Sabdo Palon Penasih Raja Brawijaya V
Prabu Brawijaya V / Prabhu Brawijaya V Raja Majapahit (1390 - 1451)
Prabu Brawijaya V, Brawijaya V / Kungtabumi / Bhre Kertabhumi / Raden Alit.
Brawijaya V, tanggal lahir sekitar 1390, meninggal sekitar 1451 (52-70).
Di Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V dipercaya moksa. Prabu Brawijaya V yang diidentikkan dengan Bhre Kertabhumi tersebut adalah Raden Alit. Dalam cerita rakyat setempat, Gunung Lawu dipercaya sebagai tempat persembunyian Brawijaya V dari kejaran pasukan Demak sebelum akhirnya moksa.
Mengutip dari buku berjudul Sejarah raja-raja Majapahit, oleh Sri Wintala Achmad, (245:2019), nama asli Brawijaya V yang diidentikkan dengan Bhre Kertabhumi tersebut adalah Raden Alit.
Pendapat lain menyebutkan, Brawijaya V ini dimungkinkan lebih identik dengan Dyah Ranawijaya. Dyah Ranawijaya adalah seorang tokoh yang mengklaim dirinya sebagai penguasa beberapa kerajaan di Jawa.
Di antaranya, Majapahit, Janggala dan Kediri.
Tepatnya, setelah dia mampu menaklukkan Bhre Kertabumi pada tahun 1486.
Selama berdirinya Kerajaan Majapahit sekitar 100 tahun, diketahui Brawijaya pernah menjadi penguasa pada tahun 1468 hingga 1478 Masehi, atau tepatnya sebelum Majapahit Runtuh.
Banyak cerita rakyat dan kisah-kisah tentang Brawijaya V yang bermunculan di berbagai daerah, termasuk di wilayah pesisir selatan Jogjakarta yang dipercaya sebagai tempat muksa Brawijaya V. Selain itu, Brawijaya V juga dipercaya muksa di Gunung Lawu. Di antara selimut misteri tentang Brawijaya V, juga muncul tokoh misterius di masa kekuasaan Brawijaya V, yakni Sabdo Palon Noyogenggong. Tak banyak orang mengenal sosok Sabdo Palon.
Bahkan, sosoknya juga disebut sebagai tokoh mitologis. Dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Kelam Majapahit: Jejak-jejak Konflik Kekuasaan dan Tumbal Asmara di Majapahit", Peri Mardiyono menyebutkan, sosok Sabdo Palon selalu dihubungkan dengan kekelaman dan keruntuhan Majapahit, karena kisahnya ada di masa Brawijaya V.
Sabdo Palon muncul dalam Serat Darmagandhul. Dalam serat berbahasa Jawa ngoko itu, disebutkan bahwa Sabdo Palon tidak bisa menerima ketika Brawijaya digulingkan pada tahun 1478 oleh tentara Demak. Bahkan dia bersumpah akan kembali setelah 500 tahun, untuk mengembalikan kebudayaan Jawa. Selain dalam Serat Darmagandhul, disebutkan oleh Peri Mardiyono, kisah Sabdo Palon juga muncul dalam Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. "Tokoh Sabdo Palon sangat dihormati di kalangan umat Hindu dan Budha di Jawa, serta kalangan aliran Kejawen," ungkap Peri Mardiyono dalam bukunya.
Petuah dan ajaran Sabdo Palon, juga dijadikan kitab yang mengajarkan tentang asal mula Kabupaten Pati. Sosok Sabdo Palon, juga sering dikaitkan dengan Noyogengging, yang dipercaya sebagai penasehat Brawijaya V. Dikisahkan, Sabdo Palon, dan Noyogenggong, selalu mengiringi raja-raja Jawa di masa Hindu-Budha. Bahkan, keberadaannya juga dipercaya sudah ada sejak masa Majapahit dipimpin Ratu Trubhuwanatunggadewi. Dan keberedaraan tetap setia hingga Majapahit dipimpin Brawijaya V. Ada pula yang menyebutkan, Sabdo Palon dan Noyogenggong, sebagai Sapu Angin dan Sapu Jagad. Peri Mardiyono menyebutkan, dalam sejumlah kisah disebutkan, Sabdo Palon dan Noyogenggong bukanlah nama asli dari penasehat raja Majapahit tersebut, namun merupakan gelar dari tugas yang diembannya.
Sabdo memiliki arti seseorang yang mampu memberikan nasihat dan ajaran. Sedangkan Palon, memiliki arti kebenaran yang bergema di alam semesta. Sehingga ketika digabungkan, Sabdo Palon memiliki makna seorang abdi yang berani menyuarakan kebenaran dan berani menanggung konsekuensi logisnya. Sementara itu Noyogenggong, disebut Peri Mardiyono juga berasal dari dua kata, yakni Noyo yang bermakna abdi dan Genggong yang memiliki arti mengulang-ulang suara. Nayagenggong, bisa diartikan sebagai abdi yang mengingatkan raja tentang kebenaran, dan berani menanggung akibatnya.
Sabdo Palon ternyata juga banyak dikisahkan dalam Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon, yang diyakini sebagai karya Ronggowarsito. Pada penghujung Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon, yang kemudian dikenal sebagai Sabdo Palon Nagih Janji, Sabdo Palon memberitahukan tanda-tanda dia akan kembali. Dalam syair tersebut, Sabdo Palon menyebutkan, tanda-tanda alam dan sosial kemasyarakatan akan muncul disaat dia akan kembali.
Serat tersebut, juga meramalkan terjadinya huru-hara, yang berbunyi :
"Miturut carita kuna, wecane janma linuwih, kang wus kocap aneng jangka, manungsa sirna sepalih, dene ta kang bisa urip yekti ana saratipun, karya nulak kang bebaya, kalisse bebaya yekti, ngulatana kang wineca para kuna,"
Jika diterjemahkan, syair tersebut bisa dimaknai :
Menurut cerita kuno dari para leluhur yang memiliki kelebihan dalam spiritual, semua cerita yang disampaikan para leluhur telah tertulis dalam kitab Jangka. Kelak umat manusia di bumi akan tinggal separuh. Mereka bisa bertahan hidup dengan berusaha menjauhkan diri dari marabahaya, dengan cara membaca, meresapi, dan menjalankan ajaran-ajaran para leluhur,".
Sebagai abdi dari Prabu Brawijaya V, ternyata Sabdo Palon akhirnya berpisah dengan junjungannya tersebut. Bahkan, sebelum berpisah, Sabdo Palon sempat mengucapkan jani, yakni "Saya akan datang 500 tahun lagi guna menagih janji". Kisah tentang Sabdo Palon ini, muncul di masa akhir Majapahit, yakni sekitar tahun 1453-1478. Sabdo Palon muncul di dua sumber utama, yakni Serat Darmagandhul, dan ramalan Joyoboyo yang diduga ditulis pada tahun 1135-1157.
Peri Mardiyono menuliskan, kedua sumber tentang Sabdo Palon tersebut, sebenarnya menggambarkan konflik sosial dan konflik keagamaan menjelang runtuhnya Majapahit yang memilukan. Kisah runtuhnya Majapahit itu sangat memilukan, hingga Sabdo Palon mengucapkan janji akan kembali 500 tahun kemudian. Sebagian orang juga mempercaya Sabdo Palon sebagai Sang Hyang Semar, yang dipercaya akan mengembalikan kejayaan Jawa. Dalam serat Dharmagandhul, juga menceritakan tentang pertemuan Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya, dan Sabdo Palon di wilayah Blambangan. Dikisahkan dalam cerita tersebut, Sunan Kalijaga menemukan Prabu Brawijaya tengah lari ke Blambangan, untuk meminta bantuan ke Bali dan China.
Namun upaya itu dapat dicegah berkat kelihaian Sunan Kalijaga. Dalam pertemuan itulah, akhirnya Sabdo Palon menyatakan berpisah dari Prabu Brawijaya. Dan Sabdo Palon juga mengungkapkan dirinya merupakan Manik Maya atau Semar. Bagi orang Jawa yang memegang mistisme Jawa, meyakini Semar merupakan manusia setengah Dewa. Semar dipercaya sebagai utusan Gusti Kang Murbeng Dumadi, untuk melaksanakan tugas menjaga manusia, agar manusia selalu bersujud dan berbakti kepada Tuhan, serta senantiasa menempuh jalan kebaikan. Semar juga dipercaya senantiasa mengajarkan cara berbudi pekerti luhur kepada manusia.
Sabda Palon dan Naya Genggong : Simbol Perlawanan dan Harapan dalam Mitologi Jawa
Sabda Palon sering kali disandingkan dengan figur lain yang bernama Nayagenggong, keduanya dianggap sebagai penasehat bagi Brawijaya V. Namun, perdebatan tentang apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama atau berbeda masih belum terpecahkan dengan jelas. Sebagian berpendapat bahwa keduanya mungkin merupakan representasi dari dua aspek yang berbeda dari satu tokoh yang kompleks. Saat ini, ajaran atau petuah yang diatribusikan kepada Sabdapalon telah dijadikan sebuah kitab yang menggambarkan sejarah asal-usul Kabupaten Pati dalam bentuk sastra babad. Kitab ini berisi tentang nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari warisan leluhur tanah Jawa. Kitab yang memuat ajaran Sabdapalon ini menceritakan tentang asal-usul Kabupaten Pati dengan rinci dan mendalam, memberikan gambaran yang jelas tentang nilai-nilai yang diyakini berasal dari tradisi nenek moyang Jawa.
Dalam bentuk sastra babad, cerita-cerita tersebut disampaikan secara dramatis, memperlihatkan kearifan lokal dan kearifan budaya yang menjadi bagian integral dari identitas masyarakat setempat. Melalui kitab ini, ajaran Sabdapalon menjadi lebih tersampaikan dan tersusun secara terstruktur. Hal ini memungkinkan pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa, serta sejarah dan identitas Kabupaten Pati. Kitab tersebut menjadi sarana untuk memelihara dan mewarisi tradisi serta kearifan lokal kepada generasi selanjutnya, menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya Jawa.
Sabdapalon : Penjaga Tradisi dan Penentang Perubahan
Nama Sabdapalon disebutkan dalam Serat Darmagandhul yang ditulis oleh Ki Kalamwadi pada hari Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830 Jawa (atau dalam kalender Jawa disebut sebagai sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata, yang sama dengan tanggal 16 Desember 1900 Masehi).
Serat Darmagandhul merupakan sebuah tembang macapat dalam kesusastraan Jawa Baru yang ditulis dalam bahasa Jawa ngoko. Dalam Serat Darmagandhul, disebutkan bahwa Sabda Palon tidak dapat menerima ketika Brawijaya digulingkan pada tahun 1478 oleh tentara Demak dengan bantuan dari Walisongo (meskipun dalam sumber-sumber sejarah secara umum menyatakan bahwa Brawijaya digulingkan oleh Girindrawardhana). Sabda Palon kemudian bersumpah akan kembali setelah 500 tahun, saat korupsi merajalela dan bencana melanda, untuk menghilangkan Islam dari Jawa dan mengembalikan kejayaan agama dan kebudayaan Jawa.
Dalam Serat Darmagandhul, agama orang Jawa disebut sebagai Agama Budhi, di mana ajaran Buddha berdampingan dengan ajaran Hindu. Cerita tentang Sabdapalon juga ditemukan dalam Serat Damarwulan dan Serat Blambangan. Tokoh ini diceritakan sebagai penganut kepercayaan Budi, yaitu agama Jawa yang diwariskan secara turun-temurun. Sabda Palon meramalkan kehancuran Islam di Tanah Jawa, dengan ramalannya yang mengatakan bahwa takdir akan membawa kembali Agama Budi setelah lima ratus tahun, ketika zaman Islam sudah mencapai puncaknya.
Dalam ramalannya, Sabdapalon menyatakan :
"Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji."
Artinya :
Yang artinya, "Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung zaman Islam, musnah kembali kepadaku, agama Budi berdiri menjadi satu."
Ini mencerminkan keyakinan akan masa depan di mana ajaran dan kepercayaan Jawa akan bangkit kembali setelah periode tertentu, menggantikan dominasi Islam di Jawa. Peristiwa letusan Gunung Semeru pada tahun 1978 menjadi titik penting yang menggugah ingatan kolektif masyarakat Jawa terhadap ramalan Sabdapalon. Letusan ini, yang terjadi dalam konteks sosial dan budaya yang kaya, menambah dimensi pada legenda Sabda Palon yang telah ada sebelumnya. Sabda Palon, yang dihormati dalam tradisi Hindu Jawa dan oleh para penganut kejawen, menjadi simbol dari kekuatan spiritual dan kearifan lokal yang bertahan dalam menghadapi perubahan zaman.
Dalam konteks kepercayaan dan mitologi Jawa, Sabdapalon tidak hanya dipandang sebagai penasihat kerajaan, tetapi juga sebagai perwujudan dari perlawanan terhadap perubahan agama dan sosial. Penghargaan yang diberikan kepadanya mencerminkan penghormatan terhadap nilai-nilai tradisional serta keinginan untuk mempertahankan identitas budaya di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Legenda tentang Sabda Palon dan Nayagenggong, bersama dengan peristiwa bersejarah seperti letusan Gunung Semeru, memberikan wawasan tentang bagaimana masyarakat Jawa memahami dan menafsirkan sejarah mereka sendiri. Mereka menggunakan cerita-cerita ini untuk memberikan konteks dan makna pada peristiwa alam dan sosial yang mereka alami, serta untuk menggali kearifan lokal dalam menghadapi tantangan zaman.
Naya Genggong : Pengingat Kebenaran yang Berani
Sabdo Palon sering diidentifikasi dengan karakter Semar dalam lakon Mahabharata versi Jawa. Dalam dunia pewayangan, dia sering muncul bersama anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Menurut penelitian antropolog Paul Stange pada tahun 1988, Sabdo Palon dianggap sebagai inkarnasi dari Semar, yang dianggap sebagai mahaguru di Tanah Jawa. Mereka dianggap sebagai titisan dewa dari kayangan yang turun ke bumi dan menjadi panakawan, yakni kawan yang penuh pemahaman. Peran mereka adalah menjadi penasehat bagi raja dan pelindung bagi rakyat. Meskipun Sabdo Palon dan Naya Genggong bukanlah nama asli, namun mereka merupakan gelar yang diberikan sesuai dengan peran yang mereka emban.
Dalam Serat Darmo Gandul, Sabda Palon diartikan sebagai kata-kata yang berasal dari namanya. Sabdo Palon memiliki dua makna, "sabdo" yang berarti seseorang yang memberikan masukan atau ajaran, dan "palon" yang bermakna pengunci kebenaran yang bergema dalam ruang semesta. Sementara itu, Naya Genggong memiliki arti "naya" yang berarti nayaka atau abdi raja, dan "genggong" yang berarti mengulang-ulang suara. Naya Genggong dianggap sebagai seorang abdi yang berani mengingatkan raja secara berulang-ulang tentang kebenaran dan bersedia menanggung akibatnya.
Legenda dan Realitas : Pengaruh Sabdapalon dan Naya Genggong
Menurut ajaran dari seorang guru ahli spiritual, keberadaan Sabdo Palon sebenarnya merupakan manifestasi dari sosok Raja Jin Gunung Tidar, yang diyakini berada di Jawa Tengah. Kesaktiannya dikatakan mampu menciptakan ketakutan di sekitar Pulau Jawa, sehingga Raja Turki Mehmed I mengirimkan Syekh Subakir untuk melakukan ritual penyembuhan (ruqyah) di Pulau Jawa. Dalam cerita yang diceritakan, Raja Turki Mehmed I mengutus Syekh Subakir dari Persia dan pamannya, Maulana Malik Ibrahim, untuk menyebarkan agama Islam di Nusantara. Singkat cerita, Syekh Subakir, seorang ulama dari Persia, melakukan perjanjian dengan Sabdo Palon, yang akhirnya memberikan izin untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Dalam kisah ini, peran Sabdo Palon menjadi bagian dari narasi tentang masuknya Islam ke Nusantara, di mana pertemuan antara ulama Persia dengan sosok mistis seperti Sabdo Palon menjadi titik penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di wilayah tersebut.
Legenda mengenai Sabda Palon yang menolak Islamisasi Jawa dan perjanjiannya dengan Syekh Subakir menggambarkan kompleksitas interaksi antara budaya dan agama di Jawa. Sementara itu, keberadaan Naya Genggong, yang mungkin merupakan representasi alternatif dari Sabdapalon atau tokoh yang berbeda, mencerminkan keragaman interpretasi terhadap sejarah dan mitologi. Cerita tentang Sabdapalon menegaskan resistensi terhadap perubahan agama di Jawa, dengan perjanjiannya untuk tetap mempertahankan keberadaan agama Hindu-Buddha. Ini menunjukkan bagaimana keberagaman agama dan budaya Jawa telah memberikan lanskap yang kompleks dalam sejarahnya.
Di sisi lain, figur Naya Genggong memberikan gambaran tentang beragam interpretasi terhadap tokoh-tokoh sejarah dan mitologi dalam budaya Jawa. Apakah Naya Genggong merupakan representasi lain dari Sabdapalon atau sosok yang berbeda, ini menunjukkan adanya variasi dalam narasi dan pemahaman tentang sejarah dan mitos di kalangan masyarakat Jawa. Keduanya, baik Sabdapalon maupun Naya Genggong, memberikan wawasan tentang bagaimana budaya Jawa memandang dan menafsirkan kompleksitas identitas dan perubahan budaya serta agama. Legenda-legenda ini menjadi cerminan dari dinamika yang ada di dalam masyarakat Jawa, yang kaya akan warisan sejarah, mitos, dan nilai-nilai budaya yang terus berkembang seiring waktu.
Isi Perjanjian Syekh Subakir dan Sabdo Palon serta Sejarahnya
Isi perjanjian Syekh Subakir dan Sabdo Palon meliputi sejumlah syarat. Kaitannya tentang penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Tak ayal, penyebaran agama Islam dapat diterima dengan mudah dan membikin Islam jadi agama mayoritas di Indonesia. Syekh Subakir merupakan seorang ahli ruqyah asal Persia. Karena keahliannya, ia diutus pergi ke Jawa oleh Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki Usmani. Peristiwa ini terjadi sekira tahun 1404 M.
Bukan kebetulan Syekh Subakir dipilih Muhammad I. Jauh sebelum kedatangan Syekh Subakir, sejumlah pendakwah sudah tiba ke Jawa. Namun, dakwah Islam awalnya berujung kegagalan lantaran pengaruh magis di Jawa. Konon, dikisahkan kegagalan itu terjadi karena adanya gangguan jin alias makhluk halus di pulau yang masih berbentuk hutan belantara. Syekh Subakir kemudian membabat keangkeran setibanya di tanah Jawa. Hingga muncul sebuah perjanjian yang melibatkan Subakir dan Sabdo Palon. Nama terakhir disebut-sebut sebagai danyang ghaib atau makhluk halus penjaga tanah Jawa.
Kemudian, masih dalam pembahasan mimpinya, Muhammad I memerintahkan penyebaran Islam ke Jawa.
Dengan syarat yaitu para pendakwah harus berjumlah 9 orang. Jika ada yang pulang atau wafat, berikutnya akan digantikan ulama lain, asalkan jumlahnya tetap 9 orang. Berbagai pendakwah yang diutus tentunya memiliki keahlian masing-masing. Mulai ahli tata negara, perobatan, tumbal, dan sebagainya. Semula, dakwah Islam di tanah Jawa menemui kendala. Alasannya adalah gangguan jin dan lelembut yang menguasai Pulau Jawa.
Sejarah berlanjut dengan diutusnya Syekh Subakir asal Persia. Ia dikenal ahli ruqyah. Selain itu, Subakir menyimpan kemampuan berinteraksi dengan dunia ghaib hingga sukses membabat tanah angker. Menurut Arif Budiman dalam “ Nubuat” Bencana Dalam Serat Sabdo Palon : Kajian Hermeneutika Filologis Terhadap Bait-Bait Tembang Pupuh Sinom Dalam Serat Sabdo Palon", Syekh Subakir termasuk salah satu generasi awal Wali Songo. Ia dikabaran datang bersama Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Sesampainya di tanah Jawa, Syekh Subakir langsung mendatangi Gunung Tidar, Magelang. Lembah itu dikenal sebagai paku tanah Jawa. Lokasinya berada di tengah-tengah Pulau Jawa dan diyakini sebagai titik pusat Jawa.
Sejarah Perjanjian Syekh Subakir dan Sabdo Palon
Syekh Subakir lantas memasang tumbal berupa batu hitam yang sudah dirajah di puncak Gunung Tidar. Batu ini dikenal sebagai Aji Kalacakra. Konon, kekuatannya mampu menetralisir daya magis negatif bangsa jin. Batu yang sama kemudian mengeluarkan hawa panas hingga membuat para lelembut terpaksa menyingkir ke Laut Selatan Pulau Jawa. Kejadian ini sontak mengusik Sabdo Palon, Sang Danyang Tanah Jawa. Ia juga dikenal sebagai Ki Semar Badranaya, seorang abdi dalem Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan keterangan R. Erlangga melalui "Budaya Islam Jawa Sebagai Perekat Integasi Sosial : Studi Budaya Bancakan Dan Dekahan Masyarakat Desa Karungan Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen", Syekh Subakir dan Sabdo Palon lantas terlibat perang dan saling beradu kekuatan selama 40 hari 40 malam. Perang berakhir dengan perjanjian antara Syekh Subakir dan Sabdo Palon. Sabdo Palon merasa khawatir syiar Islam nantinya akan mengubah nilai-nilai Jawa. Selain itu, agama Hindu dan Buddha sudah lebih dulu eksis di tanah Jawa pada masa itu.
Maka, muncul 4 syarat yang harus dipatuhi Syekh Subakir dan pengikutnya.
Isi perjanjian Syekh Subakir dan Sabdo Palon di antaranya sebagai berikut :
1. Tidak boleh ada pemaksaan agama atau kepercayaan.
2. Dilakukan akulturasi budaya. Saat hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ibadah, maka bangunan itu nampak seperti gaya Hindu Jawa meskipun penggunaan isinya masih terkait Islam.
3. Kerajaan Islam diperbolehkan berdiri di tanah Jawa. Tapi, raja pertama harus anak campuran. Maksudnya, orang tua sang raja memiliki campuran agama. Jika bapak Hindu, maka ibu Islam. Sebaliknya, apabila bapak Islam, maka ibu Hindu.
4. Tidak boleh mengubah orang Jawa menjadi seperti Arab. Orang Jawa tidak boleh kehilangan nilai Jawa. Jika kepribadian itu hilang, maka Sabdo Palon akan datang lagi dan membuat goro-goro alias keributan.
Sabdo Palon menetapkan syarat dalam jangka waktu 500 tahun. Melihat situasi ini, Syekh Subakir mengiyakan seluruh isi perjanjian. Namun, syarat terakhir sudah bukan kuasa Syekh Subakir sendiri dan berkaitan dengan dinamika perubahan zaman. Makam Syekh Subakir kini terletak di Kebun Raya Gunung Tidar, Kota Magelang. Islam lalu berkembang pesat di Jawa atau di Indonesia pada umumnya. Sampai sekarang, Indonesia menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar ke-2 setelah Pakistan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebutkan, jumlah penduduk Islam Indonesia mencapai 207 juta jiwa atau mencakup 87,2 persen dari total keseluruhan. Kerajaan Islam juga masih eksis hingga saat ini dan beberapa diakui pemerintah Indonesia untuk memiliki kuasa atas wilayahnya. Semisal Kesultanan Yogyakarta dan Praja Pakualaman yang dinaungi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemimpin kedua kerajaan/praja itu juga mempunyai hak politik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Perjanjian Sunan Kalijaga dengan Sabdopalon
PERJANJIAN SUNAN KALIJAGA BATAL
Lima ratus tahun perjanjian Sunan sunan Kalijaga dengan Sabdo Palon dan Noyogenggong pengawal Prabu Brawijaya telah berlalu, Sabdo Palon dan Noyogenggong sebagai perwakilan komonitas agama leluhur telah menyebarkan pasukan siluman.
Secara nyata ,aktifitas di sini juga meningkat,inilah laporan wartawan posmo dari Alas Purwo. Peta mitologi jawa memang tidak bisa lepas dari Alas Purwo,hutan seluas 43.000 Ha di kabupaten Banyuwangi, Jatim itu diyakini sebagai “pangkalan” bersamaan dengan dituliskan ini terjadi “Gempa” di Sumatra Barat 7,6 skala richter memang pas dengan janji leluhur (lindu ping pitu sak dino) artinya kami sebagai penulis didukung oleh leluhur yaitu Sabdo Palon dan Noyogenggong. Semua sumpah beliau tertuang dalam kitab “Darmogandul”.
Sabdo Palon dan Noyogenggong adalah pengawal / abdi setia Prabu Brawijaya yang membangun Kerajaan Siluman. Kekuatan siluman itulah yang lima ratus tahun lalu “bersumpah” akan membalas sakit hatinya pada masyarakat Jawa yang telah meninggalkan agama leluhurnya.
Kisah yang termuat dalam serat Darmogandul menyebutkan, kejatuhan Majapahit oleh trahnya sendiri telah menorehkan sejarah pahit dalam masyarakat jawa. Kerajaan ambruk, kepercayaan masyarakat tercabik-cabik. Rakyat tidak punya lagi panutan.
Karena sang raja Prabu Brawijaya VIII (dikabarkan telah memeluk agama Islam)atas bujuk rayu sunan Kalijaga (akal-akalan), padahal raja Brawijaya melarikan diri ke Jawa Tengah dan beliau Mukswa di Candi Ceto (dokumen dari trah Majapahit asli), sehingga rasa sakit hati itu diungkapkan Sabdo Palon dengan diiringi suara gelegar petir membelah langit.
Lima ratus tahun telah berlalu, kaum siluman yang semula diikat oleh perjanjian Sunan Kalijaga, kini bangkit dan memerintah Jawa, tak heran saat ini di daerah tanah Jawa terjadi bencana alam,kerusuhan di mana-mana,manusia Jawa sudah hilang sifat kemanusiaannya. Berlaku secara brutal seolah-olah tak mengenal belas kasihan, sesame saudara saling bunuh demi sesuap nasi / uang / harta / sekedar isi perut.
Sesama bangsa saling injak, sesame agama saling bantai karena batin mereka yang rapuh telah kemasukan dajal-dajal yang bercokol di bumi Nusantara ini selama ratusan tahun.
Imajiner Nuswantoro