KAPITAYAN - SANGHYANG TAYA - SERAT DEWABUDA
Ada banyak yang menyebut Kapitayan sebagai agama asli Jawa, yang sudah ada sebelum adanya pengaruh agama-agama India ke Jawa. Kapitayan atau Kapitayana sebetulnya dapat diidentifikasi dari asal kata Pita dan Yana. Hal ini yang kerap dianggap bahwa Kapitayan adalah agama asli Jawa. Kapitayan dirujuk pada istilah kepercayaan pada Sanghyang Taya (Ka-Pitaya-n atau diterjemahkan kepercayaan).
Istilah Kapitayan ini nampaknya dieja tanpa diakritik sebagai Kapitayana. Sebagaimana dialek serupa yang terjadi dengan istilah kelompok monastik Buddha di Jawa lainnya, yakni ;
1. Kawinayan (Kawinaya),
2. Kasutrayanan (Kasutrayana),
3. Kabajradharan maupun Kamahayanan (Kamahayana),
4. Kabajrayanan (Kabajrayana),
5. Kamantrayanan (Kamantrayana).
Kapitayan, seperti yang pernah dianalisis sejarahwan, nampaknya lebih mendekati keberadaan kelompok penganut agama monastik Sarwastiwada (Sarvāstivāda) Buddha di Sumatera dan Jawa yang terhubung dengan monastik Anuradhapura di Sinhala, yang mempelajari ajaran Buddha awal atau kitab-kitab Tripitaka (Theravada). Peninggalan bangunan stupanya memiliki kesamaan dengan corak stupa Theravada kuno di Srilanka maupun Asia tenggara lainnya, seperti yang terdapat di Sumatera, Tarumanagara (Batujaya), Abhayagiri sebelum dirubah oleh Raja Panangkaran, termasuk ciri-ciri bangunan bata merah di Majapahit yang bukan dari era Majapahit seperti candi Brahu, juga termasuk corak candi Kalibukbuk di Singaraja, Bali.
Ini diperkirakan sebelum tergantikan dengan istilah monastik Buddha seperti Kawinaya(n) atau Kasutrayana(n) maupun Kabjradharan. Kapitayan ada di masa Setawiran atau Sthavira nikāya, yakni ajaran Buddha awal (old Buddhisme), yang terhubung dengan sistem monastik Mahāvihāra, yang berkembang di Sriwijaya, Tarumanagara dan Kalingga, sebelum pada masa berkembang pesatnya Mahayana dan Mantranaya (Bajrayana).
Teks-teks atau naskah kitab Buddha Kapitayan, sudah tersalin kedalam lontar-lontar berbahasa sansekerta Jawa (aksara buda). Pola kebuddhaannya tetap kental dengan nuansa tradisi religi Jawa. Mereka menggunakan jubah tertutup berwarna coklat dan membawa koprak (kotak berisikan lontar). Era Kapitayan mulai menyusut, setelah terjadinya perpecahan monastik Theravada di Srilanka.
Kemudian di Jawa, Kapitayan, juga menggabungkan Theravada, Mahayana dan Bajrayana, diajarkan dalam satu sistem monastri. Ini kemudian berkembang pesat di Jawa abad ke 7 Masehi, pada era Mataram, dimana Srī Mahārāja Rakai Pānangkaran Dyaḥ Pañcapana kemudian melakukan afiliasi dengan monastik Abhayagiri Vihāra dari Sinhala (Srilanka). Kita mengenali peninggalannya dari keberadaan situs Candi Abhayagiri, atau yang dikenal sebagai situs Candi Ratu Baka, berjarak 3 Km dari Candi Prambanan. Nama Kapitayan menyusut, sepertinya mulai tergantikan dengan istilah baru seperti Kawinaya (Vinaya) dan Kabajradharan (Vajradhara).
Hyang Taya dalam Serat Dewa Buda
Sebagaimana tradisi-tradisi keprcayaan yang berlaku, bahwa filosofi kepercayaannya, ditujukan untuk jalan keselamatan hidup (rahayu), pengetahuan (kesadaran) dan perbuatan (karya). Melalui pengabdian (bhakti) untuk nama-nama Bhatara, Leluhur (Pitara) dan Hyang, maka tercipta pola maupun sistem yang dibangun untuk keselamatan dan kebahagiaan bersama.
Tradisi di Nusantara Kuna, telah lama menerima otoritas Hyang menjadi bentuk Kesadaran Universal. Ini menjadi tradisi berabad-abad untuk mendefinisikan keberadaan-Nya sebagai kriteria utama.
Sanghyang Taya, nampaknya menjadi kesadaran universal yang memiliki banyak peran untuk itu. Meskipun kerap dinyatakan berasal dari bahasa kepercayaan asli, seperti Taya atau Tidak ada, dalam bahasa Sunda adalah Teu Aya. (Agus A. Munandar, Tatar Sunda-152). Tetapi istilah Taya, Sunyataya juga terdapat dalam naskah Paramita paling awal.
Dalam Serat Dewa Buda (turunan dari Serat Sewaka Dharma), bahwa Sanghyang (Taya) berkedudukan lebih tinggi dari pantheon Hindu ataupun Buddha. SDB 26v: 1-2 menyatakan (Agus A. Munandar, Tatar Sunda-154-155):
1. "...sanghyang tidak tergantung, siwa buddha tidak diajarkan, batara batari tidak dinamai, sunyata tidak diunggulkan. tidak ada
2. gelar puja, tidak dikaji yang serupa dengan teratai besar itu. tidak ada semuanya itu sebelumnya, hingga pada nafas, ujar dan tujuan sampai berjumpa kearifan". (Ayatrohaedi, 1988: 163)
Dalam hal ini, saya menafsirkan bahwa pernyataan diatas (SDB 26v: 1-2), adalah sebenarnya hendak menjelaskan, kedudukan awal adanya kesadaran pada 'Sanghyang', oleh Leluhur di Sunda maupun Jawa Kuna; yakni sebelum semuanya berjumpa pada kesadaran Dharma (...berjumpa kearifan/kebijaksanaan), yang artinya, semua kehidupan didunia, diawali adanya kesadaran pada 'Sanghyang'.
Karenanya tidak dimengerti oleh siapapun, tentang semua ajaran, Siwa Buddha, Batara Batari, pandangan-pandangan tentang Kasunyatan, sebagaimana sampai sekarang, menjadi keunggulan pandangan agama-agama maupun spiritual dunia. Adanya pengetahuan-pengetahuan agama, metode, puja, japa mantram hingga yang melahirkan konsep-konsep kosmologi (...teratai besar itu,...), adalah ketika kehidupan manusia dimulai, sabda (...hingga pada nafas, ujar...) dikembangkan hingga menjadi pengetahuan tentang kesadaran universal maupun konsep-konsep keagamaan (...dan tujuan sampai berjumpa kearifan). Dalam hal ini kearifan adalah kebijaksanaan atau ajaran-ajaran tentang Dharma.
Alam Sanghyang Taya disebutkan terdiri dari tujuh tingkatan, yakni: Alam Taya, Paramataya, (Paramatta), Alam Atyantataya (Atyanta), Alam Nirmalataya (Nirmala), Alam Sunammataya (Sunamma), Alam Acintyataya (Acintya), dan paling luhur adalah Alam Abhyantarataya. Di alam tersebut tiada terlihat cahaya bintang, bulan, matahari dan suara semua makhluk manusia, karena semua itu tidaklah sampai kesana (Dewabuda 5v: 2-4, Tatar Sunda Masa Silam, 2010, Agus Aris Munandar, hal 52-53).
Dalam Siksakanda ing Karesian, Siwa (Pancanana) dan Buddha (Panca Tathagata) tetap dipuja, tetap diseru untuk diminta anugrahnya, hanya dinyatakan bahwa para dewata itu manembah pada Hyang. Jadi Sanghyang maupun Hyang, adalah konsep awal penyebutan adanya 'kesadaran', untuk sebutan yang mengawali semuanya tentang Dharma (termasuk Siwa Buda) itu. Yang disebutnya Taya atau dalam bahasa Indonesia menjadi 'Tidak Ada', yang juga disimbolkan sebagai keadaan 'Kosong atau Nol'. Nol disini, dalam khasanah filsafat bukanlah bilangan.
Penebalan maknanya adalah 'Tiada awal-tiada akhir pula Tiada sebab-akibat'. Ini menjadi penegasan diluar kemampuan indrawi, akal dan pikiran. Hanya ada kesadaran yang menyatakan, keadaannya yang 'Hyang', disini menjadi kesadaran yang 'Maha Gaib', tertinggi atau tidak terjangkau dari segala yang Gaib. Disini, segala yang Gaib atau Jati Niskala, menjelaskan, adalah kesadaran inteligensi, kejeniusan yang memprakarsai pikiran manusia, nyata juga tidak dapat dijangkau oleh pikiran untuk mewujudkan yang Maha Gaib itu (Maha Jati Niskala)
Kepercayaan pada Hyang
Sang Hyang Taya adalah konsep Tuhan dalam agama Kapitayan, suatu kepercayaan asli Nusantara. Sang Hyang Taya bersifat abstrak dan tidak bisa digambarkan, diartikan sebagai "yang tidak bisa diapa-apakan". Dalam Kapitayan, Sang Hyang Taya adalah entitas tertinggi yang dipuja, dan pemujaan dilakukan dengan cara yang unik, seperti yang dijelaskan dalam berbagai ritual.
Kepercayaan pada Hyang, mempolakan banyak tradisi dalam bentuk adat istiadat dan ritualnya. Ini memiliki kesamaan pandangan-pandangan dari berbagai tradisi budayanya, meski dalam interpretasi yang berbeda dari banyak naskah-naskah kuno maupun tradisi lisannya. Ajaran-ajaran tradisi ini, juga di menempatkan kepercayaan pada salah satu dewa utama yang dipuja, tetapi tidak spesifik condong mengalahkan kepercayaan mereka pada konsep Hyang. Kemudian, adalah mengolah Kesadaran dan Rasa (Buddhi Prakerti), menjadi pengetahuan (Kawruh), di mana keutamaannya, adalah memperoleh kecerdasan maupun keingin-tahuannya, menjadi tujuan Kebenaran yang dituju.
Koleksi artikel Imajiner Nuswantoro