Wisikan Ananing Dat
(Ajaran Islam Kejawen)
Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun. Sajatining Dat Kang Amaha Suci anglimputi ing Sipatingsun, anartani ing Asmaningsun, amratandhani ing Apêngalingsun.
Aksara Jawanipun :
꧋ꦱꦗꦠꦶꦤꦺꦎꦫꦄꦤꦄꦥꦄꦥ꧈ꦄꦮꦶꦠ꧀ꦝꦸꦏ꧀ꦩꦏ꧀ꦱꦶꦃꦄꦮꦁꦈꦮꦸꦁꦣꦸꦫꦸꦁꦄꦤꦱꦮꦶꦗꦶꦮꦶꦗꦶ꧈ꦏꦁꦄꦤꦣꦶꦔꦶꦤ꧀ꦆꦏꦸꦆꦁꦱꦸꦤ꧀ꦎꦫꦄꦤꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦄꦔꦶꦁꦆꦁꦱꦸꦤ꧀꧈ꦱꦗꦠꦶꦤꦶꦁꦣꦠ꧀ꦏꦁꦄꦩꦲꦱꦸꦕꦶꦄꦁꦭꦶꦩ꧀ꦥꦸꦠꦶꦆꦁꦱꦶꦥꦠꦶꦁꦱꦸꦤ꧀ꦄꦤꦂꦠꦤꦶꦆꦁꦄꦱ꧀ꦩꦤꦶꦁꦱꦸꦤ꧀ꦄꦩꦿꦠꦤ꧀ꦝꦤꦶꦆꦁꦄꦥꦼꦔꦭꦶꦁꦱꦸꦤ꧀꧈
Maknanipun :
Sesungguhnya tiada apa pun, sebab ketika masih dalam awang uwung [suwung], belumlah ada apa pun. Yang ada terdahulu adalah Ingsun [Aku], tiada Pangeran [Tuhan] selain Ingsun. Sesungguhnya Dzat Yang Mahasuci meliputi Sifat Ingsun, menyertai Asma Ingsun, menandai Af’al Ingsun)."
Kajianipun :
Wejangan di atas, Wisikan Ananing Dat (Petunjuk Adanya Dzat), merupakan benih Ngelmu Makripat (Ilmu Makrifat), hasil kiyas (qiyas) dari kadis (hadis), sabda Kangjêng Nabi Mukamad kepada Sayidina Ngali ketika beliau menunjukkan adanya Dzat; juga hasil kiyas dari firman Tuhan Yang Mahasuci, dibisikkan di telinga kiri, seperti di bawah ini :
"Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun. (Sesungguhnya tiada apa pun, sebab ketika masih dalam awang uwung [suwung], belumlah ada apa pun. Yang ada terdahulu adalah Ingsun [Aku], tiada Pangeran [Tuhan] selain Ingsun)."
Siapakah yang berkata-kata di sini ? Tak lain adalah Tuhan sendiri. Dengan sesungguh-sungguhnya Dia menyatakan bahwa tiada apa pun selain diri-Nya. Semesta ini sejatinya kosong belaka. Semesta ini sejatinya awang uwung belaka. Dan yang ada hanya Diri-Nya. Setiap bentuk kehidupan yang seolah-olah ada, seolah-olah terpisah dari keberadaan-Nya, tak lain hanya merupakan manifestasi-Nya. Dan kalaupun segala manifestasi-Nya dianggap ada, maka keberadaan awal adalah Dia. Dalam wejangan di atas, Dia menyebut diri-Nya dengan kata ganti orang pertama: Ingsun (Aku). Dan selanjutnya jika segala manifestasi-Nya dianggap sebagai ciptaan-Nya, maka Dia pun menyebut: tiada Tuhan selain Ingsun. Tuhan berarti majikan. Tuhan tak lain adalah Tuan. Makna yang sama dengan kata Pangeran dalam teks wejangan yang asli. Pangeran bermakna tempat untuk ngenger. Ngenger bermakna menghamba. Pangengeran atau Pangeran: tempat untuk menghamba. Sama persis dengan makna Tuhan. Siapa yang menghamba atau menjadi hamba ? Tak lain adalah segala manifestasi-Nya.
Ingsun (Aku) seolah-olah menunjuk pada Pribadi Purba yang awal dan menjadi sumber segala-galanya. Sesungguhnya, jika Ingsun dimaknai sebagai pribadi, jelas itu tidak tepat. Pribadi berarti sebuah perwujudan yang eksis dan berdiri terpisah dari pribadi lain. Sebuah pribadi akan memiliki kecenderungan-kecenderungan khusus yang kita sebut sifat. Sebuah pribadi pasti membutuhkan nama khusus untuk membedakan-Nya dengan pribadi lain. Dan sebuah pribadi tentunya memiliki aktivitas tertentu yang menandakan bahwa pribadi itu eksis. Padahal, Ingsun di sini sekadar kata tunjuk kepada “sesuatu” yang tidak bisa digambarkan, yang melampaui segala-galanya dan adalah segala-galanya. Ingsun tidak bisa serta-merta dikatakan menunjuk objek tertentu yang terpisah dari mereka yang menunjuk. Bagaimana bisa dikatakan sebagai objek jika “sesuatu” tersebut juga subjek itu sendiri? Dia adalah objek yang ditunjuk, Dia juga subjek yang menunjuk, dan Dia melampaui objek sekaligus subjek.
Betapa membingungkannya “sesuatu” yang disebut Ingsun itu. Oleh karenanya muncul ungkapan dalam bahasa Jawa: Samubarang kang ana kuwi dudu (Segala sesuatu yang mengada/eksis itu bukan Dia). Bahkan yang mengada di dalam pikiran kita pun bukan Dia. Ketika kita membayangkan sesosok pribadi yang penuh kuasa, itu bukanlah Dia. Ketika kita membayangkan sesuatu yang bukan pribadi dan merupakan sumber dari segala sumber kehidupan, itu pun bukan Dia. Lantas ungkapan apa yang tepat untuk sekadar menunjuk Dia? Tidak ada ungkapan yang tepat. Mungkin ungkapan yang bisa sedikit menunjuk kepada Dia adalah Tan kêna kinaya ngapa (Tidak bisa disamakan dengan apa pun). Kayatun bila rukin, kadirun bila alatin (Hidup tanpa Ruh, Berkuasa tanpa alat).
Jika demikian, bagaimana mungkin kita bisa mengenal-Nya ?
Dalam kalangan tasawuf Islam dari dahulu hingga sekarang adalah man arafa nafsahu arafa rabbahu.
ُمَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه
Artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Banyak yang mempertanyakan otentisitas ungkapan tersebut sebagai hadits Nabi. Benarkah ia sebuah petuah yang langsung disampaikan oleh Nabi SAW atau sebatas kata-kata hikmah seorang ulama yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi SAW?
Lalu bagaimana pula dengan pemaknaannya, apa relasi antara mengenal diri sendiri dan mengenal Tuhan? Sejauh mana pengenalan seseorang terhadap dirinya bisa mengantarkannya untuk mengenal Tuhannya? Beberapa pertanyaan ini akan dijabarkan dalam tulisan sederhana ini.
Sejumlah sarjana seperti Imam An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Az-Zarkasyi, Ibnu Athaillah, dan lain-lain telah melakukan penelitian serius terkait ungkapan tersebut. Pendapat mereka diracik secara apik oleh Imam As-Suyuthi dalam karyanya Al-Hawi lil Fatawa pada sub bahasan Al-Qaulul Asybah fi Haditsi Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu. Terkait persoalan otentisitas, An-Nawawi menegaskan bahwa ungkapan itu tidak mempunyai validitas yang kuat sebagai hadits Nabi. Imam As-Suyuthi mengutip pendapat An-Nawawi sebagai berikut:
وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ النَّوَوِيُّ فِي فَتَاوِيهِ فَقَالَ : إِنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ.
Artinya, “Imam Nawawi pernah ditanya terkait ungkapan tersebut di dalam kumpulan fatwanya, lantas ia menjawab, ‘Ungkapan itu tidak mempunyai validitas sebagai hadits Nabi,’” (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawa, Beirut, Darul Fikr, 2004, juz II, halaman 288).
Ibnu Taimiyah menilainya sebagai hadits maudhu’. Sedangkan Az-Zarkasyi dalam hadits-hadits masyhurnya mengutip perkataan Imam As-Sam’ani yang menyebutkan bahwa ungkapan itu merupakan perkataan dari seorang ulama sufi terkenal Yahya bin Muadz Ar-Razi.
Adapun Imam As-Suyuthi tidak memberikan komentar apapun terkait kutipan yang ia tuliskan di atas. Kita tidak mengetahui alasan As-Suyuthi tidak menarjih beberapa pendapat tersebut. Tetapi besar kemungkinan pendapatnya tidak jauh berbeda dengan pendapat ketiga ulama di atas sebelumnya.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa ungkapan di atas berkemungkinan besar bukanlah hadits nabi, melainkan hanya perkataan salah seorang ulama yang bernama Yahya bin Muadz Ar-Razi yang terlanjur dianggap sebagai hadits oleh sebagian kalangan. Walaupun maknanya benar, tapi setidaknya pembacaan dua orang ulama hadits di atas, yaitu An-Nawawi dan As-Suyuthi cukup menjadi landasan bagi kita untuk tidak menyebutnya sebagai sebuah hadits, walaupun dari segi makna ia mempunyai cakupan dan kandungan yang sangat dalam dan detail.
Kalau persoalan ini sudah terjawab, lantas bagaimana cara kita menyikapi sebagian kalangan yang sudah terlanjur menganggapnya sebagai hadits? Perlukah kita melarang mereka untuk menyampaikan ungkapan tersebut dalam kajian-kajian mereka? Dalam hal ini, penulis lebih cenderung pada sikap guru kami almarhum Kiai Ali Mustafa Ya’qub dalam menjawab problem-problem seperti ini, yaitu dengan memberitahukan kepada mereka bahwa ungkapan itu bukanlah hadits nabi, tetapi hanya ucapan seorang ulama sufi semata.
Dengan kejelasan ini, bukan berarti kita melarang mereka untuk menyampaikan isi kandungan dari ungkapan tersebut, tetapi hanya sebagai langkah antisipatif terhadap ancaman yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits sahihnya yang menyebutkan, “Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk menduduki singgasananya di dalam neraka.” Kita boleh menyampaikan apapun terkait jabaran ungkapan tersebut asalkan tidak menganggapnya sebagai hadits nabi. Apabila hal ini sudah dipahami, maka selesailah masalah terkait ungkapan tersebut.
Selanjutnya, terkait dengan kandungan makna Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa ketika seseorang mengetahui bahwa sifat-sifat yang melekat di dalam dirinya merupakan kebalikan dari sifat-sifat Allah SWT. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya akan hancur, niscaya ia akan sadar bahwa Allah mempunyai sifat baqa’ (abadi). Begitu juga ketika ia mengetahui dirinya diliputi oleh dosa dan kesalahan, maka ia akan menyadari bahwa Allah bersifat Maha Sempurna dan Maha Benar. Selanjutnya orang yang mengetahui kondisi dirinya sebagaimana adanya, maka ia akan mengenal Tuhannya sebagaimana ada-Nya.
Banyak yang mempertanyakan otentisitas ungkapan tersebut sebagai hadits Nabi. Benarkah ia sebuah petuah yang langsung disampaikan oleh Nabi SAW atau sebatas kata-kata hikmah seorang ulama yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi SAW? Lalu bagaimana pula dengan pemaknaannya, apa relasi antara mengenal diri sendiri dan mengenal Tuhan? Sejauh mana pengenalan seseorang terhadap dirinya bisa mengantarkannya untuk mengenal Tuhannya? Beberapa pertanyaan ini akan dijabarkan dalam tulisan sederhana ini. Sejumlah sarjana seperti Imam An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Az-Zarkasyi, Ibnu Athaillah, dan lain-lain telah melakukan penelitian serius terkait ungkapan tersebut. Pendapat mereka diracik secara apik oleh Imam As-Suyuthi dalam karyanya Al-Hawi lil Fatawa pada sub bahasan Al-Qaulul Asybah fi Haditsi Man Arafa Nafsahu Faqad Arafa Rabbahu. Terkait persoalan otentisitas, An-Nawawi menegaskan bahwa ungkapan itu tidak mempunyai validitas yang kuat sebagai hadits Nabi. Imam As-Suyuthi mengutip pendapat An-Nawawi sebagai berikut: وَقَدْ سُئِلَ عَنْهُ النَّوَوِيُّ فِي فَتَاوِيهِ فَقَالَ : إِنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ. Artinya, “Imam Nawawi pernah ditanya terkait ungkapan tersebut di dalam kumpulan fatwanya, lantas ia menjawab, ‘Ungkapan itu tidak mempunyai validitas sebagai hadits Nabi,’” (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Hawi lil Fatawa, Beirut, Darul Fikr, 2004, juz II, halaman 288). Ibnu Taimiyah menilainya sebagai hadits maudhu’. Sedangkan Az-Zarkasyi dalam hadits-hadits masyhurnya mengutip perkataan Imam As-Sam’ani yang menyebutkan bahwa ungkapan itu merupakan perkataan dari seorang ulama sufi terkenal Yahya bin Muadz Ar-Razi. Adapun Imam As-Suyuthi tidak memberikan komentar apapun terkait kutipan yang ia tuliskan di atas. Kita tidak mengetahui alasan As-Suyuthi tidak menarjih beberapa pendapat tersebut. Tetapi besar kemungkinan pendapatnya tidak jauh berbeda dengan pendapat ketiga ulama di atas sebelumnya. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa ungkapan di atas berkemungkinan besar bukanlah hadits nabi, melainkan hanya perkataan salah seorang ulama yang bernama Yahya bin Muadz Ar-Razi yang terlanjur dianggap sebagai hadits oleh sebagian kalangan. Walaupun maknanya benar, tapi setidaknya pembacaan dua orang ulama hadits di atas, yaitu An-Nawawi dan As-Suyuthi cukup menjadi landasan bagi kita untuk tidak menyebutnya sebagai sebuah hadits, walaupun dari segi makna ia mempunyai cakupan dan kandungan yang sangat dalam dan detail. Kalau persoalan ini sudah terjawab, lantas bagaimana cara kita menyikapi sebagian kalangan yang sudah terlanjur menganggapnya sebagai hadits? Perlukah kita melarang mereka untuk menyampaikan ungkapan tersebut dalam kajian-kajian mereka? Dalam hal ini, penulis lebih cenderung pada sikap guru kami almarhum Kiai Ali Mustafa Ya’qub dalam menjawab problem-problem seperti ini, yaitu dengan memberitahukan kepada mereka bahwa ungkapan itu bukanlah hadits nabi, tetapi hanya ucapan seorang ulama sufi semata. Dengan kejelasan ini, bukan berarti kita melarang mereka untuk menyampaikan isi kandungan dari ungkapan tersebut, tetapi hanya sebagai langkah antisipatif terhadap ancaman yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits sahihnya yang menyebutkan, “Barang siapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan dirinya untuk menduduki singgasananya di dalam neraka.” Kita boleh menyampaikan apapun terkait jabaran ungkapan tersebut asalkan tidak menganggapnya sebagai hadits nabi. Apabila hal ini sudah dipahami, maka selesailah masalah terkait ungkapan tersebut. Selanjutnya, terkait dengan kandungan makna Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa ketika seseorang mengetahui bahwa sifat-sifat yang melekat di dalam dirinya merupakan kebalikan dari sifat-sifat Allah SWT. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya akan hancur, niscaya ia akan sadar bahwa Allah mempunyai sifat baqa’ (abadi). Begitu juga ketika ia mengetahui dirinya diliputi oleh dosa dan kesalahan, maka ia akan menyadari bahwa Allah bersifat Maha Sempurna dan Maha Benar. Selanjutnya orang yang mengetahui kondisi dirinya sebagaimana adanya, maka ia akan mengenal Tuhannya sebagaimana ada-Nya.
Ya, Dia yang tan kêna kinaya ngapa itu tak jauh dari diri kita ini. Siapa saja yang benar-benar tahu tentang apa atau siapa sebenarnya pribadinya sendiri, maka dia akan tahu tentang apa atau siapa Tuhan yang sesungguhnya. Tahu dalam artian “menyadari”, bukan tahu dalam artian mengetahui dengan akal pikiran. Tahu dalam artian “mengalami”, bukan tahu dalam artian mengetahui secara riil, baik lewat pengalaman lahiriah maupun batiniah. Menyadari dan mengalami sendiri tentang apa dan siapa Tuhan. Menyadari dan mengalami sendiri tentang apa dan siapa sesungguhnya yang disebut Tuhan. Tuhan ada di balik pribadi manusia. Tuhan adalah generator tunggal pribadi manusia. Tuhan melampaui semua keadaan yang lahir dan yang batin. Tanda keberadaan-Nya yang bisa dilihat sebagai bukti nyata adalah Hidup. Tuhan adalah Hidup kita ini. Hidup sesungguhnya adalah Tuhan. Orang Jawa menyebut Hidup dengan kata Urip atau Hurip.
Sang Urip (Sang Hidup), yang tan kêna kinaya ngapa, memiliki tiga tingkatan perwujudan. Tiga tingkat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Urip (Hidup): Keadaan Dat-Nya. Yang Absolut dan Abadi. Yang tidak terkena perubahan apa pun. Yang merupakan sumber segala kehidupan. Yang merupakan asal dan tujuan kehidupan atau Sangkan Paraning Dumadi.
2. Kang Gawe Urip (Yang Membuat Hidup): Roh Kudus atau Ruh Suci, Ruh Manusia, yang mampu menghidupi manusia. Ruh adalah percikan dari Hidup.
3. Kang Nguripi (Yang Menghidupi): Roh Ilapi/Ruh Idlafi. Idlafi berarti bersandar. Ruh Idlafi berarti Ruh yang telah bersandar karena telah lemah kesadarannya. Ruh Idlafi adalah Ruh yang menghidupi Napsu/Nafs manusia. Napsu adalah keberadaan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, Napsu yang telah dihidupi oleh Roh Ilapi disebut Suksma/Jiwa.
Urip, Kang Gawe Urip, dan Kang Nguripi sesungguhnya adalah tunggal juga. Dengan demikian Dat, Roh Kudus, dan Roh Ilapi sesungguhnya tak terpisahkan.
Namun demikian, demi memudahkan manusia untuk mengenal-Nya, maka bukanlah suatu kesalahan jika lantas Dia diwujudkan seolah-olah sebagai sesosok yang berkepribadian. Tentu saja ini sekadar untuk mempermudah, dan tentu saja bukan berarti Tuhan adalah sesosok pribadi. Sebagaimana anak kecil yang baru belajar berhitung, maka pada awalnya sang anak mutlak memerlukan alat bantu berupa batang-batang lidi atau semacamnya. Berangkat dari pemahaman ini, Tuhan lantas ditunjuk sebagai suatu Pribadi Purba atau Dzat Mutlak yang Wajibul Wujud atau Yang Wajib Keberadaan-Nya. Dzat Mutlak ini lantas diberi Watak-Watak (Sifat) khusus yang Cantik serta Nama-Nama (Asma) khusus yang Perkasa, dan segala apa yang tergelar di dalam semesta dilekatkan sebagai Perbuatan-Nya (Af’al) yang ajaib dan sempurna. Lahirlah konsep Dat (Dzat), Sipat (Sifat), Asma (Asma) dan Apêngal (Af’al). Berlanjut lagi lahir konsep Jalal, Jamal, Kahar (Qahhar), Kamal. Yang Agung (Jalal) adalah Dat-Nya. Yang Cantik (Jamal) adalah Sipat-Nya. Yang Perkasa (Kahar) adalah Asma-Nya dan yang Sempurna (Kamal) adalah Apêngal-Nya.
Wejangan berlanjut seperti di bawah ini :
Sajatining Dat Kang Amaha Suci anglimputi ing Sipatingsun, anartani ing Asmaningsun, amratandhani ing Apêngalingsun.
Aksara Jawanipun :
꧋ꦱꦗꦠꦶꦤꦶꦁꦣꦠ꧀ꦏꦁꦄꦩꦲꦱꦸꦕꦶꦄꦁꦭꦶꦩ꧀ꦥꦸꦠꦶꦆꦁꦱꦶꦥꦠꦶꦁꦱꦸꦤ꧀ꦄꦤꦂꦠꦤꦶꦆꦁꦄꦱ꧀ꦩꦤꦶꦁꦱꦸꦤ꧀ꦄꦩꦿꦠꦤ꧀ꦝꦤꦶꦆꦁꦄꦥꦼꦔꦭꦶꦁꦱꦸꦤ꧀꧈
Maknanipun :
Sesungguhnya Dzat Yang Mahasuci meliputi Sifat Ingsun, menyertai Asma Ingsun, menandai Af’al Ingsun.
Di sini seolah-olah ada dua oknum yang dinyatakan. Pertama Sang Ingsun (Sang Aku), kedua Dat Kang Amaha Suci (Dzat Yang Mahasuci). Sebenarnya tidaklah demikian. Ingsun hanya menyatakan bahwa Dzat-Nya sendiri Yang Suci, Yang Mahasuci; hakikat-Nya sendiri yang sedemikian suci, yang tak dapat dikenali dengan apa pun, yang luput dari segala noda kemenjadian; luput dari noda kepribadian; luput dari noda perwujudan. Jika harus diwujudkan, maka Dia harus dijadikan sebuah kepribadian demi sekadar untuk mengenali-Nya. Lalu Dia akan diberi Sifat-Sifat, diberi Asma-Asma, dan dilekatkan dengan segala Af’al. Bagaimana mungkin Dia yang tak terbayangkan, yang melampaui segala-galanya, memiliki Sifat, Asma, dan Af’al layaknya makhluk fana?
Sifat adalah karakter. Sifat adalah watak. Sifat adalah ciri sebuah kepribadian. Dia sesungguhnya melampaui segala sifat. Toh demikian, jikalau Dia harus diberi Sifat, maka Sifat-Nya tetap terliputi oleh Kemahasucian Dzat-Nya yang tak tergambarkan. Itu berarti, ungkapan anglimputi ing Sipatingsun sama artinya dengan ungkapan “Sifat-Sifat-Nya tak terbayangkan”.
Adapun sifat-sifat yang sudah disepakati melekat pada Dzat-Nya disebut Sipat Rongpuluh (Sifat Dua Puluh), yaitu :
1. Wujud: Ada. Adanya Dzat-Nya bukan karena ada yang mengadakan. Dia Ada dengan Dzat-Nya sendiri.
2. Kidam: Dahulu. Dzat-Nya ada sebelum semuanya mengada.
3. Baka: Langgeng. Dzat-Nya langgeng, kekal tanpa berkesudahan.
4. Mukalapatu Lilkawadis: Berbeda dengan segala yang mengada.
5. Kiyamuhu Binapsihi: Berdiri dengan Diri-Nya sendiri, tanpa memerlukan apa pun untuk bisa membuat Dzat-Nya berdiri.
6. Wakdaniyah: Tunggal. Tiada kuasa lain lagi selain Dzat-Nya.
7. Kudrat: Berkuasa atas segala sesuatu.
8. Iradat: Berkehendak, tanpa ada yang menghalangi.
9. Ngilmu: Mengetahui segala sesuatu.
10. Kayat: Hidup. Dzat-Nya adalah Hidup. Hidup adalah Dzat-Nya.
11. Samak: Mendengar tanpa batas.
12. Basor: Melihat tanpa penghalang
13. Kalam: Bicara atau bersuara dengan segala suara.
14. Kadiran: Berkuasa penuh.
15. Muridan: Berkehendak penuh.
16. Ngaliman: Tahu dengan sepenuhnya akan segala sesuatu.
17. Kayan: Hidup sebenar-benarnya.
18. Samingan: Mendengar segalanya dengan sepenuhnya.
19. Basiran: Melihat segala sesuatu dengan sepenuhnya.
20. Mutakaliman: Berbicara dan bersuara senyata-nyatanya
Namun demikian, Sajatining Dat Kang Amaha Suci anglimputi ing Sipatingsun, Dzat-Nya yang tak tergambarkan meliputi Sifat-Nya. Dan sekali lagi itu berarti: Sesungguhnya Sifat-Nya yang sejati tak tergambarkan, apalagi hanya dengan dua puluh Sifat saja.
Dan, kalaupun Dzat-Nya harus diberi Asma (Nama), maka Dzat-Nya Yang Mahasuci senantiasa menyertai Asma-Nya: anartani ing Asmaningsun. Itu pun berarti Asma yang telah dilekatkan kepada Dzat-Nya tetap tak tergambarkan.
BACA JUGA :
Asmaul Husnah
.
Adapun Asma-Asma yang sudah disepakati dilekatkan kepada Dzat-Nya berjumlah 99, disebut dengan Asmaul Husna :
Ar-Rakman (Kasih), Ar-Rakim (Sayang), Al-Malik (Merajai), Al-Kudus (Suci), As-Salam (Selamat), Al-Mukmin (Pelimpah Keamanan), Al-Muhaimin (Mengawasi), Al-Ajis (Dapat Mengalahkan), Al-Jabar (Perkasa), Al-Mutakabir (Mempunyai Kebesaran), Al-Kalik (Pencipta), Al-Bari (Melepaskan), Al-Musawir (Pembentuk), Al-Gapar (Pengampun), Al-Kahar (Pemaksa), Al-Wahab (Penganugerah), Ar-Rajak (Pemberi Rezeki), Al-Patah (Pembuka), Al-Ngalim (Mengetahui), Al-Kabit (Pengekang), Al-Basit (Pelimpah Nikmat), Al-Kapit (Perendah Derajat), Ar-Rapik (Peninggi Derajat), Al-Mungis (Memuliakan), Al-Mudil (Penghina), As-Samik (Pendengar), Al-Basir (Pelihat), Al-Hakam (Mengadili), Al-Adil (Adil), Al-Latip (Lembut), Al-Kobir (Waspada), Al-Halim (Penyabar), Al-Adim (Agung), Al-Gapur (Pengampun), As-Sakur (Bersyukur), Al-Ngali (Tinggi), Al-Kabir (Besar), Al-Hapid (Pemelihara), Al-Mukit (Memberi Makan), Al-Hasib (Penghitung), Al-Jalil (Mempunyai Kebesaran), Al-Karim (Mulia), Ar-Rakib (Mengawasi), Al-Mujib (Pengabul), Al-Wasik (Luas), Al-Hakim (Bijaksana), Al-Wadud (Penyayang), Al-Majid (Mulia), Al-Bangis (Pembangkit Semula), As Sahit-(Penyaksi), Al-Hak (Benar), Al-Wakil (Mengurusi), Al-Kawiyu (Kuat), Al-Matin (Kokoh), Al-Waliyu (Melindungi), Al-Hamid (Terpuji), Al-Muhsi (Penghitung), Al-Mubdi (Memulai), Al-Mungid (Mengembalikan), Al-Muhyi (Menghidupkan), Al-Mumit (Mematikan), Al-Kayu (Hidup), Al-Kayumu (Berdiri Sendiri), Al-Wajid (Penemu), Al-Majid (Mulia), Al-Wakid (Tunggal), Al-Akad (Tunggal), As-Samad (Menjadi Tumpuan), Al-Kadir (Berupaya), Al-Muktadir (Berkuasa), Al-Mukadim (Pendahulu), Al-Muakir (Pengakhir), Al-Awal-(Pertama), Al-Akir (Akhir), Al-Lahir (Lahir), Al-Batin (Batin), Al-Wali (Menguasai), Al-Mutangali (Tinggi serta Mulia), Al-Bar (Kebaikan), At-Tawab (Menerima Tobat), Al-Muntakim (Memberi Hukuman), Al-Apuwu (Pengampun), Ar-Raup (Pengasih serta Penyayang), Malikul Mulki (Pemilik Kerajaan), Dul Jalali wal Ikram (Mempunyai Keagungan dan Kemuliaan), Al-Muksit (Pemberi Keadilan), Al-Jamik (Pengumpul), Al-Ganiyu (Kaya), Al-Mugni (Pemberi Kekayaan), Al-Mani (Pencegah), Ad-Dar (Mendatangkan Bahaya), An-Napi (Pemberi Manfaat), An Nur (Cahaya), Al-Hadi (Pemberi Pertunjuk), Al-Badi (Pencipta Yang Tiada Bandingan), Al-Baki (Kekal), Al-Waris (Pewaris), Ar-Rasid (Pandai), As-Sabur (Penyabar).
Kalau diperhatikan, yang disebut Asma tak lain adalah Sifat juga. Ini semakin menjelaskan bahwa sebenarnya Dzat-Nya tak terjelaskan.
Kemudian, tertulis dalam wejangan ungkapan amratandhani ing Apêngalingsun (memberikan tanda kepada Af’al Ingsun). Dzat-Nya yang tak terkirakan, tak tergambarkan, dan tak terbayangkan, memberikan tanda yang nyata kepada segala perbuatan-Nya yang ajaib, menakjubkan, dan mengagumkan. Semesta dengan segala bentuk makhluk hidup di dalamnya, yang tak terkirakan keberadaannya, yang tak terbayangkan jumlahnya, merupakan tanda nyata dari kehadiran Dzat-Nya yang tak terpikirkan.
Bisa juga dijabarkan demikian: Sajatining Dat Kang Amaha Suci anglimputi ing Sipatingsun, sesungguhnya Dzat Yang Mahasuci meliputi Sifat Ingsun. Lantas Sifat anartani ing Asmaningsun, menyertai Asma Ingsun. Selanjutnya, Asma amratandhani ing Apêngalingsun, menandai Af’al Ingsun.
Dzat Yang Mahasuci, yang tak tergambarkan, meliputi Sifat-Nya. Dengan demikian, Sifat-Nya pun tak tergambarkan. Sifat-Nya lantas menyertai segala Asma-Nya, sehingga Asma-Nya pun tak tergambarkan. Asma-Nya menandai semua Af’al-Nya, sehingga Af’al-Nya pun tak tergambarkan. Dan Af’al-Nya merupakan tanda keberadaan-Nya.
Dzat yang meliputi Sifat bagaikan madu dengan manisnya, tak terpisahkan. Sifat yang menyertai Asma bagaikan matahari dengan sinarnya, tidak terbedakan. Asma yang menandai Af’al bagaikan yang bercermin dengan bayangannya di dalam cermin. Bagaimanapun tingkah yang bercermin, bayangannya akan mengikuti juga. Af’al yang menjadi bukti nyata dari Dzat bagaikan samudra dengan ombaknya. Ombak tak bisa dipisahkan dari samudra. Dan itu berarti Dzat-Nya tetap tak tergambarkan walau telah diberi Sifat, dilekati Asma, dan telah nyata segala Af’al-Nya.
Sumber referensi :
- Kitab INDUK ILMU KEJAWEN, Wirid Hidayat Jati
Catatan :
- Wirid Hidayat Jati adalah kitab babon bagi para penganut Islam Kejawen. Kumpulan ajaran rahasia para wali di tanah Jawa yang pernah diwejangkan kepada santri-santri khusus pada abad 15 dan 16. Tercatat ada 8 wali yang membabarnya secara bersamaan pada masa-masa itu. Pada abad 16 Kanjeng Sunan Kalijaga merangkum seluruh ajarannya, kemudian Raden Ngabehi Ranggawarsita menuliskannya kembali pada pertengahan abad 19. Melalui Raden Ngabehi Ranggawarsitalah Wirid Hidayat Jati dikenal secara luas dan menjadi rujukan utama para penganut Islam Kejawen.
- Kitab ini membahas Ilmu Makrifat Jawa, Sedulur Papat Lima Pancer; Sangkan Paraning Dumadi; Manunggaling Kawula-Gusti; Syahadat Sejati; Nur Muhammad; Ilmu Kasampurnan; Pangruwatan; Perjalanan di Alam Kematian; Tumimbal Lahir; Maklumat Jati; Wirid dan Kidung Keselamatan; Laku, Doa, dan Meditasi Kejawen; Upacara dan Selamatan Kejawen.
- Kitab ini menggunakan dua bahasa (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terjemahannya), disertai penjelasan dan ulasan. Harga: Rp60 ribu (Harga asli: Rp75 ribu). CARA PEMESANAN: tulis nama dan alamat ke inbox atau SMS/WA ke: 081287654445.
- Penerjemah dan Pengulas: Damar Shashangka, SC | 14 x 21 cm | 480 hlm.
Imajiner Nuswantoro