Ajaran Sunan Lawu Gugon Tuhon
Sunan Lawu dan sosok Sunan Lawu sebagai sumber daya magis untuk memenuhi keinginan bersifat duniawi tak punya landasan nalar, logika dan rasa.
Menurut Susanto Prodjodiningrat, penulis buku Piwulang lan Pituduhe Sunan Lawu, anggapan seperti itu harus diteliti dengan kritis menggunakan nalar pikir yang bening, logika dan rasa.
Menurut Susanto, kepercayaan dan mitos yang mendudukkan Sunan Lawu sebagai tokoh keduniaan yang bisa memenuhi segala kebutuhan manusia belum diketahui kapan awalnya.
Gugon Tuhon adalah tradisi lisan dan petuah yang lebih luas dalam budaya Jawa untuk membimbing perilaku dan moral masyarakat dengan konsekuensi yang tidak selalu logis, sedangkan ajaran Sunan Lawu diyakini lebih berfokus pada ilmu dan nilai etika yang luhur dan tidak terkait dengan klenik atau hal duniawi, seperti yang dijelaskan oleh para ahli.
Gugon tuhon adalah tradisi lisan masyarakat Jawa berupa larangan, pantangan, atau petuah yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang sering kali tidak berdasarkan logika namun dipercaya benar dan sungguh-sungguh dilakukan oleh masyarakat. Secara etimologis, 'gugon' berarti 'dipercaya' dan 'tuhon' berarti 'benar' atau 'sungguh-sungguh', sehingga gugon tuhon merujuk pada kepercayaan yang dipegang teguh masyarakat meskipun tidak memiliki dasar rasional yang jelas.
Karakteristik Gugon Tuhon
1. Tradisi Lisan.
Disampaikan dari mulut ke mulut, dari orang tua kepada anak-anaknya.
2. Tidak Berbasis Nalar.
Seringkali mengandung unsur mistis, irasional, dan sulit dipahami secara logika.
3. Mengandung Nilai Moral.
Bertujuan untuk membentuk perilaku yang baik dan menanamkan nilai-nilai moral serta norma sosial kepada generasi muda.
4. Fungsi Edukatif.
Digunakan sebagai media transmisi nilai dan ajaran agar anak berperilaku sesuai harapan.
5. Tujuan dan Fungsi.
Membimbing masyarakat, terutama generasi muda, untuk berperilaku baik dan sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
Sebagai bentuk kearifan lokal yang meskipun tidak logis, mengandung nilai-nilai luhur dan petuah yang berguna untuk kehidupan.
Contoh Gugon Tuhon :
- "Aja dolan wayah surup, mengko nek digondhol wewe!"
(Jangan bermain waktu senja, nanti diculik hantu wewe!).
- "Pas meteng ojok nyampirno anduk neng gulu nggarai anak'e kebulet usus pas nglaerno"
(Saat hamil, jangan menggantungkan handuk di leher, nanti anak terlilit usus saat lahir).
Meskipun ada tantangan dari kemajuan zaman dan cara berpikir rasional, gugon tuhon tetap memiliki nilai cultural yang menarik untuk dikaji karena di dalamnya terkandung pengajaran dan petuah bagi masyarakat Jawa.
Gugon tuhon (1).
Gugon tuhon adalah sebuah larangan atau petuah yang ditinggalkan nenek moyang diwariskan pada anak cucunya, Gugon tuhon berisi ajaran serta petuah yang bertujuan menjadikan kehidupan yang lebih baik. Gugon tuhon sering disebut takhayul yang dipercayai kebenarannya dengan sungguh-sungguh, ajaran yang tidak ada sumber yang jelas akan tetapi digugu 'dipercaya' dan satuhu 'benar-benar'. Adat istiadat menggunakan gugon tuhon sebagai fakta yang sulit diungkap secara nalar, akan tetapi sulit untuk diingkari.
Gugon (gugonan) berarti sifat yang sangat sederhana dari percaya pada sesuatu yang dikatakan orang lain atau dalam dongeng. Tuhon, di sisi lain, memiliki sifat mudah menuruti apa yang dikatakan orang lain dan dongeng. Oleh karena itu, definisi kata gugon tuhon adalah sebagai berikut: Tidak perlu dikatakan bahwa sifat dari apa yang orang katakan dan hanya percaya dan melaksanakan dongeng yang sebenarnya tidak perlu dipercaya dilakukan, sebagai kata benda kata ini berarti bahwa percakapan, dan dongeng (oleh mereka yang percaya pada gugon tuhon) dianggap sebagai kekuatan.
Jenis Gugon Tuhon
1. Gugon Tuhon Kang Salugu.
Gugon tuhon yang berkaitan langsung antara orang tua dan anak.
Berikut beberapa contoh Gugon Tuhon Kang Salugu :
- Aja mangan koredan, mundhak guneme mencla-mencle 'jangan menyisakan makanan di piring, apa yang akan dikatakan nanti selalu berubah atau ragu-ragu'.
- Aja mangan brutu, mundhak guneme mencla-mencle 'jangan makan tunggir ayam, entah apa yang dikatakan nanti akan selalu berubah tidak memiliki tekad hati'.
- Aja mangan tlampik, mundhak ditampik dening wanita (tumprap wanita mundhak ditampik dening priya) 'jangan makan sayap ayam di bagian ujungnya, supaya jika laki-laki tidak ditolak dengan perempuan, ketika seorang wanita tidak ditolak oleh seorang pria'.
- Aja mangan gedhang dhempet, mundhak ing tembe darbe anak kembar utawa dhampit 'jangan makan pisang yang tumbuh berdampinga, agar tidak mempunyai anak kembar siam di masa depan.
2. Gugon Tuhon Wasita Sinandi.
Saran rahasia berupa petunjuk-petunjuk dan Gugon Tuhon termasuk Wasita Sinandi adalah nasihat-nasihat rahasia (secret advice) agar anak atau orang lain yang menerima nasihat itu dapat mengikutinya. Nasihat tidak diberikan secara terbuka, tetapi disembunyikan dan diganti dengan nasihat yang lebih mengancam atau mengintimidasi.
- Aja lungguh ing ngarep lawang, mundhak wong sing nglamar mbalik 'Gugon tuhon adalah nasihat, tetapi bagi mereka yang disarankan untuk mengikutinya, mereka menghadapi ancaman yang menakutkan. Padahal, orang yang duduk di depan pintu tidak hanya bisa mengganggu siapa saja yang ingin masuk, tapi juga bisa menimbulkan rasa sakit akibat embusan angin yang masuk melalui pintu'.
- Aja kudungan kukusan, mundhak dicaplok baya 'jangan pakai kerudung (kukusan) alat untuk menanak nasi yang terbuat dari jaring bambu berbentuk corong, jika terluka nanti dimakan buaya'. Kenyataannya panas dan lembap ini adalah produk segar ketika dibawa sebagai kerudung bisa. Kecuali tudung uap, terkadang kotor dan rusak ada risiko jatuh karena mata tertutup uap.
- Aja ngidoni sumur, mundhak lambe suwing 'jangan buang air liur ke air mancur, itu bisa mengelupas bibir' dan menambah jumlah bibir untuk dijahit. Padahal, air liur yang jatuh ke dalam sumur menyebabkan kualitas air menjadi buruk. Ini terutama benar jika orang yang meludah memiliki penyakit menular yang dapat menginfeksi orang lain melalui air liur.
- Aja lungguh ana ing bantal, mundhak wudunen ‘jangan duduk di atas bantal, menyebabkan bisulan’. Orang yang duduk di atas bantal tidak hanya terlihat vulgar, tetapi juga membuat bantal yang didudukinya menjadi kotor.
3. Gugon Tuhon, Pepali atau Wewaler.
Petuah leluhur yang berisi larangan atau pantangan melakukan sesuatu.
- Putra wayahe Panembahan Senapati ‘anak cucu Panembahan senopati’ ketika berperang tidak dapat menunggang kuda batilan.
- Orang di Banyumas tidak boleh berpergian ketika sabtu Pahing
- Orang Kendal (yang termasuk suku bangsa Jawa) tidak dapat membuat rumah mewah.
- Orang di Kudus yang tinggal di sebelah timur sungai tidak boleh menikahkan anak dengan orang yang tinggal di sebelah barat sungai.
- Orang Bagelan tidak boleh memakai pakaian atau topi bertema melati.
- Masyarakat adat Bagelan (orang kampung Bagelan yang asli), tidak boleh memelihara lembu.
Gugon tuhon, termasuk wewaler (dilarang) atau pepacuh, biasanya berasal dari nenek moyang generasi pertama yang menetap di Banyumasan. Nenek moyang yang tinggal di daerah tersebut biasanya mengalami kejadian atau kecelakaan yang tidak menyenangkan saat melakukan sesuatu. Oleh karena itu, nenek moyang yang menyebabkan kejadian tersebut melarang cucu dan keturunannya mengalami kecelakaan yang sama. Misalnya, ketika Panembahan Senapati berperang dengan Arya Penansang di Jipang, dia sedang menunggang kuda dengan rambut Batilan. Kuda yang ditunggangi Arya Penangsang disebut Gagak Rimang. Setelah kedua kesatria itu berusaha melawan, Panembahan terus berlari dengan kuda Senapati. Panembahan Senapati sangat malu dan hampir mengalami kecelakaan. Maka Panembahan menasihati Senapati, "Ketika perang pecah, tidak semua keturunan saya akan menunggangi kuda yang salah."
Contoh lain adalah kecelakaan Adipati Banyumas dalam perjalanan pada hari Sabtu Pahing. Sang Adipati kemudian melarang anak dan cucunya bepergian pada hari Sabtu Pahing. Selama ini masih banyak masyarakat Banyumasan yang tidak berani melanggar larangan tersebut, yakni tidak melakukan perjalananpada hari Sabtu Pahing. Pidato yang ada dalam gugon tuhon harus memiliki maksud dan tujuan yang dapat dijadikan pedoman hidup yang baik. Arti dari gugon tuhon disebut tindakan hubungan diplomatik yang diucapkan, dan efek dari gugon tuhon disebut tindakan pidato takhayul.
Sebagian besar gugon tuhon yang berkaitan dengan ibu hamil dan perayaannya masih dilaksanakan karena mereka percaya bahwa melanggar nasihat yang terkandung dalam gugon tuhon akan menyebabkan kesulitan bagi bayi dan keluarganya.
Gugon tuhon hanyalah mitos, namun dengan memercayai nenek moyangnya, masyarakat desa memercayainya. Namun, beberapa informan percaya bahwa itu tidak akan membungkus usus anak saat lahir.
Mayoritas gugon tuhon menghadapi ancaman irasional hilang.
Informan menganggap ancaman yang tidak masuk akal menjadi tidak masuk akal. Tidak semua informan memahami, melakukan, dan meyakini apa yang ada di gugon tuhon.
Jawaban berbeda atas apa yang mereka ketahui tentang gugon tuhon beberapa informan memahami, tidak melakukan, dan meyakini, sedangkan sebagian lainnya hanya memahami ancaman yang terdapat di gugon tuhon.
Gugon Tuhon (2).
Salah satu fenomena yang menarik dalam kehidupan masyarakat jawa adalah Gugon Tuhon. Masyarakat jawa dengan segala keyakinannya tentang hal-hal mistis pada akhirnya mempunyai mitos yang dipercaya secara kolektif dalam bentuk larangan-larangan dan nasehat-nasehat irrasional. Sebuah keyakinan irrasional ini disebut sebagai gugon tuhon, Kata gugon dari kata gugu + an, artinya mudah sekali percaya pada perkataan orang lain atau dedongengan ‘cerita dongeng’. Kata tuhon dari kata tuhu + an, artinya nyata; setia; sifat yang mudah percaya atau percaya kepada ucapan (dongeng) orang lain (Poerwadarminta, 1939: 611).
Secara umum faktor yang menjadikan adanya gugon tuhon ini adalah kepercayaan masyarakat jawa yang masih dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme. Kebiasaan berpikir tentang hal mistis pada setiap benda dan peristiwa membentuk sebuah upaya untuk menghindari dan melakukan hal-hal konyol dan irasional seperti larangan untuk tidur di sore hari dan anjuran untuk menabuh pohon kelapa saat terjadi gerhana. Secara khusus ada faktor faktor tertentu yang kemudian menjadikan apa yang diucapkan oleh orang-orang tua jawa mengandung fakta dan dampak yang nyata. Bahkan beberapa orang menunjuk sisi positif dalam setiap ungkapan dan nasihat orang-orang jawa.
Menurut Subalidinata (1968:16 ) jenis gugon tuhon itu ada tiga macam yaitu :
a. gugon tuhon salugu
b. gugon tuhon kang isi pitutur sinandi
c. gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler
Gugon tuhon salugu itu mirip dengan cerita atau dongeng kuno, yaitu anak (bocah dalam bahasa Jawa) yang termasuk golongan anak sukreta ‘tidak baik/kotor’ dan orang termasuk golongan panganjam-anjam ‘terancam’ itu akan menjadi mangsa atau makanannya Bethara Kala. Supaya anak-anak dan orang-orang terhindar dari atau sebagai mangsa Bethara Kala harus diruwat ‘disucikan’ dan sebagai sarana dipentaskan pula wayang kulit dengan lakon “Amurwakala”.
Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi ‘gugon tuhon yang berisi nasehat yang tersembunyi/baik’, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat ajaran. Namun, ajaran itu tidak jelas, cuma disamarkan. Pada umumnya orang, kalau sudah dikatakan tidak baik atau ora ilok, kemudian takut melanggar. Sebenarnya larangan itu bertujuan untuk ajaran (kawruh), supaya tidak menjalankan berupa tindakan yang melanggar yang disebutkan dalam larangan itu. Larangan itu berisi nasehat, misalnya: lire wong mangan karo ndhodhok, yen dinulu saru ‘baiknya orang makan sambil jongkok itu tidak sopan’, maksudnya orang yang sedang makan sambil jongkong itu tidak nyaman atau tidak sopan dan bisa jadi makanan yang sedang dibawanya akan jatuh.
Gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler ‘gugon tuhon yang termasuk larangan’ gugon tuhon yang berisi nasehat larangan, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat ajaran. Ajaran itu jelas dengan adanya sangsi ketika dilanggar.
Misalnya : wong-wong kang manggon ing desa Klepu (kulon jogja) ora kena nanggap wayang kulit, sebab jaman dulu tiap orang itu nanggap ‘mengadakan tontonan’ wayang kulit, setelah selesai pertunjukkan akan meninggal. Kemudian juga pernah terjadi, rumah yang digunakan untuk pertunjukkan wayang kulit tersebut dilempari batu, namun tidak ada yang tahu siapa yang melempari. Sehingga sampai sekarang orang-orang yang yang ada di desa Klepu merasa takut mengadakan tontonan/pertunjukkan yaitu wayang kulit.
Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi ‘gugon tuhon yang berisi nasehat yang tersembunyi/baik’ adapun pembahasannya sebagai berikut :
1. Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene.
Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene ‘jangan meludahi sumur, karena dikawatirkan akan sumbing bibirnya’. Meludahi sumur akan sumbing bibirnya merupakan bentuk irasional/tidak logis. Sedangkan secara rasional, ludah itu kotor, dan air sumur yang baik harus dalam keadaan bersih yang berguna untuk memasak, minum, mandi dan sebagainya. Bila air sumur diludahi maka akan menjadi kotor dan tidak baik untuk dipergunakan sehari-hari.
2. Aja lungguh bantal, mundhak wudunen.
Aja lungguh bantal, mundhak wudunen ‘jangan duduk diatas bantal, karena dikawatirkan akan bisulan‘. Secara irasioal bantal yang diduduki karena dikawatirkan akan bisulan, sedangkan secara rasional, bantal merupakan tempat untuk kepala (sirah) – waktu manusia tidur – kemudian dipakai untuk pantat/bokong, hal tersebut tidak pantas dilakukan.
3. Simpen lampit diedegake.
Simpen lampit diedegake ‘menyimpan pisau diberdirikan’. menyimpan pisau dengan cara diberdirikan akan mengawatirkan, sebab jika ada anak kecil (bocah) yang kesitu dapat karubuhan/terkena pisau.
4. Wong ngandhut lungguh tampah.
Wong ngandhut lungguh tampah ‘orang yang sedang hamil duduk di tampah’. Orang yang sedang hamil duduk di tampah itu ora ilok. Secara rasional kalau tampah itu di duduki orang yang sedang hamil akan jebol atau rusak, dan bisa mengganggu kesehatan orang yang sedang hamil. Bahkan bila tampah diduduki oleh siapapun logikanya akan rusak karena fungsi tampah bukan untuk diduduki.
5. Nyapu bengi.
Nyapu bengi ‘menyapu pada malam hari’. Menyapu pada malam hari itu tidak baik karena menyapu pada malam hari tidak bersih serta mbledugi yang sedang tidur, atau bisa jadi menyapu dimalam hari, kotoran yang disapu tidak tampak jelas dikhawatirkan tidak bersih.
6. Mbuwang uwuh aneng longan.
Mbuwang uwuh aneng longan ‘membuang sampah di bawah kasur’. Itu pastinya tidak baik untuk kesehatan, sebab kalau sampah itu membusuk bisa menjadikan bau tidak sedap/tidak enak, bisa juga kondisi seperti itu untuk sarang bibit penyakit.
7. Nyapu diendheg ana tengah lawang.
Nyapu diendheg ana tengah lawang ‘menyapu berhenti di tengah lawang’. Ingatlah pintu itu kan jalan, kalau ada uwuh ‘kotoran/sampah’ pasti tidak enak dilihat atau kesannya rumah.
8. Ngandhang kebo ana ing njero omah.
Ngandhang kebo ana ing njero omah ‘merumahkan kebo di dalam rumah’ itu mestinya tidak baik. Secara irasional, kebo yang ada di dalam rumah akan mengurangi rejeki bahkan biasa jadi akan menolak rejeki yang datang. Sedangkan secara rasional, bau atau aroma kotoran kebo akan memenui rumah, bisa juga makanan yang mau dimakan manusia terkena kotoran sehingga kurang baik untuk tubuh manusia (kurang sehat).
Lebih jauh tentang gugon tuhon akan menyangkut berbagai aspek dalam khazanah kebudayaan jawa termasuk interelasinya dengan nilai-nilai religius agama islam. Juga dengan implikasinya pada kehidupan masyarakat jawa sendiri serta bagaimana gugon tuhon ini dapat bertahan dalam masyarakat modern sekarang ini.
Pengaruh Hindu, Budha, Islam, dan segala bentuk kolonial juga mewarnai kehidupan takhayul orang Jawa. Berbagai unsure budaya spiritual yang masuk ke Jawa diadopsi pelan-pelan, hingga seakan-akan menjadi milik orang Jawa. Maka, tak jarang orang Jwa yang masih memiliki keyakinan pada dewa, hantu, ramalan (eskatologi), kosmogoni, dan lain-lain. Raja-raja tempo dulu, dianggap sebagai titisan para dewa. Raja-raja tersebut dianggap memiliki kemampuan lebih, antara lain dapat berhubungan langsung dengan hantu. Takhayul seperti itu dari waktu ke waktu menjadi sebuah mitos yang lekat di hati masyarakat.
Gugon tuhon sebagai sebuah budaya tentu saja mengalami proses sinkretis dengan budaya-budaya islam. terdapat beberapa sisi dari gugon tuhon yang sudah umum dalam masyarakat. Diantaranya adalah bentuk-bentuk larangan yang berkaitan dengan kesucian tempat seperti kuburan, masjid, alquran,dan lain sebagainya. Orang jawa sering mengaitkan prinsip atau nilai-nilai islam dengan sesuatu yang mudah diingat. Contohnya adalah tentang roh-roh halus.
Takhayul orang Jawa terhadap kekuatan roh, benda-benda, tumbuhan, hewan, manusia yang bersifat animistis merupakan bentuk keyakinan asli yang pertama kali. Sebelum orang Jawa percaya pada hal-hal lain yang dipandang rasional, orang jawa puritan sebenarnya telah meyakini dinia irasional. Roh para leluhur, mereka anggap memilki sebuah pengalaman sakti yang akan memberikan berkah tersendiri bagi generasi berikutnya.
Paradigma pemikiran gugon tuhon memang amat pelik. Oleh karena gugon tuhon itu sebuah wacana “batin” yang sifatnya subjektif. Gugon tuhon baru menjadi jelas ketika telah muncul dalam fenomena. Begitu pula gugon tuhon orang jawa pada hantu, boleh dipercaya boleh tidak, karena pembuktianya juga rumit. Gugon tuhon itu sendiri sebuah teks budaya yang memiliki (fleksibel cnstruktion).
Prosesi ritus kematian pada masyarakat Jawa tradisional, biasanya diumumkan dengan cara gethok tular (pemberitahuan dari mulut ke mulut dan dari pintu ke pintu). Pemberitahuan ini disebut ngabari (memberitahukan) atau nglayati. Untuk mendukung kabar juga igunakan kenthongan dengan bentuk bunyi kenthong cugag, yaitu benyi kenthongan tiga kali-tiga kali. Pada saat mendengar beita kematian, orang Jawa sudah sering mencoba menghubungkan dengan tanda-tanda sebelumnya, seperti bunyi burung kolik dan burung gagak. Jika burung ini berbunyi berkali-kali, mereka bertanya-tanya siapa yang akan segera meninggal. Saat itu pula, mereka meyakini bahwa kematian terjadi dan segera dating ke tempatnya.
Orang yang datang takziah (melayat) seing disebut pembelasungkawa. Pada saat melayat, biasanya dilarang bersendagurau. Suasana harus kidmat dan menunjukan rasa susah yang dalam. Orang yang datng ada yang membantu memasukan uang ditempat (kotak) yang telah disediakan, lalu tangannya dibersihkan wijik pada wijikan yang diberi daun dadap. Para pelayat ada yang langsung pulang, ada pula yang menunggu sampai penguburan selesai. Jika pulang, mereka harus mandi besar (grujug) untuk menghilangkan sarap sawan (hal-hal yang tidak di inginkan).
Secara filosofis, keberadaan gugon tuhon dalam masyarakat Jawa dapat dilihat dari aspek ontologis (tentang yang ada) yang menjelaskan bahwa gugon tuhon merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami oleh rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak didalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya dalam hal ini budaya jawa.
Kemudian berdasarkan aspek epistemologis (kebenaran dan kepastian), gugon tuhon dipahami sebagai ungkapan kebenaran yang dapat diperoleh melalui hasil aktivitas budi (pikiran), pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman yang mendukung ungkapan-ungkapan gugon tuhon menjadi perwujudan budaya Jawa.
Dalam masyarakat modern gugon tuhon berubah menjadi pitutur yang secara otomatis mempunyai nalar positif. Melihat orientasi masyarakat modern sangat bergantung pada aspek pragmatis tanpa mengindahkan sisi-sisi mistisnya maka kita bisa melihat gugon tuhon dari aspek aksiologisnya. Kegunaan utama dari gugon tuhon dalam budaya Jawa adalah memberi pengaruh yang baik terhadap masyarakat Jawa melalui ungkapan-ungkapan gugon tuhon tersebut yang secara langsung juga membentuk citra pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.
Jadi, Gugon tuhon merupakan bentuk pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin dalam kebudayaan Jawa. Gugon tuhon dapat dipahami secara irasional maupun rasional yang pada intinya memberikan ajaran atau nasihat yang baik. Secara filosofis, keberadaan gugon tuhon dalam budaya Jawa tersebut dapat dilihat dari aspek ontologis (tentang yang ada), epistemologis (kebenaran dan kepastian), dan aksiologis (kegunaan ilmu pengetahuan).
Dapat disimpulkan bahwa takhayul (gugon tuhon) menjadi pijakan kejiwaan (kerohanian dan kebatinan). Atas dasar system kejiwaan ini orang Jawa mengenal berbagai alam hidup diluar dirinya. Alam hidup yang sering di pandang istimwa dalam takhayul adalah alam kodrati. Alam ini berada di atas rata-rata kejiwaan manusia normal. Karena itu, hanya masyarakat jawa yang gemar pada pemikiran supranormal yang mampu menggapai dunia adikodrati. Oleh karena alam adikodrati itu lebih eksklusif, orang Jawa mengasumsikan bahwa alam tersebut tergolong jagat sacral yang patut mendapat perhatian khusus. Keengganan untuk melanggar dari segal mitos , takhayul, dan kepercayaan tersebut adalah konsekuensinya. Meskipun tidak dibarengi dengn pikiran-pikiran rasional atau logis.
Imajiner Nuswantoro