Kitab Jitabsara / Kitab Jitabsoro
Kitab Jitabsoro, Kitab Miladuniren
Kitab Jitabsoro, atau Jitabsara, adalah kitab yang berisi skenario atau panduan jalannya Perang Baratayuda yang bersumber dari kebijaksanaan Batara Guru dan Batara Narada, ditulis oleh Batara Panyarikan. Kitab ini berfungsi sebagai "Think Tank" yang diharapkan dapat menentukan arah sikap dan strategi secara bijaksana berdasarkan ilmu keprofesian.
Keterangan :
- Kitab ini dibangun atas dasar kebijaksanaan dari dua tokoh penting, yaitu Batara Guru dan Batara Narada, dan disusun oleh Batara Panyarikan.
- Kaitan dengan Mahabharata.
Meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan, latar belakang nama "Jitabsara" dan "Baratayuda" sangat mungkin merujuk pada kisah epik Mahabharata, yang juga menceritakan perang antara Pandawa dan Korawa (Kurawa) yang dikenal sebagai Perang Bharatayuddha. Kitab Jitabsara ini dapat dianggap sebagai interpretasi atau pengembangan dari kisah tersebut untuk keperluan praktis.
Kitab Miladuniren kemungkinan adalah salah satu kitab sejarah atau silsilah dalam tradisi Nusantara, yang disebutkan dalam kutipan berita tentang sejarah orang Jawa yang keturunan Nabi Ismail. Kitab ini merujuk pada sejarah Prabu Sarkil, yang diceritakan sebagai keturunan Nabi Ismail, dan juga membahas silsilah Aji Soko.
Sejarah
- Kitab Miladuniren disebutkan dalam konteks sejarah dan silsilah di Nusantara, merujuk pada tokoh-tokoh seperti Prabu Sarkil dan Aji Soko.
- Silsilah
Kitab ini menguraikan silsilah tokoh-tokoh penting, dengan menyebutkan bahwa Prabu Sarkil adalah keturunan Nabi Ismail.
- Hubungan dengan Kitab Lain.
Kitab Miladuniren disebut bersama dengan Kitab Jitabsoro, menunjukkan kemungkinan adanya kaitan atau koleksi kitab-kitab sejarah serupa di masa lalu
Dalam pewayanganJawa dikenal adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam versi Mahabharata. Kitab tersebut bernama Jitabsara berisi tentang urutan siapa saja yang akan menjadi korban dalam perang Baratayuda. kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, atas perintah Batara Guru, raja kahyangan.
Kresna raja Kerajaan Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa berhasil mencuri kitab tersebut dengan menyamar sebagai seekor lebah putih. Namun, sebagai seorang ksatria, ia tidak mengambilnya begitu saja. Batara Guru merelakan kitab Jitabsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta menukarnya dengan Kembang wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, namun ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Baratayuda sesuai isi Jitabsara yang telah ditakdirkan dewata.
Kisah Jitabsara
Dalam hitungan hari ke depan, perang saudara trah Abiyasa antara Kurawa dan Pandawa akan terlaksana. Baratayuda. Perang agung. Perebutan kekuasan Astinapura adalah sampulnya. Sejatinya ini perang antara kebatilan dan kebaikan. Perang suci. Bukan ampyak-awur tanpa aturan. Siapa yang berutang akan membayar. Siapa yang meminjam akan mengembalikan.
Dewa-dewa di Kahyangan Jonggring Saloka berembug. Batara Guru memerintahkan kepada Batara Penyarikan menyusun Kitab Jitabsara. Inilah skenario perang Baratayuda. Dari awalan sampai pungkasan. Siapa lawan siapa. Siapa gugur, siapa hidup. Semua termaktub. Batara Guru dewanya para dewa membaca ulang naskah itu sebelum kemudian disahkan. Semuanya sudah oke. Hanya ada satu catatan darinya, “Baladewa dari Kurawa harus berhadapan dengan Antareja dari Pandawa.”
“Sendika, Pikulun,” kata Batara Penyarikan mengiyakan revisi.
Sesaat sebelum sang juru tulis menambahkan satu aduan tambahan, wadah tintanya tumpah ke kertas Kitab Jitabsara. Sidang dewata geger. Bagaimana mungkin seekor lanceng (sejenis lebah) putih bisa menyelinap dan menginterupsi pleno paripurna ini. Ternyata lanceng bukan sembarang lanceng. Adalah sukma Sri Kresna yang menjelma dan menumpahkan dawat dengan sengaja.
Kresna yang Raja Dwarawati ini adalah titisan Batara Wisnu, sang dewa keadilan. Ia menitis ke bumi dan melakoni titah sebagai penyeimbang semesta. Ia jugalah yang memprakarsai perang besar yang sebentar lagi terlaksana. Pujangganing Baratayuda, kata Semar.
Sontak tindak lancang Kresna memantik amarah Batara Guru. Tapi bukan Kresna kalau tidak punya alasan di balik semua tindak-tanduknya. Ia memohon kepada penguasa Kahyangan Jonggring Saloka agar bisa pulang ke bumi dengan membawa Kitab Jitabsara. Dengan begitu, ia yang menjadi penasihat Pandawa bisa memberi arahan kepada Werkudara cs di palagan Tegal Kurusetra.
Hilang kesal Batara Guru lantaran teringat bahwa yang berada di hadapannya adalah titisan Wisnu. Disanggupi permintaan membawa Kitab Jitabsara turun ke bumi. Tetapi ada syaratnya. Ada harga yang harus dibayar kontan. “Bagaimana, Kresna? Apakah kito menyanggupi?” tanya Batara Guru.
Sudah bulat tekad Kresna untuk melakukan apa saja demi menghadirkan keseimbangan di bumi. Sudah yakin Kresna untuk mengorbankan apa saja demi kemenangan kebaikan di Baratayuda. “Inggih, Pikulun,” jawab Kresna mantap.
Berapa harga yang harus dibayar Kresna ? Ada dua.
Pertama, adalah Kembang Wijayakusuma. Mustika milik Kresna ini dapat menghidupkan kembali orang yang mati. Dalam pandangan dewa, agar Baratayuda berlangsung adil, tidak boleh ada yang dihidupkan kembali setelah tiba ajalnya.
Kresna menyerahkan mustika itu tanpa harus bertanya untuk apa.
Lalu kedua adalah tumbal. “Apa harus seperti itu, Pikulun? Apa tidak ada cara lain lagi?” kali ini tentu Kresna tidak berdiam diri karena ini menyangkut nyawa orang lain.
Batara Guru bergeming. Senopati-senopati Pandawa adalah pendekar-pendekar pilih tanding. Ada Wisanggeni anak Arjuna, yang sejak bayi saja pernah bikin geger kayangan. Lalu ada Antasena putra Werkudara yang pernah jadi jago dewa. Terakhir juga putra Werkudara, ada Antareja yang sakti mandraguna dan bisa membunuh siapa saja hanya dengan menjilat jejak tapak kaki lawannya. Hal itu, dalam pandangan dewa, akan meniadakan keseimbangan dan unduh pakarti yang merupakan tujuan asal dari Baratayuda.
Sebak dada Kresna. Ketiga nama yang disebut adalah keponakannya sendiri. Kecil-kecil ditimang dan diasuh dan disayang. Sudah dewasa justru tidak berkesempatan membalas bakti dengan berdiri sebagai senopati. “Bagaimana, Kresna?” tantang Batara Guru.
Apa boleh buat. Untuk setiap hal besar harus ada harga yang dibayar. Hidup ini tidak lebih dari laku transaksional kepada kehidupan. Engkau mendapat sesuatu, engkau mengorbankan sesuatu. Kresna memantapkan hati dan menyanggupi persyaratan yang diajukan Batara Guru. Sekalipun hatinya hancur lebur. Sekalipun dadanya remuk redam. Kresna turun ke bumi dengan rasa paling rusuh.
Arjuna dan Werkurdara, sebagai orang tua, tentu tidak terima dengan titah dewa. Siapa bapak yang bisa rela melihat anak-anaknya menjadi tumbal kemenangannya.
Maka Kresna pun menoreh laku yang sama: Ia mengabaikan amuk dan sedih sepupunya. Satu per satu di lain-lain tempat ditemui keponakannya. Wisanggeni, Antasena, dan Antareja sama sekali tidak berkeberatan dengan kabar yang disampaikan Kresna. Bagi mereka, seorang anak mestilah mikul dhuwur mendhem jero kepada orang tuanya. Bakti tidak harus di depan mata. “Selama itu memang menjadi syarat dari dewa yang membawa kemenangan pada Pandawa, nyawa pun saya suguhkan. Ayo bunuh saya, Uwak Kresna. Kuatkan hatimu,” kata Antareja.
Wisanggeni moksa. Antasena moksa. Antareja menjilat bekas telapak kakinya sendiri karena Kresna tak sanggup jika harus membunuh keponakannya. Ketiga putra Pandawa ini gugur sebagai tabuk-tawur perang agung yang mesti dilakoni orang tuanya.
Imajiner Nuswantoro