Hindu-Buddha Mataram Kuno (Abad ke- 8 - 10 M)
Selayang Pandang
Peradaban India masuk ke Nusantara di sekitar awal tarikh Masehi melalui beberapa proses sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para sarjana. Di antara banyak pendapat, penjelasan dari N.J.Krom yang paling banyak diterima hingga sekarang. Pendapat Krom itu dinamakan Hipotesa Waisya, menjelaskan bahwa masuknya peradaban India ke kepulauan ini karena dibawa oleh kaum niagawan dan para saudagar (waisya). Para pedagang itulah yang tentunya paling berkepentingan berlayar membawa barang dagangannya untuk barter dengan penduduk pulau-pulau lain atau daerah lain di luar India. Ketika sampai di kepulauan Nusantara, penduduk setempat segera tertarik untuk belajar kepada para pedagang yang terlihat lebih rapi dalam berpakaian dan cara hidupnya. Maka banyak penduduk setempat yang belajar kepada para pendatang dari India tersebut, mereka terutama belajar agama Hindu-Buddha yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk asli Nusantara. Lambat laun kebudayaan India berangsur-angsur diterima di beberapa tempat di Indonesia, dan di tempat itulah berkembang kebudayaan yang bercorak Hindu-Buddha.
Teori-teori lainnya tidak banyak yang menerima, bahkan banyak pula yang meragukan kebenarannya, seperti teori Ksatrya dari C.C.Berg dan Mookerdji dan teori Brahmana dari J.C.van Leeur dan Nilakantha Shastri. Teori-teori tersebut mengandung banyak kelemahan yang kemudian dilengkapi oleh pendapat F.D.K.Bosch dengan teori “Arus Berbalik”nya. Menurut Bosch, setelah terjadi kontak dengan para pedagang India dan setelah menerima pengaruh peradaban India tersebut, banyak penduduk Nusantara yang kemudian pergi ke Tanah India (Jambhudwipa) untuk melihat dan belajar langsung kepada kaum agamawan di tempat asal kelahiran agama Hindu dan Buddha.
Dalam sejarah kebudayaan dikenal proses difusi dan akulturasi, jadi ketika orang-orang India pertama kali melakukan kunjungan ke Asia Tenggara dengan membawa barang niaganya dan budayanya, maka peristiwa itu berada dalam tahap difusi. Dapat diterangkan bahwa difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu lingkup kebudayaan tertentu kea rah lingkup-lingkup kebudayaan lainnya. Dalam difusi belum ada proses penerimaan dari kebudayaan setempat, bisa saja pengaruh kebudayaan yang baru datang itu diterima atau bahkan ditolak.
Tahapan selanjutnya dari difusi adalah proses akulturasi, jika didefinisikan secara ringkas berarti proses penerimaan pengaruh budaya asing yang datang kemudian diolah dan diubah lagi oleh masyarakat pendukung kebudayaan penerima sehingga hasilnya merupakn wujud baru yang dianggap sebagai milik sendiri. Proses akulturasi tersebut cukup kuat terjadi di kepulauan Nusantara masa silam. Segala pengaruh budaya asing dari India, Islam, Eropa Barat (Kolonial Belanda) harus mengalami pengolahan kembali oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kemampuan pengolahan kembali pengaruh budaya asing yang datang itu lalu dikenal oleh para ahli dengan sebutan local genius.
Dengan demikian semua pengaruh asing yang telah dikembangkan di Nusantara, akan mendapat pengolahan kembali dan citraan baru sesuai dengan selera penduduk Nusantara itu sendiri. Hal inilah yang harus disadari bahwa pengaruh asing itu ada, namun tidak akan sama dengan aslinya di tanah asalnya, karena telah mengalamai “pengindonesiaan”.
Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gununggunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur.
Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti) yang pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu beraliran Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra merupakan pengikut agama Budah, Wangsa Isana sendiri merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.
Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga merupakan pendiri Wangsa Sanjya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu baik agama Hindu dan Budha berkembang bersama di Kerajaan Mataram Kuno. Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, dan mereka yang menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.
Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak Raja Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut agama Hindu. Pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan memulai kembali Wangsa Sanjaya. Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan saudara Pramodawardhani. Balaputradewa kemudian mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya yang kemduian menjadi Raja disana.
Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang mengatakan bahwa pada saat itu terjadi becana alam yang membuat pusat Kerajaan Mataram Hancur. Mpu Sindok pun tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai raja dan memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana.
Pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram. Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang
Raja-Raja Kerajaan Mataram Kuno
Daftar raja-raja Medang menutur teori Slamet Muljana adalah sebagai berikut :
1. Sanjaya, (merupakan pendiri Kerajaan Medang)
2. Rakai Panangkaran, (awal berkuasanya Wangsa Syailendra)
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4. Rakai Warak alias Samaragrawira
5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, (awal kebangkitan Wangsa Sanjaya)
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14. Sri Lokapala (merupaka suami dari Sri Isanatunggawijaya)
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh, (berakhirnya Kerajaan Medang)
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja sesudahnya memakai gelar Sri Maharaja.
Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno
Dari hasil budaya dan peninggalanya kerajaan ini meningalkan berbagai prasasti dan hasil budaya yang sampai sekarang masih ada :
- Candi-Candi Dan Prasasti Peninggalan Mataram Kuno
- Mataram kuno terdiri dari dua Dinasti besar yang masih berhubungan, yaitu dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra. Banyak peninggalan-peninggalan yang bersejarah dari dua kerajaan tersebut. Beberapa candi yang terkenal bercorak Hindu dan Buddha. Bukan hanya candi saja bukti sejarah kerajaan mataram dinasti sanjaya dan dinasti sailendra tetapi juga bukti-bukti penemuan prasasti.
- Candi-Candi Bercorak Hindu,Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah Candi Gedong Songo, kompleks Candi Dieng, Candi Siwa, Candi Brahma, Candi Wisnu, Candi Sukuh, Candi Boko dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu.
- Candi-Candi Bercorak Buddha, Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan, Candi Sojiwan, Candi Pawon, Candi Sari.
Prasasti Peninggalan Mataram Kuno
Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dengan berangka tahun berbentuk Candrasengkala berbunyi Srutiindriyarasa atau tahun 654 Saka 732 M berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Isi pokok Prasasti Canggal adalah pendirian sebuah lingga di Bukit Stirangga buat keselamatan rakyatnya.
Prasasti Balitung yang berangka tahun 907 M disebutkan nama keluarga raja-raja keturunan Sanjaya memuat nama Panangkaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu Dinasti Sanjaya dan Sailendra sama-sama berperan di Jawa Tengah. Dinasti Sanjaya dibagian utara dengan mendirikan candi Hindu seperti Gedong Sanga di Ungaran, Candi Dieng di DataranTinggi Dieng. Adapun Dinasti Sailendra dibagian selatan dengan mendirikan candi Buddha, seperti Borobudur, Mendut, dan Kalasan.
Prasasti Kelurak (di daerah Prambanan) tahun 782 disebutkan tentang pembuatan Arca Manjusri sebagai perwujudan Buddha, Dharma, dan Sanggha yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Mungkin sekali bangunan sucinya ialah Candi Lumbung yang terletak di sebelah utara Prambanan. Raja yang memerintah pada waktu itu ialah Indra. Pengganti Indra yang terkenal ialah Smaratungga yang dalam pemerintahannya mendirikan Candi Borobudur tahun 824.
Prasasti Mantyasih atau Prasasti Kedu yang dibuat oleh Raja Balitung. Prasasti itu menyebutkan bahwa sanjaya adalah raja pertama (Wangsakarta) dengan ibu kota kerajaannya di Medangri Poh Pitu.
Kehidupan Politik Kerajaan Mataram Kuno
Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, Mataram Kuno menjalin kerjasama dengan kerajaan tetangga, misalnya Sriwijaya, Siam dan India. Selain itu, Mataram Kuno juga menggunakan sistem perkawinan politik. Misalnya pada masa pemerintahan Samaratungga yang berusaha menyatukan kembali Wangsa Sailendra dan Wangsa Sanjaya dengan cara anaknya yang bernama Pramodyawardhani (Wangsa Sailendra) dinikahkan dengan Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya). Wangsa Sanjaya merupakan penguasa awal di Kerajaan Mataram Kuno, sedangkan Wangsa Sailendra muncul setelahnya yaitu mulai akhir abad ke-8 M. Dengan adanya perkawinan politik ini, maka jalinan kerukunan beragama antara Hindu (Wangsa Sanjaya) dan Buddha (Wangsa Sailendra) semakin erat.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Mataram Kuno
Pusat kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah sungai Progo, meliputi daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah itu amat subur sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Hal ini mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain yang saling mengekspor dan mengimpor hasil pertaniannya. Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.
Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian ketika Raja Balitung berkuasa. Raja telah memerintahkan untuk membuat pusat-pusat perdagangan serta penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo diperintahkan untuk menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui aliran sungai tersebut. Sebagai imbalannya, penduduk desa di kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari pungutan pajak. Lancarya pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan menigkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.
Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Mataram Kuno
Kehidupan Sosial
Kerajaan Mataram Kuno meskipun dalam praktik keagamaannya terdiri atas agama Hindu dan agama Buddha, masyarakatnya tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Sikap itu dibuktikan ketika mereka bergotong royong dalam membangun Candi Borobudur. Masyarakat Hindu yang sebenarnya tidak ada kepentingan dalam membangun Candi Borobudur, tetapi karena sikap toleransi dan gotong royong yang telah mendarah daging turut juga dalam pembangunan tersebut.
Keteraturan kehidupan sosial di Kerajaan Mataram Kuno juga dibuktikan adanya kepatuhan hukum pada semua pihak. Peraturan hukum yang dibuat oleh penduduk desa ternyata juga dihormati dan dijalankan oleh para pegawai istana. Semua itu bisa berlangsung karena adanya hubungan erat antara rakyat dan kalangan istana.
Kehidupan Kebudayaan
Semangat kebudayaan masyarakat Mataram Kuno sangat tinggi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa prasasti dan candi. Prasasti peniggalan dari Kerajaan Mataram Kuno, seperti prasasti Canggal (tahun 732 M), prasasti Kelurak (tahun 782 M), dan prasasti Mantyasih (Kedu). Selain itu, juga dibangun candi Hindu, seperti candi Bima, candi Arjuna, candi Nakula, candi Prambanan, candi Sambisari, candi Ratu Baka, dan candi Sukuh. Selain candi Hindu, dibangun pula candi Buddha, misalnya candi Borobudur, candi Kalasan, candi Sewu, candi Sari, candi Pawon, dan candi Mendut. Mereka juga telah mengenal bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Selain itu, masyarakat kerajaan Mataram Kuno juga mampu membuat syair.
Kejayaan Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah di sebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).
Penyebab kejayaan kerajaan Mataram Kuno :
- Naik tahtanya Sanjaya yang sangat ahli dalam peperangan
- Pembangunan sebuah waduk Hujung Galuh di Waringin Sapta (Waringin Pitu) guna mengatur aliran Sungai Berangas, sehingga banyak kapal dagang dari Benggala, Sri Lanka, Chola, Champa, Burma, dan lain-lain datang ke pelabuhan itu.
- Pindahnya kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang didasari oleh :
. Adanya sungai-sungai besar, antara lain Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang sangat memudahkan bagi lalu lintas perdagangan.
. Adanya dataran rendah yang luas sehingga memungkinkan penanaman padi secara besar-besaran.
. Lokasi Jawa Timur yang berdekatan dengan jalan perdagangan utama waktu itu, yaitu jalur perdagangan rempah-rempah dari Maluku ke Malaka.
Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno
Hancurnya Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan antara Jawa dan Sumatra yang dimulai saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa yang kemudian menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit Mpu Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah melayangkan serangan ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
Sejarah Kerajaan Mataram Kuno cukup panjang yang dimulai sejak abad ke-6 M. Kerajaan Mataram Kuno atau sering juga disebut dengan Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan Medang merupakan kerajaan penerus dari Kerajaan Kalingga di Jawa yang diperkirakan eksis pada abad ke-8 hingga 10 Masehi.
Mataram Kuno yang bercorak Hindu (dan Buddha) biasanya disebut untuk membedakan dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri sekitar abad ke 16 M. Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya, di daerah inilah diperkirakan Kerajaan Mataram Kuno pertama berdiri.
Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno berasal dari prasasti, candi, kitab Carita Parahyangan (Sejarah Pasundan), dan berita dari Cina. Kerajaan yang didirikan oleh Sanjaya bergelar Rakai Mataram ini beberapa kali berpindah pusat pemerintahan.
Lokasi Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno memiliki dua periode berdasarkan lokasi atau ibu kota pemerintahannya. Pertama adalah periode awal Kerajaan Medang yaitu di Jawa Tengah di bawah Wangsa Sanjaya dan Sailendra (732-929 M), serta yang kedua ketika pindah ke Jawa Timur dan dikuasai oleh Wangsa Isyana (929-1016 M).
Pada 929 M, Kerajaan Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Menurut George Coedes dalam The Indianized states of Southeast Asia (1968), ada beberapa faktor kemungkinan yang mendorong perpindahan tersebut. Pertama adalah faktor politik, yakni sering terjadinya perebutan kekuasaan yang berimbas terhadap terancamnya kesatuan wilayah kerajaan ini.
Kedua adalah faktor bencana alam, yaitu peristiwa meletusnya Gunung Merapi. Faktor ketiga adalah adanya potensi ancaman dari kerajaan lain, termasuk serangan dari Kerajaan Sriwijaya. Sedangkan faktor keempat adalah motif keagamaan dan ekonomi, termasuk ketiadaan pelabuhan yang membuat Kerajaan Mataram Kuno sulit menjalin kerja sama dengan kerajaan lain.
Lokasi tepatnya pusat Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Tengah diperkirakan berada di Bhumi Mataram atau Yogyakarta pada masa awal berdirinya di bawah pemerintahan Rakai Mataram Sang Sanjaya.
Kemudian, lokasi ibu kota kerajaan ini sempat berpindah-pindah, antara lain ke Mamrati pada masa Rakai Pikatan, pada era Dyah Balitung (Rakai Watukura) dipindahkan ke Poh Pitu, dan sempat kembali lagi ke Bhumi Mataram pada masa Dyah Wawa (Rakai Sumba). Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan berada di antara wilayah Yogyakarta hingga Jawa Tengah bagian selatan (Magelang atau Kedu).
Kerajaan Mataram Kuno punya banyak peninggalan yang berupa candi-candi megah, termasuk Candi Borobudur di Magelang, Candi Prambanan, Candi Kalasan, dan Candi Sewu di Yogyakarta, serta beberapa candi lainnya. Setelah dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok yang kemudian bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa (929-947), Kerajaan Mataram Kuno menempati pusat pemerintahan di daerah yang disebut Tamwlang.
Masa-masa berikutnya terjadi lagi perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno periode Jawa Timur atau era Dinasti Isyana, yakni dipindahkan ke Watugaluh. Dikutiip dari buku Antologi Sejarah Candi Boyolangu (2016) tulisan Lailatul Mahfudhoh, Tamwlang maupun Watugaluh diperkirakan terletak di sekitar Jombang, Jawa Timur.
Setelah Kerajaan Medang runtuh pada awal abad ke-9 M, selanjutnya muncul kerajaan-kerajaan penerus Wangsa Mataram, dari Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singhasari, Majapahit, Demak, Jipang, Giri, Kalinyamat, Pajang, hingga era Mataram Islam yang memunculkan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, serta Pakualaman.
Toleransi Beragama Masa Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno terkenal dengan toleransi beragama yang kuat antara umat Hindu dengan Buddha, seperti terlihat dalam pembangunan Candi Borobudur, Candi Kalasan, Candi Prambanan, dan lainnya. Hal ini tidak terlepas dari peran para pemimpinnya yang mengajarkan toleransi.
Pada masa kekuasaan Mataram Kuno raja-raja dan rakyat yang memiliki perbedaan agama merupakan hal yang biasa. Antara raja dengan rakyat tidak harus beragama sama. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya sisa-sisa candi Syiwa (Hindu) di sekitar Candi Borobudur (Buddha), demikian dikutip dari jurnal terbitan Departemen Arkeolog FIB Universitas Indonesia.
Salah satu contohnya adalah pernikahan antara Pramodawardhani putri Rakai Garung alias Samaratungga dari Dinasti Sailendra yang memeluk agama Buddha-Mahayana, dengan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu-Syiwa. Rakai Pikatan dan Maharatu Pramodawardhani bersama-sama memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada periode 840-856 M, dan menghasilkan banyak candi-candi megah di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Raja-Raja Mataram Kuno: Periode Jawa Tengah
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M) Rakai Panangkaran (760-780 M) Rakai Panunggalan alias Dharanindra (780-800 M) Rakai Warak alias Samaragrawira (800-820 M) Rakai Garung alias Samaratungga (820-840 M) Rakai Pikatan dan Maharatu Pramodawardhani (840-856 M) Rakai Kayuwani alias Dyah Lokapala (856-882 M) Rakai Watuhumalang (882-899 M) Rakai Watukura Dyah Balitung (898-915 M) Mpu Daksa (915-919 M) Rakai Layang Dyah Tulodong (919-924 M) Rakai Sumba Dyah Wawa (924 M)
Raja-Raja Mataram Kuno Periode Periode Jawa Timur
Rakai Hino Sri Isana alias Mpu Sindok (929-947 M) Sri Lokapala dan Ratu Sri Isanatunggawijaya (sejak 947 M) Makutawangsawardhana (hingga 985 M) Dharmawangsa Teguh (985-1007 M)
Tiga Aspek Kebudayaan dari India
Sejatinya hanya 3 aspek kebudayaan India saja yang diterima oleh kebudayaan prasejarah Nusantara, namun dari ketiga aspek itu kemudian kebudayaan Indonesia memasuki zaman sejarah dan menghasilkan tonggak-tonggak kebudayaan penting yang akan diacu terus hingga sekarang. Tiga aspek kebudayaan itu adalah :
- Aksara Pallawa
- Agama Hindu dan Buddha
- Sistem penghitungan Kalender Śaka.
Aksara Pallawa merupakan penerimaan penting dalam kebudayaan prasejarah Nusantara, berkat diterima dan digunakannya aksara Pallawa dalam kebudayaan Nusantara, maka wilayah ini memasuki zaman sejarah di sekitar abad ke-4 M. Aksara ini kemudian menurunkan berbagai aksara daerah di Nusantara, berkat kepandaian menulis tersebut maka penduduk kepulauan Nusantara dapat mendokumentasikan segala pengetahuannya dalam prasasti, karya sastra, inskripsi, hikayat, sajarah, tambo dan sebagainya.
Aspek kedua adalah agama Hindu dan Buddha merupakan aspek sangat penting dari ketiga aspek budaya dari India, sebab kedua agama itu mempengaruhi berbagai sistem sosial lainnya. Sistem penataan masyarakat jelas mendapat pengaruh kuat dari agama Hindu dan Buddha. Walaupun tidak ada bukti kuat bahwa kasta diterapkan dengan ketat dalam masyarakat Jawa kuno, namun setidaknya caturwarna itu disebutkan dalam berbagai prasasti Jawa Kuno dan Bali Kuno. Sistem pemerintahan kerajaan juga mendapat pengaruh dari ajaran agama-agama India itu, misalnya konsep raja cakrawarttin yang merupakan raja besar dengan wilayah kekuasaan luas membentang hingga batas cakrawala dikenal oleh raja-raja masa Hindu-Buddha Indonesia.
Penataan wilayah kerajaan berpusatkan kepada raja yang bersemayam di dalam istananya yang setara Gunung Mahāmeru, adalah pengejawantahan ajaran makrokosmos tentang alam semesta dari kaum brahmana (Hindu) dan Buddha. Raja diibaratkan sebagai dewa yang berada di puncak Mahāmeru, gunung kosmos dan axis mundi antara ketiga dunia. Di sekitar istana raja tentunya terdapat puri-puri lainnya di 8 penjuru mata angin tempat tinggal kerabat raja dan para pembesar kerajaan. Mereka yang tinggal di sekitar raja di arah 8 mata angin itu disejajarkan dengan Asta-dikpalaka (8 dewa penjaga mata angin yang terdiri dari Kuwera [utara], Isana, Indra [timur], Agni, Yama [selatan], Nrtti, Waruna [barat], dan Wayu).
Adapun sistem penghitungan tahun menjadi penting, karena sejak digunakannya penghitungan tahun Śaka dalam berbagai prasasti, penduduk Nusantara dapat menghitung waktu. Mereka tidak mengabaikan lagi berlalunya hari, bulan, dan tahun, namun mereka dapat menghitungnya, sehingga dapat diketahui mulai kapan seorang raja memerintah dan kapan pula masa akhir pemerintahannya.
Dengan penerimaan ketiga aspek kebudayaan India itu, maka nenek moyang bangsa Indonesia telah menyempurnakan pencapaian peradabannya. Selain telah mengenal 10 kepandaian sebelum datangnya pengaruh India, maka diterima pula 3 kepandaian baru, maka di awal sejarahnya dan sepanjang zaman Hindu-Buddha di Nusantara nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengembangkan 13 kepandaian yang mereka miliki.
Nenek moyang bangsa Indonesia agaknya telah mengenal sistem religi yang relatif maju sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha. Para ahli kebudayaan kuno kerapkali menyebutkan bahwa religi nenek moyang bangsa Indonesia itu adalah Pemujaan Arwah Nenek Moyang (Ancestor Worship). Religi yang merupakan perkembangan dari spiritisme, animism, dan dinamisme, mengajarkan bahwa arwah seorang tokoh yang telah meninggal bersemayam di daerah ketinggian (dataran tinggi, bukit, puncak gunung, pegunungan dan sebagainya). Arwah itu dapat diseru sekali waktu untuk bersemayam di batu-batu tegak (menhir) di puncak punden berundak. Inti dari religi ini adalah pemujaan kepada seorang tokoh masyarakat yang telah mangkat.
Pada waktu agama Hindu-Buddha telah marak berkembang dalam abad ke-13—15 di wilayah Jawa bagian timur, Bali, dan Sumatra, konsep Indonesia asli yang memuja arwah leluhur itu tampil kembali dengan selaput Hindu-Buddha. Candi-candi menggantikan punden berundak, sedangkan arca-arca perwujudan tokoh yang telah mangkat menggantikan menhir-menhir di puncak punden. Maka dari itu kemudian dikenal arca perwujudan Wisnuwarddhana sebagai Amoghapaśa Bhairawa, arca perwujudan Anusapati sebagai Śiwa Mahādewa, dan arca perwujudan Krtarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya) sebagai Hari-Hara.
Dalam hal ini terdapat perbedaan yang mendasar tentang awal dibuatnya arca-arca dewa antara kebudayaan India dan Indonesia kuno. Arca-arca dewa India tidak menggambarkan seseorang tokoh yang telah meninggal, melainkan merupakan representasi kedua dari kekuatan alam. Representasi pertama adalah ketika orang-orang Arya dalam masa India kuno menghormati dan takut kepada kekuatan-kekuatan alam dahsyat. Kekuatan alam seperti api, matahari, laut, gunung berapi, gempa, berkembangnya tumbuhan, bunga mekar, kesuburan tanaman pangan, dan sebagainya dipercaya dikuasai oleh suatu kekuatan, kemudian kekuatan itu dinyatakan secara konkret seperti layaknya seorang manusia (personifikasi), hadirlah kemudian tokoh dewa.
Tokoh-tokoh dewa utama dalam perkembangan selanjutnya dilengkapi dengan keistimewaan dengan adanya penambahan anggota tubuhnya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila arca-arca dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, dan Śiwa) digambarkan memiliki tangan 4, Brahma memiliki 4 kepala dan wajah (caturmukha), dan Śiwa mempunyai mata ketiga di dahi (trinetra). Jadi arca-arca dewa merupakan representasi kedua, karena konsep personifikasi kemudian diwujudkan sebagai arca-arca dengan aturan tertentu, jika tidak sesuai dengan kaidah pengarcaannya maka arca-arca tersebut dipandang tidak berguna dan bukan merupakan arca yang sakral.
Dalam perkembangannya pengarcaan dalam ajaran Hinduisme tersebut kemudian mempengaruhi pula agama Buddha, terutama agama Buddha Mahāyana yang mengenal banyak dewa. Oleh karena itu arca-arca Mahāyana banyak yang penggambarannya mirip dengan arca-arca dewa Hindu, terutama dalam tataran Bhoddhisattwa dan Manusi Buddha. Adapun pengarcaan Buddha telah dibakukan dan tidak mengambil ciri-ciri dewa Hindu, sebab sebagaimana diketahui acuan pengarcaan Buddha bukannya kekuatan alam yang dipersonifikasikan, melainkan memitoskan tokoh sejarah yang pernah hidup. Dalam upaya itu arca-arca Buddha juga dikenakan kaidah tertentu yang menunjukkan adanya kelebihan dari manusia biasa.
Arca-arca dewa mempunyai penggambaran yang berbeda, setiap wujud tertentu dihubungkan dengan cerita tertentu pula yang berkenaan dengan tokoh dewa. Kisah-kisah yang berkenaan dengan dewa-dewa di masa silam, di dunia kedewataan atau manusia itu seringkali disebut dengan mitos, maka dalam mitologi Hindu dikenal banyak mitos dengan berbagai macamnya yang berhubungan dengan dunia kehidupan dewa-dewi.
Sesosok arca dewa/dewi digambarkan dengan selaput mitos kesucian atau kesakralannya. Arca dewa dapat digambarkan berdiri, duduk, atau tiduran miring. Apapun sikapnya arca-arca dewa mempunyai ciri selalu berada di permukaan bunga teratai yang mengembang/teratai merah (padmasana). Bunga teratai dianggap bunga suci, setara dengan dewa-dewa, sebab bunga teratai tidak tumbuh di tanah, melainkan mengambang di permukaan air. Jadi apabila memandang arca dewa yang berada di permukaan teratai, maka dalam pandangan mata batin harus diartikan bahwa di bawah lapik (alas) teratai itu terdapat genangan air.
Di belakang tubuh arca dewa/i biasanya terdapat bentuk seperti sandaran kursi, sebenarnya bentuk tersebut bukan dimaksudkan sebagai sandaran sebenarnya, melainkan simbol dari sinar kedewataan yang memancar dari tubuh dewa/i, dinamakan prabhamandala. Selain itu acapkali terdapat juga bentuk seperti lingkaran di belakang kepala arca dewa/i, bentuk seperti itu dinamakan dengan sirascakra suatu penanda kesucian pula dari tokoh dewa yang memilikinya. Demikianlah bahwa sikap, busana, dan kelengkapan lainnya dari sesosok arca dewa atau dewi sebenarnya mencerminkan mitos tertentu yang melatarbelakangi sikap atau bentuk tertentu yang diperlihatkan oleh arca dewa.
Sebagai contoh arca Śiwa Mahādewa mempunyai banyak ciri penggambaran yang senantiasa dihubungkan dengan kisah mitos yang melingkupinya. Ciri utama arca Śiwa adalah sebagai berikut:
Digambarkan bertangan 4, masing-masing tangan memegang benda tertentu (laksana), yaitu :
(a) camara,
(b) aksamala,
(c) trisula, dan
(d) kendi kamandalu berisi air amerta.
- Mahkota berupa rambut panjangnya sendiri yang disanggul meninggi, dinamakan Jata Mukuta
- Di bagian depan mahkota, di atas dahi terdapat bentuk tengkorak dialasi bulan sabit.
- Di dahi terdapat mata ketiga dengan posisi vertikal
- Leher digambarkan biru (nilakantha)
- Mengenakan tali kasta (upawita) ular Naga
- Kain ditutup/dilapisi dengan kulit harimau gunung.
Terdapat sejumlah argumen mitologis yang berkenaan dengan karakter yang dimiliki arca Śiwa. Misalnya trinetra terjadi karena kedua mata Śiwa awalnya ditutup oleh Parwatî (śakti Śiwa) ketika ia sedang bertapa, akibatnya Śiwa tidak dapat melihat alam semesta, maka dari itu terjadi bencana di mana-mana. Śiwa segera menciptakan mata ketiga di dahinya untuk dapat menyaksikan alam semesta lagi, dan bencana pun terhenti seketika.
Di atas dahi terdapat hiasan tengkorak dan bulan sabit (ardhacandrakapala), menurut ajaran Hinduisme kedua benda itu adalah simbol kematian (tengkorak) dan juga awal kehidupan baru (bulan sabit pertanda akan menjadi bulan penuh). Dengan demikian sebagai Mahādewa, Śiwa dipandang menguasai kematian dan juga awal kehidupan baru. Dalam pada itu benda laksana yang dipegangnya masing-masing berarti, (a) pelenyap atau pengusir kotoran atau pengganggu disimbolkan dengan camara, (b) pendeta agung atau Mahāpandita disimbolkan dengan aksamala (tasbih), (c) kendi kamandalu berisikan air amerta simbol dari keabadian atau kehidupan abadi, dan (d) tombak berujung 3 atau trisula adalah simbol senjata agung milik dewata utama.
Akan halnya arca Brahma yang digambarkan berwajah empat merupakan ciri utamanya, sebab tidak ada lagi arca dewa lain dengan wujud demikian. Menurut Mitos semula ia berkepala 5, satu kepala berada di puncak empat kepala lain. Śiwa telah memotongnya karena Brahma pernah berlaku tidak sopan kepada Śiwa setelah permohonannya kepada Mahādewa dikabulkan. Dalam mitos lain diuraikan bahwa semula Brahma hanya memiliki satu kepala, namun ia sangat gemar menonton kesenian, antara lain tarian para bidadari. Ketika para bidadari menari mengelilinginya, sebagai dewa pencipta ia malu untuk menolehkan kepalanya untuk melihat para bidadari itu yang mengitari dirinya, lalu diciptakan kepala-kepala lain yang menghadap ke empat arah.
Brahma dalam mitos yang dikembangkan oleh kaum Waisnawa (para pemuja Wisnu) lahir dari pusar Wisnu. Di awal penciptaan alam semesta diuraikan bahwa terdapat lautan luas yang hening, tak ada angin dan gelombang, di samudera itu terdapat ular Ananta yang mengambang melingkar-lingkar seperti kasur, di ular yang mengambang itulah terdapat Wisnu yang sedang tidur. Setelah ratusan ribu tahun lamanya, tiba-tiba dari pusar Wisnu muncullah tangkai bunga teratai, kemudian berkembang menjadi bunga mekar. Di tengah-tengah teratai mekar itulah muncul Brahma dewa pencipta yang kemudian menciptakan berbagai benda di alam semesta ini.
Dalam pengarcaannya Brahma selalu digambarkan bertangan 4, kedua tangan depan bersikap meditasi atau melakukan sikap lainnya, kedua tangan belakang bisa juga memegang camara atau aksamala. Laksana milik Siwa lainnya ada di dekat tubuh Brahma, yaitu trisula dan kendi kamandalu. Brahma dapat digambarkan duduk bersila atau juga berdiri tegak, mahkota yang dikenakannya berupa topi yang meninggi dinamakan kirita-mukuta, wajahnya digambarkan dengan raut orang tua.
Nama lain Brahma adalah Hiranyagarbha atau “telur emas”, karena ia dipandang lahir dari telur emas alam semesta yang berkilauan. Setelah lahir, dewa ini kemudian menciptakan berbagai benda dan makhluk yang selanjutnya mengisi alam semesta. Hiranyagarbha juga seringkali menjadi nama salah satu motif hias yang dipahatkan sebagai relief di candi-candi Jawa. Motif hias tersebut memperlihatkan adanya wadah, jambangan, vas, gentong, atau wujud lainnya (bisa hewan atau manusia) yang dari bentuk itu keluar tanaman yang menjalar ke kanan-kiri meliuk ke atas atau bawah dan seterusnya. Motif itu sebenarnya adalah simbol awal penciptaan dan perjalanan hidup bentuk ciptaan itu yang diwujudkan sebagai tanaman yang menjalar kian-kemari.
Dewa Wisnu termasuk anggota Trimurtti, dalam pengarcaannya mempunyai ciri sebagai berikut :
Digambarkan bertangan 4, masing-masing tangan memegang laksana :
(a) gadha,
(b) sangkha (terompet dari kulit kerang),
(c) cakra (senjata cakram), dan
(d) kuncup bunga padma.
- Di kepalanya memakai mahkota dari topi, dinamakan kirita-mukuta.
- Sering kali digambarkan bersama Garuda sebagai vahananya (hewan tunggangannya).
Mengenai wahana dewa-dewa Trimurtti lainnya, yaitu Śiwa Mahādewa dan Brahma, mereka masing-masing mempunyai wahana Nandi (sapi jantan) dan Hamsa (angsa). Nandi tidak selalu dihubungkan dengan Śiwa Mahādewa, namun kerapkali juga dinaiki oleh Dewi Parwatî sakti Śiwa Mahādewa. Dalam kisah wayang Purwa Jawa dijelaskan bahwa Nandi sebenarnya mempunyai dua orang kakak lelaki, yaitu Nandiśwara dan Mahākala. Mereka bertiga semula hendak menghancurkan Suralaya tempat persemayaman dewa-dewa , namun berhasil dikalahkan oleh Śiwa. Kedua kakaknya lalu dijadikan penjaga pintu gerbang Suralaya, digambarkan juga sebagai penjaga pintu masuk candi-candi Śaiwa di Jawa, sedangkan Nandi dijadikan hewan tunggangan Śiwa.
Hamsa (angsa) dikenal sebagai wahana Brahma, menurut pandangan Hinduisme adalah simbol dari kebebasan, sebab angsa dapat bebas hidup di air, pandai berenang, di darat dapat berjalan ke manapun, dan di angkasa dapat angsa terbang sesuai dengan keinginannya. Keadaan demikian setara dengan kebebasan yang dimiliki oleh Brahma yang dapat menciptakan apapun di tataran dunia manapun. Wahana-wahana juga dimiliki oleh dewa-dewa lainnya, beberapa dewa penting dengan wahananya adalah :
- Indra berwahana gajah
- Agni mempunyai wahana domba
- Yama mempunyai wahana kerbau hitam
- Nairtti berwahana keledai
- Waruna berwahana lumba-lumba
- Wayu berwahana kijang
- Kumara/Balasubrahmaniya berwahana merak
- Ganeśa berwahana tikus
- Durga Mahisāsuramardinî berwahana singa
Demikian beberapa contoh dewa/i dengan hewan tunggangannya (wahana), bahwa hamper semua dewa penting dihubungkan dengan hewan tertentu yang dijadikan wahananya. Sejatinya terdapat hubungan yang erat antara dewa dengan wahananya. Misalnya Yama dewa maut penguasa arah selatan yang berwahanakan kerbau, sebenarnya masyarakat Hindu India menghubungkan arah selatan sebagai daerah agraris yang menggunakan hewan kerbau untuk mengerjakan lahan pertanian. Daerah India selatan merupakan daerah pertanian yang miskin dan gersang, walaupun terdapat juga area-area subur yang menggunakan hewan kerbau. Maka daerah kemiskinan itu diidentikkan dengan wilayah kematian yang dikuasai dewa maut, sang Yama.
Dewa-dewi berdasarkan mitosnya dapat bersikap baik (santa) dan dapat pula menjadi marah atau murka (krodha/ugra). Apabila terdapat arca dewa/i yang digambarkan tampan atau cantik dan tidak menakutkan, sebagaimana layaknya manusia biasa, maka arca itu digambarkan secara santa, namun apabila ada arca dewa/i yang digambarkan menakutkan, bengis, seperti mata melotot, alis naik, dihias tengkorak, bertaring dan ciri lainnya yang seram, arca itu dibuat dengan sifat uang krodha. Setiap arca Dewa/i dapat saja digambarkan secara santa atau ugra, tergantung dari seniman (silpin) yang membuatnya dan tergantung kepada tujuan ritualnya.
/5/ Tinjauan Ikonografi Arca Buddha
Gambaran tentang agama Hindu dan Buddha diibaratkan secara baik oleh beberapa orang bijak yang mempelajari kedua agama itu. Seseorang yang mempelajari agama Buddha seakan-akan orang itu memasuki suatu taman yang mempunyai batasan jelas, ada pagar, tanamannya diatur secara baik, dikelompokkan dan dipelihara, jadi ada juru peliharanya, yaitu Siddharta. Lain halnya dengan seseorang yang belajar agama Hindu seakan-akan orang itu memasuki hutan rimba yang lebat, penuh dengan semak belukar, tiada rambu petunjuk, tidak ada yang dapat dijadikan acuan, banyak jalan setapak yang saling simpang siur memotong sesamanya, dan bisa jadi orang itu tersesat di dalam rimba raya itu.
Perumpamaan itu dapat diartikan bahwa apabila mempelajari agama Buddha Mahāyana atau Hinayana sudah jelas batasannya, isinya yang bersifat universal, artinya ajaran dasar dan kaidahnya akan sama di mana pun. Penganjurnya juga jelas Siddharta Gautama putra raja Sudhodana penguasa kerajaan Kapilawastu. Dia diakui oleh seluruh umat Buddha di manapun di dunia sebagai pengajar dharma Buddha yang tetap diikuti ajarannya hingga sekarang.
Adapun agama Hindu tumbuh secara alami di tengah-tengah masyarakat kaum Arya yang semula pengembara, setelah mereka menetap di India utara terjadi perkembangan pesat dari agama tersebut dengan deretan dewa baru hasil pemikiran kaum agamawannya. Semua ajaran dan dan mantram untuk menyeru dewa yang diturunkan dari generasi ke generasi lalu dibukukan menjadi kitab-kitab Weda yang berjumlah 4 (Rg Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda). Agama Hindu Trimurti adalah reformasi dari agama Weda, setelah ajaran kaum Brahmana tersebut terdesak oleh perkembangan agama Buddha yang pesat.
Agama Hindu dalam perkembangannya di berbagai wilayah India dan juga kepulauan Nusantara lalu bercampur dengan agama rakyat yang telah ada sebelumnya. Maka dewa-dewa Hindu pun banyak ditambahkan lagi, selain dewa-dewa Trimurtti dan dewata lainnya yang bersifat umum. Dewa-dewa tambahan yang bersifat kerakyatan tersebut kerapkali dinamakan dengan Gramadewata atau dewa-dewa desa. Tidak ada aturan ikonografi khusus tentang Gramadewata, dan arca-arca yang bercorak Hindu-Buddha namun tidak sesuai dengan kaidah agama tersebut banyak ditemukan di Jawa, beberapa di antaranya menjadi koleksi museum.
Agama Buddha Hinayana dan Mahāyana mempunyai perbedaan yang mendasar walaupun keduanya berpangkal dari ajaran Siddharta Gautama. Setelah melalui beberapa muktamar sepeninggal Siddharta, maka dalam awal tarikh Masehi kedua agama itu pecah menjadi dua. Perbedaan antara Buddha Mahāyana dan Hinayana adalah sebagai berikut :
- BUTIR PEMBEDA
- BUDDHA HINAYANA
- BUDDHA MAHAYANA
- TOKOH SUCI/DEWA
. Hanya Siddharta Gautama
. Mengenal Pantheon (masyarakat dewa)
TUJUAN AKHIR
- Mencapai Nirwana
- Menjadi Buddha
UMAT PEMELUK
- Samha: hanyalah para bhiksu dan bhiksuni
- Samha: seluruh pemeluk agama Buddha Mahayana
Dalam perkembangan selanjutnya sudah barang tentu arca-arca dari Buddha Mahayana yang banyak ditemukan di Nusantara, sebab sejak sekitar abad ke-8 di Sriwijaya telah berkembang agama tersebut, walaupun menurut I-tsing seorang musafir Cina, dalam abad yang sama juga pernah berkembang Buddha Hinayana. Buddha Mahayana terus Berjaya selama beberapa abad di Jawa, terbukti dengan pembangunan candi besar kecil terus berlanjut hingga era Majapahit. Candi Borobudur, Mendut, Ngawen, Kalasan, Sewu, Plaosan Lor, Sajiwan adalah beberapa candi Buddha Mahayana di Jawa Tengah, sedangkan di Jawa Timur terdapat candi yang bernafaskan Buddha sekaligus juga Hindu-Saiwa, yaitu Jago, Jawi, dan Jabung.
Arca-arca Buddha Mahayana yang penting adalah Panca Tathagata yang diposisikan di 4 mata angin dan 1 titik pusat sebagai berikut:
Dalam bagan terlihat bahwa Tathagata penguasa barat adalah Amitabha, di utara ada Amoghasiddhi, di tengah Wairocana dan seterusnya. Semua ciri arca Tathagata sama yang membedakan satu dengan lainnya hanyalah sikap tangannya atau mudra. Ciri-ciri tersebut sering dinamakan mahapurusalaksanam antara lain adalah sebagai berikut :
1. Terdapat tonjolan di puncak kepala (ushnisa)
2. Terdapat tanda seperti “tahi lalat” di tengah dahi (urna)
3. Leher bergaris 3
4. Daun telinga lebar dan panjang
5. Rambut keriting (mengikal) ke kanan (pradaksinawartakesa)
6. Mengenakan jubah tipis
7. Memperlihatkan sikap tangan (mudra) tertentu, sikap tangan masing-masing Tathagata adalah:
a. Amitabha bersikap dhyanamudra (bermeditasi)
b. Amoghasiddhi bersikap tangan abhayamudra (menentramkan, tiada bahaya)
c. Aksobhya bersikap tangan bhummisparsamudra (menyentuh bumi sebagai saksi)
d. Ratnasambhawa bersikap waramudra (memberikan anugerah)
e. Wairocana bersikap dharmmacakraprawartanamudra (memutar roda dharma) atau witarkamudra (memberikan nasehat).
Sikap tangan yang dimiliki oleh Tathagata itu ada hubungannya dengan peristiwa dalam kehidupan Siddharta sebagai penganjurnya. Misalnya sikap bhummisparsa yang diperlihatkan Aksobhya adalah sikap tangan Siddharta yang menyentuh bumi ketika diganggu oleh anak-anak setan Mara dalam meditasinya di bawah pohon Boddhi di kota Bodhgaya. Sikap dhyanamudra yang menjadi ciri Amitabha adalah sikap ketika Siddharta telah berhasil memperoleh pengetahuan sempurna dan pencerahan tentang dharma Buddha, dan sebagainya.
Selain arca-arca 5 Tathagata dalam Buddha Mahayan juga dikenal adanya kelompok Bhoddhisattwa. Tokoh-tokoh Bhoddhisattva adalah emanasi dari para Tathagata, Bhoddhisattwa yang penting adalah Awalokiteśwara, karena tokoh tersebut adalah emanasi dari Tathagata Amitabha yang dipuja sebagai Tathagata masa sekarang. Ciri Bhoddhisattwa Awalokiteśwara adalah adanya figur Tathagata Amitabha kecil di mahkotanya. Awalokiteśwara dapat juga diwujudkan dalam bentuk ugra dan dipuja oleh kaum Tantrayana, Awalokiteśwara demikian dinamakan dengan Amoghapaśa. Wujud arca seperti dewata dengan busana lengkap, namun dengan jumlah lengan yang lebih dari 2, mata melotot dengan alis melengkung naik, kadang-kadang terdapat ornamen tengkorak sebagai penghias tubuhnya. Hal yang menunjukkan bahwa arca itu adalah Awalokiteśwara dalam wujud ugra adalah karena ada figur Amitabha kecil di mahkotanya.
Dalam pada itu di Indonesia juga dikenal adanya arca-arca dengan hiasan stupa di mahkotanya. Arca tersebut berbusana lengkap seperti raja-raja, bertangan dua dan digambarkan duduk atau berdiri. Tokoh tersebut adalah Maitreya, Buddha di masa yang akan datang, ia akan turun ke dunia untuk mengusir kebodohan (avidya) dan ketidaktahuan akan dharma.
/6/ Epilog
Dalam ajaran Hindu-Buddha masa Indonesia Kuno dikenal suatu konsep yang sebenarnya penting, namun jarang diperbincangkan, yaitu tentang śakti (= enerji) dewa. Setiap dewa mempunyai śakti, dengan kesaktiannya itu dewa-dewa melaksanakan tugasnya masing-masing. Tanpa saktinya dewa-dewa tidak mempunyai enerji dan tidak bisa berbuat apa-apa. Śakti dewa tersebut kemudian dipersonifikasikan sebagai perempuan, dan kemudian dijuluki dewi. Masyarakat umumnya kemudian memandang Dewi tersebut sebagai pasangan dewa, dewi merupakan istri sang dewa, padahal sejatinya merukan enerji dewa.
Dalam perkembangan pantheon selanjutnya dapat dimengerti apabila Dewi Parwatî dipandang sebagai istri Śiwa, Śaraswatî sebagai sakti Brahma, Srî dan Laksmî sebagai śaktî Wisnu, Aindrî adalah sakti Indra, Yamanî sebagai sakti Yama, bahkan adalah agama Buddha Mahāyana kemudian tampil juga sakti Buddha, yaitu Tara atau Śyamatara yang merupakan pasangan umum dewa-dewa Buddha. Tara dalam tahap selanjutnya dikenal dengan berbagai julukannya pula dan menjadi śakti dari Panca Tathagata dan juga para Bhoddhisattwa penting lainnya.
Pemujaan khusus kepada kekuatan dewa tersebut yang kemudian melahirkan Śakta, yaitu kaum pemuja dewi yang merupakan personifikasi dari śakti. Arca-arca utama dari pemuja Śakta tentunya adalah dewi, baik yang berlaku santa ataupun krodha. Arca Durga Mahisāsuramardinî, Srî, Saraswatî, Tara, dan bahkan kisah-kisah kuno yang mengutamakan peran tokoh perempuan (Kisah Sudhamala, Sri Tanjung, dan Calon Arang) termasuk bukti pemujaan terhadap śakti. Gejala pemujaan terhadap sakti baru mulai berkembang pesat dalam abad ke-13 sampai ke-15 ketika pusat-pusat kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Jawa telah pindah lokasinya di Jawa bagian timur. Pada masa yang bersamaan itu pula, tampil tokoh-tokoh perempuan yang berperanan dalam sejarah Indonesia kuno, seperti Ken Dedes, Gayatri, Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, Suhita. Tokoh perempuan juga tampil dalam kisah Panji, yaitu Dewi Sekar Taji atau Candrakirana.
Demikian pemahaman sepintas tentang ikonografi Hindu-Buddha dalam masa Indonesia Kuno (Abad ke-8—15 M), masih banyak sekali uraian tentang ikonografi Hindu-Buddha Indonesia kuno yang harus diperbincangkan. Kajian terhadap gramadewata merupakan hal yang menarik, sebab arca-arca dengan wujud demikian sebenarnya yang dapat dikatakan arca-arca asli kebudayaan Indonesia tanpa adanya pengaruh luar, hanya saja belum banyak yang diungkapkan.
DAFTAR PUSTAKA :
- Bernet Kempers, A.J., 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J.van Dep Peet.
- Holt, Claire (1967). Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca dan London: Cornell University Press.
- Maulana, Ratnaesih, 1997. Ikonografi Hindu. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
- Munandar, Agus Aris, 2007. ”Kesejajaran Arsitektur Bangunan Suci Antara yang Berada di India dan Jawa Kuna”, dalam Jurnal Ilmiah Lingua, Volume 6 Nomor 2, Oktober. Jakarta: Sekolah Tinggi Bahasa Asing STBA LIA.
- Soekmono, R. (1986), “Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia,” dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian Budaya Bangsa Local Genius. Jakarta: Pustaka Jaya; h. 228-246.
- STUTLEY, MARGARETH & JAMES STUTTLEY, 1977. A Dictionary of Hinduisme: Its Miythology, Folklore and Development 1500 BC—AD 1500. London & Henley: Routledge & Kegan Paul.
- Riwayat hidup Agus Aris Munandar. Lahir di Indramayu, 13 Juli 1959, bekerja sebagai salah seorang staff pengajar di Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Guru Besar di bidang Arkeologi Indonesia. Lulus Sarjana Sastra Program Studi Arkeologi (S1) pada tahun 1984 dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, pada tahun 1990 menyelesaikan pendidikan Magister Humaniora (S2) pada Program Studi Arkeologi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pada tahun 1999 berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Pelebahan : Upaya Pemberian Makna pada Puri-puri Bali Abad ke-14—19 dengan judicium cumlaude di Universitas Indonesia.
- Sejumlah karya penelitian berupa makalah dalam berbagai seminar, artikel dalam jurnal ilmiah, dan buku telah dihasilkannya. Buku yang telah terbit antara lain Sang Tohaan: Persembahan untuk Prof Dr.Ayatrohaedi. Beberapa Kajian Pernaskahan dari Perspektif Arkeologi (Akademia, 2004), Istana Dewa Pulau Dewata (Komunitas Bambu [Kobam], 2005), Ibu Kota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian (Kobam, 2008), Gajah Mada Biografi Politik (Kobam, 2010), Tatar Sunda Masa silam (Wedatama Widya Sastra [WWS], 2010), Catuspatha Arkeologi Majapahit (WWS, 2011), dan Proxemic Relief Candi-candi Abad Ke-8—10 (WWS, 2012), karya terbarunya berjudul Tidak Ada Kanal di Kota Majapahit (WWS, 2013) menjelaskan bahwa kota Majapahit tertata dengan mengikuti konsep Sanga Mandala dan Tri Angga.
Sumber referensi :
http://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-mataram-kuno-sejarah-raja-dan-peninggalan-beserta-kehidupan-politiknya-secara-lengkap/
Imajiner Nuswantoro