KI AGENG NGERANG
&
NYAI AGENG NGERANG
Ki Ageng Ngerang, Penyebar Agama Islam di Pati. Ki Ageng Ngerang, seorang ulama besar dan sakti berasal Juwana yang disegani masyarakat karena berilmu tinggi. Saking cerdas, pintar, wibawa juga saktinya Ki Ageng Ngerang ini, Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai berguru kepada beliau.
Raden Fatah adalah pendiri dan raja Demak pertama dan memerintah tahun 1500-1518.
Kyai Ageng Ngerang adalah Putra dari Maulana Malik Maghribi. Beliau terlahir dengan nama Syekh Muhammad Nurul Yaqin.
Guru-guru beliau di antaranya :
1. Syekh Maulana Maghribi
2. Raden Bondan Kejawan atau Kyai Ageng Tarub II
3. Syekh Siti Jenar
BIOGRAFI KI AGENG NGERANG
Biografi Ki Ageng Ngerang (Syekh Maulana Nurul Yaqin) Penyebar Agama Islam di Pati
Ki Ageng Ngerang adalah Putra dari Maulana Malik Maghribi. Beliau terlahir dengan nama Syekh Muhammad Nurul Yaqin.
RIWAYAT KELUARGA KYAI AGENG NGERANG
Ki Ageng Ngerang menikah dengan Nyai Ageng Ngerang dikarunia anak yaitu :
Ki. Ageng Ngerang II
Dewi Roro Kinasih atau Nyai Bicak istri Kyai Ageng Selo
KI AGENG NGERANG III
Makam Ki Ageng Ngerang III terletak di sebelah kanan Makam Ki Ageng Henis dideretan atas di Astana Laweyan.
Disana, Makam Ki Ageng Ngerang III berdampingan dengan makam istrinya yaitu Raden Ayu Panengah atau Nyai Ageng Ngerang III. R Ay Panengah adalah putri dari Sunan Kalijaga.
Ki Ageng Ngerang III dengan Ki Ageng Henis adalah sepupu, sama sama cucu dari Nyai Ageng Ngerang I (Roro Kasihan) karena putri Nyai Ageng Ngerang I menikah dengan Ki Ageng Selo menurunkan Ki Ageng Henis.
Urutan silsilah Ki Ageng Ngerang III :
Raja Brawijaya V menurunkan putra yang bernama Bondhan Kajawan. Bondhan Kajawan menikah dengan Dewi Nawangsih putri dari Ki Ageng Tarub memiliki 3 anak :
1. Ki Ageng Wonosobo.
2. Ki Ageng Getas Pendowo.
3. Roro Kasihan.
Roro Kasihan menikah dengan Ki Ageng Ngerang I mempunyai anak yaitu Ki Ageng Ngerang II yang dimakamkan di Butuh Sragen.
Ki Ageng Ngerang II menurunkan putra yaitu Ki Ageng Ngerang III. Ki Ageng Ngerang III menikah dengan RAy Panengah menurunkan
putra yang bernama Ki Ageng Penjawi yang bergelar Ki Ageng Pati karena mendapat hadiah dari Raja Pajang yang berupa tanah perdikan Pati yang sudah berpenduduk banyak tetapi tidak memiliki pimpinan.
Ki Ageng Penjawi menikah dengan Nyai Ageng Pati (makamnya disamping kanan makam Ki Ageng Henis) menurunkan dua orang anak:
1. Roro Sari (Dewi Waskita Jawi).
2. Pragolo Pati (Wasis Joyo / Ki Ageng Pati II).
Dewi Waskita Jawi kemudian diangkat menjadi garwa permaisuri Panembahan Senopati dengan gelar "Kangjeng Ratu Mas".
Dan menurunkan putra yaitu Pangeran Jolang yang kelak menggantikan Panembahan Senopati menjadi raja dengan gelar Panembahan Hadi Hanyokrowati.
NASAB KYAI AGENG NGERANG
Nasab Kyai Ageng Ngerang beliau masih keturunan dari Rasulullah SAW. Dengan silsilah sebagai berikut :
Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti
Al-Imam Al-Husain bin
Al-Imam Ali Zainal Abidin bin
Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin
Al-Imam Ja’far Shadiq bin
Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
Al-Imam Muhammad An-Naqib bin
Al-Imam Isa Ar-Rumi bin
Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
As-Sayyid Ubaidillah bin
As-Sayyid Alwi bin
As-Sayyid Muhammad bin
As-Sayyid Alwi bin
As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
As-Sayyid Abdullah bin
As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
Syeh Maulana Magribi
Kyai Ageng Ngerang 1.
WAFAT
Kyai Ageng Ngerang dimakamkan di Pedukuhan Ngerang Desa Tambakromo,Pati,Jawa Tengah, dari kota Pati ke arah Selatan sekitar 17 km.
SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN KI AGENG NGERANG
Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahanda Syekh Maulana Maghribi
GURU-GURU KI AGENG NGERANG
Syekh Maulana Maghribi
Raden Bondan Kejawan atau Kyai Ageng Tarub II
Syekh Siti Jenar
PENERUS KI AGENG NGERANG
Anak Ki Ageng Ngerang :
1. Kyai Ageng Ngerang II
2. Dewi Roro Kinasih atau Nyai Bicak istri Kyai Ageng Selo
MURID-MURID KI AGENG NGERANG
1. Sunan Muria
2. Sunan Kudus
PERJALANAN HIDUP DAN DAKWAH KI AGENG NGERANG
Menelusuri sejarah Mataram Islam maka pasti tersebut salah satu nama keturunan dari bangsawan yang menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama dan gelar Kyai Gede, Kyai Ageng, Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki makna sebagai tokoh besar dalam bidang keumatan (keagamaan) maupun tokoh pemerintahan yang dihormati. Sebab dianggap memiliki kelebihan dan kemampuan dalam sifat-sifat keteladanan dan kepemimpinan dalam suatu wilayah.
Dalam kehidupan masyarakat jawa kuno secara sosiologis dibagi menjadi tiga golongan yaitu Begawan, Bangsawan dan Kawula Dasih. Golongan Begawan adalah orang yang menjalankan hidup asketis dengan mengarungi laku batin. Adapun golongan bangsawan merupakan trahing kusuma rembesing madu yang di darahnya merupakan keturunan ningrat sehingga biasanya dalam hidupnya memiliki tekad dan pengabdian yang kokoh dalam hal kepemimpinan. Untuk tekad tersebut demi kedamaian negara dan dunia, mereka rela rawe-rawe rantas malang-malang putung, meski harus mengorbankan jiwa dan raga. Adapun golongan Kawula Dasih adalah golongan rakyat dengan berbagai profesi sehari hari yang berjalan secara berkesinambungan sehingga terwujudlah negara yang aman nan tenteram.
Ki Ageng Ngerang adalah seorang tokoh ulama yang semasa dengan Dewan Walisongo yang menyebarkan agama islam di daerah Juwana dan daerah lereng pegunungan Kendeng Pati Selatan sampai akhir hayatnya dimakamkan di Pedukuhan Ngerang Desa Tambakromo,Pati,Jawa Tengah,makamnya dari kota Pati ke arah Selatan sekitar 17 km.
Ki Ageng Ngerang diasuh dan dibimbing oleh kedua orangtuanya dengan Ilmu Agama yang sangat mendalam semenjak dari kecil .Dari semenjak kecil dia sudah belajar agama dengan tekun.Dikisahkan beliau sempat belajar dan berguru pada Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Tarub II. Menginjak dewasa menikah dengan Dewi Roro Kasihan putri dari Ki Ageng Tarub II dan kemudian tinggal di Ngerang Juwana.Semenjak itulah ia terkenal dengan nama Ki Ageng Ngerang.
Ki Ageng Ngerang mendirikan padepokan pesantren di Ngerang Juwana dan muridnya datang dari berbagai daerah. Dalam mensyiarkan Agama Islam dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, hati hati dan penuh welas asih. Sebab masyarakat ada saat itu sudah memiliki keyakinan agama dan ajaran hidup yang sudah mapan dan terlembaga. Kehidupan masyarakat disana telah mapan atas ajaran ilmu dari para pendahulu yang juga dikenang sangat linuwih.
Keyakinan dan pedoman hidup masyarakat pada saat itu sudah sedemikian kuat. Struktur alam pegunungan telah menjadikan masyarakat sudah akrab dengan tanda tanda alam. Keseimbangan hidup dengan habit sosial maupun dengan flora dan fauna sudah diketahui oleh masyarakat. Kepercayaan dengan hal hal hal ghoib tentu sudah sangat familiar dengan aktifitas kehidupan sehari hari masyarakat. Sebab ritus ritus persembahan terhadap dewa dewa dan roh leluhur sudah sangat masif berlangsung dalam kehidupan masyarakat waktu itu sehingga kehidupan masyarakat waktu itu sudah terbiasa dengan segala ikhwal kesaktian dan keghoiban
Dengan memperhatikan kondisi masyarakat yang demikian maka pada saat itu untuk dapat melakukan syiar tauhid dalam agama Islam bukan perkara yang mudah sebab masyarakat waktu itu sudah memiliki pedoman hidup yang mapan dan terlembaga. Syiar Agama Islam jika tidak dilakukan dengan hati hati, cermat dan bijaksana tentu akan mendapatkan perlawanan dari tokoh dan masyarakat setempat yang justru sangat merugikan dan tidak akan membuahkan hasil kemanfaatan.
Namun nampaknya dengan melihat hasilnya kini Ki Ageng Ngerang waktu itu dianggap telah mampu secara tepat dan bijaksana melakukan syiar Tauhid Agama Islam. Konon dikisahkan ajaran Islam di syiarkan dengan sangat tepat, penuh kasih sayang dan tanpa ada paksaanKeberhasilan dalam menyebarkan Agama Islam waktu itu dapat dianalisa dan dipelajari sebab dahulu beliau telah berhasil melakukan proses dialektika antara teks syariat dengan realitas budaya setempat hingga terbentuk nilai Islam teologis yang sinergi dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat masyarakat setempat. Sehingga tauhid Islam dapat diterima secara damai tanpa konflik oleh masyarakat setempat. Hal inilah yang selanjutnya terbingkai dalam kehidupan masyarakat yang toleran, harmonis, santun dan penuh kasih sayang. Beliau telah meninggalkan jejak wajah Islam yang rohmatan lilalamien pada masyarakat.
Konon dalam beberapa riwayat diceritakan, Versi menurut sesepuh Dusun Ngerang, kata Ngerang berasal dari kata sliweran dan pating kliwerran. Ketika beliau berdakwah dan menempati dusun, banyak Dhemit atau makhluk halus yang mondar-mandir atau sliweran atau pating sliweran. Dhemit tersebut mengganggu kekhusukan beribadah warganya. Dhemit tersebut berhasil diusirnya, oleh karena itu dusun tersebut dinamakan Dusun Ngerang.
Ki Ageng Ngerang mempunyai kedekatan dengan Syeh Siti Jenar, ulama tarekat dan sufi.Kyai Ageng Ngerang pun juga pernah menuntut ilmu dari Syeh Siti Jenar.Karena pengaruh konflik politik kerajaan Demak dengan Syeh Siti Jenar maka siapapun yang pernah dekat dengan Syeh Siti Jenar akan diburu prajurit kerajaan Demak. Maka demi keselamatan para santrinya Kyai Ageng Ngerang meninggalkan padepokan Ngerang Juwana pergi ke arah selatan menyusuri lereng Pegunungan Kendeng. Dan kemudian membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal dan mendirikan padepokan untuk menyebarkan islam di daerah lereng pegunungan kendeng ini.
Kisah hidup Ki Ageng Ngerang adalah potret kehidupan yang tawadhu sebagai sebuah perilaku manusia yang memiliki watak rendah hati, tidak sombong atau merendahkan diri agar tidak terlihat sombong. Tawadhu bukan hanya sekadar tata kerama belaka, namun perilaku ini memiliki makna yang jauh lebih dahulu dari sopan santun, yaitu sikap batin yang menjelma dalam praktik lahiriyah secara wajar dan bijaksana.
Dalam menjalani kehidupan sehari hari nampaknya Ki Ageng Ngerang mampu secara tepat menggabungkan laku hidup dalam tingkat stratifikasi sosial yaitu sebagai seorang Begawan, sebagai seorang Bangsawan sekaligus dapat berperan sebagai seorang Kawulo Dasih. Nyai Ageng Ngerang termasuk seorang yang didalam darahnya mengalir darah Trahing Kesumah, Rembesing Madu, Wijining Tapa, dan Tedhaking Andanawarih yang artinya bahwa seorang yang memiliki darah keturunan ningrat (kesumah / bunga) atau bangsawan, tapa /pertapa /alim ulama, berwawasan agama dan berasal dari keturunan pilihan utama.
Trahing kusumo rembesing madu maksudnya adalah keturunan bunga tirisan madu yang berarti keturunan orang yang mulia. Dalam keyakinan orang Jawa – Nusantara trahing kusumo rembesing madu seakan sudah menjadi jaminan bahwa setiap yang lahir dari garis keturunan tersebut pastilah orang yang baik yaitu baik etika, tikah laku, perbuatan, berbudi pekerti, ucapan, moral, akhlak dan adabnya, baik agamanya, baik segalanya. Selanjutnga dalam kajian Islam Trahing Kusumo Rembesing Madu meskipun tidak menjadi jaminan tingginya derajat seseorang, akan tetapi trah kusumo madu haruslah dibarengi dengan keteladanan ahlaq yang mulia sabagai manifestasi ketakwaan pada Allah SWT. Dengan demikian implementasi Trahing Kusuma, Rembesing Madu adalah perilaku yang harus dibarengi dengan laku wijining atapa, tedhaking andana warih sehingga dapat menginternalisasi antara bobot, bibit dan bebet.
Dengan demikian Ki Ageng Ngerang adalah salah satu orang yang menjadi leluhur dinasti Mataram Islam karena melahirkan generasi yang mampu menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram Islam yang masih lestari hingga saat ini yaitu Kasultanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyakarta, Pura Mangkunegaran Surakarta dan Pura Pakualaman Yogyakarta.
KETELADANAN KI AGENG NGERANG
Kyai Ageng Ngerang mendirikan padepokan pesantren di Ngerang Juwana dan muridnya datang dari berbagai daerah. Dalam mensyiarkan Agama Islam dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, hati hati dan penuh welas asih. Sebab masyarakat ada saat itu sudah memiliki keyakinan agama dan ajaran hidup yang sudah mapan dan terlembaga. Kehidupan masyarakat disana telah mapan atas ajaran ilmu dari para pendahulu yang juga dikenang sangat linuwih.
Keyakinan dan pedoman hidup masyarakat pada saat itu sudah sedemikian kuat. Struktur alam pegunungan telah menjadikan masyarakat sudah akrab dengan tanda tanda alam. Keseimbangan hidup dengan habit sosial maupun dengan flora dan fauna sudah diketahui oleh masyarakat. Kepercayaan dengan hal hal hal ghoib tentu sudah sangat familiar dengan aktifitas kehidupan sehari hari masyarakat. Sebab ritus ritus persembahan terhadap dewa dewa dan roh leluhur sudah sangat masif berlangsung dalam kehidupan masyarakat waktu itu sehingga kehidupan masyarakat waktu itu sudah terbiasa dengan segala ikhwal kesaktian dan keghoiban
Dengan memperhatikan kondisi masyarakat yang demikian maka pada saat itu untuk dapat melakukan syiar tauhid dalam agama Islam bukan perkara yang mudah sebab masyarakat waktu itu sudah memiliki pedoman hidup yang mapan dan terlembaga. Syiar Agama Islam jika tidak dilakukan dengan hati hati, cermat dan bijaksana tentu akan mendapatkan perlawanan dari tokoh dan masyarakat setempat yang justru sangat merugikan dan tidak akan membuahkan hasil kemanfaatan. Namun nampaknya dengan melihat hasilnya kini Kyai Ageng Ngerangdan Nyai Ageng Ngerang waktu itu dianggap telah mampu secara tepat dan bijaksana melakukan syiar Tauhid Agama Islam. Konon dikisahkan ajaran Islam di syiarkan dengan sangat tepat, penuh kasih sayang dan tanpa ada paksaan.
MAKAM KI AGENG NGERANG
Salah satu makam ulama di Pati yang tersohor serta memiliki sejarah panjang dalam perkembangan Kabupaten Pati ialah makam Ki Ageng Ngerang. Beliau merupakan seorang ulama besar dan sakti berasal Juwana yang disegani masyarakat.
Dalam menyiarkan agama Islam, Ki Ageng Ngerang memiliki banyak murid dari Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya hingga Gentiri dan masih banyak lagi.
Ki Ageng Ngerang atau yang biasa disebut sebagai Sunan Ngerang I merupakan seorang ulama besar atau wali nukbah yang hidup semasa Dewan Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Juwana, Lereng Muria dan lereng pegunungan Kendeng Pati Selatan.
1. Silsilah Ki Ageng Ngerang.
Nama lengkap Ki Ageng Ngerang adalah Syekh Ronggo Joyo yang merupakan putra dari seorang ulama besar Syekh Maulana Maghribi. Beliau merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW ke-26. Beliau menikah dengan Nyai Ageng Ngerang, keturunan bangsawan Kerajaan Majapahit.
Makam beliau dijaga dengan baik oleh masyarakat padukuhan Ngerang Desa Trimulyo dan terakhir kali makam dipugar total pada tahun 2008. Kemudian, diresmikan oleh Keluarga Besar Keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 2011 bertepatan dengan bulan Maulud Haul ke-22 Ki Ageng Ngerang.
2. Lokasi Makam Ki Ageng Ngerang.
Makam Sunan Ngerang terletak di Desa Pekuwon, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, tepatnya di kompleks Makam Sentono. Namun, ada juga yang percaya bahwa makam beliau berada di Desa Trimulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati.
Awal mula ditemukan Makam Ki Ageng Ngerang ini mempunyai sejarah panjang. Sebelumnya, warga hanya menemukan sebuah nisan yang tertanam di makam. Namun, bentuk nisan itu berbeda dengan yang lainnya, bahkan hampir mirip dengan nisan para raja.
Merasa penasaran, masyarakat kemudian menanyakan peristiwa itu kepada orang yang lebih kompeten. Diceritakan, nisan itu memang mempunyai sejarah hingga orang tersebut menyebut itu adalah nisan milik Syekh Ronggo Joyo yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Ageng Ngerang.
Karena berbagai peristiwa sejarah itu, para sesepuh Desa Trimulyo meyakini bahwa Ki Ageng Ngerang memang ulama besar yang patut untuk dihormati.
3. Syiar Islam.
Ki Ageng Ngerang menyebarkan agama Islam di sekitar Juwana, Lereng Muria dan di Lereng Pegunungan Kendeng Pati Selatan.
Saat ini, data yang meriwayatkan kisah hidup Sunan Ngerang bisa dibilang masih minim. Tetapi ada satu kisah antara Sunan Ngerang dan Sunan Muria yang terkenal. Bahkan sering dimainkan dalam lakon ketoprak (drama tradisional yang berasal dari Jawa). Kisahnya adalah ketika Sunan Ngerang mengadakan acara syukuran.
Dalam acara tersebut hadir murid-murid serta tetangga yang sebelumnya diundang oleh Sunan Ngerang. Singkat cerita karena sudah banyak yang mempublikasikan cerita ini, Dewi Roroyono pada malam harinya putri Sunan Ngerang diculik oleh Pathak Warak.
Dalam cerita tersebut, pencarian pun dilakukan sayembara. Saat itu pula hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi permintaan gurunya itu. Di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri.
Mereka menyatakan diri sanggup untuk membantu mencari Dewi Roroyono. Bila berhasil, maka Sunan Muria tetap berhak menikahi Dewi Roroyono. Saat itu Sunan Muria harus kembali ke Padepokan Gunung Muria untuk membimbing para santri. Oleh sebab itu, Beliau mengizinkan Kapa dan Gentiri mewujudkan itikad baiknya.
Mereka yang pada akhirnya meminta bantuan seorang tokoh sakti di Pulau Seprapat bernama Wiku Lodhang Datuk. Usaha mereka menuai hasil. Dewi Roroyono kembali ke Ngerang.
Sedangkan Pathak Warak lumpuh di tangan Sunan Muria karena ulahnya sendiri yang mengajak Sunan Muria berkelahi. Selanjutnya, sesuai janji Sunan Ngerang, Sunan Muria akhirnya dinikahkan dengan Dewi Roroyono. Demikian pula Kapa dan adiknya, Gentiri yang diberi hadiah berupa tanah yang terletak di Desa Buntar, Karanganyar.
Namun sangat disayangkan, setelah Dewi Roroyono dinikahi Sunan Muria, Kapa dan Gentiri terlanjur jatuh hati pada kecantikan Dewi Roroyono sewaktu membawanya pulang. Akhirnya mereka berniat untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria.
Untuk melancarkan aksinya, Gentiri datang sendiri ke Gunung Muria. Aksinya ternyata dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Akhirnya Gentiri tewas di puncak Gunung Muria.
4. Rekomendasi Objek Wisata Religi di Salatiga
Mengetahui tewasnya Gentiri, Kapa tidak mundur. Ia mengambil strategi lain dengan datang ke Gunung Muria pada malam hari.
Saat Sunan Muria dan beberapa muridnya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Aksinya berhasil dan membawa Dewi Roroyono ke Pulau Seprapat untuk bertemu sang guru, Wiku Lodhang Datuk.
Ia berharap mendapat perlindungan. Akan tetapi kedatangannya tidak mendapat sambutan baik. Ia justru dimarahi dan dimaki oleh gurunya sendiri.
Saat mereka berseteru, tiba-tiba datanglah Sunan Muria dan beberapa muridnya. Kebetulan Sunan Muria juga ingin berkunjung ke sana. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan Sunan Muria untuk mengukuhkan silaturahmi.
Melihat kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung menjuruskan serangan menggunakan kesaktian miliknya. Beliau menggunakan aji pamungkas, puncak kesaktiannya. Namun Sunan Muria bukanlah tandingan Kapa.
Jurus yang ditujukan kepada Sunan Muria berbalik ke arahnya hingga mengakibatkan beliau tewas seketika. Kemudian Sunan Muria dan Dewi Roroyono pulang ke Gunung Muria guna melanjutkan dakwah.
Adapun dalam Sabda Palon: Sandyakala Wilwatikta (2019) Sunan Ngerang pernah menghadiri pertemuan dengan para ulama, termasuk Walisongo di Pesantren Ampel Denta atas undangan Sunan Ampel. Hal itu menunjukkan bahwa Sunan Ngerang atau Syaikh Nurul Yaqin pernah ikut andil bersama Walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia pada umumnya dan di Jawa pada khususnya.
Karena berbagai peristiwa sejarah itu, kemudian para sesepuh Desa Trimulyo meyakinkan diri bahwa Ki Ageng Ngerang memang ulama besar yang patut untuk dihormati. Bahkan hingga saat ini, warga masyarakat sangat antusias untuk mengikuti prosesi haul Mbah Sunan Ngerang tersebut.
Haul tersebut dilaksanakan setiap tanggal 17 Rabiul Awal. Haul ini mendatangkan keluarga dari Kerajaan Paku Alaman Surakarta dan dimeriahkan dengan kirab Pusaka Tombak Ki Ageng Ngerang.
NYAI AGENG NGERANG
Nyai Ageng Ngerang adalah seorang tokoh ulama wanita wali nukbah yang semasa dengan Dewan Walisongo yang menyebarkan agama islam di daerah Juwana dan daerah lereng pegunungan Kendeng Pati Selatan sampai akhir hayatnya dimakamkan di Pedukuhan Ngerang Desa Tambakromo,Pati,Jawa Tengah,makamnya dari kota Pati ke arah Selatan sekitar 17 km.
Kelahiran
Nyai Ageng Ngerang diperkirakan lahir sebelum tahun 1478 M. Nama kecilnya adalah Dewi Roro Kasihan dan nama lengkapnya bernama Nyai Siti Rohmah Roro Kasihan. Di Juwana, ia mempunyai nama lain Nyai Juminah. Masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan (gelar) Nyai Ageng Ngerang karena ia menjadi istri Kyai Ageng Ngerang I (Sunan Ngerang I atau Syeh Muhammad Nurul Yaqin) yang mempunyai wilayah kekuasaan di Ngerang Juwana.
Silsilah
Nyai Ageng Ngerang merupakan salah satu keturunan bangsawan kerajaan Majapahit Prabu Kertabumi Brawijaya V dan mempunyai nasab sampai dengan Nabi Muhammad SAW generasi ke 25 dari keluarga Bani Alawi Hadramaut. Menurut beberapa catatan Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, berbagai sumber buku, dan juga dari Keraton Surakarta Hadiningrat, silsilah Nyai Ageng Ngerang adalah sebagai berikut :
Garwo / Suami
Ki Ageng Ngerang I /Sunan Ngerang atau Syeh Muhammad Nurul Yaqin ialah putra Ki Ageng Jabung trah Sunan Ngudung ayah dari Sunan Kudus
Ayah : Raden Bondan Kejawan Aryo Lembu Peteng, Ki Ageng Tarub II adalah putra dari Prabu Brawijaya V
Ibu : Dewi Retno Nawangsih
Kakek nenek ayah: Prabu kertabumi Brawijaya V dan Putri Wandan kuning
Kakek nenek ibu : Ki Ageng Tarub atau Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan,seorang bidadari kahyangan.
Saudara Kandung :
Ki Ageng Wonosobo atau Syeh Abibdullah. Makamnya berada di Plobangan Selo merto Wonosobo.
Ki Ageng Getas Pendawa atau R.Depok atau Syeh Ngabdullah. Makamnya berada di Kahuripan Purwodadi Grobogan.
Keturunan Nyai Ageng Ngerang :
1. Nyi Ageng Selo II.
Nyi Ageng Selo II atau Roro Kinasih. Roro Kinasih menikah dengan Ki Ageng Selo,seorang legendaris yang mempunyai karomah dapat menangkap petir. Ki Ageng Sela adalah keponakan sekaligus menantu Nyai Ageng Ngerang. Keduanya mempunyai 6 putri dan 1 putra, Ki Ageng Henis.
2. Ki Ageng Ngerang II.
Ki Ageng Ngerang II ini mempunyai putra yakni: Ki Ageng Ngerang III,Ki Ageng Ngerang IV dan Pangeran Kalijenar.
2.1. Ki Ageng Ngerang III
Ki Ageng Ngerang III menikah dengan Raden Ayu Panengah atau Nyi Ageng Ngerang III, salahsatu putri Sunan Kalijaga makamnya berada di Laweyan Solo dan mempunyai putra yang bernama Ki Ageng Penjawi yang juga disebut Ki Ageng Pati karena mendapat hadiah dari Raja Pajang yang berupa tanah perdikan yang sudah berbentuk wilayah dan berpenduduk banyak yang sebelumnya Pati vakum pemimpin.
2.2 Ki Ageng Penjawi.
Ki Ageng Penjawi mempunyai putri bernama Waskita Jawi atau Roro Sari yang menjadi permaisuri Panembahan Senopati Sutawijaya yang bergelar Ratu Mas.Dan yang satu lagi bernama Wasis Joyo Kusumo yang bergelar Adipati Pragola Pati.
2.18 Sunan Pakubuwono XII.
2.18 Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
2.19 Sunan Pakubuwono XIII dan patih Tedjowulan.
2.19 Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Sunan Pakubuwono XIII dan Sultan Hamengkubuwono X adalah Keturunan Nyai Ageng Ngerang generasi ke 19.
3. Roro Nyono / Roro Noyorono
Roro Nyono / Roro Noyorono menikah dengan Sunan Muria di karuniai 3 orang anak yaitu Sunan Nyamplungan, Raden Ayu Nasiki dan Pangeran Santri. Sunan Muria merupakan salah satu murid Sunan Ngerang,suami dari Nyai Ageng Ngerang .Kisah cerita kehidupannya Sunan Muria dan Dewi Roro Noyorono menjadi legenda masyarakat Pati. 4.Roro Pujiwat Roro Pujiwat terkenal akan kecantikan dan kesolehannya.Namun kisah hidupnya sangat tragis karena terbunuh oleh seorang pemuda yang ditolak cintanya karena tak bisa memenuhi persyaratannya untuk mengambil pintu kaputren kerajaan Majapahit dalam semalam.
Riwayat
Nyai Ageng Ngerang dilahirkan oleh sang ibu Dewi Nawangsih di padepokan Tarub daerah Purwodadi.Diasuh dan dibimbing oleh kedua orangtuanya di padepokan Tarub.Dari semenjak kecil dia sudah belajar agama dengan tekun.Dikisahkan ia sempat belajar dan berguru pada Sunan Kalijaga yang sering datang ke padepokan Tarub. Menginjak dewasa Dewi Roro Kasihan menikah dengan Raden Ronggo Joyo atau lebih dikenal Kyai Ageng Ngerang I/Sunan Ngerang dan kemudian tinggal di Ngerang Juwana.Semenjak itulah ia terkenal dengan nama Nyai Ageng Ngerang.
Ki Ageng Ngerang mendirikan padepokan pesantren di Ngerang Juwana dan muridnya datang dari berbagai daerah. Nyai Ageng Ngerang sendiri ikut membantu sang suami mengajar santri wanita.
Ki Ageng Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang mempunyai kedekatan dengan Syeh Siti Jenar, ulama tarekat dan sufi.Nyai Ageng Ngerang pun menuntut ilmu dari Syeh Siti Jenar.Karena pengaruh konflik politik kerajaan Demak dengan Syeh Siti Jenar maka siapapun yang pernah dekat dengan Syeh Siti Jenar akan diburu prajurit kerajaan Demak.Maka demi keselamatan para santrinya Kyai Ageng Ngerang dan Nyai Ageng Ngerang meninggalkan padepokan Ngerang Juwana pergi ke arah selatan menyusuri lereng pegunungan kendeng.Dan kemudian membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal dan mendirikan padepokan untuk menyebarkan islam di daerah lereng pegunungan kendeng ini.
Nyi Ageng Ngerang sebagai Perintis Kesultanan Mataram
Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.
Kesultanan Mataram dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti: Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti: tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :
Fakta 1 :
Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah maupun terhadap masyarakat luas;
Fakta 2 :
Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;
Fakta 3 :
Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.
Fakta 4 :
Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Sarosoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.
Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.
Wafat
Makam Nyai Ageng Ngerang di Ngerang,Tambakromo kabupaten Pati Jawa Tengah didekat lereng pegunungan Kendeng. Ketika Nyai Ageng Ngerang pindah ke daerah Tambakromo lereng pegunungan kendeng ini ia sudah berumur senja dan sampai akhir hayatnya ia dimakamkan disini.Umur ia diperkirakan hampir 100 tahun.
Ia seorang wanita yang sabar dan kuat dalam menghadapi rintangan,sifatnya welas asih kepada setiap orang bahkan kepada orang yang membenci dan menentang ajarannya,suka membela kebenaran dan suka menolong kepada orang yang lemah.
Tak ada catatan yang pasti tarikh wafatnya. Namun sudah menjadi tradisi setiap 1 Suro dilaksanakan Haul wafatnya.Acara haul selalu dihadiri kerabat Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sumber Referensi :
- Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
- Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
- Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
- Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
- Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 1995. Penelitian Lokasi Bekas Kraton Demak.Kerjasama Bappeda Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Sastra UNDIP Semarang.
- Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
- Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.


