu
tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan
simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan
orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh
pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya
misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti
Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan
dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada
tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun
,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlhilan ). Dan
tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang
terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari
masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan
budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi
pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir
bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan
berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang
kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek
exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan
orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat
kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru
(tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan
udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan
mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang
semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan
rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham
simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan
terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung
pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti
berputarnya sangkakala.
Mangkunegara
IV (Sembah dan Budiluhur)
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.
1.
Sembah Raga
Sembah
raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal
perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa,
yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan
lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan
terus menerus, seperti bait berikut:Sembah raga puniku / pakartining wong
amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu /
wantu wataking wawaton
Sembah
raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup
yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau
penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan
bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku). Sembah ini
didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih).
Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan
kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya
lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima
waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan
memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang
demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup.
Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib
dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani.
Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah
raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan
berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia
menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek
spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.
2.
Sembah Cipta (Kalbu)
Sembah
ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut sembah kalbu,
seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 terdahulu dan Pupuh Gambuh bait 11
berikut:Samengkon sembah kalbu/ yen lumintu uga dadi laku/ laku agung kang
kagungan narapati/ patitis teteking kawruh/ meruhi marang kang momong.
Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati, maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan.
Apabila
sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis
lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu,
amung nyunyuda hardaning kalbu).
Thaharah
(bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat. Pertama,
membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan
anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati
dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati
nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi
dan Shiddiqin…
Jika
thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk
lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran
dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan
air. Sedangkan kotoran yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu
dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang
ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati
dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.
3.
Sembah Jiwa
Sembah
jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) dengan mengutamakan peran jiwa.
Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih
halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya
diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan
tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:
Samengko
kang tinutur/ Sembah katri kang sayekti katur/ Mring Hyang Sukma suksmanen
saari-ari/ Arahen dipun kecakup/ Sembahing jiwa sutengong
Dalam
rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah
jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku
(pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalann hidup
batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau
mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu,
tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam
baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini,
tampak dengan jelas pada bait berikut :
Sayekti luwih perlu/ ingaranan pepuntoning laku/ Kalakuan kang tumrap bangsaning batin/ Sucine lan awas emut/ Mring alaming lama amota.
Berbeda
dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk,
sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua
adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah
yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah
yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu
membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga
menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya
mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan
sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap
aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak
dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian
triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan
jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan.
Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati
dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang
demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
“Ruktine
ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan
jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono.”
4.
Sembah Rasa
Sembah
rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada
rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan
intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.
ika
sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati
seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat
batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan
menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat
batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut
telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga
(inti ruh yang paling halus).
Dengan
demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat
batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau
wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan
sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti
ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan
batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut :
Semongko
ingsun tutur/ gantya sembah lingkang kaping catur/ sembah rasa karasa wosing
dumadi/ dadi wus tanpa tuduh/ mung kalawan kasing batos.
Apabila
sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir
perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang
dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di
tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat
yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini,
seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka.
Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang,
tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah
rasa.
Pada
tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai
petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki
kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam
melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.
Di
sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa
menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama.
Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait
156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam,
tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan
guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan
segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur
diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan.
Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait
berikut:Iku luwih banget gawat neki/ ing rarasantang keneng rinasa/ tan kena
ginurokake/ yeku yayi dan rampung/ eneng onengira kang ening/ sungapan ing
lautan/ tanpa tepinipun/ pelayaran ing kesidan/ aneng sira dewe tan Iyan iku
yayi eneng ening wardaya.
KEJAWEN (2)
Mengutip
satu tembang Jawa
Tak uwisi gunem iki
saya akhiri pembicaraan ini
Niyatku mung aweh wikan
saya hanya ingin memberi tahu
Kabatinan akeh lire
kabatinan banyak macamnya
Lan gawat ka liwat-liwat
dan artinya sangat gawat
Mulo dipun prayitno
maka itu berhati-hatilah
Ojo keliru pamilihmu
Jangan kamu salah pilih
Lamun mardi kebatinan
kalau belajar kebatinan
Tembang
ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh) kepada mereka yang ingin
mempelajari kabatinan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki
dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup
sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia) dan
Gusti (Pencipta) (jumbuhing kawula Gusti) / pendekatan kepada Yang Maha Kuasa
secara total.
Keadaan
spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang
mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan
dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap. Pencari dan penghayat ilmu
sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang
serta melalui kebersihan hati dan
tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan
untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti : hati suci itu
adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti, kejawen merupakan aset dari orang Jawa
tradisional yang berusaha memahami dan
mencari makna dan hakekat hidup yang
mengandung nilai-nilai.
Dalam
budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu suatu faham yang menggunakan
lambang atau simbol untuk membimbing pemikiran manusia kearah pemahaman
terhadap suatu hal secara lebih dalam. Manusia mempergunakan simbol sebagai
media penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan
manusia merupakan perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia
itu selanjutnya. Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari Tuhan, yang
diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu ditelaah
dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami
agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap yang
berberda-beda.
Biasanya
sebutan orang Jawa adalah orang yang hidup di wilayah sebelah timur sungai
Citanduy dan Cilosari. Bukan berarti wilayah di sebelah barat-nya bukan wilayah
pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa
kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya “saiyeg saekoproyo “
yang berarti sekata satu tujuan.
Kisah
suku Jawa diawali dengan kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji
Saka, sampai kemudian satriya itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak
tersebut diakui menjadi huruf jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya
penanggalan tarikh Caka.
Kejawen
adalah faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya
berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi
juga mengakui mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.
Tindakan
tersebut dibagi tiga bagian yaitu
tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan
simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan
orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh
pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya
misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti
Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.
Tindakan
simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu
medo’akan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari,
seratus hari, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, dan seribu harinya setelah
seseorang meninggal (tahlillan). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan
dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini
menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan
budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi
pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir
bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan
berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang
kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek
exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan
orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat
kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru
(tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan
udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan
mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang
semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan
rumah. Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham
simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan
terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung
pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti
berputarnya sangkakala.
Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.
Sembah
Raga
Sembah
raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal
perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa,
yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan
lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan
terus menerus, seperti bait berikut:
Sembah
raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih /
kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton
Sembah
raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup
yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau
penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan
bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku). Sembah ini
didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih).
Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan
kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya
lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima
waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan
memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang
demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup.
Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib
dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani.
Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah
raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan
berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia menghadirkan
seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya
sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.
Sembah
Cipta (Kalbu)
Sembah
ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut sembah kalbu,
seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut :
Samengkon
sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung kang kagungan narapati /
patitis teteking kawruh / meruhi marang kang momong.
Apabila
cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang
tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati , maka sembah cipta di sini
mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau
angan-angan.
Apabila
sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis
lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu,
amung nyunyuda hardaning kalbu).
Thaharah
(bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat.
Pertama,
membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah.
Kedua,
membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa.
Ketiga,
membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina.
Keempat,
membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah
taharah pada Nabi dan Shiddiqin.
Jika
thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk
lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran
dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan
air. Sedangkan kotoran yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu
dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang
ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati
dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.
Sembah
Jiwa
Sembah
jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma ( Allah ) dengan mengutamakan peran jiwa.
Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih
halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya
diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan
tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:
Samengko
kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring Hyang Sukma suksmanen
saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa sutengong
Dalam
rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah
jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku
(pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup
batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau
mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu,
tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam
baka/langgeng), alam Ilahi.
Betapa
penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut
:
Sayekti
luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang tumrap bangsaning
batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota.
Berbeda
dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah
ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah
tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang
pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang
kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya
dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian
seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa
saja yang selain Allah.
Pelaksanaan
sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap
aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak
dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian
triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan
jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar
gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah
perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi.
Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
“Ruktine
ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan
jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono.”
Sembah
Rasa
Sembah
rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada
rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan
intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.
Jika
sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati
seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat
batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan
menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat
batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut
telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga
(inti ruh yang paling halus).
Dengan
demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat
batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau
wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan
sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti
ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan
batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:
Semongko
ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur / sembah rasa karasa wosing
dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan kasing batos.
Apabila
sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir
perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang
dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di
tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat
yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini,
seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka.
Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang,
tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah
rasa.
Pada
tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai
petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan
rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah
dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.
Di
sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa
menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama.
Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait
156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam,
tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan
guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan
segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur
diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya
itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut:
Iku
luwih banget gawat neki / ing rarasantang keneng rinasa / tan kena ginurokake /
yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang ening / sungapan ing lautan / tanpa
tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng
ening wardaya.