WAHYU PURBASEJATI
(PRABU KRESNA, PRABU BALADEWA, DAN RADEN PERMADI MENDAPAT WAHYU)
Sementara itu, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa telah berada di Astana Gandamadana, di mana mereka bertapa di depan makam Prabu Kuntiboja, sang leluhur pendiri Kerajaan Mandura. Tiba-tiba dari langit muncul tiga titik cahaya, di mana yang satu masuk ke dalam tubuh Prabu Kresna, yang satunya masuk ke dalam tubuh Prabu Baladewa, dan yang satu lagi masuk ke balik cungkup makam.
Batara Narada pun turun dari kahyangan untuk membangunkan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa, serta mengabarkan bahwa Wahyu Purbasejati telah diterima oleh mereka. Tidak hanya itu, ada satu lagi orang yang mendapatkan wahyu selain mereka berdua. Prabu Baladewa heran karena sejak tadi hanya dirinya dan Prabu Kresna saja yang bertapa di dalam astana. Resi Jembawan yang menunggu di luar jelas tidak mungkin mendapatkan wahyu.
Prabu Kresna berkata bahwa sejak tadi ia sudah mengetahui ada orang ketiga yang menyusup di dalam astana. Namun, karena orang itu bertujuan baik, Prabu Kresna sengaja tidak menegurnya. Orang ketiga itu adalah Raden Permadi yang datang lebih dulu dan bersembunyi di balik cungkup.
Karena namanya disebut, Raden Permadi pun keluar perlahan dan menyembah Batara Narada, Prabu Kresna, dan Prabu Baladewa. Karena semua kini telah lengkap, Batara Narada pun menjelaskan makna Wahyu Purbasejati kepada mereka.
Wahyu Purba adalah penjelmaan roh Prabu Sri Ramawijaya, leluhur Prabu Kuntiboja, yang juga pahlawan di zaman kuno. Makna dari purba adalah asal usul, yang bisa juga ditafsirkan sebagai perencanaan, pengaturan siasat, ataupun perumusan tindakan. Wahyu Purba ini menitis kepada Prabu Kresna, sebagai sosok manusia yang memiliki kecerdasan tinggi, dan juga titisan Batara Wisnu sebagai pemelihara ketertiban dunia. Prabu Kresna mendapat wewenang untuk merencanakan dan mengatur siasat bagaimana agar angkara murka dapat musnah dari muka bumi.
Wahyu Sejati adalah penjelmaan setengah roh Raden Lesmana, adik Prabu Sri Rama. Sejati artinya kebenaran yang nyata, kebenaran yang sebenarnya. Wahyu Sejati ini menitis kepada Raden Permadi sebagai kesatria lambang kebenaran. Raden Permadi ditakdirkan menjadi kesatria penumpas angkara murka, pembela kebenaran yang sejati, bukan kebenaran semu berdasarkan tafsir masing-masing orang.
Wahyu Wahdat adalah penjelmaan setengah roh Raden Lesmana juga. Wahdat artinya tunggal, tidak mendua. Wahyu Wahdat ini menitis kepada Prabu Baladewa yang bersifat tidak mendua, tidak memihak. Prabu Baladewa adalah lambang kebenaran dari Tuhan Yang Mahatunggal. Kebenaran Tuhan sifatnya satu, tidak mendua. Kebenaran adalah satu, dan tafsir atas kebenaran bisa jadi bermacam-macam. Seringkali banyak orang saling bunuh dengan mengaku sedang membela kebenaran. Padahal sebenarnya, yang mereka bela bukanlah kebenaran, tetapi tafsir atas kebenaran sesuai pemahaman masing-masing.
Semasa hidupnya, Raden Lesmana telah menjalani hidup wahdat, yaitu tidak menikah seumur hidup, serta mampu mematikan nafsu birahinya. Karena Wahyu Wahdat telah menitis kepada Prabu Baladewa, maka mulai hari ini Prabu Baladewa tidak lagi memiliki nafsu birahi terhadap wanita, sama seperti Raden Lesmana. Dengan demikian, Prabu Baladewa akan tetap teguh memegang kebenaran tunggal, dan tidak akan mendua.
Prabu Baladewa senang bercampur sedih. Ia senang karena telah mendapatkan wahyu, sekaligus sedih karena jika tidak memiliki nafsu birahi, maka itu berarti akan mengecewakan istrinya, yaitu Dewi Erawati. Batara Narada menjawab bahwa penjelasannya belum selesai. Ia berkata, Prabu Baladewa tidak akan memiliki nafsu birahi kepada wanita lain, sedangkan kepada Dewi Erawati, nafsu birahi tetap ada, namun hanya dapat digunakan sebagaimana mestinya, tidak diumbar sepanjang waktu. Mendengar itu, Prabu Baladewa bersyukur dan meminta maaf telah menyela pembicaraan Batara Narada tadi.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun undur diri kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.
KAPI ANOMAN MERINGKUS DITYA KUNJANAWRESA
Resi Jembawan tiba-tiba datang menemui Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Permadi untuk mengabarkan bahwa di luar Astana Gandamadana saat ini sedang terjadi pertempuran antara pasukan raksasa melawan dua orang kesatria. Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Permadi segera keluar untuk memeriksa.
Sesampainya di luar, mereka melihat Ditya Kunjanawresa dan Patih Prahastayitma sedang bertempur melawan Kapi Anoman dan Raden Bratasena. Ditya Kunjanawresa yang berwujud raksasa kepala kuda dapat ditaklukkan oleh Kapi Anoman, sedangkan Patih Prahastayitma yang berwujud hantu dapat diringkus oleh Raden Bratasena yang memanfaatkan khasiat Minyak Pranawa.
Ditya Kunjanawresa menyerah kalah dan menyatakan siap dihukum mati. Prabu Kresna mengamati bahwa sesungguhnya raksasa ini berwatak polos dan tidak jahat. Ia hanya terbawa oleh dosa kedua kakaknya yang serakah, serta termakan hasutan Prabu Godayitma. Maka, Prabu Kresna pun mengampuni Ditya Kunjanawresa dan mempersilakannya untuk pulang ke Gunung Mregapati sebagai pendeta di sana. Prabu Kresna berjanji akan melindungi Ditya Kunjanawresa karena Gunung Mregapati masih termasuk wilayah Kerajaan Dwarawati.
Ditya Kunjanawresa sangat terharu karena orang yang ia benci ternyata baik hati dan mau memaafkan perbuatannya. Ia menyesal telah menuruti hasutan Prabu Godayitma yang hanya memanfaatkan dirinya untuk menculik Dewi Bratajaya. Maka, Ditya Kunjanawresa pun bersumpah dirinya tidak akan lagi mengganggu Prabu Kresna sekeluarga. Tidak hanya itu, ia mengaku takut pada kesaktian Kapi Anoman dan bersumpah mulai hari ini bangsa kuda akan selalu tunduk kepada bangsa kera. Barangsiapa ingin memelihara kuda sebaiknya juga memelihara kera untuk membantu menjinakkannya.
Setelah mendapatkan Wahyu Purba, kecerdasan Prabu Kresna meningkat pesat. Ia dapat mengenali Patih Prahastayitma meskipun baru kali ini bertemu. Patih Prahastayitma pun ditanyai mengapa Prabu Godayitma menghasut Ditya Kunjanawresa untuk menyerang Kerajaan Dwarawati. Patih Prahastayitma pada dasarnya berwatak jujur. Ia pun berterus terang bahwa serangan terhadap Kerajaan Dwarawati hanyalah pancingan belaka demi mengalihkan perhatian Arya Setyaki dan kawan-kawan. Saat mereka sibuk bertempur, Raden Begakumara menyusup masuk ke dalam istana untuk menculik Dewi Bratajaya yang merupakan titisan Batari Sri Wedawati. Dewi Bratajaya kini telah dibawa oleh Raden Begakumara menuju Kerajaan Tawanggantungan untuk diperistri Prabu Godayitma.
Mendengar itu, Prabu Kresna segera berkata kepada Kapi Anoman dan Raden Permadi untuk menangkap Prabu Godayitma dan merebut kembali Dewi Bratajaya. Keduanya pun mohon pamit menjalankan perintah.
KAPI ANOMAN MENANGKAP PRABU GODAYITMA
Raden Permadi segera mengerahkan Aji Penggandan untuk merasakan bau tubuh Dewi Bratajaya. Setelah ketemu, ia kemudian melesat sambil mengerahkan Aji Seipi Angin menuju ke arah datangnya bau. Kapi Anoman pun mengikuti dari belakang dengan mengerahkan ilmu melompatnya yang dahsyat bagaikan terbang. Hingga akhirnya, mereka melihat Raden Begakumara sedang melayang terbang menuju Kerajaan Tawanggantungan.
Raden Permadi segera mengerahkan Aji Ngragasukma agar dapat merebut Dewi Bratajaya tanpa sepengetahuan Raden Begakumara yang berwujud hantu. Dengan cekatan, ia mengeluarkan Dewi Bratajaya yang disimpan secara gaib di dalam kancing gelung Raden Begakumara, serta menggantinya dengan Kapi Anoman. Raden Permadi lalu kembali ke wujud fisik dan membawa Dewi Baratajaya menuju Gunung Gandamadana.
Demikianlah, Raden Begakumara telah tiba di hadapan Prabu Godayitma. Begitu ia membuka kancing gelungnya, tiba-tiba yang keluar bukan Dewi Bratajaya, melainkan Kapi Anoman, musuh lama mereka. Karena tidak siap, Prabu Godayitma dan Raden Begakumara dapat diringkus dengan mudah oleh Kapi Anoman dan diikat menggunakan rantai gaib pemberian Batara Narada. Keduanya lalu diseret menuju Gunung Gandamadana sambil mulut mereka memaki-maki sepanjang jalan.
KAPI ANOMAN MENJADI PENDETA DI GUNUNG KENDALI
Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Raden Bratasena, Raden Permadi, dan Dewi Bratajaya menyambut kedatangan Kapi Anoman dengan sukacita. Resi Jembawan dan Dewi Trijata juga muncul dan ikut berbahagia. Kapi Anoman menghormat kepada mereka dengan perasaan haru. Sudah ratusan tahun mereka berpisah dan kini bisa bertemu kembali dalam suasana bahagia.
Kapi Anoman berkata bahwa dirinya ingin mengabdi kepada Prabu Kresna, dan tidak mau pulang ke Gunung Ungrungan di Pulau Sailan. Prabu Kresna mengabulkan permohonan itu. Ia menyarankan hendaknya Kapi Anoman membangun penjara baru untuk Prabu Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma di Gunung Kendali, yang masih termasuk wilayah Kerajaan Dwarawati. Prabu Kresna juga memerintahkan Kapi Anoman untuk menjadi pendeta demi melunturkan sisa-sisa watak beringasnya sebagai mantan jagoan Gunung Suwelagiri.
Kapi Anoman mematuhi dan mohon petunjuk di mana letak Gunung Kendali berada. Prabu Kresna menjelaskan bahwa Gunung Kendali tercipta dari pusaka Brahmakadali milik Bambang Sakri, yaitu leluhur para Pandawa. Setelah Bambang Sakri gugur di tangan Prabu Murtija, pusaka Brahmakadali berubah menjadi gunung, dan diberi nama Gunung Kendali oleh masyarakat sekitar.
Prabu Kresna lalu memungut sebatang lidi (sada) dan melemparkannya ke arah timur. Kapi Anoman diperintah untuk mengikuti lidi tersebut. Di mana lidi itu jatuh, maka di situlah Gunung Kendali berada. Kapi Anoman mematuhi dan segera pergi sambil menyeret Prabu Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma. Raden Bratasena pun bergegas mengikuti dari belakang.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Kapi Anoman dan Raden Bratasena melihat lidi tersebut menancap di bebatuan sebuah gunung kecil. Mereka yakin pasti gunung tersebut yang bernama Gunung Kendali. Kapi Anoman dibantu Raden Bratasena pun membangun penjara gaib untuk mengurung Prabu Godayitma, Raden Begakumara, dan Patih Prahastayitma.
Setelah semuanya beres, Kapi Anoman lalu memulai kehidupannya sebagai pendeta, dengan bergelar Resi Kapiwara Anoman. Dengan disaksikan Raden Bratasena, ia pun memberi nama padepokannya, yaitu Kendalisada, yang bermakna Gunung Kendali tertancap lidi.