LAKON WISANGGENI DAN PERANNYA
Lakon Wisanggeni Lahir (Versi 1)
Dewi Dresnala bidadari putri kahyangan yang sangat cantik. Ia dihadiahkan pada Arjuna karena berhasil memberantas angkara murka yang yang dilakukan oleh para Buta atau raksasa. Arjuna bersama Dresnala hidup dalam kedamaian penuh kasih sayang. Dresnala telah mengandung bayi dari buah kasih Arjuna. Oleh karena itu Arjuna sering menyambangi Dresnala di kahyangan.
Di tempat lain, Dewa Srani mengadu kepada Bethari Durga, ibunya. Bahwa ia juga menghendaki Dewi Dresnala jadi istrinya. Kemudian Durga dan Srani menghadap kepada Bethara Guru memohon bantuan. Dewa Srani mengiringi ibunya ke paseban agung tempat Bhetara Guru (kepala para dewa) bersama para Dewa bertemu. Antara lain yang hadir, Bhatara Narada, Bhatara Indra, Bathara Kamajaya dan lainnya hadir. Dewa Srani didampingi Dewi Durga menyampaikan maksud untuk merebut Dewi Dresnala. Disitulah Bethari Durga ikut merayu Bhatara Guru.
Singkat cerita, Bathara Guru terpengaruh rayuan Bathari Durga dan Dewa Srani. Bathara Guruh mengeluarkan titah untuk mengusir Arjuna dari kahyangan, yang kebetulan Arjuna sedang mengunjungi Dewi Dresnala. Bahkan Bethara Guru memerintahkan menggugurkan bayi di dalam kandungan Drenala, kemudian mengawinkan Dresnala dengan Srani. Bhatara Narada dan Kamajaya berusaha mencegah, tapi malah diberi sangsi dengan dilepas kedudukanya sebagai dewa. Bhatara Narada marah dan turun ke bumi bersama Kamajaya. Sementara itu pasukan Bathara Indra segera diutus untuk menjalankan perintah, menggugurkan kandungan, dan mengusir paksa Arjuna dari kahyangan. Dewi Dresnala dipaksa untuk ikut ke kediaman Dewa Srani. Sebelum gugur bayi dalam kandungan, Dewi Dresnala berteriak nyaring, lalu lahirlah jabang bayi dari rahimnya.
Dengan sangat kecewa, Semar saat mendapat laporan tentang kejadian tersebut, lalu pergi ke kahyangan untuk melihat apa yang sedang terjadi. Semar mengetahui terdapat bayi dipukuli oleh para pengikut Bethara Guru. Bayi tidak mati, justru merangkak cepat membesar. Bathatara Indra bingung, maka dihantam dengan pusaka. Bayi merangkak lagi, dan berdiri kemudian mampu berlari. Akhirnya bayi tersebut dimasukan kedalam kawah Candradimuka.
Semar melihat dan berdiri di samping kawah Candradimuka. Tiba-tiba keluarlah remaja dari kawah Candradimuka dengan tubuh berwarna merah api. Remaja tersebut menghampiri Semar dan bertanya, “siapa dirinya dan siapa ayah ibunya”. Semar memberi nama Wisanggeni kepadanya. Wisanggeni pemuda sehat, segar dan penuh kekuatan itu berterimakasih kepada Semar. Lalu oleh Semar Wisanggeni disuruh bertanya kepada pasukan Bethara Guru, siapa ayah dan ibunya. “Bagaimana kalau tak dijawab?” tanya Wisanggeni. “Gebuki aja” jawab Semar.
Wisanggeni menghadang pasukan. Ia bertanya tentang siapa nama ayah ibunya. Semua pasukan, tidak ada yang bisa jawab siapa ayah dan ibu Wisanggeni. Semua pasukan Bethara Guru dihajar sampai kocar kacir. Pasukan menghadap kepada Bhatara Guru. Wisanggeni mengikuti ke hadapan Bathara Guru sambil dipantau oleh Semar. Bathara Guru marah, karena Semar menyuruh Wisanggeni berbuat kasar kepada Bhatara Guru untuk bertanya siapa ayah dan ibunya, dan jika tidak dijawab digebuki. Bathara Guru bertarung melawan Wisanggeni. Bathara Guru kalah, Wisanggeni tidak tertembus oleh pusaka Bathara Guru.
Bathara Guru melarikan diri ke dunia, Wisanggeni terus mengikuti. Di dunia Bathara Guru menemui Arjuna yang lagi bersedih bersama Werkudara dan didampingi dua orang pertapa. Bhatara Guru datang dan meminta bantuan bahwa ada “anak syetan” yang mengacak acak kahyangan. Walaupun Arjuna diperlakukan buruk oleh para dewa, ia siap maju, tapi Werkudara mencegahnya. Werkudara menghadapi “anak syetan” tersebut. Wisanggeni bertanya pada Werkudara, “Siapakah kau”?. “Aku, satria Satria Yodipati”, jawab Werkudara.
Semar berpesan, “Jika Wisanggeni mau mengalahkan, hantam kuku Pancanaka Werkudara, itu kelemahanya”, pesan Semar. Terjadilah pertarungan antara diantara keduanya. Werkudara dikalahkan oleh Wisanggeni, dan menyuruh Arjuna maju menggantikannya.
Wisanggeni bertanya kepada Semar “siapa dia”?. “Itu ayahmu, jangan melawan” jawab Semar. Namun pertarungan tetap tak bisa dihindari, Wisanggeni kalah. Ia hampir tertusuk keris oleh Arjuna, tapi dihalangi Semar. “Lebih baik bunuh saya, karena dia itu anakmu”, kata Semar. Werkudara ganti mengamuk setelah tahu bahwa Bathara Guru yang salah. Sambil mengamuk, ia bergumam, “Pantas aku kalah, karena aku membela yang salah”. Dua pertapa ternyata Kamajaya dan Narada.
Setelah gak kuat berhadapan dengan Semar, Bathara Guru minta maaf pada Semar, Narada, Kamajaya, Arjuna dan Wisanggeni. Wisanggeni melabrak tempat kediaman Dewa Srani, lalu sang ibu Dewi Dresnala diajak pulang.
***
Kedamain yang disimbulkan keluarga Arjuna dan Dresnala terkoyak oleh keinginan Srani yang ingin merebut Dresnala. Politik patgulipat, konspirasi, permainan elit para Bethara membuat kebijakan tidak adil. Bethara Guru pemimpin para pengambil kebijakan luruh dengan rayuan Durga yang hanya menginginkan Srani, anaknya bahagia karena keinginannya bisa terpenuhi, meski dengan cara merebut. Bethara-Bethara lain seperti Narada dan Kamajaya, yang seharusnya meluruskan tidak digubris, malahan dilemahkan dan dipecat. Sementara itu Bethara Indra malahan menjadi pemimpin pasukan koalisi Bethara Guru dan Bethara Kala. Kahyangan sudah sudah mampu menjadi teladan dan pengayom. Bahkan realitas politik kahyangan telah melakukan politik devide at empira pada rakyatnya sendiri, yaitu satu komunitas idak sedang komunitas yang lain disumpal uang.
Generasi baru bernama Wisanggeni, anak arjuna bisa jadi sebagai anak ibu pertiwi, mereka tidak mungkin bisa dihentikan semangatnya. Meski hendak dibunuh sejak dini ketika masih dalam kandungan. Bahkan dibumi hanguskan yaitu dimusnahkan, dimasukkan di kawah Candradimuka. Generasi baru justru akan bangkit dari kawah Candradimuka. Ketika Guru tidak mampu menumpas genrasi baru, maka Guru mengadu domba dengan paman dan ayahnya sendiri. Genarasi baru dilabeli anak syetan, anti dasar negara dan anti persatuan. Arjuna dan Werkudara, bapak dan pamannya sendiri, karena tidak paham, mereka pun ikut dalam barisan penumpas generasi baru tersebut. Dalam benak mereka, Wisanggeni adalah perusak keutuhan NKRI harga mati. Maka terjadi perang saudara yang tak berkesudahan.
Ini adalah bulan Agustus, bulan kemerdekaan, mari maknai kemerdekaan dengan persaudaraan antar paham kenegaraan bukan pemberangusan kemerdekaan kawan. Politik devide at empira adalah politik penjajah yang menyengsarakan. Bukan untuk ditiru penguasa untuk mengadu domba rakyatnya sendiri.
WISANGGENI LAHIR (VERSI 2)
Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Wisanggeni, yaitu putra Raden Arjuna yang lahir dari Batari Dresanala, putri Batara Brahma. Bambang Wisanggeni ini adalah putra Pandawa yang sangat istimewa, tidak terkalahkan karena adakalanya menjadi tempat Sanghyang Padawenang bersemayam.
BATARA BRAHMA TELAH MENGAMBIL RADEN ARJUNA SEBAGAI MENANTU
Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru sedang memimpin pertemuan para dewa yang dihadiri Batara Narada, Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Indra, dan Batara Panyarikan. Dalam pertemuan itu Batara Guru bertanya kepada Batara Brahma mengapa cukup lama tidak datang menghadap. Batara Brahma menjelaskan bahwa ia baru saja menikahkan putrinya yang bernama Batari Dresanala dengan Pandawa nomor tiga, yaitu Raden Arjuna.
Batara Guru bertanya bagaimana ceritanya Raden Arjuna bisa menikah dengan bidadari. Jasa apa yang telah ia perbuat sehingga bisa menjadi suami Batari Dresanala. Batara Brahma pun bercerita, awalnya ia mempunyai murid bernama Prabu Setaketu dari Kerajaan Selapura. Prabu Setaketu ini dari luar tampak sangat berbakti dan mematuhi segala petunjuk yang diberikan Batara Brahma, namun di dalam hati menyimpan maksud lain. Hingga pada suatu hari Prabu Setaketu menunjukkan watak aslinya. Ia berkhianat menjebak Batara Brahma masuk ke dalam perangkapnya. Rupanya Prabu Setaketu adalah pemuja Batara Kala yang ingin menyenangkan dewa sesembahannya itu. Batara Brahma sendiri berhasil meloloskan diri namun kesaktiannya banyak berkurang karena perangkap Prabu Setaketu. Dalam pelariannya itu, Batara Brahma bertemu Raden Arjuna yang sedang berkelana. Ia pun meminta bantuan Pandawa nomor tiga tersebut untuk menghadapi Prabu Setaketu.
Raden Arjuna menyanggupi. Ia lalu menghadang Prabu Setaketu yang datang mengejar Batara Brahma. Mereka berdua lalu bertarung sengit. Setelah lama bertanding, Raden Arjuna berhasil menewaskan Prabu Setaketu. Batara Brahma sangat berterima kasih. Sebagai ungkapan syukur, ia pun menikahkan Raden Arjuna dengan putrinya yang bernama Batari Dresanala. Demikianlah kisahnya mengapa Batara Brahma lama tidak menghadap ke Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru memaklumi dan ia pun merestui perkawinan Raden Arjuna dengan Batari Dresanala, semoga kelak mendapat keturunan manusia utama yang memiliki kesaktian istimewa.
BATARI DURGA MELAMAR BATARI DRESANALA UNTUK PRABU DEWASRANI
Ketika para dewa sedang mengucapkan selamat kepada Batara Brahma yang mendapatkan menantu baru, tiba-tiba Batari Durga datang bersama putranya yang bernama Prabu Dewasrani, raja Tunggulmalaya. Batari Durga datang menghadap Batara Guru untuk menyampaikan maksud Prabu Dewasrani yang ingin menikah dengan Batari Dresanala. Untuk itu, ia pun memohon kepada Batara Guru agar merestui perjodohan mereka.
Batara Guru berkata bahwa keinginan Prabu Dewasrani tersebut sudah terlambat karena Batari Dresanala telah menikah dengan Panengah Pandawa, yaitu Raden Arjuna. Untuk itu, ia menyarankan agar Prabu Dewasrani memilih bidadari yang lain saja sebagai istri. Prabu Dewasrani menolak karena ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Batari Dresanala dan tidak bersedia jika diganti dengan bidadari lainnya.
Batari Durga pun membela putranya. Ia bertanya mengapa Batara Guru lebih mendukung Raden Arjuna yang bukan siapa-siapa, dan mengorbankan keinginan putra sendiri. Batari Durga mengingatkan suaminya itu adalah raja para dewa, tentunya memiliki kuasa tanpa batas. Batara Guru bahkan berhak untuk menceraikan Batari Dresanala dengan Raden Arjuna, lalu menikahkannya dengan Prabu Dewasrani.
Batara Narada menyela ikut bicara. Ia mengingatkan bahwa memisahkan dua orang yang sudah menikah bukanlah perbuatan terpuji. Batara Guru adalah raja para dewa, tentunya harus tetap berbuat adil dan bijaksana, bukan justru berbuat seenaknya. Batari Dresanala sudah menikah dengan Raden Arjuna, dan mereka tidak boleh dipisahkan begitu saja.
Batari Durga memotong pembicaraan Batara Narada dan ia semakin gencar merayu Batara Guru. Sambil menangis-nangis ia berkata bahwa Batara Guru sudah melupakan kewajiban sebagai ayah. Sejak kecil Prabu Dewasrani berada dalam asuhan Batari Durga tanpa sekali pun Batara Guru menjenguk atau menujukkan tanggung jawabnya sebagai ayah. Dalam hal ini Batari Durga tidak menyesal. Yang ia sesali hanyalah Batara Guru rela melihat anaknya patah hati padahal bisa memberikan bantuan dengan mengandalkan kekuasaannya.
Bujuk rayu Batari Durga telah menyentuh perasaan Batara Guru. Ia pun memutuskan akan membantu Prabu Dewasrani mendapatkan Batari Dresanala. Batara Brahma lalu diperintah untuk menceraikan Batari Dresanala dengan Raden Arjuna. Apabila Batari Dresanala sudah terlanjur mengandung, maka janin dalam rahimnya harus digugurkan.
Batara Brahma terkejut mendengar perintah itu. Ia pun memohon agar Batara Guru tidak memberikan tugas berat seperti ini. Namun, Batara Guru justru marah karena tugas ringan seperti itu disebut berat. Ia sudah membulatkan tekad untuk mengabulkan keinginan Prabu Dewasrani, maka Batara Brahma tidak perlu mengarang-ngarang alasan segala. Ia memerintahkan Batara Brahma agar secepatnya mengusir Raden Arjuna dari Kahyangan Daksinageni dan menyerahkan Batari Dresanala kepada Prabu Dewasrani. Jika tidak, maka Batara Guru sendiri yang akan bertindak. Batara Brahma tidak berani membantah lagi. Ia pun mohon pamit meninggalkan Kahyangan Jonggringsalaka. Batari Durga berterima kasih kepada sang suami, lalu mohon pamit pula untuk mengikuti Batara Brahma bersama Prabu Dewasrani.
Sepeninggal mereka, Batara Narada mengaku sangat kecewa melihat Batara Guru yang termakan bujuk rayu Batari Durga, sehingga bersikap tidak adil kepada Raden Arjuna dan Batari Dresanala. Batara Guru tidak peduli dan memaki Batara Narada yang terlalu banyak mencampuri urusan rumah tangganya. Batara Brahma adalah putra Batara Guru, dan Batari Dresanala adalah cucunya. Maka, Batara Guru merasa berhak menikahkan Batari Dresanala dengan laki-laki yang ia kehendaki. Apabila Batara Narada berani menentang, maka ia tidak segan-segan memecat sepupunya itu dari jabatan kamituwa Kahyangan Jonggringsalaka.
Batara Narada menjawab dirinya tidak takut dipecat. Bahkan, ia sendiri yang menyatakan mundur dan melepaskan jabatan daripada melayani raja dewa yang tidak adil. Usai berkata demikian, Batara Narada pun pergi meninggalkan pertemuan.
Batara Guru mencurigai Batara Narada akan melakukan pemberontakan. Maka, ia pun memerintahkan Batara Sambu, Batara Bayu, dan para putranya yang lain agar mengejar dan menangkap Batara Narada. Apabila Batara Narada bersedia meminta maaf, maka ia bisa kembali memperoleh jabatannya sebagai kamituwa Kahyangan Jonggringsalaka. Namun, apabila Batara Narada melawan, maka putra-putranya diberi wewenang untuk berbuat kasar seperlunya. Batara Sambu dan yang lain merasa perintah ini sangat berat, namun mereka tidak berani membantah.
BATARA NARADA DILINDUNGI PARA PUTRA BATARA ISMAYA
Batara Narada yang bergegas meninggalkan Kahyangan Jonggringsalaka tiba-tiba dikejar oleh putra-putra Batara Ismaya, antara lain Batara Kamajaya, Batara Surya, Batara Yamadipati, dan Batara Temburu. Para dewa itu bertanya mengapa Batara Narada meninggalkan pertemuan dengan wajah marah. Batara Narada pun menjelaskan dari awal hingga akhir, terutama soal ketidakadilan Batara Guru terhadap Raden Arjuna, karena termakan bujuk rayu Batari Durga.
Batara Kamajaya dan saudara-saudaranya ikut kesal mendengar cerita tersebut. Mereka lalu menyatakan ikut bergabung dengan Batara Narada, meskipun harus kehilangan jabatan. Batara Narada senang mendengarnya. Hari ini ia berniat melaporkan ketidakadilan Batara Guru pada leluhur para dewa, yaitu Sanghyang Padawenang di Kahyangan Awang-awang Kumitir. Para putra Batara Ismaya tersebut diminta untuk ikut menemani.
Tiba-tiba Batara Sambu, Batara Indra, Batara Bayu, Batara Asmara, Batara Cakra, dan Batara Mahadewa datang membawa pasukan dorandara untuk mengepung Batara Narada dan kawan-kawan. Mereka membawa perintah Batara Guru agar menangkap Batara Narada. Apabila Batara Narada bersedia meminta maaf, maka mereka akan berbuat sopan. Namun, apabila Batara Narada melawan, mereka pun terpaksa menggunakan kekerasan.
Batara Narada semakin marah mendengar hal itu. Batara Kamajaya pun meminta Batara Narada tidak perlu mendengarkan mereka. Jika para putra Batara Guru menggunakan kekerasan, maka putra-putra Batara Ismaya siap menghadapi. Batara Sambu marah mendengarnya dan memerintahkan pasukan dorandar untuk maju menyerang.
Demikianlah, perang saudara antara para dewa pun terjadi. Batara Narada merasa berhutang budi kepada para putra Batara Ismaya. Dengan berat hati ia pun meloloskan diri untuk pergi ke Kahyangan Awang-awang Kumitir. Sementara itu, Batara Kamajaya dan para saudara bertempur sekuat tenaga melawan para putra Batara Guru dan pasukannya, hingga akhirnya mereka semua tertangkap karena jumlah lawan jauh lebih banyak.
BATARA NARADA MENGHADAP SANGHYANG PADAWENANG
Batara Narada yang terbang secepat kilat akhirnya sampai di Kahyangan Awang-awang Kumitir. Di sana ia menghadap Sanghyang Padawenang, leluhur para dewa. Kepada Sanghyang Padawenang, Batara Narada melaporkan apa yang terjadi di Kahyangan Jonggringsalaka, yaitu bagaimana Batara Guru menyalahgunakan kekuasaan dengan lebih mementingkan urusan pribadi. Akibat bujuk rayu Batari Durga, Batara Guru tega berlaku kurang adil kepada Raden Arjuna dan Batari Dresanala dengan cara menceraikan mereka berdua yang sudah resmi menikah.
Sanghyang Padawenang menerima laporan Batara Narada. Ia lalu bertanya apa yang telah dilakukan Batara Narada sebagai kamituwa kahyangan, apakah sudah berusaha menasihati Batara Guru untuk bertindak benar? Batara Narada tidak berani menjawab karena takut menyombongkan diri. Sanghyang Padawenang tentunya dapat melihat sendiri apa yang telah terjadi dengan pandangan saktinya. Sanghyang Padawenang membenarkan hal itu bahwa dirinya memang dapat melihat Batara Guru telah berbuat tidak adil.
Sanghyang Padawenang lalu berkata bahwa Batari Dresanala saat ini telah mengandung putra Raden Arjuna. Melalui janin dalam perut bidadari tersebut, ia berniat memberikan hukuman atas kesalahan Batara Guru. Ia pun memerintahkan Batara Narada untuk mengawasi bayi itu apabila sudah lahir, sedangkan dirinya sendiri yang akan melindungi si bayi. Batara Narada gembira mendengarnya dan berterima kasih atas bantuan Sanghyang Padawenang yang sudi turun gunung. Kedua dewan itu lalu berangkat menuju Kahyangan Daksinageni.
BATARA BRAHMA MENCERAIKAN RADEN ARJUNA DAN BATARI DRESANALA
Sementara itu, Batara Brahma telah sampai di tempat tinggalnya, yaitu Kahyangan Daksinageni. Batari Dresanala dan Raden Arjuna menyambut kedatangannya. Batara Brahma tampak gugup. Namun, demi menjalankan perintah Batara Guru, ia terpaksa berbohong bahwa Raden Arjuna harus segera pulang ke Kerajaan Amarta, karena Batari Dresanala diminta Batara Guru untuk menjadi pelengkap barisan bidadari Kahyangan Jonggringsalaka yang jumlahnya sakethi kurang sawiji atau 99.999 orang.
Raden Arjuna merasa curiga namun dipendamnya dalam hati. Ia lalu mohon pamit kepada Batara Brahma dan Batari Dresanala untuk pergi meninggalkan Kahyangan Daksinageni. Batari Dresanala tidak tega melepas kepergian sang suami, namun ayahnya tampak memaksa agar mereka segera berpisah. Dengan berat hati akhirnya Batari Dresanala pun mempersilakan Raden Arjuna pergi.
Sepeninggal Raden Arjuna, barulah Batara Brahma berterus terang bahwa Batara Guru menghendaki Batari Dresanala bercerai dengan suaminya itu, karena akan dinikahkan dengan Prabu Dewasrani raja Tunggulmalaya. Batari Dresanala tidak bersedia karena cintanya hanya untuk Raden Arjuna seorang. Batara Brahma membujuk putrinya itu bahwa Prabu Dewasrani jauh lebih pantas sebagai suami daripada Raden Arjuna. Prabu Dewasrani seorang raja yang belum menikah, sedangkan Raden Arjuna hanyalah pangeran biasa tetapi sudah mempunyai banyak istri. Apa gunanya dimadu dengan sedemikian banyak perempuan? Bukankah lebih baik putrinya itu menjadi permaisuri tunggal seorang raja muda yang tampan rupawan bernama Prabu Dewasrani?
Batari Dresanala menjawab hatinya sudah tertambat kepada Raden Arjuna. Jangankan menjadi istri yang dimadu dengan banyak wanita, sedangkan menjadi pelayan Raden Arjuna pun ia bersedia. Apa gunanya ia menjadi permaisuri raja Tunggulmalaya tetapi hatinya selalu merindukan suami pertama? Lagipula, dalam rahimnya telah bersemayam janin buah cinta antara dirinya dengan Raden Arjuna.
BATARA BRAHMA MEMAKSA BATARI DRESANALA MELAHIRKAN DINI
Batara Brahma marah mendengar jawaban putrinya itu. Ia menyebut putrinya sebagai bidadari bodoh yang tak tahu diuntung. Ia pun memukul Batari Dresanala hingga jatuh pingsan. Melihat putrinya roboh tak sadarkan diri, Batara Brahma menyesal namun sudah kepalang tanggung. Tugasnya harus dilaksanakan sampai tuntas. Ia berniat mengeluarkan secara paksa janin dalam kandungan putrinya tersebut.
Pada saat itulah Sanghyang Padawenang datang tanpa menampakkan diri. Ia segera masuk menyusup ke dalam rahim Batari Dresanala. Sementara itu, Batara Brahma tampak mengheningkan cipta sambil meraba perut putrinya. Ia lalu mengerahkan kesaktian untuk menggugurkan kandungan Batari Dresanala. Namun, si janin bukannya mati tetapi justru bertambah besar karena mendapat perlindungan dari Sanghyang Padawenang. Semakin Batara Brahma memaksa janin itu keluar, ukuran si janin justru semakin bertambah besar. Dalam sekejap usia kandungan Batari Dresanala sudah sama dengan kandungan berusia sembilan bulan yang siap dilahirkan.
Batara Brahma heran dan menduga pasti ada dewa lain yang berusaha menggagalkan rencananya. Namun, ia sama sekali tidak menduga bahwa Sanghyang Padawenang yang turun langsung melindungi janin putrinya. Bagaimanapun juga ilmu kesaktian Sanghyang Padawenang jauh di atas Batara Brahma, sehingga Batara Brahma tidak dapat merasakan kehadirannya.
Batara Brahma tidak peduli entah siapa dewa yang ikut campur. Ia pun memijat perut putrinya agar janin yang sudah matang itu keluar. Kali ini Sanghyang Padawenang ikut mendorong sehingga bayi tersebut pun keluar dari rahim Batari Dresanala. Batara Brahma lalu memungut bayi tersebut yang ternyata berkelamin laki-laki. Ia melihat cucunya itu sangat tampan hingga membuat hatinya bergetar tidak tega untuk membunuhnya.
Pada saat itulah Batari Durga datang bersama Prabu Dewasrani. Mereka berdua datang untuk menjemput dan memboyong Batari Dresanala. Batara Brahma tidak berani menolak. Ia pun mempersilakan apabila putrinya dibawa pergi. Prabu Dewasrani berterima kasih lalu mengangkat tubuh Batari Dresanala yang masih pingsan dan pergi meninggalkan Kahyangan Daksinageni bersama ibunya.
BAYI PUTRA BATARI DRESANALA TUMBUH DEWASA DALAM SEKEJAP
Setelah Batari Durga dan Prabu Dewasrani pergi membawa putrinya, Batara Brahma kembali bimbang memandang si bayi yang ada dalam gendongannya. Menurut perintah Batara Guru, bayi tersebut harus dibunuh. Akan tetapi, Batara Brahma tidak tega jika harus mengambil nyawa cucunya yang tampan tersebut. Berkali-kali ia mencoba mencekik leher si bayi namun diurungkan di tengah jalan.
Setelah berpikir keras sambil meneteskan air mata, Batara Brahma akhirnya teringat peristiwa dua puluh tahun silam. Kala itu kahyangan diserang Patih Sekiputantra utusan Prabu Kalapracona yang melamar Batari Supraba. Para dewa mengambil anak Arya Wrekodara yang masih bayi dan menceburkannya ke dalam Kawah Candradimuka. Bayi tersebut bukannya mati, tetapi justru berubah menjadi dewasa dalam waktu singkat, dan kemudian diberi nama Raden Gatutkaca.
Teringat pada peristiwa tersebut, Batara Brahma seolah mendapat gagasan. Ia pun membawa cucunya ke Gunung Jamurdipa, di mana Kawah Candradimuka berada. Ia berkata kepada si bayi, apabila nasibnya sama seperti Raden Gatutkaca, maka cucunya itu akan tetap hidup dan keluar dari Kawah Candradimuka dengan selamat. Namun, apabila tidak selamat, maka Batara Brahma meminta maaf terpaksa membunuh cucunya sendiri. Usai berkata demikian, Batara Brahma pun melemparkan bayi dalam gendongannya ke arah Kawah Candradimuka.
Sanghyang Padawenang yang masih mengawasi diam-diam ikut terjun ke dalam kawah dan kemudian bersatu ke dalam diri si bayi. Berkat kekuasaan Sanghyang Padawenang, bayi itu tidak mati di dalam kawah, tetapi tubuhnya berkembang menjadi seorang pemuda belia. Kawah Candradimuka tersebut kemudian menyala berkobar-kobar. Apinya membumbung tinggi hingga ke langit luas. Dari dalam kobaran api tersebut keluarlah seorang remaja yang langsung melompat menerjang Batara Brahma.
Batara Brahma jatuh terjengkang. Ia heran bercampur gembira karena cucunya ternyata selamat dan tumbuh dewasa seperti yang dulu dialami Raden Gatutkaca. Namun, ia kemudian teringat pada perintah Batara Guru. Mau tidak mau ia terpaksa harus membunuh cucunya tersebut. Akan tetapi, pemuda yang dihadapinya sudah mendapat kesaktian dari Sanghyang Padawenang. Batara Brahma pun tidak dapat mengalahkannya, justru ia yang dibuat lari tunggang langgang karena terdesak oleh remaja tersebut.
BATARA NARADA MEMBERI NAMA ANAK DEWI DRESANALA
Batara Narada yang mengintai dari jauh kagum menyaksikan wujud si pemuda yang berbadan kurus tetapi tampan dan penuh keberanian. Mata pemuda itu tampak berkilat-kilat seperti api yang menyala. Wajahnya pun kemerah-merahan, penuh dengan semangat keberanian.
Melihat Batara Narada mendekat, pemuda itu bersiap-siap hendak menyerangnya. Namun, Batara Narada berhasil menyabarkannya dengan cara mengaku sebagai kakek si pemuda. Pemuda itu lalu bertanya siapa ia yang sebenarnya. Batara Narada menjawab, bahwa pemuda itu adalah putra Raden Arjuna dengan Batari Dresanala. Sekarang ia sudah dewasa, maka pantas apabila memiliki nama penggilan. Karena pemuda itu tampak penuh semangat seperti api yang berkobar-kobar, maka Batara Narada pun memberinya nama, Bambang Wisanggeni.
Pemuda itu senang mendengar nama pemberian Batara Narada untuknya. Mulai hari itu, ia pun memakai nama Bambang Wisanggeni.
BAMBANG WISANGGENI MELAWAN PARA PUTRA BATARA GURU
Tiba-tiba para putra Batara Guru datang mengepung Batara Narada dan Bambang Wisanggeni. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Bayu, Batara Indra, Batara Asmara, Batara Cakra, dan Batara Mahadewa yang membawa pasukan dorandara. Mereka berniat menangkap Batara Narada sekaligus membunuh cucu Batara Brahma sesuai perintah Batara Guru.
Melihat itu, Batara Narada segera berbisik kepada Bambang Wisanggeni agar meminta mereka mengembalikan ayah dan ibunya. Apabila para dewa itu menolak, maka Bambang Wisanggeni boleh memukuli mereka. Bambang Wisanggeni yang mengira Batara Narada benar-benar kakeknya segera bertindak mematuhi perintah tersebut. Ia pun meminta kepada para dewa itu agar mengembalikan ayah dan ibunya. Para dewa tersebut tidak tahu-menahu. Tanpa banyak bicara, Bambang Wisanggeni pun menerjang ke arah mereka.
Batara Sambu dan adik-adiknya tidak menyangka si pemuda begitu berani. Mereka berusaha menangkap pemuda itu, namun Bambang Wisanggeni ternyata begitu gesit dan lincah. Tidak seorang pun dewa yang berhasil menangkapnya. Sebaliknya, justru Bambang Wisanggeni yang beberapa kali berhasil melayangkan pukulan dan tendangan ke arah para dewa tersebut.
Batara Sambu merasa malu dicundangi anak remaja tak dikenal. Karena semakin terdesak, ia pun mengajak adik-adiknya mundur, kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka. Melihat pihak lawan mundur, Batara Narada segera berbisik kepada Bambang Wisanggeni agar mengejar mereka. Karena para dewa itu tidak dapat mengembalikan ayah dan ibunya, maka Bambang Wisanggeni sebaiknya bertanya kepada raja para dewa yang bernama Batara Guru. Bambang Wisanggeni pun bertanya seperti apa ciri-ciri raja para dewa tersebut. Batara Narada menjawab, raja para dewa memiliki empat lengan.
Bambang Wisanggeni menyanggupi. Ia lalu melesat terbang mengejar para dewa yang kabur tadi.
BAMBANG WISANGGENI MENGEJAR BATARA GURU
Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru menerima Batara Brahma yang menghadap dan melaporkan bahwa ia telah menceraikan Raden Arjuna dan Batari Dresanala, namun tidak berhasil membunuh anak mereka. Begitu si bayi yang dilahirkan Batari Dresanala diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka, bukannya mati tetapi justru tumbuh menjadi remaja yang sangat sakti. Batara Brahma tidak mampu menghadapinya dan memilih kabur melarikan diri.
Batara Guru tidak percaya mendengar laporan itu. Ia menuduh Batara Brahma mengarang alasan karena tidak tega membunuh cucu sendiri. Tiba-tiba Batara Sambu, Batara Bayu, dan yang lain datang menghadap dalam keadaan babak belur. Mereka melapor baru saja dikalahkan oleh seorang anak remaja berbadan kurus tetapi sangat sakti. Pemuda itu konon bernama Bambang Wisanggeni.
Batara Guru termangu-mangu. Kali ini ia tidak bisa lagi untuk tidak percaya. Ia yakin ada dewa sepuh yang melindungi Bambang Wisanggeni. Batara Sambu menjawab dewa itu pastilah Batara Narada. Batara Guru menjawab tidak mungkin, karena menurut firasatnya, dewa pelindung itu tentunya lebih sepuh dibanding Batara Narada. Seketika Batara Guru pun gemetar karena yakin bahwa dewa yang melindungi Bambang Wisanggeni pastilah ayahnya, yaitu Sanghyang Padawenang. Berpikir demikian, Batara Guru merasa takut sekaligus malu. Ia pun memilih kabur daripada bertemu Sanghyang Padawenang.
Tak disangka, Bambang Wisanggeni sudah berada di tempat itu. Sesuai pesan Batara Narada, Bambang Wisanggeni pun meminta Batara Guru agar mengembalikan ayah dan ibunya. Batara Guru tidak menjawab, tetapi kabur dan bersembunyi di balik awan. Namun, Bambang Wisanggeni sudah berada di sampingnya dan bertanya di mana ayah ibunya berada.
Batara Guru terkejut dan meluncur ke bawah untuk bersembunyi di dalam lautan. Akan tetapi, Bambang Wisanggeni mampu menyusul pula ke dalam lautan. Batara Guru kembali kabur dan bersembunyi di dalam gunung. Bambang Wisanggeni datang dan mengangkat gunung tersebut. Batara Guru semakin ketakutan. Ia merasa perlu meminta bantuan para Pandawa dan segera terbang menuju Kerajaan Amarta.
BATARA GURU MEMINTA BANTUAN PARA PANDAWA
Di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa dihadap para adik, yaitu Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, Raden Sadewa, serta para putra, yaitu Raden Pancawala, Raden Antareja, Raden Gatutkaca, Raden Antasena, dan Raden Abimanyu. Hadir pula Prabu Kresna Wasudewa yang datang berkunjung dari Kerajaan Dwarawati.
Dalam pertemuan itu, Prabu Kresna bertanya kepada Raden Arjuna mengapa lama tidak terlihat. Raden Arjuna menjawab, dirinya beberapa bulan yang lalu dimintai tolong Batara Brahma untuk mengalahkan musuhnya yang bernama Prabu Setaketu dari Kerajaan Selapura. Setelah Raden Arjuna menang, Batara Brahma sangat berterima kasih dan menyerahkan putrinya yang bernama Batari Dresanala sebagai istri Panengah Pandawa tersebut. Prabu Kresna memuji Raden Arjuna, apabila berkelana pasti mendapat istri baru.
Tiba-tiba Batara Guru datang. Para Pandawa dan hadirin lainnya segera menyembah, kecuali Arya Wrekodara dan Raden Antasena yang hanya memberi salam, sesuai watak mereka yang apa adanya. Batara Guru berkata dirinya sedang dalam kesulitan karena ada pemuda yang mengacau di Kahyangan Jonggringsalaka. Pemuda ini bukan pemuda sembarangan tetapi ada semacam kekuatan gaib berdiri di belakangnya. Itulah sebabnya Batara Guru datang ke Kerajaan Amarta adalah untuk meminta bantuan para Pandawa agar meringkus pengacau tersebut.
Prabu Puntadewa prihatin mendengarnya dan segera memerintahkan Arya Wrekodara untuk segera bertindak. Arya Wrekodara merasa aneh apa sebabnya remaja itu mengacau Kahyangan Jonggringsalaka, mengapa Batara Guru tidak menjelaskan di awal? Prabu Puntadewa menegur Arya Wrekodara agar menjaga sopan santun. Jika tidak mau berangkat, maka dirinya sendiri yang akan menghadapi pengacau tersebut. Arya Wrekodara yang seumur hidup tidak berani membantah kakak sulungnya itu segera terdiam dan siap menjalankan perintah.
BAMBANG WISANGGENI MENGAMUK DI KERAJAAN AMARTA
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Patih Tambakganggeng datang melapor bahwa ada anak muda kurus tetapi sangat sakti mengamuk di halaman istana, mencari Batara Guru. Prabu Puntadewa mengulangi perintah agar Arya Wrekodara segera bertindak. Arya Wrekodara pun berangkat disertai ketiga putranya.
Sesampainya di luar, Arya Wrekodara segera menangkap Bambang Wisanggeni. Namun, pemuda itu dengan lincah meloloskan diri dan balas memukul. Meskipun Bambang Wisanggeni berbadan kurus tetapi pukulannya sangat mantap, dan tepat mengenai titik kelemahan Arya Wrekodara yang terletak di pelipis kanan. Arya Wrekodara merasa pusing dan mundur ke belakang.
Raden Antareja tidak terima ayahnya disakiti dan segera maju menyerang Bambang Wisanggeni. Namun, ia juga tidak mampu mengalahkan pemuda tersebut. Raden Antareja menyembur Bambang Wisanggeni menggunakan ludah berbisa, namun justru berbalik mengenai dirinya sendiri.
Raden Gatutkaca maju menyerang. Ia terbang ke angkasa lalu menukik ke bawah untuk menyambar tubuh Bambang Wisanggeni. Akan tetapi, ia ternyata tidak mampu mengangkat tubuh Bambang Wisanggeni yang jauh lebih kecil darinya itu. Raden Gatutkaca berusaha sekuat tenaga mengangkat tubuh Bambang Wisanggeni tetapi pemuda itu sedikit pun tidak bergerak. Bahkan, Bambang Wisanggeni justru balik menangkap tangan Raden Gatutkaca dan membanting tubuh lawannya itu ke tanah.
Bambang Wisanggeni melihat Arya Wrekodara dan kedua putranya telah kalah. Kini tinggal putra ketiga yang masih berdiri, bernama Raden Antasena. Bambang Wisanggeni mendatanginya dan bertanya apa mau bertarung seperti yang lain. Raden Antasena hanya tertawa dan berkata dirinya tidak sama seperti ayah dan kedua kakaknya. Raden Antasena tidak mau melaksanakan perintah raja secara membabi buta. Untuk itu, ia merasa perlu menyaring terlebih dulu, apakah perintah tersebut benar atau tidak. Meskipun Prabu Puntadewa seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana, tetapi tetap saja ia seorang manusia yang bisa berbuat khilaf.
Raden Antasena lalu bertanya mengapa Bambang Wisanggeni mengacau Kahyangan Jonggringsalaka. Bambang Wisanggeni berkata ia ingin mencari ayah dan ibunya. Menurut keterangan dari kakeknya, raja dewa berlengan empat mengetahui keberadaan kedua orang tuanya itu. Namun, dewa berlengan empat yang bernama Batara Guru itu tidak mau menjawab dan memilih kabur, membuat Bambang Wisanggeni terpaksa mengejar ke mana pun ia pergi.
Raden Antasena lalu bertanya siapa nama ayah dan ibu Bambang Wisanggeni, barangkali ia bisa membantu. Pemuda itu menjawab, ayahnya bernama Raden Arjuna, sedangkan ibunya bernama Batari Dresanala. Raden Antasena gembira dan berkata bahwa Raden Arjuna adalah pamannya, dan itu berarti Bambang Wisanggeni adalah adik sepupunya. Ia lalu menggandeng tangan Bambang Wisanggeni dan mengajaknya masuk ke dalam istana Indraprasta.
BAMBANG WISANGGENI BERTEMU RADEN ARJUNA
Di dalam istana, Prabu Kresna sedang mengobati luka-luka Arya Wrekodara, Raden Antareja, dan Raden Gatutkaca. Raden Antasena kemudian datang bersama Bambang Wisanggeni. Prabu Puntadewa segera menanyai pemuda itu, mengapa mengamuk mengejar Batara Guru. Bambang Wisanggeni pun bercerita, bahwa ia disuruh kakeknya yang bernama Batara Narada untuk menanyakan perihal kedua orang tuanya kepada raja dewa yang berlengan empat. Raden Antasena lalu menambahkan, bahwa Bambang Wisanggeni adalah putra Raden Arjuna dan Batari Dresanala.
Batara Guru menyela bahwa Batara Narada bukanlah kakek Bambang Wisanggeni, tetapi yang benar dirinyalah kakek buyut pemuda itu. Pada saat itulah Batara Narada datang dan mengatakan bahwa Batara Guru tidak layak disebut sebagai kakek buyut karena memerintahkan untuk membunuh cicitnya sendiri.
Prabu Kresna dan Prabu Puntadewa segera menengahi kedua dewa yang sedang berselisih itu. Batara Narada lalu menceritakan semua dari awal hingga akhir, bahwa Batara Guru terkena bujuk rayu Batari Durga hingga tega memisahkan Raden Arjuna dan Batari Dresanala, serta memerintahkan pembunuhan terhadap Bambang Wisanggeni.
Kyai Semar hadir pula karena mendengar ribut-ribut di istana Indraprasta. Sebagai kakak kandung Batara Guru, ia ikut menegur adiknya itu karena telah berbuat tidak adil, melakukan khilaf, memisahkan sepasang suami-istri yang saling mencintai, demi memenangkan kepentingan anaknya yang bernama Prabu Dewasrani.
Batara Guru tertunduk lesu dan menyadari kekeliruannya. Sebagai raja dewa ia telah berbuat salah, mementingkan urusan pribadi dan melanggar hak orang lain. Ia pun meminta maaf kepada semua yang ada di situ, terutama kepada Raden Arjuna dan Bambang Wisanggeni.
Melihat Batara Guru telah meminta maaf secaara tulus, Sanghyang Padawenang pun keluar dari tubuh Bambang Wisanggeni. Semua orang segera menghaturkan sembah kepada leluhur para dewa tersebut. Sanghyang Padawenang berkata bahwa Bambang Wisanggeni adalah lambang pemberontak, maksudnya di sini adalah pemberontak yang memperjuangkan keadilan karena penguasa yang seharusnya mengayomi justru berbuat tidak adil. Apabila Batara Guru kembali berbuat lalim dan melanggar hukum keadilan, maka Sanghyang Padawenang akan kembali menitis kepada Bambang Wisanggeni demi menegakkan kebenaran.
Usai berkata demikian, Sanghyang Padawenang pun musnah dari pandangan. Batara Guru sekali lagi meminta maaf kepada Batara Narada dan juga para Pandawa. Sebaliknya, Batara Narada juga meminta maaf karena berani memberontak kepada Batara Guru. Kedua dewa itu lalu saling berpelukan dan melupakan dendam di antara mereka.
Batara Guru kemudian berkata pada Raden Arjuna bahwa Batari Dresanala berada di Kerajaan Tunggulmalaya, yaitu negeri yang dipimpin Prabu Dewasrani, putranya. Usai berkata demikian, ia dan Batara Narada pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
Raden Arjuna prihatin sekaligus bahagia melihat nasib putranya yang lahir dari Batari Dresanala kini telah tumbuh dewasa dalam sekejap. Ia pun memeluk Bambang Wisanggeni dan mengajak pemuda itu bersama-sama menuju Kerajaan Tunggulmalaya.
RADEN ARJUNA MEMBEBASKAN BATARI DRESANALA
Di Kerajaan Tunggulmalaya, Prabu Dewasrani tampak sibuk merayu Batari Dresanala agar bersedia menjadi istrinya. Namun, Batari Dresanala selalu menolak dengan segala alasan. Merasa tidak sabar lagi, Prabu Dewasrani pun berusaha memaksa dan memerkosa Batari Dresanala. Ia begitu berani bertindak demikian karena merasa mendapat dukungan dari Batara Guru.
Tiba-tiba muncul Raden Arjuna menerjang Prabu Dewasrani. Keduanya lalu bertarung seru, sementara Bambang Wisanggeni menolong Batari Dresanala. Meskipun Bambang Wisanggeni sudah dewasa, namun naluri keibuan Batari Dresanala dapat mengenali kalau pemuda itu adalah putra kandungnya. Ia pun menangis dan memeluk Bambang Wisanggeni dengan erat.
Sementara itu, Prabu Dewasrani terluka parah menghadapi kesaktian Raden Arjuna. Batari Durga datang dan mengamuk atas keadaan putranya itu. Karena Batari Durga turun tangan, Kyai Semar pun maju menghadapi. Batari Durga merasa segan karena tidak pernah menang melawan kakak iparnya tersebut. Ia pun memilih kabur dengan menggendong tubuh Prabu Dewasrani.
Raden Arjuna bersyukur bisa berkumpul kembali dengan Batari Dresanala, apalagi sekarang putra mereka telah lahir dan tumbuh dewasa. Mereka lalu bersama-sama pulang ke Kerajaan Amarta dengan disertai para panakawan. Di tengah jalan tiba-tiba muncul Batara Brahma yang meminta maaf karena telah berbuat jahat kepada mereka. Itu semua ia lakukan karena takut melanggar perintah Batara Guru. Sungguh beruntung, mereka semua baik-baik saja karena mendapat perlindungan Yang Mahakuasa.
Raden Arjuna, Batari Dresanala, dan Bambang Wisanggeni berkata hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Yang terpenting semuanya telah berakhir dengan bahagia. Batara Brahma bersyukur mendengarnya. Ia pun ikut menyertai kepergian mereka menuju Kerajaan Amarta.
Sumber cerita :
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari dongeng bapak yang saya padukan dengan pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto, dengan sedikit pengembangan seperlunya. Kediri, 13 Desember 2017. Heri Purwanto
Wisanggeni (Versi 3)
Wisanggeni, Kisah Pemuda Tumbal Kemenangan Perang yang Dibuang saat Lahir (Wisanggeni putra Dresanala dan Arjuna yang sejak lahir dibuang ke kawah candradimuka itu akhirnya mati muda jadi tumbal kemenangan perang Baratayuda)
Dalam kesempatan ini penulis akan berbagi tentang kisah Wisanggeni, karakter pewayangan yang jadi salah satu tokoh pewayangan kesukaan saya, setelah karakter Adipati Karna tentunya. Dalam cerita pewayangan, karakter satu ini termasuk over power atau sakti. Bahkan dalam lingkup Mahabharata versi pewayangan Jawa, karakter Wisanggeni merupakan salah satu tokoh terkuat bersama dengan sepupunya sesama putra turunan pandawa lain, yaitu Antasena.
Keduanya bisa saja meluluh lantahkan dunia dengan kekuatan mereka jika mau, namun untungnya mereka terlahir dikalangan protagonist yang berbudi luhur sehingga pikiran serta tindakan mereka diatur untuk tujuan kebaikan saja.
Walaupun sangat sakti, karakter-karakter ini tidak tampil dalam babak puncak peperangan Baratayuda dalam kisah Mahabharata, karena keduanya harus mati terlebih dahulu sebagai tumbal kemenangan pihak Pandawa atau pihak baik dalam cerita. Bersamaan dengan alasan jika mereka turut serta, maka perang Baratayuda akan berakhir dalam hitungan waktu atau jam saja. Akibat saking timpangnya kekuatan kedua belah pihak jika tokoh-tokoh ini ikut serta. Menjadikan nilai serta tujuan dari perang antar kebaikan dengan keburukan itu tidak akan terlihat, karena ketimpangan yang ada di dalamnya.
Berdasarkan dalih asas kesetaraan ini tokoh wisanggeni ditumbalkan dalam cerita, walaupun ada alasan lain kenapa tokoh ini tidak tampil di perang puncak Baratayuda, tentu karena karakter satu ini adalah karakter asli buatan epos Mahabharata versi Jawa yang tidak ada di cerita asli versi India. Pada akhirnya, supaya tidak merusak jalan cerita dan membuat kebingungan, tentu karakter ini harus dihilangkan dalam cerita akhir.
Siapa sebenarnya karakter original pewayangan Jawa ini dan kenapa bisa memiliki kekuatan yang sangat over power dan sakti, sampai harus dimatikan sebelum puncak perang terjadi? Akan saya coba uraikan nilai-nilai yang terdapat dalam karakter ini, yang juga menjadikan penokohannya mendapat banyak simpati dan digemari dalam cerita pewayangan.
Wisanggeni, Dibuang Sejak Dini dalam Bara Api
Dalam cerita pewayangan jarang sekali muncul karakter sakti tak tertandingi yang murni keturunan sepasang manusia. Biasanya karakter sakti dalam cerita adalah dewa, manifestasi dewa, keturunan dewa, keturunan buto atau raksasa dan sebagainya. Wisanggeni sendiri bukanlah keturunan murni manusia karena secara silsilah, dia lahir dari pasangan seorang Ibu bernama dewi Dresanala salah satu bidadari kayangan dengan Arjuna yang secara teknis juga adalah keturunan dewa Indra.
Berdasarkan sepenggal silsilah ini saja, kita sudah bisa membayangkan mengapa tokoh Wisanggeni bisa sangat sakti serta over power dalam lakon pewayangan. Pertama karena sosok ayahnya, Arjuna adalah salah satu karakter over power serta kesayangan para dewa di universe pewayangan. Membuat karakter ini selalu mendapat plot armor yang membuatnya kerap meraih kemenangan dalam pertarungan. Tidak hanya itu, bahkan karakter ini juga dikisahkan dicintai banyak karakter wanita dalam cerita pewayangan, sungguh definisi anak emas author.
Kembali ke cerita Wisanggeni, secara garis keturunan saja bisa ditebak akan sekuat apa anak ini setelah lahir kelak. Namun malangnya, kabar keberadaannya bahkan sudah menimbulkan penentangan dari pihak dewa Kayangan karena tidak menghendaki adanya penyatuan antar kalangan dewa dengan manusia. Salah satu tokoh paling depan yang menolak penyatuan beda kasta ini adalah sang kakek jabang bayi sendiri atau bapak dari Dresanala, yaitu Batara Brahma atau dewa Brahma yang berlaku demikian atas desakan Batara Guru selaku tetua para dewa Kayangan, yang juga dihasut oleh istrinya dewi Durga.
Siasat sedemikian rupa pun dilakukan, setelah mengusir Arjuna dari kayangan Batara Brahma kemudian malakukan upaya kekerasan pada putrinya sendiri agar janin cucunya dapat lahir sebelum waktunya. Janin itu kemudian dibawa oleh sang kakek untuk dimusnahkan dengan menceburkannya ke kawah candradimuka di gunung Jamurdipa.
Atas kehendak semesta, riwayat sang janin tidak berakhir begitu saja. Alih-alih hangus menjadi abu, si janin ini justru selamat dan seketika tumbuh sebagai pemuda tampan nan gagah dalam kawah berapi. Sang kakek yang segera pergi sebelum kejadian itu terjadi, tentu tidak mengetahui jika si janin tersebut mewarisi kekuatan dari dirinya, yang dikenal sebagai dewa penguasa api.
Batara Narada salah satu dewa Kayangan yang tidak setuju dengan rencana pemisahan Dresanala dan Arjuna ternyata sedari awal telah mengawasi kejadian tersebut dari kejauhan. Batara Narada lalu membantu pemuda tersebut keluar dari kawah berapi. Sembari menceritakan asal-usul kelahirannya kepada si pemuda, Batara Narada juga sempat memberikan nama padanya. Wisanggeni, itulah nama yang diberikan Batara Narada padanya. Nama itu diambil dari kata wisa (bisa/racun) dan geni (api) yang bermakna racun api. Nama ini diberikan setelah melihat kemarahan dewa api Brahma pada janin cucunya, justru membuat si janin mampu membakar panas kawah berapi disekitarnya. Dikisahkan juga keajaiban tersebut terjadi juga berkat restu Sang Hyang Wenang, salah satu entitas tertua dalam silsilah dewa dalam pewayangan.
Begitulah awal mula karakter Wisanggeni hadir dalam dunia pewayangan. Terdapat beberapa versi tentang lahirnya Wisanggeni seperti tokoh yang membantunya keluar dalam kawah berapi dan memberinya nama, bukanlah Batara Narada melainkan Semar dan sebagainya, namun alur utamanya masih sama. Bagian selajutnya akan menceritakan kekuatan, serta tingkah tidak wajarnya yang membuatnya banyak digemari.
Apa itu Tata Krama bagi Wisanggeni ?
Sebagai anak yang tumbuh besar tanpa didikan tata krama dari orang tuanya, Wisanggeni yang juga diceritakan tidak mengenal kedua orang tuanya ini, tidak bisa berbahasa sopan kepada lawan bicaranya. Dalam pewayangan, Wisanggeni dalam dialognya biasa menggunakan Bahasa Jawa “ngoko” kepada setiap lawan bicaranya, dimana penggunaan gaya Bahasa ini normalnya digunakan antar teman sebaya atau kalangan usia yang sama, serta status hirarki yang satu tingkat dengan kita.
Menggunakan gaya Bahasa ini pada yang lebih tua ataupun memiliki kasta lebih tinggi akan dianggap kurang sopan. Namun bagi Wisanggeni siapapun lawan bicaranya, dia tetap menggunakan Bahasa ngoko. Karena kesopanan bisa digunakan untuk menipu lawan bicara, karenanya dia lebih memilih berujar apa adanya meski terkesan ceplas ceplos, namun tujuan aslinya dapat disampaikan dan dimengerti secara langsung.
Akibat cara bicaranya yang dianggap kasar ini, Wisanggeni sering disalah persepsikan sebagai sosok yang angkuh dan tidak tau tata krama. Adapun dibalik penokohannya yang seperti itu juga tercermin sifat jujur serta tidak bertele-tele dalam karakternya. Wisanggeni cuma diketahui menggunakan Bahasa kromo atau halus hanya pada saat berbicara dengan Sang Hyang Wenang.
Ksatria Wiji Sejati serta Satu dari Dwitunggal Pilih Tanding
Wisanggeni adalah sosok yang menjunjung tinggi kebenaran, ia juga sosok yang dikenal berani apalagi menyangkut melawan kebatilan dan angkara murka. Maklum, karena Wisanggeni ini termasuk dalam kelompok protagonist dalam pewayangan yang pasti merepresentasikan nilai-nilai keluhuran dan kebaikan.
Namun demikian, keberaniannya ini juga didukung oleh kepintaran serta kekuatan dalam dirinya. Wisanggeni seperti sempat disebutkan diatas merupakan satu dari dua tokoh paling sakti dan over power dalam cerita. Kesaktiannya hanya dapat disandingkan dengan saudara sepupunya, Antasena putra Bima kakak Arjuna. Mungkin yang bisa membedakan keduanya hanya cara bersikap dan gaya berbicaranya saja. Bila Antasena dikenal terkesan lugu dan polos dalam tindakan serta pikirannya, Wisanggeni dikenal sebagai pribadi yang banyak akal dan penuh pertimbangan. Gaya berbahasa keduanya pun sebenarnya sama, keduanya sesama pelafal Jawa ngoko. Adapun yang membedakan hanya pembawaan ketika berbicara, jika Wisanggeni terkesan pelan dan halus namun Antasena dalam berbicara selalu grusa grusu sehingga terdengar lebih kasar.
Karena kedekatannya itu kedua karakter ini sering kali tampil bersama dalam beberapa lakon pewayangan, memiliki kemiripan sifat serta sama-sama sakti dan over power membuat keduanya sering disebut sebagai dwitunggal pilih tanding dalam pewayangan karena dua tokoh ini bagai dua entitas yang saling terkait erat serta selalu bersama, terlebih keduanya sama-sama tidak tertandingi. Bahkan keduanya juga diceritakan berbagi pusaka yang sama bernama gada inten.
Adapun dari segi kekuatan, keduanya sesama level top tier di pewayangan, dan dikisahkan mampu menandingi para dewa kayangan. Khusus Wisanggeni alasan kekutannya selain kesaktian yang diturunkan dari kakekya sang dewa api, Batara Brahma. Seperti ayahnya yang menjadi anak emas para dewa, dirinya juga merupakan anak kesayangan dewa. Namun, bukan sembarang dewa kayangan, melainkan leluhur para dewa bernama Sang Hyang Wenang. Disebutkan bahwa kelahirannya di dunia adalah akibat adanya restu serta perlindungan dari Sang Hyang Wenang dan setiap kehadiran Wisanggeni juga disertai kehadiran Sang Hyang Wenang. Akibatnya Wisanggeni juga dijuluki sebagai Ksatria Wiji Sejati.
Pemuda yang Menuntut Kebenaran serta Menggugat Kebatilan pada Sesepuhnya
Sebelumnya diceritakan bahwa janin Wisanggeni dibuang oleh kakeknya Batara Brahma yang aksinya didukung pihak dewa Kayangan, melalui cerita Batara Narada. Wisanggeni yang mengetahui itu sempat menanyakan perihal tingkah para dewa kayangan yang bertindak seenaknya sendiri dan mungkar kepada dirinya. Demi menuntut balas dan mengetahui jati diri dan asal usulnya Batara Narada menyuruh Wisanggeni pergi ke kayangan, berbekal kekuatan yang didapat dan dimiliki. Wisanggeni menghajar para elite dewa Kayangan seperti sang kakek Batara Brahma hingga pemimpin kayangan Batara Guru dibuatnya takluk. Setelah aksi geger geden di kayangan tersebut, Batara Narada muncul dan menjelaskan duduk permasalahan sehingga para dewa kayangan akhirnya bertobat dan mengakui kesalahan mereka.
Ternyata masalah belum berakhir di sana, Ibu Wisanggeni ternyata telah dibawa kabur oleh Dewasrani untuk dijadikan istri. Mengetahui hal itu Wisanggeni disarankan menemui ayahnya, Arjuna demi menolong Ibunya dewi Dresanala. Pergilah dia ke Amartapura demi menemui ayahnya, karena kedatangannya yang mendadak serta sopan santunnya yang kurang, menyulut emosi para Pandawa dan mengakibatkan Wisanggeni terlibat duel dengan para elite kerajaan Amartapura seperti Bima, Gatot Kaca, hingga Antareja. Semua dilibas Wisanggeni, sampai pada giliran Antasena. Alih-alih berduel justru Antasena mengajak Wisanggeni berdialog dan menyampaikan alasan kedatangannya. Alhasil setelah mengetahui tujuannya sang kakak sepupu ini kemudian merangkul dan membawa Wisanggeni menemui Arjuna.
Arjuna si womanizer dunia pewayangan itu tidak lantas mengakui Wisanggeni sebagai anaknya sebelum melihat kemampuannya dalam duel, tentu saja duel sengit itu dimenangkan Wisanggeni. Setelah mengakui Wisanggeni sebagai anaknya, keduanya lantas pergi menemui Dewasrani dan membebaskan Dewi Dresanala. Wisanggeni dalam upayanya menyatukan keluarganya kembali ini mencerminkan sikap berani yang dimiliki Wisanggeni meskipun masih muda dia tidak segan menemui dan mengkoreksi kesalahan orang yang lebih tua darinya dan menyampaikan kebenaran pada mereka.
Dalam beberapa lakon seperti Wisanggeni Lahir, Wisanggeni Duto ataupun Wisanggeni Moksa, tokoh ini kerap diceritakan tidak segan menuntut keadilan bahkan pada sosok yang lebih tua darinya, bahkan meskipun sosok tersebut adalah dewa sekalipun. Akibat dari buah kecerdasan serta pemikirannya yang selalu mencari kebenaran. Banyak sekali buah pemikirannya yang terkesan "edan" atau gila, namun tujuannya akhirnya benar. Untungnya lakon-lakon tersebut biasa dilakoni Wisanggeni tidak seorang diri, kerap kali sosok Antasena mendampingi lakon edan adiknya tersebut. Biasanya keduanya akan berbagi peran dimana Wisanggeni sebagai akal (otak) sedangkan Antasena sebagai okol (otot).
Rela Moksa demi Tumbal Kebajikan
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa Wisanggeni adalah karakter gubahan Mahabharata original versi Jawa dan tidak ada dalam perang puncak Baratayuda. Tentu saja sebagai tokoh tambahan kehadirannya akan merubah cerita jika ditampilkan namun dalam cerita pewayangan kisah tidak adanya Wisanggeni dalam perang Baratayuda memiliki nilai luhur yang patut diteladani. Dikisahkan sebagai karakter over power bersama sepupunya Antasena mampu datang menemui Sang Hyang Wenang semau mereka. Sebelum perang berlangsung kedua putra Pandawa ini berniat meminta restu kemenangan dan sowan atau berkunjung bertemu Sang Hyang Wenang, namun setelah meminta restu keduanya justru diminta untuk moksa atau mati dan melepaskan keduniawian sebagai syarat pihak Pandawa mendapatkan kemenangan.
Keduanya diperintahkan moksa bukan tanpa sebab, karena saking kuatnya hingga jika mereka ikut serta dalam perang maka pihak musuh tidak akan mampu bertahan lama setelah perang dimulai, karena pihak Kurawa yang melambangkan kebatilan tidak memiliki pesaing sebanding untuk mereka. Jika demikian nilai perang antar kebajikan melawan kebatilan tidak akan terlihat dalam perang nantinya. Keduanya pun patuh dan menuruti keinginan Sang Hyang Wenang karena selain keduanya menguasai kemampuan weruh sadurunge winarah (tahu sebelum sesuatu terjadi) keduanya juga menjunjung nilai kebajikan dalam dirinya, sehingga jika kehadiran dirinya mengakibatkan pihak kebenaran tidak akan menang melawan kebatilan maka keduanya memilih merelakan kehidupannya demi terwujudnya kebenaran. Suatu gambaran nilai ikhlas yang cukup tinggi dari mendermakan miliknya sendiri demi kebaikan yang diterima oleh orang lain.
Ditulis ulang oleh : Imajiner Nuswantoro