SUNAN GESENG BERGURU KE SUNAN KALIJAGA
(Saking Anggitanipun Kangjeng Pangeran Arya Suryaningrat)
Cerita Sunan Geseng Berguru kepada Sunan Kalijaga
1. Penyadap nira yang mendapat sebongkah emas menyilaukan.
Sunan Geseng adalah seorang mubaligh murid setia Sunan Kalijaga. Dia berasal dari desa Bedhug, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo.
Nama aslinya Cakrajaya, seorang penyadap nira. Karena sangat miskinnya, di desanya dia juga dijuluki Ki Petungmlarat.
Meski miskin, nmun Cakrajaya rajin melakukan tirakat dan tapabrata, untuk mendalami ngelmu Kejawen, sehingga mampu memiliki kesaktian.
Setiap kali Ki Cakrajaya akan menyadap nira (nderes klapa), dia selalu sambil ura-ura (melantunkan tembang) yang sekaligus juga sebagai mantra menyadap nira, “Clonthang clanthung wong nderes buntute bumbung, apa gelem apa ora.”
(Clontang clantung orang menyadap ekornya bumbung, apa mau apa tidak).
Ketika dia memanjat sebuah pohon kelapa untuk menyadap nira, juga sambil nembang. Di bawah pohon kelapa yang dipanjatnya ada seseorang yang menegurnya, ”Hai ki sanak, tidak begitu doanya bila mau menyadap nira. Doanya adalah dengan menyebut Asma Allah.”
Kemudian ‘orang asing’ itu berkata kepadanya,“Bila ki sanak akan melakukan sesuatu pekerjaan awalilah dengan membaca dua kalimat syahadat dan menyebut Asma Allah, “Bismillahirahmannirahim……”
‘Orang asing’ itu kemudian diajaknya singgah ke rumah Ki Cakrajaya. Di rumahnya, tamu itu meminta ijin kepadanya untuk ikut mencetak ‘setangkep’ gula jawa dengan cetakan tempurung kelapa.
Selesai mencetak gula jawa, sebelum pamit tamu itu berpesan,”Jangan sekali-kali cetakan gula itu dibuka sebelum saya jauh meninggalkan rumahmu ini.”
Ketika sang tamu telah jauh dari rumahnya, dengan tak sabar lagi bergegaslah Ki Cakrajaya membuka cetakan gula jawa itu.
Ketika tempurung cetakan gula jawa itu dibuka, dia sangat kaget dan terheran-heran. Karena di dalam cetakan itu bukanlah berisi setangkep gula jawa, tetapi sebongkah emas yang menyilaukan matanya.
“Tamu itu pasti bukan orang sembarangan,” pikir Ki Cakrajaya penasaran.
2. Sunan Geseng rela menunggu guru Sunan Kalijaga selama tujuh belas tahun.
Di balik kegembiraan mendapat sebongkah emas, di benak Ki Cakrajaya tetap penasaran dan ingin tahu, siapa sebenarnya orang itu.
“Aku akan mencarinya sampai ketemu dan akan berguru kepadanya,” begitu niatnya dalam hati.
Dalam perjalanan yang cukup melelahkan di sebuah hutan Ki Cakrajaya akhirnya berhasil bertemu dengan orang ‘sakti’ itu. Dia tidak lain adalah Sunan Kalijaga, yang tengah berkelana menyebarkan agama Islam di kawasan Jawa Tengah bagian selatan.
Kemudian dia menyampaikan niat dan keinginannya untuk bisa berguru dan menimba ilmu agama kepada Sunan Kalijaga.
Mendengar niat yang tulus dari Ki Cakrajaya, Sunan Kalijaga dengan senang hati bersedia menerimanya sebagai muridnya.
Dengan taat dan patuh kepada gurunya Ki Cakrajaya mengikuti perjalanan syiar agama Islam gurunya, Sunan Kalijaga, ke mana pun dia pergi berkelana.
Di tengah pengembaraannya untuk menyebarkan agama Islam itu, pada suatu hari Sunan Kalijaga bermaksud akan menunaikan ibadah ke Mekah.
Dia meminta Ki Cakrajaya untuk menunggu di suatu tempat yang ditandai dengan tancapan tongkat bambunya. Ki Cakrajaya ‘sendika dhawuh,’ dengan taat dan setia dia menunggu di tempat itu.
Konon, Ki Cakrajaya ditinggal Sunan Kalijaga selama tujuh belas tahun. Begitu lamanya menunggu, tongkat bambu itu tumbuh dan berkembang menjadi hutan bambu yang cukup lebat, menutup tempat Ki Cakrajaya duduk menunggu kembalinya sang guru.
Ketika Sunan Kalijaga kembali ke tempat tersebut dan melihat tempat itu sudah berubah menjadi hutan bambu, Ki Cakrajaya sulit ditemukan.
Agar mudah mencari murid setianya itu, kemudian Sunan Kalijaga membakar hutan bambu itu dan tampaklah Ki Cakrajaya di tengah abu rumpun bambu.
Meski hutan bambu itu habis terbakar, dia tidak mati. Badan Ki Cakrajaya hanya ‘geseng’ (hangus). Dan sejak saat itu, Sunan Kalijaga memanggil Ki Cakrajaya dengan julukan Geseng.
DHANDHANGGULA
01.
Sruning sedya yun manedhak tulis, tyas kapencut mireng wasitarja, faedah geng surasane, Jeng Pangeran anggitanipun, Suryaningrat paradyeng nagri, Pakualam Yogya, kartadi kang dinung, methik cariyos srat babad, kala Cakrajaya puruhita maring, Jeng Sunan Lepen Jaga.
Serunya hendak menciptakan menyalin menulis, hati terpesona mendengan nasehat, faedah besar manfaatnya, karya Kanjeng Pangeran, Suryaningrat bangsawan negeri, Pakualaman Yogyakarta, Adi Ningrat, mengambil cerita dari babad, tentang Cakrajaya yang berguru, kepada Sunan Lepen Jaga.
02.
Wusnya pinaringan nama salin, Sunan Geseng gya nyuwun pitedah, supaya trang panampine, cekak aos mrih cukup, kaop tiyang kira pangreti, suprih tinggal ngertinya, kawarna ingriku, Sunan Geseng marek ngersa, manembah ing suku Kangjeng Sunan Kali, sarya matur mangngrepa.
Sesudahnya diberikan nama baru, Sunan Geseng segera meminta petunjuk, supaya terang penerimaannya, singkat saja supaya cukup, agar orang mudah mengerti, supaya tetap mengerti, tersebutlah di situ, Sunan Geseng menghadap, menyembah kaki Sunan Kalo, seraya berkata memohon.
03.
Duh Sinuhun hamba miminta sih, bab pangulahing kawruh Makripat, Jeng Sunan Lepen sabdane, iya bener sireku, krana wajib ngatase urip, ngarep-arep ing rohmat, palaling Hyang Agung, lan wedi siksaning Allah, kang mangkana ingngaran budi mutakin, dadi sarating iman.
Duh Sinuhun hamba memohon kemurahamu, tentang ilmu makrifat, lalu Kanjeng Sunan Lepen berkata, ya kamu benar, karena wajib mengatasi hidup, dengan mengharapkan rahmat, pahala dari Hayang Agung, dan takut siksa Allah, yang seperti itu dinamakan budi mutakin, menjadi syaratnya iman.
04.
Ngatasing wong kang manedya mamrih, Nurhidayat trangging pangawikan, patang prakara margane, dhihin kang wus kasebut, iya iku budi mutaqin, lire Widi ing Allah, kang kapindho kudu, andhap asor ing sapadha, ping telune den karem brata tataki, ngadohi ing kadonya.
Syarat bagi orang untuk mendapatkan berkah, Nurhidayat menerangkan pengetahuan, ada empat jalan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yaitu budi mutakin, artinya takut kepada Allah, yang kedua harus bersikap rendah hati kepada sesama, yang ketiga khusyuk dalam beribadah, menjahui keduniawian.
05.
Kang kaping patira nranggulangi, marang satru mungguh ing tyasira, yaiku hawa napsune, aliya saka iku, mardi ring tyasira pribadi, ana telung prakara, kadhihin kudu wruh, kasampurnaning panembah, iya iku ingkang kajarwa ing Patih, ingngaran kukum sarak.
Yang keempat mengendalikan, musuh yang ada dalam hati, yaitu hawa nafsu, selain dari itu singkirkanlah, kuatkan hatimu, ada tiga jalan, yaitu yang dijelaskan dalam hadist, disebut hukum syara’ (syari’).
06.
Akeh lan kajarwa sekalir, mengko pinet rikese kawala, pitung prakara perangnge, dhihin pangreh ing kukum, kang kalawan den santosani, tininggal dadi dosa, yen linakon antuk, palal tegese ganjaran, iya iku ingkang den arani wajib, mungguhing kukum sarak.
Terlalu banyak jika dijelaskan semua, nanti diringkas saja, dibagi menjadi tujuh perkara, pertama taat pada aturan, dan harus dengan keyakinan, bila ditinggalkan berdosa, jika dikerjakan mendapat, pahala atau ganjaran, yaitu yang dinamakan wajib, yang ada didalam hukum syara.
07.
Kaping pindho dhawuhing Hyang Widi, ingkang nora kelawan wasesa, panggawe sunat arane, yen linakonan antuk, gagantungan palaling Widi, tininggal siniksa, de kang kaping telu, panyegah kelawan siksa, ginantungan palal yen nora nglakoni, yeku jeneng ing karam.
Yang kedua perintah Hyang Widi, yang tidak dengan kekuasaan, disebut sunat namanya, jika dilakukan akan, mendapat pahala dari Tuhan, dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa, dan yang ketiga, mencegah siksa, akan mendapat pahala jika tidak dikerjakan, yaitu yang disebut haram.
08.
Kang kaping pat cegahing Hyang Widi, ingkang nora kelawan wasesa, yaiku makruh arane, yen tininggal dadyantuk, gagantungan palaling Widi, linakon tan siniksa, kaping limanipun, kang wenang mungguhing sarak, tan ginanjar sarta nora andoni, yeku kang jeneng mubah.
Yang keempat larangan Hyang Widi, yang tidak dengan kekuasaan, yaitu makruh namanya, jika dtinggalkan akan, mendapat pahala dari Tuhan, dan jika dikerjakan tidak akan dosa, dan yang kelima, yang berwenang terdapat pada syara’, tidak diganjar serta tidak dosa, yaitu yang bernama mubah.
09.
Kang kaping nem ingkang aran sakih, tegese sah iku barang ingkang, sampurna sarat rukune, dene kang kaping pitu, ingkang nora sampurna saking, sarat tuwin rukunnya, aran batal iku, nuli bab kapindho wruha, iya kukum den arani kukum ngakli, riningkes tri prakara.
Yang keenam dinamakan shahih, artinya sesuatu yang sah, sempurna syarat rukunnya, sedangkan yang ketujuh, adalah sesuatu yang tidak sempurna dari, syarat dan rukunnya, dinamakan bathil, lalu bab dua adalah, hukum yang bernama hukum aqli, yang diringkas menjadi tiga perkara.
10.
Dene ingkang den arani wajib, iku kabeh prakara ingkang sah, ingakal mungguh sujude, nora sah ngadamipun, loro ingkang aran mustakil, sabalike kang nora, sah ing wujudipun, mongka sah ing ngadamira, telu jais tegese, wenang ing ngakli, sah ngadam sah wujudnya.
Sedangkan yang dinamakan wajib, adalah semua perkara yang sah, di akal wujudnya, dan tidak diterima ketiadaannya, yang kedua dinamakan mustahil, sebaliknya yang tidak sah wujudnya, nanti dapat diterima oleh akal adanya, ketiga ja’is artinya dapat diterima akal, sah ketiadaannya dan sah wujudnya.
11.
Engga kongsi bisa ngukumi, marang prakara kang samar-samar, wajib wenang lan mokale, dene kang kaping telu, ngawruhana ing kukum ngadi, tegese kukum ngadat, patang prakareku, ingkang dhihin winicara, kukum ngadat yeku sambangnga ning mukmin, ngadam kalawan ngadam.
Sehingga sampai bisa mengetahui, kepada perkara yang samar-samar, wajib kuasa dan mustahil, sedangkan yang ketiga, ketahuilah hukum qadi, artinya hukum adat, ada empat perkara, yang pertama dikatakan, hukum adat yaitu merujuk kepada mungkin, kekosongan dengan kekosongan.
12.
Lir nora wong warek pasthi saking, nora mangan kang kapindho adat, wujude kadi wong warek, iku pasthi saking gonne, abukti katelu wujuding, kang saking ngadamipun, kayata adheming badan, sabab tanpa kemul hutaling-ngaling, iku umpamanira.
Seperti orang yang tidak kenyang pasti dari, tidak makan yang kedua hukum adat, yaitu seperti orang kenyang, karena makan, ketiga yaitu tidak terbukti adanya, karena dari kekosongan, seperti dinginnya badan, karena tanpa mengenakan baju, itu umpanya.
13.
Kaping pate wujud ingkang saking, ngadamira lir barang binakar, orane gosong wetdene, saka ananing banyu, iku mungguh ing kukum ngadi, anging yen kukum ngakal, sah sulayanipun, yen mungguh ing tokit nora, ora pisan wateking munkin nglabeti, lan kuwat-kenuwatan.
Wujud yang keempat adalah, sesuatu barang yang terbakar, tidak akan gosong, karena adanya air, itulah hukum qadi, tetapi pada hukum akal, sah untuk dimusnahkan, jika dalam tauhid, pertama wataknya menjalankan, dan kuat-kuatan.
14.
Dene ingkang jeneng ngelmu tokit, iya iku maknaning kalimah, sahadat roro babare, witing agama iku, sadurunge sira nglakoni, ing limang wektu salat, kang wajib dhihin wruh, mring sifat kakking Hyang Suksma, lamak budda pil wujudi illalahi, mangkana jarwanira.
Sedangkan yang bernama ilmu tauhid, yaitu maknanya kalimat, dua sahadat, utama bagi agama, sebelum kamu menjalankan, pada shalat lima waktu, yaitu wajib pertama dimengerti, kepada sifat hak Hyang Suksma, Laa ma’buuda fil wujudiillalahi, seperti itu lapalnya.
15.
Nora sinebut wujud sakalir, kang kalawan tuhuning panembah, anging Allah sajatine, kang napa Allah iku, dat kang sipat rong puluh wajib, lan rong puluh kang mokal, siji wenangipun, bab iku yen jentrenga, angenteke kartas pirang-pirang kodhi, meksih kurang panjarwa.
Tidak disebutkan semua wujud, yang dengan sesungguhnya menyembah, tetapi Allah sebenarnya, apakah Allah itu, Zat yang sifat dua puluh wajib, dan dua puluh yang mustahil, satu kekuasaannya, bab itu jika dijelaskan, menghabiskan kertas berkodi-kodi, masih kurang penjelasannya.
16.
Mengko ingsun jarwani sathithik. Amrih angel ing panampa, sipate Allah jatine, yeku kang Maha Agung, lire kang Maha Agung Luwih, ingkang sugiyanira, kabeh kang maujud, kang nyata miwah kang samar, anyar kodim tan ana lyan kang darbeni, muhung Allah tangala.
Nanti saya jelaskan sedikit, mungkin sulit untuk diterima, sifat Allah sebenarnya, yaitu Maha Agung, artinya yang lebih Maha Agung, yang kekayaannya, semua yang berwujud, yang nyata dan yang samar, baru kodim tidak ada lain yang memiliki, hanya Allah Taala.
17.
Kehing swara warna rupa tuwin, kabeh ananing tumitah, kasugiyaning dat kabeh, dalil ing kitab usul, Allah mustagnayungan kuli, masiwah maknanya kang, sugih ing Hyang Agung, mustakil ing kukum akal, yen anaa sawiji kang nyababbi, sugihira Hyang Suksma.
Banyak suara, warna, rupa, dan, semua adanya kehidupan, kekayaan semua zat, dalil yang berada dalam kitab usul, Allah mustagnayungan kuli, masiwah artinya yang kaya adalah Hyang Agung, mustahil di hukum akal, jika adanya satu yang menyebabkan, kekayaannya Hyang Suksma.
18.
Mokal lamun ana ingkang kardi, dinadeken dening kang kinarya, iku kang anuduhake, yen Allah sipat wujud, ananira dhihin pribadi, nora wiwitan ngadam, ing salawasipun, langgeng ora kena owah, sarta sipat prabedane lawan munkin, kang jumeneng priyongga.
Mustahil jika ada yang bekerja, sehari jadi jika ada yang membuat, itu yang menunjukkan, jika Allah bersifat wujud, dulu adanya paling pertama, tidak ada permulaan hanya kekosongan, di sebelumnya, tetap tidak bisa berubah, serta sifat pribadinya dengan munkin, yang berdiri sendiri.
19.
Lire Allah iku dat sajati, jatining dat ora kena ping dat, liya saking date dhewe, kaya upamanipun, date cangkring lah saka ngendi, mokal lamun anaa, cangkring saking blendhung, wiji duren tuwuh nangka, kang mangkana dadi tuduhe yen wajib, dhateng Allah tangala.
Artinya Allah itu zat yang sebenarnya, sebenarnya zat yang tidak bisa ke zat, yang lain dari zatnya sendiri, seperti perumpaan, zatnya cangkring darimana, mustahil jika ada, cangkring yang terbuat dari jagung rebus, biji durian tumbuh nangka, yang seperti itu menjadi petunjuk jika wajib, kepada Allah Taala.
20.
Tan karepe lya date pribadi, sampun kelawan dhewekira, pira-pira ing saksine swaraning rat sawegung, tuwin rupa warna sakalir, miwah sakehing aran, araning tumuwuh, tuwin sakehing pawarta, dadya dalil nuduhaken lamun Hyang Widi, mengku sipat sampurna.
Tidak lain kemauan zatnya sendiri, sempurna dengan sendirinya, banyak saksinya, suara di jagad semua, dengan rupa, warna, semua, dengan semua nama, nama yang hidup, dengan semua berita, menjadi dalil untuk menunjukkan jika Hyang Widi, memangku semua sifat.
21.
Wus kaseksen sabdaning Hyang Widi, kang wus tinulis ing dalem Kuran, pinet surasane wae, beda-bedaning rina, lawan wengi iku, dadi dalil ananing Hyang atasing wong kang wus padha darbe budi, ngakal ingkang sampurna.
Sudah disaksikan sabdanya Hyang Widi, yang sudah tertulis dalam Al-Qur’an, diambil maknanya saja, perbedaan siang, dengan malam itu, menjadi dalil adanya Hyang, bagi orang yang sudah memiliki budi, akal yang sempurna.
22.
Mengko ingsun jarwani sathithik, ananira swakabeh ran ingkang, kumandhang ing ngantarane, ing bumi langit pitu, wus kajarwa neng ngusul mupit, ananing kabeh swara, yeku dadya tuduh, wajibing sipat pamiyarsa, tan lyan muhung dattolah.
Nanti saya jelaskan sedikit, adanya semua suara yang, bergema diantara, di bumi langit tujuh, sudah dijelaskan didalam kitab usul mupit, adanya semua suara, yaitu yang menjadi petunjuk, di dalam sifat wajib mendengar, tidak lain hanya zat Allah.
23.
Tuwin rupa lan warna sakalir, agal lembut barang kang kumendhang, kumelip ing jagad kabeh, riningkes dadya catur, ireng abang kuning lan putih, sesining jagad raya, yeku dadya tuduh, wajibing sipat paningngal, ingkang tetep mungguh kang dat kang ningali tan lyan muhung dattolah.
Dengan rupa warna semua, kasar lembut sesuatu yang bergema, berkelip disemua jagad, diringkas menjadi empat, hitam, merah, kuning dan putih, seisinya jagad raya, yaitu menjadi petunjuk, di dalam sifat melihat, yang hanya zat yang melihat, tidak lain hanya zat Allah.
24.
Miwah aran-araning dumadi, kabeh kabar kang sumebar ing rat, goreh temen saanane, warta kanggo roh iku, lidding yekti mruhken kang yekti, dumadi kabeh nyata, yeku dadya tuduh, wajibe sipat ngandika, ingkang teteping dat kang presipat angling, tan lyan muhung dattolah.
Dengan bermacam nama mahkluk, semua kabar yang menyebar di jagad raya, sangat meragukan sebenarnya, berita untuk roh itu, sebenarnya yang sebenarnya mengerti yang sebenarnya, mahkluk semua nyata, yaitu menjadi petunjuk, wajibnya sifat berbicara, yang tetapnya zat yang bersifat bicara, tidak lain hanya zat Allah.
25.
Lah ellingnga sakehing dumadi, iku ana bisa-bisa sirna, saking ngadam kawulane, tumeka marang wujud, nora wurung yen bakal bali, mring kailangnganira, yeku dadya tuduh, wajibe sipat kang wenang, ingkang tetep mungguh ing dat akardi, tan lyan muhung dattolah.
Dan ingatlah semua mahkluk, semua yang ada itu bisa sirna, dari kekosongan awalnya, sampai kepada wujud, tidak ada yang tidak akan kembali, kepada ketiadaannya, yaitu menjadi petunjuk, wajibnya sifat yang kuasa, yang tetap hanya zat yang tidak terlihat, tidak lain hanya zat Allah.
26.
Dadi tetep mokale Hyang Widi, dumunung barang kang kinarya, wajibe iku kang gawe, marang sakehing makluk, saking wenang dennira kardi, gawe utawa ora, ing sakarsanipun, sarta kabeh karsanira, tan kalawan lantaran sawiji munkin, muhung date priyanggo.
Jadi tetap mustahi Hyang Widi, berada pada sesuatu yang dicipta, wajibnya itu yang mencipta, kepada semua mahkluk, berkuasa dari yang diciptanya, mencipta atau tidak, terserah padanya, serta semua kehendaknya, serta tidak ada satupun yang menandingi, hanya zatnya sendiri.
27.
Iku dadi nuduke yen wajib, Allah dennya karya ing sabarang, nora ngalap paedahe, lan kukuwatan sagung, nora ana sawiji munkin, adarbe daya kuwat, tetep kabeh iku, kasugihaning Hyang Suksma, mangke wruha yen saben-saben dumadi, mesthi ana kang karya.
Itu menjadi petunjuk jika wajib, Allah berkuasa atas semua ciptaannya, tidak mengharap faedah, dan kekuatannya yang agung, tidak ada satupun yang mungkin boleh, memiliki daya kekuatan, tetap semua itu, kekayaan Hyang Suksma, karena itu mengertilah setiap makhluk, pasti ada yang mencipta.
28.
Saben wujud pesthi karep maring, kang mujudaken yen tan mangkonoa, iku mokal ing kukume, tuwin anane ngelmu, pesthi ana kang den kawruhi, tetep kabeh kahananan, karep maring ngelmu, ngelmu teteping dattolah, kabeh urip pesthi ana kang nguripi, lan kabeh pawilangan.
Setiap wujud pasti dicipta kepada, yang menciptakan jika tidak seperti itu, itu mustahil hukumnya, dengan adanya ilmu, pasti ada yang mengetahui, tetap semua keadaan, pasti tertuju pada ilmu, ilmu tetapnya zat Allah, semua hidup pasti ada yang menghidupi, dan semua perhitungan.
29.
Iku pesthi karep mring sawiji, uga dadi tuduhe yen nyata, Allah kang sawiji datte, sawiji sipatipun, sarta appengalira sawiji, nuli angawruhana, kabeh munkin iku, kabeh yen presipat anyar, sarta wajibing munkin nora nglabetti, kelawan watekira.
Itu pasti tertuju kepada satu, juga menjadi petunjuk jika nyata, Allah yang satu zat-Nya, satu sifat-Nya, serta satu pendapatnya, lalu ketahuilah, itu munkin boleh semua, semua jika bersifat baru, serta wajibnya munkun boleh tidak menjalani, itu semua kehendaknya.
30.
Mung dattolah ingkang paring sugih, nora karep mring dat kang akarya, lan sakehe makluk kabeh, marang Hyang Agung, tetep takiru ilbahi, kulu mangadahika, lapal maknanipun, kang karep marang dattolah, iya iku kabeh ingkang jumeneng munkin, barang liyaning Allah.
Hanya zat Allah yang memberikan kekayaan, tidak mau kepada zat yang bekerja, dan semua mahkluk menyembah kepada Hyang Agung, tetap takiru ilbahi, kulu mangadahika, lapal maknanya, yang mengharap kepada zat Allah, yaitu semua yang dinamakan munkin, sesuatu selain Allah.
31.
Lah dening pamrincining tokit, rong puluh kang wajib sipating Hyang, lawan rong puluh mokale, sawiji wenangngipun, lan sawiji sipat mustakil, liding sipat kang wenang, kang kari wowolu, dhihin wajibing Hyang Suksma, murweng ngalam kabeh nora ngalap pamrih, roro ing mokalira.
Sedangkan perincian tauhid, dua puluh menjadi sifat Allah, serta dua puluh kemustahilannya, satu kekuasaannya, dan satu sifat mustahil, inti sifat yang kuasa, yang tinggal delapan, pertama wajibnya Hyang Suksma, mengusai semua alam dan tak mengharap pamrih, dua dalam kemustahilannya.
32.
Teluk kakking ngalam tan nglabetti, ing lyan saking daya kukuwatan, papat iyeku mokale, kelima ngalam iku, wajib sipat anyar sakalir, nenem mokale ngalam, pitu ngalam sagung, wajib tan nglabetti ing lyan, ing wateke wolu mokal anglabeti, gugung seket muktakat.
Tiga haknya alam tidak menjalani, lain dari daya kekuatan, empat yaitu kemustahilannya, kelima alam itu, sifat wajib baru alam, enam kemustahilan alam, tujuh alam semesta, wajib tidak menjalani yang lain, delapan wataknya tidak menjalani, jumlahnya lima puluh muktakat.
33.
Nuli kaperang malih ngakait, kang wolu likur iji muktakat, iyeku kabeh panjingnge, mring lapal mustakniyun, mankulimasi wau nuli, kang sawiji perangan, muktakat rarikur, kabeh iku panjing ngiri, marang lapal wamultakiruilbahi, huwa kulu mangadah.
Lalu terbagi lagi akait, yang dua puluh delapan, yaitu semua di masukan, kedalam bacaan mustakniyu mankulimasi wahu, lalu salah satu bagian, muktakat dua puluh dua, semua masuk, kedalam bacaan wamutakiruilbahi, huwa kulu mangadah.
34.
Kabeh iku wis riningkes manjing, mring lapal lailalahillalah, wajib para mukmin kabeh, miterangna bab iku, karana yen durung ngawruhi, parincining muktakat, sarta panjingipun, maring kalimah tayibah, durung aran sampurna araning mukmin, poma haywa papeka.
Semua itu sudah diringkas, kedalam lapal lailahaillalah, wajib bagi para mukmin semua, menerangkan bab itu, karena jika belum mengerti, perincian muktakat, serta pengertiannya, kepada kalimat tayibah, belum dinamakan sempurna mukminnya, oleh karena itu jangan diremehkan.
35.
Sarta wajib maneh den kawruhi, ing maknane kalimah tayibah, lan weruha ing maksude, mangkene jarwanira, ora ana pangeran kang sugih, tan kareping sabarang, lyan saking dattipun, sarta dat kang kinarepan, ing sabarang lyan saking date pribadi, anging Allah tangala.
Serta harus dimengerti, makna dari kalimah tayibah, dan ketahuilah maksudnya, seperti ini penjelsannya, tida ada Pengeran yang kaya, tidak mengharap sesuatu, selain dari zat-Nya, serta zat yang diharapkan, dalam sesuatu selain dari zat-Nya sendiri, hanya Allah Taala.
36.
Telas sabdani Sunan Kali, Sunen Geseng duk tampi wasita, sir duh kining tyase, pindha bumala luhung, kasuluhing pratongga pati, kang hujwala kawuryan, sumirat samrawung ngrawungngi ing tri bawana.
Selesailah wejangan Sunan Kali, Sunan Geseng ketika menerima ajaran, tercerahkan hatinya, seperti raja besar, disinari matahari, yang kelihatan terang, bersinar terang menyinari tiga dunia.
37.
Dayaning kang wasitadi murti, maratani sranduning jiwangga, lir talu rata sedhengnge, ngarang mangsa katelu, katurunnan dresing kang riris, semiron angrembaka, yeku pindhanipun, tumurune kalamolah dadya marta mongka, usadeng rohkanni, nuwuhken tyas nirmala.
Tenaga yang terdapat di dalam badan, merata kedalam jiwa raga, seperti talu yang sedang menyebar, bagaikan musim ketiga (kemarau), tersiram hujan gerimis, semi daun yang bermekaran tumbuh, yaitu ibaratnya, turunnya kalamollah menjadi rendah diri, obat hati, menumbuhkan hati yang sempurna.
38.
Elinge lir pramarsudi sidi, ning sedya sampurneng tekat, ywa kliru ing panampane, kabeh kawus-kawus, tan lyan amung minangka paril, drappon dadi sarana,pambukaning kalbu, nanging yen kakking dattolah, sajatine tan nana kangupameni, tamat walahhukalam.
Ingatnya sempurna seperti murid, yang menginginkan kesempurnaan tekad, jangan salah dalam penerimaannya, semua sudah kalah, tidak lain hanya karena nasib, agar menjadi sarana, pembuka kalbu, tetapi jika haknya zat Allah, sebenarnya tidak ada yang bisa diumpamakan,
Tamat walahukalam.