Orang Jawa Keturunan Nabi Ismail AS
Bani Jawi adalah orang Jawa. Dan, orang Jawa tidak bisa dipisahkan dari Islam. Orang Jawa juga tidak bisa dipisahkan memori kolektifnya dari sosok yang bernama Nabi Ismail.
"Orang Jawa tidak bisa dipisahkan namanya dari Aji Soko. Aji Soko sendiri adalah nenek moyangnya orang Jawa. Nama asli Aji Soko adalah Joko Sengkolo.
Jika dilihat manuskrip-manuskrip, baik di Jawa, Madura maupun di Sunda, mengenal tokoh Aji Soko. "Artinya ini memori kolektif. Artinya, diwariskan dari generasi satu, ke generasi berikutnya. Artinya memori tersebut melintas batas zaman.
Salah satu manuskrip "Serat Pramayugo" yang ditulis oleh Ki Bagus Burhan atau yang berjuluk Ronggo Warsito, yang lahir 1802-1873 Masehi. Sedangkan lembaga nasab yang terkenal Rowito Alawiyah baru didirikan 1928 Masehi.
"Ronggo Wasito nama aslinya adalah Ki Bagus Burhan. Ini murid langsung Kiai Hasan Besari, pemimpin Ponpes Tegalsari dan ini tersohor pada masa Belanda. Kalau dirunut nasabnya, Ronggo Warsito adalah putra dari Yosodipuro I, keturunan Yosodipuro II dan nasabnya sampai ke Joko Tingkir alias Sultan Hadi Widjojo. Sultan Hadi Widjojo sendiri nasabnya urutan ke-23 dari Nabi Muhammad SAW.
Didalam Serat Paramayugo yang ditulis Ronggo Warsito. Di dalamnya muncul nama Aji Soko, yakni keturunan dari Prabu Sarkil.
Telah diceritakan di dalam Kitab Jitabsoro, Kitab Miladuniren bahwa sang Prabu Sarkil adalah keturunan Nabi Ismail. Sedangkan Aji Soko nasabnya sampai ke Prabu Sarkil. Dan Aji Soko itu datuknya orang Jawa. Artinya, Bani Jawi adalah keturunan Nabi Ismail.
Kitab Jitabsoro, Kitab Miladuniren
Kitab Jitabsoro, atau Jitabsara, adalah kitab yang berisi skenario atau panduan jalannya Perang Baratayuda yang bersumber dari kebijaksanaan Batara Guru dan Batara Narada, ditulis oleh Batara Panyarikan. Kitab ini berfungsi sebagai "Think Tank" yang diharapkan dapat menentukan arah sikap dan strategi secara bijaksana berdasarkan ilmu keprofesian.
Keterangan :
- Kitab ini dibangun atas dasar kebijaksanaan dari dua tokoh penting, yaitu Batara Guru dan Batara Narada, dan disusun oleh Batara Panyarikan.
- Kaitan dengan Mahabharata.
Meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan, latar belakang nama "Jitabsara" dan "Baratayuda" sangat mungkin merujuk pada kisah epik Mahabharata, yang juga menceritakan perang antara Pandawa dan Korawa (Kurawa) yang dikenal sebagai Perang Bharatayuddha. Kitab Jitabsara ini dapat dianggap sebagai interpretasi atau pengembangan dari kisah tersebut untuk keperluan praktis.
Kitab Miladuniren kemungkinan adalah salah satu kitab sejarah atau silsilah dalam tradisi Nusantara, yang disebutkan dalam kutipan berita tentang sejarah orang Jawa yang keturunan Nabi Ismail. Kitab ini merujuk pada sejarah Prabu Sarkil, yang diceritakan sebagai keturunan Nabi Ismail, dan juga membahas silsilah Aji Soko.
Sejarah
- Kitab Miladuniren disebutkan dalam konteks sejarah dan silsilah di Nusantara, merujuk pada tokoh-tokoh seperti Prabu Sarkil dan Aji Soko.
- Silsilah
Kitab ini menguraikan silsilah tokoh-tokoh penting, dengan menyebutkan bahwa Prabu Sarkil adalah keturunan Nabi Ismail.
- Hubungan dengan Kitab Lain.
Kitab Miladuniren disebut bersama dengan Kitab Jitabsoro, menunjukkan kemungkinan adanya kaitan atau koleksi kitab-kitab sejarah serupa di masa lalu.
Jadi, orang Jawa, ketika memori kolektifnya disambungkan kepada Nabi Ismail, maka tidak mungkin orang Jawa itu tidak muslim.
Kalau sudah merasa Jawa, maka sudah pasti tentu merasa keturunan Nabi Ismail. Dan disebutkan bahwa ternyata Aji Soko pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Jadi, Nabi Muhammad keturunan Nabi Ismail dan Aji Soko juga keturunan Nabi Ismail. Jadi, jika orang Jawa mengaku keturunan Aji Soko, maka logikanya tidak mungkin nonmuslim.
Sebagai informasi tambahan, Ali termasuk sedikit orang Indonesia yang menguasai bahasa Ibrani secara aktif. Tak hanya itu. Ali juga menguasai lima bahasa lain,yakni Inggris, Arab, Yunani, Prancis, Latin, Sanskerta, dan Madura.
Masuknya Islam karena firman yang menjadi kitab bermasalah. Firman yang menjadi manusia juga bermasalah. Pasalnya, kala itu banyak perdebatan antara kitab yang bukan wahyu dan kitab yang wahyu.
Asal-usul Suku Jawa dalam Kitab Paramayoga (Dari Aji Saka, Prabu Sarkil, hingga Nabi Ismail)
Prabu Sarkil adalah tokoh leluhur Bani Jawi yang disebut-sebut merupakan keturunan Nabi Ismail, yang kemudian menjadi leluhur dari Aji Soko (atau Aji Saka), dan dari sinilah orang Jawa diyakini sebagai keturunan Nabi Ismail. Tokoh ini disebut dalam beberapa diskusi mengenai asal-usul keturunan Nabi Ismail dan kaitannya dengan sejarah orang Jawa.
Pentingnya Prabu Sarkil dalam Silsilah Keturunan :
- Leluhur Keturunan Nabi Ismail: Prabu Sarkil disebut sebagai leluhur dari Bani Jawi, yang kemudian dikaitkan dengan keturunan Nabi Ismail.
- Silsilah Keturunan: Ia merupakan leluhur Aji Soko, yang kemudian menurunkan orang-orang Jawa.
- Konsep Keterkaitan dengan Islam: Konsep keturunan Nabi Ismail melalui Prabu Sarkil dan Aji Soko sering digunakan untuk menunjukkan bahwa orang Jawa adalah keturunan Nabi Ismail, dan oleh karena itu, tidak mungkin non-muslim.
BACA DISINI :
Jaka Sengkala
Peran dalam Konteks Sejarah dan Budaya
- Dialog Keturunan.
Diskusi mengenai Prabu Sarkil sering muncul dalam konteks dialog antara sejarah dan silsilah, khususnya yang berkaitan dengan orang Jawa dan Nabi Ismail.
- Penceritaan Kuno.
Keberadaan Prabu Sarkil sebagai leluhur disebutkan dalam tradisi lisan atau tulisan kuno yang membicarakan asal-usul orang Jawa dan hubungannya dengan tokoh-tokoh besar seperti Nabi Ismail dan Aji Soko.
Dalam kajian naskah Jawa kuno, khususnya kitab Paramayoga Karya Ki Bagus Burhan / Raden Ronggowarsito (1802–1873 M)
Ronggowarsito sendiri adalah murid Kiai Hasan Besari dari Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Nasab Ronggowarsito ditelusuri sampai ke Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya), yang memiliki nasab yang bersambung hingga urutan ke-23 dari Nabi Muhammad SAW.
Dalam Kitab paramayoga terdapat keterangan mengenai asal-usul leluhur orang Jawa. Menurut kitab tersebut, Aji Saka yang dikenal sebagai tokoh pembawa peradaban ke Tanah Jawa berasal dari garis keturunan Prabu Sarkil, seorang tokoh besar yang disebut sebagai keturunan Nabi Ismail AS.
Nama Aji Saka dikenal luas dalam tradisi Jawa, Sunda, hingga Madura. Dalam berbagai babad dan serat, Aji Saka digambarkan sebagai tokoh pembawa peradaban, ilmu pengetahuan, dan tata kehidupan baru bagi masyarakat Jawa kala itu.
Prabu Sarkil (Pedagang dari Najran yang Menjadi Raja)
Prabu Sarkil disebut sebagai seorang pedagang yang kemudian menjadi raja. Yang menarik, Paramayoga menyebutkan asal-usulnya dari Najran, sebuah wilayah penting di Jazirah Arab bagian selatan. Fakta historis mendukung hal ini :
Dalam peta kuno karya Ptolemaios (Ptolemy), seorang ahli geografi Yunani abad ke-2 M, wilayah Najran disebut dengan nama Negran.
Hal ini menunjukkan bahwa Najran bukanlah rekaan, melainkan daerah nyata dengan posisi strategis dalam jalur perdagangan kuno Arabia.
Dengan demikian, penyebutan Najran dalam Paramayoga memperkuat bahwa Prabu Sarkil adalah tokoh historis nyata, bukan sosok fiktif atau legenda belaka.
Kontras dengan Klaim Fiktif Klan Ba’alwi
Berbeda dengan kisah Ubaidillah, leluhur yang diklaim oleh klan Ba’alwi di Hadramaut, yang tidak memiliki bukti sejarah sezaman dan hanya muncul dalam penulisan abad ke-9 tanpa rujukan kuat, Prabu Sarkil memiliki jejak historis yang dapat diverifikasi.
Najran/Negran disebutkan dalam sumber Yunani-Romawi kuno.
Paramayoga sebagai naskah Jawa kuno merekam hubungan genealogi ini.
Fakta ini membuat garis keturunan Aji Saka melalui Prabu Sarkil lebih memiliki dasar historis daripada klaim yang dibuat oleh klan Ba’alwi.
Dari Nabi Ismail ke Aji Saka
Dengan demikian, alur yang dijelaskan oleh Paramayoga dapat diringkas sebagai berikut :
1. Nabi Ismail AS sebagai leluhur.
2. Dari keturunan beliau lahir Prabu Sarkil, pedagang Najran yang menjadi raja.
3. Dari Prabu Sarkil inilah silsilah berlanjut hingga melahirkan Aji Saka, yang kemudian datang ke Tanah Jawa membawa kebudayaan, tata bahasa, dan peradaban.
Kajian berbasis Paramayoga dengan dukungan data historis peta Ptolemaios menunjukkan bahwa suku Jawa memiliki akar genealogi yang bersambung dengan Nabi Ismail AS melalui Prabu Sarkil dan Aji Saka. Fakta penyebutan Najran/Negran sebagai wilayah nyata menegaskan bahwa kisah ini bersifat historis, bukan mitos.
Jawa dan Nusantara (Nasab Mulia, Peradaban Tua, dan Kebanggaan Bangsa)
Masyarakat Jawa seharusnya bersyukur dan bangga karena memiliki catatan sejarah yang kuat, baik dari sisi genealogis maupun peradaban. Dari sisi nasab, leluhur Jawa dapat dirunut hingga bersambung kepada Nabi Ismail AS, putera Nabi Ibrahim AS. Ini adalah nasab yang jelas, historis, dan terhormat bukan nasab fiktif atau rekaan yang tidak bisa diverifikasi secara ilmiah.
Fakta sejarah juga mendukung hal ini. Dalam naskah kuno Paramayoga disebutkan adanya wilayah Najran/Negran, yang tercatat pula dalam peta Ptolemaios (Ptolemy). Hal ini membuktikan bahwa tokoh Prabu Sarkil dalam tradisi Jawa adalah figur historis nyata, bukan tokoh khayalan. Jelas berbeda dengan klaim nasab Klan Ba’alwi yang merujuk pada sosok ‘Ubaidillah, padahal ia hanyalah nama tanpa catatan sezaman dan tanpa bukti historis yang kuat.
Lebih jauh lagi, dalam karya besar India kuno, Ramayana yang ditulis oleh Rishi Walmiki (sekitar abad 5 SM – 1 M), telah disebutkan tentang Jawadwipa (Jawa/Nusantara) sebagai tanah yang makmur dengan tujuh kerajaan besar. Ini membuktikan bahwa peradaban Jawa (yang dalam konteks kuno mewakili Nusantara) telah maju dan diakui dunia internasional sejak ribuan tahun lalu.
Maka, tidak ada alasan sedikit pun bagi orang Jawa atau bangsa Indonesia untuk rendah diri, apalagi tunduk pada propaganda sekelompok orang dari luar yang mengaku-aku sebagai pewaris tunggal Nabi Muhammad SAW, lalu mengatakan bahwa Indonesia adalah milik Tarim. Justru sebaliknya, masyarakat Jawa memiliki nasab mulia yang bersambung ke Nabi Ismail AS dan sejarah peradaban yang sangat tua, kuat, dan terverifikasi.
Inilah yang seharusnya membangkitkan jiwa patriotik, semangat menjaga martabat bangsa, serta rasa syukur bahwa leluhur Nusantara memiliki warisan luhur yang tidak kalah, bahkan lebih kokoh secara ilmiah dan historis, dibanding klaim sepihak yang tidak berdasar.
Berikut uraian nasab Nabi Muhammad saw. hingga Nabi Isma’il as.,
(Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, [Dar al-Kutub al-‘Arab, 1990] juz 1, hal. 11-16), هَذا كِتَابُ سِيْرَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلي الله عليه وسلّم، هُوَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بن عَبْدِ الْمُطَّلِبِ — وَاسْمُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: شَيْبَةَ بن هَاشِمِ — وَاسْمُ هَاشِمِ: عُمَرُو بن عَبْدِ مَنَافِ — وَاسْمُ عَبْدِ مَنَافِ: المغِيْرَةُ بن قُصَيّ بن كِلَابِ بن مُرَّةَ بن كَعْبِ بن لُؤَيِّ بن غَالِبِ بْن فِهْرِ بن مالِكِ بن النَّضْرِ بن كِنَانَةَ بنِ خُزَيْمَةَ بن مُدْرِكَةَ — واسمُ مُدْرِكَةَ: عَامِرِ بن إِلْيَاس بن مُضَر بن نِزَار بن مَعَدِّ بن عَدْنَانَ بن أُدَّ — ويقالُ أُدَدَ بن مُقَوِّمِ بن نَاحُوْر بن تَيْرَح بن يَعْرُبَ بن يَشْجُبَ بن نَابَت بن إِسْمَاعِيْلَ بن إِبْرَاهِيْمَ — خليلُ الرَّحمنِ — …
“Ini adalah kitab Sirah Rasulullah ﷺ, dia adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib — nama asli Abdul Muttalib adalah Syaibah bin Hasyim — nama asli Hasyim adalah Umar bin Abdu Manaf — nama asli Abdu Manaf adalah Mughirah bin Qusayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ayy bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin al-Nadlr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah — nama asli Mudrikah adalah ‘Amr bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin ‘Adnan bin Udda — dilafalkan juga Udada bin Muqawwim bin Nahur bin Tayrah bin Ya’ruba bin Yasyjuba bin Nabat bin Ismail bin Ibrahim — khalil al-rahman …” Berdasarkan eksistensinya, bangsa Arab dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni Arab Baidah dan Arab Baqiyah (Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, [Kairo: Dar al-Ma’arif, 1960], Juz 1, hal.618-626). Orang-orang Arab Baidah adalah suku-suku Arab kuno yang pada dewasa ini telah punah. Suku-suku yang masuk golongan ini adalah Suku ‘Ad, Tsamud, Judays, ‘Imlaq, Umaym, dll. Sebaliknya, bangsa Arab Baqiyah adalah bangsa Arab yang masih eksis. Arab Baqiyah dibagi lagi menjadi Arab ‘Aribah dan Arab Musta’ribah. Arab ‘Aribah adalah bangsa Arab keturunan Ya’rib bin Yasyjub bin Qahthan. Oleh karena nama nenek moyangnya ini, Arab ‘Aribah disebut juga sebagai bangsa Arab Qahthaniyah. Kabilah-kabilah Arab ‘Aribah banyak tinggal di Yaman, Semenangjung Arab bagian Selatan. Melalui Kabilah Jurhum yang masuk dalam golongan ini, Bangsa Arab ‘Aribah nantinya mengalami kawin campur. Dua wanita dari kabilah ini dinikahi Nabi Isma’il yang bukan orang Arab. Nabi Isma’il dan anak turunnya mengalami ‘naturalisasi’ dan kemudian disebut sebagai Bangsa Arab Musta’ribah. Yang menarik dari penyebutan ini adalah kata ‘musta’ribah’ yang merupakan ism fa’il (kata benda yang menunjukkan pelaku pekerjaan) dari fi’il madli (kata kerja yang dilaksanakan di masa lampau) ‘ista’raba.’ ‘Ista’raba’ sendiri memiliki wazn ‘istaf’ala’. Dalam kaidah Ilmu Sharaf (Ilmu Morfologi dalam bahasa Arab), ‘Istaf’ala’ dan derivasinya menyimpan makna tahawwul, menjadikan suatu hal menjadi hal lain. Fi’il Madli dari ‘musta’ribah,’ ista’raba berarti ‘menjadikan sesesuatu/seseorang yang bukan Arab menjadi Arab.’ Maka, secara etimologi bangsa Arab Musta’ribah adalah bangsa non-Arab yang menjadikan diri sebagai bangsa Arab. Dengan kata lain, bangsa keturunan Nabi Isma’il ini adalah bangsa yang telah melakukan proses naturalisasi menjadi bangsa Arab. Uraian di atas memberi kesimpulan bahwa Nabi Isma’il adalah seorang ‘ajam (non-Arab) yang datang ke Tanah Arab. Ia berasimilasi dengan Suku Jurhum yang merupakan salah satu suku Arab dang kemudian dinaturalisasi menjadi bagian dari bangsa Arab. Darinya, lahir keturunan yang nantinya disebut bangsa Arab Musta’ribah. Secara etimologis, subbangsa Arab ini berarti bangsa non-Arab yang mengarabkan diri.
Imajiner Nuswantoro