Kurawa
(Versi Imajiner Nuswantoro)
Dalam
kisah pewayangan, Kurawa berjumlah 100 orang dan semuanya adalah saudara. Istilah
Kurawa merujuk pada tokoh antagonis, musuh dari tokoh protagonis, yaitu
Pandawa. Keseratus Kurawa adalah anak dari Drestarastra, pangeran sulung dari
Dinasti Kuru. Kurawa, Korawa, atau Kaurawa merupakan suatu istilah di dalam
bahasa Sanskerta yang artinya yaitu keturunan (raja) Kuru. Dalam budaya
pewayangan Jawa, istilah Kurawa merujuk kepada kelompok antagonis di dalam
wiracarita Mahabharata, sehingga Kurawa merupakan musuh bebuyutan para Pandawa.
Pengertian Kurawa
Istilah
Kurawa yang digunakan di dalam wiracarita Mahabharata mempunyai 2 pengertian
yaitu :
Arti
luas Korawa merujuk pada seluruh keturunan Kuru. Kuru merupakan nama seorang
maharaja keturunan Bharata, dan menurunkan tokoh-tokoh besar di dalam
wiracarita Mahabharata. Dalam pengertian ini, Pandawa bisa juga termasuk
Korawa, dan kadang disebut demikian dalam Mahabharata, khususnya di beberapa
bagian awal.
Arti
sempit Korawa merujuk pada garis keturunan Kuru yang lebih tua. Istilah ini
hanya terbatas bagi anak-anak Dretarastra, sebab Dretarastra adalah putra sulung
Wicitrawirya (keturunan Raja Kuru). Dretarastra adalah yang berhak menjadi raja
menurut urutan kelahiran namun arena Dretarastra buta maka digantikan oleh
adiknya yakni Pandu (Dewanata). Istilah ini tidak mencakup anak-anak Pandu
(Dewanata) yang mendirikan garis keturunan baru, yakni para Pandawa.
Riwayat Singkat Kurawa
Dalam
wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa Gandari yakni istri Dretarastra,
menginginkan putra. Lalu Gandari memohon kepada Byasa, yaitu seorang pertapa
sakti, dan diapun mengabulkannya. Gandari menjadi hamil, namun setelah sekian
lama ia mengandung, putranya belum juga lahir.
Gandari
menjadi cemburu kepada Kunti yang telah memberikan Pandu 3 orang putera.
Gandari lalu menjadi frustasi kemudian memukul-mukul kandungannya. Sesudah
melalui masa persalinan, yang lahir dari rahimnya hanyalah segumpal daging. Byasa
kemudian memotong-motong daging tersebut menjadi seratus bagian kemudian
memasukkannya ke dalam guci. Selanjutnya ditanam ke dalam tanah selama satu
tahun. Sesudah satu tahun maka guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam
setiap guci maka munculah bayi laki-laki. Yang pertama muncul adalah Duryodana,
diiringi oleh Dursasana, kemudian saudaranya yang lain.
Semua
putra-putra dari Dretarastra tumbuh menjadi pria yang gagah-gagah. Mereka
mempunyai saudara bernama Pandawa, yakni kelima putra Pandu, yang merupakan
saudara tiri ayah mereka.
Walaupun
mereka bersaudara, Duryudana (saudara tertua para Kurawa) merasa cemburu kepada
Pandawa, terutama kepada Yudistira yang akan dicalonkan menjadi raja di
Hastinapura.
Perselisihan
pun timbul dan memuncak di sebuah pertempuran akbar di Kurukshetra. Sesudah
pertarungan sengit berlangsung selama 18 hari, 100 putra Dretarastra gugur,
termasuk juga cucu-cucunya.
Semua
gugur kecuali Yuyutsu yakni putra Dretarastra yang lahir dari seorang
dayang-dayang. Yang terakhir gugur di dalam pertempuran tersebut adalah
Duryodana yakni saudara tertua para Kurawa.
Sebelumnya,
adiknya yang bernama Dursasana gugur di tangan Bima. Yuyutsu merupakan
satu-satunya putra Dretarastra yang selamat dari pertarungan ganas di
Kurukshetra karena memihak kepada para Pandawa dan iapun melanjutkan garis
keturunan ayahnya, serta membuatkan upacara bagi para leluhurnya.
Ada
terdapat sedikit perbedaan nama pada beberapa tokoh menurut versi pewayangan
yang sudah diadaptasi di Indonesia dan asli India.
Nama-nama
seratus Korawa versi Mahabharata terdapat dalam buku Adiparwa, bab
Sambhawaparwa bagian CXVII dan LXVII, yang diterjemahkan oleh Kisari Mohan
Ganguli dari bahasa Sanskerta ke bahasa Inggris (The Mahabharata of Krishna
Dvaipayana Vyasa). Nama dalam aksara Dewanagari disalin dari Mahabharata
berbahasa Sanskerta, berasal dari berkas digital yang disusun oleh Prof. Muneo
Tokunaga dari Kyoto dan disunting oleh John D. Smith.
Mahabharata
Mahabharata
(Mahābhāratam) adalah salah satu dari dua wiracarita besar India Kuno yang
ditulis dalam bahasa Sanskerta, yang satunya lagi adalah Ramayana. Mahabharata
menceritakan kisah perang antara Pandawa dan Korawa (Kurawa) memperebutkan
takhta Hastinapura.
Mahabharata
banyak memuat filsafat dan peribadatan Hindu, dan membahas Empat Tujuan Hidup
Manusia. Di antara karya dan cerita yang termuat dalam Mahabharata adalah Bhagawadgita,
kisah Nala dan Damayanti, kisah Satyawan dan Sawitri, kisah Kaca dan Dewayani,
kisah Resyasrengga, dan rangkuman Rāmāyaṇa, sering dianggap sebagai karya yang
berdiri sendiri.
Secara
tradisional, Mahabharata dikarang oleh Kresna Dwaipayana Byasa. Telah banyak
upaya membongkar perkembangan sejarah dan komposisinya. Sebagian besar naskah
Mahabharata kemungkinan disusun pada abad ke-3 sebelum Masehi hingga abad ke-3
Masehi, dan bagian tertua yang dilestarikan disusun tidak sampai 400 SM. Peristiwa
asli yang berhubungan dengan wiracarita tersebut kemungkinan terjadi antara
abad ke-9 hingga ke-8 SM. Bentuk final dari naskah tersebut diduga dibuat pada
periode Gupta (sekitar abad ke-4 M).
Mahabharata
menjadi salah satu wiracarita terpanjang di dunia dan juga disebut sebagai puisi
terpanjang yang pernah dibuat. Versi terpanjangnya memiliki lebih dari 100.000
śloka atau lebih dari 200.000 baris (satu sloka sama dengan dua baris), dan
prosa yang sangat panjang. Dengan sekitar 1,8 juta kata, naskah Mahabharata
memiliki jumlah kata sekira sepuluh kali lipat gabungan antara Iliad dan
Odisseia, atau empat kali lipat lebih panjang daripada Ramayana. W. J. Johnson
telah membandingkan peranan Mahabharata dalam sejarah peradaban manusia dengan
Alkitab, karya William Shakespeare, karya Homeros, drama Yunani, dan juga
al-Qur'an. Dalam tradisi India, naskah Mahabharata sering disebut juga Weda
kelima.
Sejarah dan struktur tekstual
Referensi
paling awal yang diketahui tentang bhārata dan kata majemuk mahābhārata berasal
dari Aṣṭādhyāyī (sutra 6.2.38) dari Pāṇini (abad ke-4 SM) dan Aśvalāyana Gṛhyasūtra
(3.4.4). Albrecht Weber sempat menyebutkan tentang suku Rgvedic dari Bharatas,
di mana seorang yang ternama mungkin pernah ditunjuk sebagai Mahā-Bhārata.
Antara
tahun 1919 dan 1966, para pakar di Bhandarkar Oriental Research Institute,
Pune, membandingkan banyak naskah dari wiracarita ini yang asalnya dari India
dan luar India untuk menerbitkan suntingan teks kritis dari Mahabharata.
Suntingan teks ini terdiri dari 13.000 halaman yang dibagi menjadi 19 jilid.
Lalu suntingan ini diikuti dengan Harivaṃsa dalam 2 jilid dan 6 jilid indeks.
Suntingan teks inilah yang biasa dirujuk untuk telaah mengenai Mahabharata.
Mahabharata
merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering
disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab menceritakan sejumlah cerita berbingkai,
terutama kisah kilas balik leluhur para tokoh utama Mahabharata (Yayati, Yadu,
Puru, Kuru, Duswanta, Sakuntala, Bharata). Kemudian cerita utama tersusun
secara kronologis, mulai dari kelahiran Pandawa dan Korawa (Adiparwa), sampai
kisah diterimanya mereka di surga (Swargarohanaparwa).
PARWA (NASKAH) :
1.
Adiparwa
Kitab Tentang Permulaan. Kitab Adiparwa berisi sejumlah cerita sisipan
(interpolasi) yang mengandung mitologi Hindu. Beberapa di antaranya meliputi:
kisah pemutaran Mandaragiri (Samudramantana), kisah Bagawan Domya yang menguji
ketiga muridnya, kisah Kaca dan Dewayani, serta kisah Jaratkaru dan Manasa.
Kisah sisipan yang berkaitan dengan plot utama meliputi: cerita tentang para
leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Puru, Pratipa), kisah kelahiran Resi Byasa,
serta kisah Santanu dan kedua istrinya (Gangga dan Satyawati). Cerita utama
dimulai dengan kisah kelahiran Dretarastra (ayah para Korawa), Pandu (ayah lima
Pandawa), dan Widura (perdana menteri), yang berlanjut dengan kelahiran para
Pandawa dan Korawa, kisah masa kanak-kanak dan pendidikan mereka, kisah percobaan
pembunuhan kepada Pandawa, kisah pernikahan Pandawa dengan Dropadi, kisah
petualangan Arjuna (Pandawa ketiga), dan kisah pembakaran hutan Kandawa.
2.
Sabhaparwa
Kitab Tentang Pertemuan Akbar. Kitab Sabhaparwa berisi kisah utama tentang
pertemuan para Pandawa dan Korawa di sebuah balairung untuk bermain judi, yang
digagas oleh Duryodana (Korawa sulung) dan Sangkuni (paman para Korawa).
Perjudian tersebut dilakukan agar harta dan istana Yudistira (Pandawa sulung)
jatuh ke tangan Duryodana. Karena usaha licik Sangkuni, permainan dimenangkan
oleh Korawa, tetapi Dretarastra membatalkan seluruh taruhan. Atas desakan
Duryodana, permainan diselenggarakan lagi dengan taruhan menjalani pengasingan
selama 12 tahun, disusul masa penyamaran selama setahun. Apabila penyamaran
terbongkar sebelum genap setahun, maka masa pengasingan diulangi lagi.
Sebagaimana permainan sebelumnya, Pandawa pun kalah.
3.
Wanaparwa
Kitab Tentang di Hutan. Kitab Wanaparwa berisi kisah utama tentang bagaimana
para Pandawa menjalani kehidupan di hutan selama masa 12 tahun. Dalam kitab
tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang bertapa di gunung Himalaya untuk
memperoleh senjata sakti pasupati dari Dewa Siwa. Kisah tersebut menjadi bahan
cerita Kakawin Arjunawiwaha dalam kesusastraan Indonesia.
4.
Wirataparwa
Kitab Tentang (Keraton) Wirata. Kitab Wirataparwa berisi kisah utama tentang
penyamaran Pandawa selama satu tahun di keraton Wirata, Kerajaan Matsya setelah
selesai menjalani pengasingan di hutan selama 12 tahun. Adapun rincian
penyamaran para Pandawa sebagai berikut: Yudistira menyamar sebagai ahli agama
bernama Kangka, Bima menyamar sebagai juru masak bernama Balawa, Arjuna
menyamar sebagai guru tari bernama Wrehanala, Nakula menyamar sebagai pegurus
kuda bernama Grantika, Sadewa menyamar sebagai penggembala sapi bernama
Aristanemi atau Tantripala. Sementara itu, istri mereka yaitu Dropadi menyamar
sebagai pelayan (sairandri) bernama Malini.
5.
Udyogaparwa
Kitab Tentang Ikhtiar. Kitab Udyogaparwa berisi kisah utama tentang upaya untuk
mendamaikan para Pandawa dengan Korawa. Setelah menjalani penyamaran selama
setahun, para Pandawa kembali ke Hastinapura, dan Yudistira sebagai putra
sulung menuntut haknya sebagai pewaris takhta. Tuntutan Yudistira ditolak oleh
Duryodana. Kresna yang bertindak sebagai juru damai gagal merundingkan
perdamaian dengan Korawa. Sebelumnya, para Pandawa dan Korawa telah mencari
sekutu sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha (Tanah India), dan hampir
seluruh kerajaan pada zaman India kuno terbagi menjadi dua kelompok. Bagian
akhir dari Udyogaparwa berisi dialog antara Destarata dan Kumara Sanatasugata,
lebih dikenal sebagai Sanatasugatya, yang berisi ajaran tentang keabadian dan
brahmacarya.
6.
Bhismaparwa
Kitab Tentang Bisma. Kitab Bhismaparwa merupakan kitab yang menceritakan
tentang bermulanya pertempuran di Kurukshetra akibat kegagalan perundingan
damai antara Pandawa dan Korawa. Pada beberapa bagian awalnya terselip suatu
interpolasi tentang percakapan antara Kresna dan Arjuna menjelang perang
berlangsung. Oleh umat Hindu, percakapan tersebut dirangkum menjadi sebuah
kitab tersendiri, yang dikenal sebagai kitab Bhagawadgita ("Bhagavad-Gītā").
Cerita dalam kitab Bhismaparwa diakhiri dengan tumbangnya Bisma pada
pertempuran di hari kesepuluh, karena serangan bertubi-tubi dari Arjuna yang
dibantu oleh Srikandi.
7.
Dronaparwa
Kitab Tentang Drona. Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan
Drona sebagai panglima perang tentara Korawa. Diceritakan bahwa untuk
mengakhiri perang secepat mungkin, maka Drona berusaha menangkap Yudistira
selaku pemimpin tertinggi laskar Pandawa, tetapi usahanya selalu gagal.
Akhirnya Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna, ketika
sedang tertunduk lemas setelah mendengar berita palsu tentang kematian anaknya,
Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya dua kesatria
unggulan pihak Pandawa: Abimanyu dan Gatotkaca.
8.
Karnaparwa
Kitab Tentang Karna. Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karna
sebagai panglima perang setelah gugurnya Drona. Dalam kitab tersebut
diceritakan gugurnya Dursasana di tangan Bima. Saat menjabat sebagai panglima,
Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran di antara
mereka. Akhirnya, Karna gugur di tangan Arjuna dengan menggunakan senjata
Pasupati pada pertempuran di hari ke-17.
9.
Salyaparwa
Kitab Tentang Salya. Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Salya sebagai
panglima perang Korawa pada hari ke-18, menggantikan Karna yang telah gugur.
Pada hari itu juga, Salya gugur di medan perang. Setelah ditinggal sekutu dan
saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan hendak menghentikan pertikaian
dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para Pandawa sehingga Duryodana
terpancing untuk berkelahi dengan Bima. Dalam perkelahian tersebut, Duryodana
kalah sehingga perang pun berakhir. Namun ia sempat mengangkat Aswatama sebagai
panglima untuk membalaskan dendamnya.
10. Sauptikaparwa Kitab
Tentang Serangan Malam. Kitab Sauptikaparwa berisi kisah utama tentang
pembalasan dendam Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama
Krepa dan Kertawarma menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh
banyak orang, kecuali para Pandawa yang sedang tidak berada di sana. Setelah
itu Aswatama melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul
oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan
Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Kresna mengutuk Aswatama.
11. Striparwa Kitab
Tentang Para Wanita. Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang
ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan
upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci
kepada leluhur. Pada hari itu pula, Kunti menceritakan kelahiran Karna yang
menjadi rahasia pribadinya. Diceritakan pula bahwa Gandari mengutuk keluarga
Kresna (bangsa Yadawa) agar binasa dalam perang saudara.
12. Santiparwa Kitab
Tentang Kedamaian. Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira
karena telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia
diberi wejangan suci oleh Byasa dan Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan
tujuan ajaran Hindu agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai
raja. Kitab ini merupakan salah satu kitab Mahabharata yang mengalami banyak
interpolasi sehingga sloka (ayat-ayat) yang terkandung di dalamnya sangat
banyak. Berbagai ajaran India Kuno terkandung dalam interpolasi tersebut, mulai
dari ilmu sosial, ritual, ekonomi, hingga politik.
13. Anusasanaparwa Kitab
Tentang Wejangan. Kitab Anusasanaparwa berisi kisah utama tentang penyerahan
diri Yudistira kepada Bisma untuk menerima ajarannya (anusasana). Bisma
mengajarkan tentang ajaran darma, arta, aturan tentang berbagai upacara,
kewajiban seorang raja, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia
dengan tenang. Sebagaimana Santiparwa, kitab ini juga mengandung banyak
interpolasi dan merupakan salah satu kitab Mahabharata yang jumlah slokanya
sangat banyak.
14. Aswamedhikaparwa Kitab
Tentang Upacara Aswamedha. Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah utama tentang
pelaksanaan upacara Aswamedha oleh Yudistira yang telah menjabat sebagai raja.
Kitab tersebut juga menceritakan kisah pertempuran Arjuna dengan para raja di
dunia, selama ia menuntun jalannya kuda yang dipakai sebagai sarana upacara
tersebut. Dalam kitab ini dikisahkan pula kelahiran Parikesit yang semula tewas
dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, tetapi dihidupkan kembali oleh
Sri Kresna. Kemudian terdapat pula kisah pertemuan Arjuna dengan Babruwahana,
putranya dengan Citrānggadā dari Manipur.
15. Asramawasikaparwa Kitab
Tentang Khalwat. Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian Dretarastra,
Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan untuk menjalani masa
pensiun mereka. Bertahun-tahun setelah menjalani kehidupan di hutan, Resi
Narada datang ke istana Hastinapura untuk membawa kabar bahwa Dretarastra dan
yang lainnya telah pergi ke surga tewas terbakar oleh api ritual yang melalap
asrama mereka.
16. Mosalaparwa Kitab
Tentang Senjata Mosala. Kitab Mosalaparwa menceritakan perang saudara yang
terjadi di antara klan-klan bangsa Yadawa, yaitu keluarga besar Kresna. Setelah
keluarganya binasa, Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan.
Arjuna mengunjungi Dwaraka, kediaman Kresna dan mendapati bahwa kota tersebut
telah kosong. Atas nasihat Byasa, Pandawa dan Dropadi menempuh hidup sebagai sanyasin,
atau menjalani pensiun dengan meninggalkan kesibukan duniawi.
17. Prasthanikaparwa Kitab
Tentang Perjalanan. Kitab Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa
menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya
sebagai tujuan akhir kehidupan mereka, sementara takhta kerajaan telah
diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan
para Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
18. Swargarohanaparwa Kitab
Tentang Pengangkatan ke Surga. Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah
Yudistira yang telah mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput oleh Dewa
Indra untuk memasuki surga. Sebelum memasuki surga, sang dewa menguji
Yudistira, dan akhirnya ia mampu melewati ujian tersebut. Kisah diakhiri dengan
berkumpulnya kembali para tokoh utama di surga.
Dinasti Kuru
Santanu:
Penguasa Tanah Kuru yang bertakhta di Hastinapura. Ia memiliki 2 istri, Dewi
Gangga dan Satyawati. Dari Dewa Gangga, ia berputra Bisma, sedangkan dari
Satyawati ia memiliki dua putra, Citrānggada dan Wicitrawirya. Ia berjanji
untuk mewariskan takhta Hastinapura hanya kepada keturunan Satyawati.
Bisma:
putra ke-8 Santanu dengan Dewi Gangga. Ia bersumpah tidak akan menjabat sebagai
raja dan tidak mau memiliki keturunan, supaya tidak terjadi perebutan kekuasaan
dengan keturunan Citrānggada dan Wicitrawirya, saudara tirinya. Ia merupakan
seorang kesatria yang tangguh serta bijaksana, dan mengayomi keturunan saudara
tirinya.
Citrānggada
dan Wicitrawirya: putra Santanu dan Satyawati. Keduanya wafat tanpa memiliki
keturunan. Sebelumnya, Wicitrawirya menikah dengan putri Kasi bernama Ambika
dan Ambalika. Kedua janda tersebut diserahkan kepada Resi Byasa agar memperoleh
keturunan.
Dretarastra:
putra Ambika yang terlahir buta. Kebutaan membuatnya tidak berhak mewarisi
takhta, sehingga adiknya yang bernama Pandu mengambil alih kuasa. Setelah
kematian Pandu, ia menjadi penjabat raja. Dretarastra menikah dengan Gandari
dari Gandhara.
Pandu:
putra Ambalika. Ia mewarisi takhta karena kakaknya yang buta tidak berhak
menjadi raja. Ia memiliki dua istri: Kunti dan Madri. Dari Kunti, Pandu
memiliki 3 putra: Yudistira, Bima, dan Arjuna. Dari Madri, Pandu memiliki 2
putra kembar: Nakula dan Sadewa.
Widura:
perdana menteri Hastinapura. Ia merupakan anak seorang pelayan yang diberi
keturunan oleh Byasa. Ia berada dalam generasi yang sama dengan Dretarastra dan
Pandu. Dikisahkan bahwa wataknya bijaksana, dan merupakan penitisan Dewa Darma
(Yama).
Pandawa:
sebutan untuk lima putra Pandu, yaitu Yudistira (berperilaku adil dan jujur),
Bima (sangar dan bertenaga paling kuat), Arjuna (pemanah ulung), Nakula
(berwajah sangat tampan), dan Sadewa (cerdas dan mampu meramal). Di antara
keturunan Dretarastra dan Pandu, Yudistira merupakan yang tertua dan dicalonkan
untuk mewarisi takhta ayahnya. Menurut Mahabharata, kelima Pandawa menikah
dengan Dropadi, putri Drupada dari Panchala.
Korawa:
sebutan untuk anak-anak Dretarastra. Yang utama berjumlah seratus putra dan
dilahirkan Gandari, dengan Duryodana sebagai putra sulung. Si bungsu merupakan
perempuan bernama Dursala yang menjadi anak Gandari ke-101. Selain anak-anak
Gandari, Dretarastra juga memiliki seorang putra yang lahir dari dayang
berkasta waisya, namanya Yuyutsu. Ia merupakan satu-satunya putra Dretarastra
yang tidak berniat untuk memusuhi para Pandawa.
Parikesit:
cucu Arjuna, salah satu Pandawa. Ia merupakan Raja Hastinapura setelah
Yudistira turun takhta. Dikisahkan bahwa ia tewas akibat gigitan ular naga
Taksaka setelah berbuat tidak sopan kepada seorang petapa bernama Samiti.
Janamejaya:
putra Parikesit. Ia merupakan Raja Hastinapura setelah Parikesit mangkat.
Setelah mengetahui latar belakang penyebab kematian ayahnya, Janamejaya pun
melangsungkan upacara untuk membantai seluruh ular di dunia. Namun usahanya
dicegah oleh brahmana bernama Astika, putra dewi ular. Untuk menghibur duka
sang raja, Resi Byasa meminta salah satu muridnya yang bernama Wesampayana
untuk menceritakan kisah kejayaan para leluhur sang raja. Kisah tersebut adalah
Mahabharata.
Bangsa Yadawa
Basudewa:
ayah bagi Baladewa dan Kresna. Ia memiliki beberapa istri, yang terkemuka ialah
Dewaki dan Rohini.
Baladewa:
putra Basudewa dan Rohini. Kesatria perkasa bersenjata luku (alat bajak sawah).
Ia merupakan kakak Kresna, dan guru bela diri bagi Duryodana dan Bima.
Dikisahkan bahwa Baladewa sangat kuat dan disegani oleh pihak Korawa maupun
Pandawa. Pada saat konflik antara Pandawa dan Korawa memuncak menjadi perang di
Kurukshetra, Baladewa memilih untuk bersikap netral sebab kasih sayangnya
setara untuk kedua belah pihak.
Kresna:
putra Basudewa dan Dewaki. Menurut sastra Hindu, ia merupakan awatara Wisnu.
Dengan kesaktiannya, ia sering memberi pertolongan secara gaib kepada Pandawa.
Sejumlah jalan cerita dalam Mahabharata melibatkan Kresna sebagai pemecah
masalah dan ahli siasat. Dalam Perang Kurukshetra, ia tidak bertarung secara
langsung, melainkan menjadi pengatur siasat agar kemenangan bisa diraih oleh
Pandawa.
Samba:
putra Kresna dan Jembawati. Karena kejahilannya dan para pemuda Yadawa lainnya,
maka para resi mengutuk agar kaum Yadawa hancur dalam suatu bentrokan
antarsesama.
Satyaki:
kesatria bangsa Yadawa yang memimpin satu divisi tentara khusus yang disebut
Laskar Narayana. Ilmu perangnya sangat tangguh. Meskipun laskar Narayana
seharusnya memihak Korawa, tetapi Satyaki setia kepada para Pandawa sehingga
divisi pimpinannya bertarung demi Pandawa pada saat Perang Kurukshetra.
Kertawarma:
kesatria bangsa Yadawa yang memimpin satu divisi tentara khusus yang disebut
Laskar Narayana. Sebagai hasil dari misi diplomatis Duryodana, tentara Narayana
memihak Korawa pada saat Perang Kurukshetra. Sebagaimana kaum Yadawa lainnya,
Kertawarma sangat tangguh.
Resi dan brahmana
Byasa:
seorang resi, putra Satyawati dengan Parasara. Ia merupakan anak Satyawati
sebelum menikah dengan Santanu. Byasa diceritakan sebagai seseorang yang suci,
memiliki kesaktian, dan hidup abadi. Ia merupakan orang yang menyambung garis
keturunan Dinasti Kuru. Perannya sangat signifikan dalam wiracarita
Mahabharata, mulai dari penasihat, penolong, hingga narator dalam kisah
tersebut. Secara tradisional, kisah Mahabharata diyakini oleh umat Hindu
sebagai catatan sejarah yang ditulis Resi Byasa.
Krepa:
guru para pangeran Kuru di keraton Hastinapura. Ia berperan sebagai pembimbing
dan pengatur upacara. Menurut kepercayaan Hindu, ia merupakan salah satu
makhluk abadi.
Drona:
guru militer para pangeran Kuru. Ia mengabdi kepada pemerintah Hastinapura, dan
disegani oleh Korawa maupun Pandawa. Ia merupakan ahli bela diri dan pemakai
berbagai senjata yang sangat tangguh.
Aswatama:
putra Drona. Ia bersahabat dengan Duryodana, dan sering membantu Duryodana
dalam rencana mengalahkan para Pandawa. Setelah Perang Kurukshetra berakhir, ia
melakukan serangan malam, lalu berencana memusnahkan garis keturunan Kuru.
Namun usaha tersebut digagalkan oleh Kresna. Sebagai akibatnya, ia dikutuk agar
hidup abadi dan mengembara di Bumi, tetapi dalam kondisi berpenyakit.
Narada:
seorang resi pengelana, memiliki kesaktian untuk terbang sesuka hati dan muncul
secara tiba-tiba. Ia kerap memberi nasihat dan petuah bagi para Pandawa saat
mereka menghadapi masa-masa sulit, ataupun saat merasakan kejayaan. Selain itu,
Narada berperan sebagai pemberi kabar bagi para Pandawa tentang
kejadian-kejadian penting di dunia yang harus mereka ketahui.
Penobatan Karna sebagai Raja Anga
Sangkuni:
Raja Gandhara. Diceritakan bahwa karena dendamnya kepada Dinasti Kuru, ia
bersumpah untuk menghancurkan para keturunan Kuru. Untuk melaksanakan
sumpahnya, ia mengadu domba para Korawa dengan para Pandawa. Maka dari itu,
Sangkuni sering diceritakan terlibat dalam sejumlah plot tentang usaha Korawa
menyingkirkan para Pandawa.
Karna:
Raja Anga, yang merupakan putra Kunti. Saat lahir, ia dibuang oleh ibunya lalu
dipungut oleh kusir bernama Adirata. Saat dewasa, ia menjalin persahabatan
dengan Duryodana, lalu dinobatkan sebagai penguasa Anga. Dalam Mahabharata
dikisahkan bahwa persahabatannya dengan Duryodana sangat erat; ia rela
melakukan apa pun demi membahagiakan Duryodana, sehingga ia sering terlibat
dalam usaha menyingkirkan para Pandawa.
Drupada:
Raja Panchala, ayah bagi Dropadi, mertua bagi para Pandawa. Diceritakan bahwa
ia memiliki dendam kesumat terhadap Drona, guru para Pandawa. Maka dari itu ia
menyelenggarakan suatu upacara untuk memohon anak yang bakal menjadi pembunuh
Drona. Dari upacara tersebut, lahirlah Drestadyumna, yang di kemudian hari
menjabat sebagai panglima tentara Pandawa dalam Perang Kurukshetra. Karena
kekagumannya akan ketangkasan Arjuna, Drupada juga memohon anugerah seorang
anak perempuan yang akan menjadi istri Arjuna, sehingga lahirlah Dropadi.
Salya:
Raja Madra. Ia merupakan kakak Madri, istri Pandu. Sebelum perang Kurukshetra
dimulai, Salya memutuskan untuk memihak kubu Pandawa sebab keponakannya ada di
sana. Namun Salya merasa berhutang budi kepada Duryodana sehingga ia pun
memihak Korawa. Menjelang pertempuran, hatinya tetap tertuju kepada Pandawa,
dan ia berdoa agar kemenangan diraih oleh Pandawa.
Wirata:
Raja Matsya. Ia menyediakan tempat bernaung bagi para Pandawa saat mereka
menjalani masa penyamaran selama setahun. Wirata menikah dengan Sudesna dan
memiliki sejumlah anak—Sweta, Wratsangka, Utara, dan Utari. Utari dijodohkan
kepada Abimanyu, putra Arjuna, lalu melahirkan putra bernama Parikesit yang
melanjutkan garis Dinasti Kuru.
Yayati:
Seorang raja keturunan Dewa Candra, yang merupakan leluhur Pandawa dan Korawa.
Ia memiliki dua istri bernama Dewayani dan Sarmista. Salah satu keturunan
Dewayani merupakan bangsa Yadawa, sementara salah satu keturunan Sarmista
merupakan keluarga kesatria yang disebut Paurawa, meliputi keluarga besar
Dinasti Kuru.
Mahabharata Jawa kuno
Banyak
masyarakat mengenal cerita Mahabharat melalui visual dalam bentuk film dan
sinetron berseri yang ditayangkan televisi. Mahabharata merupakan serbuah karya
satra kuni yang konon di tulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India.
Buku
Mahabharata ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa
(asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah
ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula
terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi.
Dari
belasan kitab yang telah terkumpul, secara singkat, Mahabharata menceritakan
kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus
Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina.
Dari
perselisihan tersebut Pandawa lima dan para kurawa ini akhirnya pecah dengan
puncak terjadinya perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran
berlangsung selama delapan belas hari.
Selain
berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung
nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah
Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu.
Kisah
yang semula ditulis dalam bahasa Sanskerta ini kemudian disalin dalam berbagai
bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di
Asia, termasuk di Asia Tenggara.
Kitab
Mahabharata salinan masuk Nusantara berubah jawa kuno
Di
Jawa Kuno, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa,
Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah
dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi.
Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri.
Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa.
Yang
terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam
bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno.
Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwāha, perkawinan
Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M ini
(Zoetmulder, 1984) dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang
Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.
Karya
sastra lain yang juga terkenal adalah Kakawin Bharatayuddha, yang digubah oleh
mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh mpu Panuluh (Panaluh). Kakawin ini
dipersembahkan bagi Prabu Jayabhaya (1135-1157 M), ditulis pada sekitar akhir
masa pemerintahan raja Daha (Kediri) tersebut. Di luar itu, mpu Panuluh juga
menulis kakawin Hariwangśa pada masa Jayabaya, dan diperkirakan pula menggubah
Gaţotkacāśraya pada masa raja Kertajaya (1194-1222 M) dari Kediri.
Beberapa
kakawin lain turunan Mahabharata yang juga penting untuk disebut, di antaranya
adalah Kŗşņāyana (karya mpu Triguna) danBhomāntaka (pengarang tak dikenal)
keduanya dari zaman kerajaan Kediri, dan Pārthayajña (mpu Tanakung) di akhir
zaman Majapahit. Salinan naskah-naskah kuno yang tertulis dalam lembar-lembar
daun lontar tersebut juga diketahui tersimpan di Bali. Di samping itu,
mahakarya sastra tersebut juga berkembang dan memberikan inspirasi bagi
berbagai bentuk budaya dan seni pengungkapan, terutama di Jawa dan Bali, mulai
dari seni patung dan seni ukir (relief) pada candi-candi, seni tari, seni lukis
hingga seni pertunjukan seperti wayang kulit dan wayang orang. Di dalam masa
yang lebih belakangan, kitab Bharatayuddha telah disalin pula oleh pujangga
kraton Surakarta Yasadipura ke dalam bahasa Jawa modern pada sekitar abad
ke-18.
Perang Kurukshetra
Perang
di Kurukshetra (Kurukṣētrayud'dha), yang merupakan bagian penting dari
wiracarita Mahabharata, dilatarbelakangi perebutan kekuasaan antara lima putra
Pandu (Pandawa) dengan seratus putra Dretarastra (Korawa). Dataran Kurukshetra
yang menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai
sekarang. Kurukshetra terletak di negara bagian Haryana, India.
Pertempuran
tersebut tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, sehingga kadang-kadang
disebut terjadi pada "Era Mitologi". Beberapa peninggalan puing-puing
di Kurukshetra (seperti misalnya benteng) diduga sebagai bukti arkeologinya.
Menurut kitab Bhagawadgita, perang di Kurukshetra terjadi 3000 tahun sebelum
tahun Masehi (5000 tahun yang lalu) dan hal tersebut menjadi referensi yang
terkenal.
Meskipun
pertempuran tersebut merupakan pertikaian antar dua keluarga dalam satu
dinasti, tetapi juga melibatkan berbagai kerajaan di daratan India pada masa
lampau. Pertempuran tersebut terjadi selama 18 hari, dan jutaan tentara dari
kedua belah pihak gugur. Perang tersebut mengakibatkan banyaknya wanita yang
menjadi janda dan banyak anak-anak yang menjadi anak yatim. Perang ini juga
mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju zaman
Kaliyuga, zaman kehancuran menurut kepercayaan Hindu.
Perang
di Kurukshetra merupakan klimaks dari Mahābhārata, sebuah wiracarita tentang
pertikaian Dinasti Kuru sebagai titik sentralnya. Perebutan kekuasaan yang
merupakan penyebab perang ini, terjadi karena para putra Dretarastra tidak mau
menyerahkan tahta kerajaan Kuru kepada saudara mereka yang lebih tua, yaitu
Yudistira, salah satu lima putra Pandu alias Pandawa. Nama Kurukshetra yang
menjadi lokasi pertempuran ini bermakna daratan Kuru, yang juga disebut
Dharmakshetra atau daratan keadilan. Lokasi ini dipilih sebagai ajang
pertempuran karena merupakan tanah yang dianggap suci oleh umat Hindu.
Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat kesucian
daerah ini.
Dalam
kitab Mahabharata disebutkan bahwa pangeran Dretarastra yang buta sejak lahir
terpaksa menyerahkan takhta kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahan di
Hastinapura kepada adiknya, Pandu, meskipun dia merupakan putra sulung. Pandu
berputra lima orang, yang dikenal dengan sebutan Pandawa, dengan Yudistira
sebagai putra sulung. Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikan posisinya
sebagai kepala pemerintahan sementara sampai kelak putra sulung Pandu dewasa.
Kelima putra Pandu (Pandawa) dan seratus putra Dretarastra (Korawa) tinggal
bersama di istana Hastinapura dan dididik oleh guru yang sama, bernama Drona
dan Krepa. Disamping itu, mereka dibimbing oleh seorang bijak bernama Bisma,
kakek mereka. Oleh guru dan kakeknya, Yudistira dianggap pantas meneruskan
takhta Kerajaan Kuru, sebab ia berkepribadian baik. Disamping itu, Yudistira
merupakan pangeran yang tertua di antara saudara-saudaranya.
Para
Korawa, khususnya Duryodana, berambisi menguasai takhta Dinasti Kuru. Namun
ambisi tersebut terhalangi sebab Yudistira dipandang lebih layak menjadi Raja
Kuru daripada Duryodana. Untuk mewujudkan ambisinya, Duryodana berusaha
menyingkirkan Yudistira dan para Pandawa dengan berbagai upaya, termasuk
melakukan usaha pembunuhan. Namun kelima putra Pandu tersebut selalu selamat
dari kematian, berkat perlindungan dari pamannya dan sepupu mereka, yaitu
Widura dan Kresna.
Sebuah
pohon beringin yang dikeramatkan di Kurukshetra, yang dianggap sebagai saksi
bisu saat Sri Kresna menurunkan sloka-sloka suci dalam kitab Bhagawadgita,
sesaat sebelum perang berlangsung.
Setelah
gagal dalam usaha pembunuhan, kemudian Korawa memutuskan untuk menipu para
Pandawa dengan cara mengajak mereka bermain dadu, dengan syarat yang kalah
harus meninggalkan istana selama tiga belas tahun. Permainan dadu yang sudah
disetel dengan licik mengakibatkan Pandawa kalah, sehingga mereka harus
meninggalkan kerajaan selama tiga belas tahun dan terpaksa mengasingkan diri ke
hutan. Sebelum Pandawa dibuang, Dretarastra berjanji akan menyerahkan takhta
kerajaan Kuru kepada Yudistira sebab ia merupakan putra mahkota Dinasti Kuru
yang sulung.
Setelah
masa pengasingan selama tiga belas tahun berakhir, sesuai dengan perjanjian
yang sah, Pandawa berhak meminta kembali kerajaannya. Namun Duryodana menolak
mentah-mentah untuk menyerahkan kembali kerajaannya. Meskipun mendapatkan
tanggapan seperti itu, Yudistira dan adik-adiknya masih mampu bersabar. Sebagai
seorang pangeran, Pandawa merasa wajib dan berhak turut serta dalam
administrasi pemerintahan, maka mereka meminta lima buah desa saja. Tetapi
Duryodana sombong dan berkata bahwa ia tidak bersedia memberikan tanah kepada
para Pandawa, bahkan yang seluas ujung jarum pun. Jawaban itu membuat para
Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang tak bisa dihindari. Di pihak lain,
Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.
Tujuan damai Sri Kresna
Sebelum
keputusan untuk berperang diumumkan, para Pandawa berusaha mencari sekutu
dengan mengirimkan surat permohonan kepada para raja di daratan India Kuno agar
mau mengirimkan pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang tidak batal
dilakukan. Begitu juga yang dilakukan oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu
membuat para raja di daratan India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak
Pandawa dan pihak Korawa.
Sementara
itu, Kresna mencoba untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke
Hastinapura untuk mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun
Duryodana menolak usul Kresna dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para
prajuritnya untuk menangkap Kresna sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna
bukanlah manusia biasa. Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata
para prajurit Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia
menunjukkan bentuk rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati
suci: Bisma, Drona, dan Widura.
Setelah
Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk
memberitahu para Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta
agar para Pandawa menyiapkan tentara dan memberitahu para sekutu bahwa perang
besar akan terjadi.
Persiapan perang
Kresna
tidak bersedia bertempur secara pribadi. Ia mengajukan pilihan kepada para
Pandawa dan Korawa, bahwa salah satu boleh meminta pasukan Kresna yang
jumlahnya besar sementara yang lain boleh memanfaatkan tenaganya sebagai
seorang ksatria. Mendapat kesempatan itu, Arjuna dan Duryodana pergi ke Dwaraka
untuk memilih salah satu dari dua pilihan tersebut.
Duryodana
jenius di bidang politik, maka ia memilih tentara Kresna. Sedangkan para
Pandawa yang diwakili Arjuna, bersemangat untuk meminta tenaga Sri Kresna
sebagai seorang penasihat dan memintanya agar bertempur tanpa senjata di medan
laga. Sri Kresna bersedia mengabulkan permohonan tersebut, dan kedua belah
pihak merasa puas.
Pandawa
telah mendapatkan tenaga Kresna, sementara Korawa telah mendapatkan tentara
Kresna. Persiapan perang dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri
dari para Raja dan ksatria gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya
sangat besar berdatangan dari berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya
masing-masing. Pandawa memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas
divisi. Beberapa kerajaan pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka,
Kerajaan Kasi, Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan wangsa Yadu
dari Mandura bersekutu dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa
terdiri dari Raja Pragjyotisha, Raja Angga, Raja Kekaya, Raja Sindhu, kerajaan
Kosala, Kerajaan Awanti, Kerajaan Madra, Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika,
Kamboja, dan masih banyak lagi.
Pihak Pandawa
Pasukan
Pandawa dibagi menjadi tujuh aksohini (divisi). Setiap aksohini dipimpin oleh
Raja Drupada dan kedua putranya Drestadyumna dan Srikandi dari Panchala, Raja Wirata dari Matsya,
Satyaki, Cekitana dan Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para
Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. Kitab
Mahabharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu
dengan Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di
antara mereka yakni: Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan
Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.
Pihak Korawa
Duryodana
meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan
bahwa ketika ia bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti
para Pandawa. Bisma juga tidak ingin bertarung di sisi Karna dan tidak akan
membiarkannya menyerang Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin
dia dan Karna menyerang Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia
tidak ingin penyerangan secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan
bahwa kasta Karna lebih rendah daripada kastanya. Bagaimanapun juga, Duryodana
memaklumi keadaan Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan
Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa dipimpin oleh
Duryodana sendiri bersama dengan adiknya Dursasana, putera kedua Dretarastra,
dan dalam pertempuran tersebut Korawa dibantu oleh Drona dan putranya Aswatama,
kakak ipar para Korawa Jayadrata, serta guru mereka Krepa. Selain itu, turut
pula Kertawarma dari Wangsa Yadawa, Salya dari Madra, Sudaksina dari Kamboja,
Burisrawa putra Somadatta, Raja Bahlika, Sangkuni dari Gandhara, Wrehadbala
Raja Kosala, Winda dan Anuwinda dari Awanti, dan masih banyak lagi para ksatria
dan raja yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun Dretarastra.
Peta
kerajaan pada zaman India kuno. Seluruh kerajaan menjadi dua kelompok yang
memihak Korawa maupun Pandawa. Daratan Kurukshetra terletak di sebelah utara.
Pihak
netral
Kerajaan
Widarbha dan rajanya, Raja Rukmi, selayaknya kakak Kresna, Balarama, adalah
pihak yang netral dalam peperangan tersebut.
pasukan dan persenjataan
Setiap
pihak memiliki jumlah pasukan yang besar. Pasukan tersebut dibagi ke dalam
aksohini (divisi). Setiap aksohini berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari
:
Ø 21.870 pasukan
berkereta kuda
Ø 21.870 pasukan
penunggang gajah
Ø 65.610 pasukan
penunggang kuda
Ø 109.350 tentara
darat (infantri)
Perbandingan
jumlah mereka adalah 1:1:3:5. Pasukan Pandawa memiliki 7 divisi, dengan total
pasukan 1.530.900 prajurit. Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, dengan total
pasukan 2.405.700 prajurit. Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang
adalah 3.936.600 orang. Jumlah pasukan yang terlibat dalam perang sangat
banyak, sebab divisi pasukan kedua belah pihak merupakan gabungan dari divisi
pasukan kerajaan lain diseluruh daratan India.
Senjata
yang digunakan dalam perang di Kurukshetra merupakan senjata kuno dan primitif,
contohya: panah, tombak, pedang, golok, kapak-perang, gada, dan sebagainya.
Para ksatria terkemuka seperti Arjuna, Bisma, Karna, Aswatama, Drona, dan
Abimanyu, memilih senjata panah karena sesuai dengan keahlian mereka. Bima dan
Duryodana memilih senjata gada untuk bertarung. Meskipun demikian, tidak
selamanya ksatria tersebut hanya menggunakan satu jenis senjata saja. Kadang
kala, Bima menggunakan panah, sedangkan Abimanyu menggunakan pedang.
FORMASI
PASUKAN
Ilustrasi
formasi Cakrabyuha (formasi melingkar), salah satu formasi perang yang
digunakan oleh pihak Korawa.
Formasi
militer adalah hal yang penting untuk mencapai kemenangan dalam peperangan.
Dengan formasi yang baik dan sempurna, maka musuh juga lebih mudah ditaklukkan.
Ada beberapa formasi militer yang disebutkan dalam Mahabharata, masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Beberapa macam formasi militer
tersebut sebagai berikut :
1.
Krauncabyuha
(formasi bangau)
2.
Cakrabyuha
(formasi cakram/melingkar)
3.
Kurmabyuha
(formasi kura-kura)
4.
Makarabyuha
(formasi buaya)
5.
Trisulabyuha
(formasi trisula)
6.
Sarpabyuha
(formasi ular)
7.
Kamalabyuha
atau Padmabyuha (formasi teratai)
Sulit
mengindikasi dengan tepat makna dari nama-nama formasi tersebut. Nama formasi
mungkin saja mengindikasi bahwa sebuah pasukan memilih suatu bentuk tertentu
(seperti elang, bangau, dll.) sebagai formasi, atau mungkin saja nama suatu
formasi berarti strategi mereka mirip dengan suatu hewan / hal tertentu.
Aturan perang
Dua
pemimpin tertinggi dari kedua belah pihak bertemu dan membuat peraturan tentang
perlakuan yang etis (Dharmayuddha) sebagai aturan perang. Peraturan tersebut
sebagai berikut :
1.
Pertempuran
harus dimulai setelah matahari terbit dan harus segera dihentikan saat matahari
terbenam.
2.
Pertempuran
satu lawan satu; tidak boleh mengeroyok prajurit yang sedang sendirian.
3.
Dua
kesatria boleh bertempur secara pribadi jika mereka memiliki senjata yang sama
atau menaiki kendaraan yang sama (kuda, gajah, atau kereta).
4.
Tidak
boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
5.
Seseorang
yang menyerahkan diri harus menjadi tawanan perang atau budak.
6.
Tidak
boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
7.
Tidak
boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
8.
Tidak
boleh membunuh atau melukai seseorang atau binatang yang tidak ikut berperang.
9.
Tidak
boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
10. Tidak boleh
menyerang wanita.
11. Tidak boleh
menyerang hewan yang tidak dianggap sebagai ancaman langsung.
Peraturan
khusus yang dibuat untuk setiap senjata mesti diikuti. Sebagai contoh, dilarang
memukul bagian pinggang ke bawah pada saat bertarung menggunakan gada. Bagaimanapun
juga, para kesatria tidak boleh berjanji untuk berperang dengan curang. Meskipun
aturan perang telah disepakati, banyak prajurit dan kesatria dari kedua belah
pihak yang melanggarnya, dan tidak jarang mereka melakukannya.
Jalannya pertempuran
Pertempuran
berlangsung selama 18 hari. Pertempuran berlangsung pada saat matahari muncul
dan harus segera diakhiri pada saat matahari terbenam. Kedua belah pihak
bertarung di dataran Kurukshetra dan setiap hari terjadi pertempuran yang
berlangsung sengit dan mengesankan. Dalam setiap pertarungan yang terjadi dalam
18 hari tersebut, ksatria yang tidak terbunuh dan berhasil mempertahankan
nyawanya adalah pemenang karena pertempuran tersebut adalah pertempuran menuju
kematian. Siapa yang bertahan hidup dan berhasil memusnahkan lawan-lawannya,
dialah pemenangnya.
Beberapa saat sebelum perang
Pada
hari pertempuran pertama, begitu juga pada hari-hari berikutnya, pasukan para
Korawa berbaris menghadap barat sedangkan pasukan para Pandawa berbaris
menghadap timur. Pasukan Korawa membentuk formasi seperti burung elang: pasukan
penunggang gajah sebagai tubuhnya; pasukan para Raja dan ksatria di barisan
depan sebagai kepalanya; dan pasukan penunggang kuda sebagai sayapnya. Dalam
urusan perang, Bisma berkonsultasi dengan panglima Drona, Bahlika dan Krepa.
Pasukan
Pandawa diatur oleh Yudistira dan Arjuna agar membentuk formasi Bajra. Karena
pasukan Pandawa lebih kecil daripada pasukan Korawa, maka strategi berperang
dibuat agar memungkinkan pasukan yang kecil untuk menyerang pasukan yang besar.
Sesuai strategi Pandawa, pasukan pemanah akan menghujani musuh dengan panah
dari belakang pasukan garis depan. Pasukan garis depan menggunakan senjata
langsung jarak pendek seperti: gada, pedang, kapak, tombak, dll. Pasukan Korawa
terdiri dari sebelas divisi di bawah perintah Bisma. Sepuluh divisi pasukan
Korawa membentuk barisan yang sangat hebat, sedangkan divisi kesebelas masih
berada di bawah aba-aba langsung dari Bisma, dan sebagian divisi melindunginya
dari serangan langsung karena Bisma sangat berguna dan merupakan harapan untuk
menang.
Setelah
sepakat dengan formasi dan strategi masing-masing, pasukan kedua belah pihak
berbaris rapi. Duryodana optimis melihat pasukan Korawa memiliki para kesatria
tangguh yang setara dengan Bima dan Arjuna. Namun ada tokoh-tokoh lain yang
setara dengan mereka seperti Yuyudana (Satyaki), Wirata, dan Drupada yang ia
anggap sebagai batu rintangan dalam mencapai kajayaan dalam pertempuran. Ia
juga optimis karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu Bisma,
Karna, Kertawarma, Wikarna, Burisrawa, dan Krepa, ada di pihaknya. Selain itu
Raja agung seperti Yudhamanyu dan Uttamauja yang sangat perkasa juga turut
berpartisipasi dalam pertempuran sebagai penghancur bagi musuh-musuhnya. Bisma,
dengan diikuti oleh Para Raja dan ksatria dari kedua belah pihak meniup sangkala
(terompet kerang) mereka tanda pertempuran akan segera dimulai.
Ketika
terompet sudah ditiup dan kedua pasukan sudah berhadap-hadapan, bersiap-siap
untuk bertempur, Arjuna menyuruh Kresna, guru spiritual sekaligus kusir
keretanya, agar mengemudikan keretanya menuju ke tengah medan pertempuran
supaya ia bisa melihat, siapa yang siap bertempur dan siapa yang harus ia
hadapi. Tiba-tiba Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan wangsa Bharata,
keturunan Kuru, nenek moyangnya. Arjuna juga dilanda kebimbangan akan
melanjutkan pertarungan atau tidak. Ia melihat kakek tercintanya, bersama-sama
dengan gurunya, paman, saudara sepupu, ipar, mertua, dan teman bermain semasa
kecil, semuanya kini berada di Kurukshetra, harus bertarung dengannya dan
saling bunuh. Arjuna merasa lemah dan tidak tega untuk melakukannya.
Dilanda
oleh pergolakan batin, antara mana yang merupakan ajaran agama, mana yang benar
dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik
segala ajaran agama. Kresna, yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna,
menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang
kesatria, agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut
kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang
bernama Bhagawadgita. Dalam Bhagawadgita, Kresna menyuruh Arjuna untuk tidak
ragu dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ksatria yang berada di jalur
yang benar. Ia juga mengingatkan bahwa kewajiban Arjuna adalah membunuh siapa
saja yang ingin mengalahkan kebajikan dengan kejahatan. Kemudian Sri Kresna
menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa ia
sesungguhnya sehingga segala keraguan dalam hatinya sirna. Dalam wujud semesta
tersebut, ia meyakinkan Arjuna bahwa sebagian besar para ksatria perkasa
dikedua belah pihak telah dihancurkan, dan yang bertahan hidup hanya beberapa
orang saja, maka tanpa ragu Arjuna harus mau bertempur.
Sebuah
patung di Singapura, yang menggambarkan adegan Kresna menampakkan wujud
rohaninya (Wiswarupa) kepada Arjuna.
Sebelum
pertempuran dimulai, Yudistira melakukan sesuatu yang mengejutkan. Tiba-tiba ia
meletakkan senjata, melepaskan baju zirah, turun dari kereta dan berjalan ke
arah pasukan Korawa dengan mencakupkan tangan seperti berdoa. Para Pandawa dan
para Korawa tidak percaya dengan apa yang dilakukannya, dan mereka berpikir
bahwa Yudistira sudah menyerah bahkan sebelum panah sempat melesat. Ternyata
Yudistira tidak menyerah. Dengan hati yang suci Yudistira menyembah Bisma dan
memohon berkah akan keberhasilan. Bisma, kakek dari para Pandawa dan Korawa,
memberkati Yudistira. Setelah itu, Yudistira kembali menaiki keretanya dan
pertempuran siap untuk dimulai.
Hari pertama
Setelah
isyarat penyerangan diumumkan, kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap.
Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju
menyerang tentara Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya.
Abimanyu putra Arjuna melihat hal tersebut dan menyuruh para pamannya agar
berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya, tetapi
usaha para kesatria Pandawa tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan.
Putra
Raja Wirata Utara maju menghadapi Salya Raja Madra. Utara yang menaiki gajah
perang, mencoba melumpuhkan kereta perang Salya. Setelah keretanya lumpuh,
Salya meluncurkan senjata lembingnya ke arah Utara. Senjata tersebut menembus
baju zirah Utara. Kemudian, Salya menyerang gajah tunggangan Utara dengan
panah-panahnya. Utara dan gajahnya pun gugur seketika. Setelah Utara gugur,
Sweta mengamuk. Dengan nafsu membunuh, ia mengejar Salya. Para kesatria Korawa
yang menyadari hal itu segera melindungi Salya, tetapi tidak ada yang mampu
mengatasi kemarahan Sweta. Akhirnya Bisma turun tangan. Dengan senjata khusus,
ia memanah Sweta sehingga kesatria tersebut gugur seketika.
Ketidakmampuan
Pandawa melawan Bisma, serta kematian Utara dan Sweta pada hari pertama,
membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan
sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.
Hari kedua
Pada
hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari
pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, tetapi para
pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap
tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak
membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan
Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna
dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona menyerang
Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Bima yang
melihat keadaan tersebut menyongsong Drestadyumna dan menyelamatkan nyawanya.
Duryodana mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima,
tetapi serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua.
Satyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai
meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di
akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.
Hari ketiga
Kesabaran
Kresna habis sehingga ia ingin membunuh Bisma dengan tangannya sendiri, tetapi
dicegah oleh Arjuna.
Pada
hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi
burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan
sementara tentara Duryodana melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak
terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan
membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna sebagai pemimpin sayap
kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya kepada Arjuna.
Kemudian kereta Arjuna diserbu oleh berbagai panah dan tombak. Dengan
kemahirannya yang hebat, Arjuna membentengi keretanya dengan arus panah yang
tak terhitung jumlahnya.
Abimanyu
dan Satyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik
Sangkuni. Bima dan putranya, Gatotkaca, menyerang Duryodana yang berada di
barisan belakang. Panah Bima melesat menuju Duryodana yang menukik di atas
keretanya. Kusir keretanya segera membawanya menjauhi pertempuran. Tentara
Duryodana melihat pemimpinnya menjauhi pertarungan. Bisma melihat hal tersebut
lalu menyuruh agar pasukan bersiap siaga dan membentuk kembali formasi,
kemudian Duryodana datang kembali dan memimpin tentaranya. Duryodana marah
kepada Bisma karena masih segan untuk menyerang para Pandawa. Bisma kemudian
sadar dan mengubah perasaannnya kepada para Pandawa.
Arjuna
dan Kresna mencoba menyerang Bisma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam
pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk
melawan kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata,
"Aku sudah tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku
sendiri," lalu ia mengambil sejata cakranya dan berlari ke arah Bisma.
Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk melakukannya. Kemudian
mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak pasukan Korawa.
Hari keempat
Hari
keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma
memerintahkan pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para
ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong
Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu menyerang para
kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan pasukan gajah untuk
menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia turun dari
kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka
dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para
kesatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan
tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat
marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak ada yang mampu
melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh pasukan agar mundur. Pada
hari itu, Duryodana merasa sedih telah kehilangan saudara-saudaranya.
Saat
pertempuran pada hari itu berakhir, Duryodana yang diliputi duka dan kekecewaan
datang menemui Bisma untuk menanyakan penyebab Pandawa mampu bertahan dan
mengalahkan kekuatan pasukan Korawa yang konon amat dahsyat. Bisma menjawab
bahwa Pandawa bertindak di bawah panji kebenaran, sehingga lebih baik
mengadakan perjanjian damai dengan mereka. Namun Duryodana yang keras kepala
tidak mau menuruti nasihat tersebut.
Hari kelima
Pada
hari kelima, pertempuran terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga
membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan
Drestadyumna di sampingnya. Satyaki berhadapan dengan Drona dan kesulitan untuk
membalas serangannya. Bima pergi meninggalkan Srikandi yang menyerang Bisma.
Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung
dan pergi. Sementara itu, Satyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk
menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan
Burisrawa dan kemudian Satyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting.
Melihat hal itu, Bima datang melindungi Satyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di
tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang dikirim
Duryodana untuk menyerangnya.
Hari keenam
Yudistira menyuruh Drestadyumna agar membentuk formasi Makara, dengan Drupada dan Arjuna sebagai pemimpin garis depan. Untuk menandingi kekuatan Yudistira, Bisma menginstruksikan agar pasukan Korawa membentuk formasi burung bangau, dengan Balhika dan angkatan perangnya sebagai pemimpin garis depan.
Bima
bertarung melawan Drona dengan sengit. Bima memanah kusir kereta Drona sehingga
tewas seketika. Drona mengambil alih kedudukan kusirnya, lalu menghancurkan
sebagian besar pasukan Pandawa. Serangan Drona dihadapi oleh Drestadyumna.
Sementara itu, Bima melancarkan serangan ke garis pertahanan yang terdiri dari
putra-putra Dretarastra, yaitu: Dursasana, Durwisaha, Dursaha, Durmada, Jaya,
Jayasena, Wikarna, Citrasena, Sudarsana, Carucitra, Duskarna, Karna (Karna adik
Duryodana, bukan Karna sahabat Duryodana). Mereka semua mengepung Bima dari
segala penjuru. Bima meloncat turun dari keretanya sambil membawa gada. Di
tengah pasukan musuh, Bima mengamuk sehingga pasukan Korawa kacau-balau.
Melihat Bima dalam bahaya, Drestadyumna segera meninggalkan Drona dengan maksud
membantu Bima. Dengan bantuan Drestadyumna, Bima menghancurkan pasukan Korawa
dengan lebih mudah.
Setelah
menyaksikan Bima dalam bahaya, Yudistira mengirim Abimanyu untuk membantu
pamannya tersebut. Abimanyu melawan para putra Dretarastra, sementara Duryodana
dihadapi oleh lima putra Dropadi, yaitu Pratiwindya, Sutasoma, Srutakarma,
Satanika, dan Srutakirti. Menjelang sore hari, Bisma masih mengamuk
menghancurkan pasukan Pandawa. Akhirnya, matahari terbenam dan seluruh pasukan
ditarik mundur pada malam hari itu.
Hari ketujuh
Pada
hari ketujuh, pasukan Korawa di bawah instruksi Bisma membentuk formasi
Mandala. Untuk mengantisipasinya, Yudistira menginstruksikan agar pasukan
Pandawa membentuk formasi Bajra. Arjuna berhasil merusak formasi Mandala,
sehingga Bisma maju untuk menghadapinya. Sementara itu, Drona bertarung
menghadapi Wirata Raja Matsya. Dengan serangan panahnya, Drona membuat kereta
perang Wirata lumpuh. Kemudian Wirata meloncat dari keretanya untuk berpindah
ke kereta Sangka, putranya. Meskipun Wirata dan Sangka sudah menggabungkan
kekuatan, tetapi Drona masih tak terkalahkan. Sebaliknya, Drona berhasil
menembakkan empat batang panah penembus baju zirah ke arah Sangka. Panah
tersebut bersarang di dada Sangka, kemudian merenggut nyawanya.
Sementara itu, Satyaki bertarung menghadapi raksasa Alambusa, sedangkan Drestadyumna menghadapi Duryodana. Satyaki berhasil mengalahkan raksasa Alambusa, sementara Drestadyumna berhasil melukai tubuh Duryodana dengan tujuh anak panah. Kemudian panah-panah menembus tubuh kuda dan kusir kereta Duryodana sehingga kendaraan tersebut lumpuh. Duryodana meloncat dari keretanya lalu diselamatkan oleh pamannya, Sangkuni dari Gandhara. Di tempat lain, Srikandi maju menghadapi Bisma. Bisma tidak menghiraukan Srikandi karena kesatria tersebut bersifat kewanitaan, sehingga ia lebih memilih menghancurkan pasukan Srinjaya, sekutu Pandawa.
Pada
hari tersebut, para kesatria Korawa lebih banyak menderita kekalahan
dibandingkan pihak Pandawa. Hal tersebut membuat Dretarastra, ayah para Korawa
merasa sedih. Sanjaya, penasihat Dretarastra mengatakan bahwa ia tidak perlu
bersedih sebab kehancuran putra-putranya disebabkan oleh perbuatan mereka
sendiri. Sanjaya menambahkan, bahwa kematian para kesatria yang gugur di medan
perang akan membuka jalan surga bagi mereka.
Hari kedelapan
Pada
hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra, yaitu: Sunaba,
Adityaketu, Wahwasin, Kundadara, Mahodara, Aparajita, Panditaka dan Wisalaksa. Sunaba,
Adityaketu, Aparajita dan Wisalaksa gugur dengan kepala terpenggal, sedangkan
yang lainnya gugur karena senjata panah yang diluncurkan Bima. Setelah
menyaksikan kematian mereka, Duryodana memerintahkan para saudaranya yang masih
hidup untuk membunuh Bima. Namun tak satu pun putra Dretarastra yang berani
maju menghadapi Bima setelah mereka menyaksikan kematian delapan saudaranya.
Sementara
itu, Sangkuni putra Subala, dengan didampingi oleh putra Hredika dari kerajaan
Satwata, menyerbu pasukan Pandawa. Pasukan penyerbu tersebut merupakan kavaleri
gabungan dari berbagai kerajaan di India, seperti Kamboja, Sindhu, Mahi,
Aratta, dll. Untuk menandinginya, Irawan putra Arjuna maju ke medan laga sambil
membawa pasukan berkuda dalam jumlah besar. Dengan pedang dan panah, Irawan
berhasil membunuh para saudara Sangkuni, kecuali Wresaba.
Setelah
pasukan putra Subala kacau balau, Duryodana mengirim raksasa Alambusa untuk
membunuh Irawan. Kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Irawan melawan
Alambusa. Keduanya sama-sama menggunakan kekuatan sihir, sama-sama sakti dan
saling menghancurkan. Saat Irawan memunculkan seekor naga raksasa, Alambusa
menanggapinya dengan menjelma menjadi seekor burung garuda raksasa. Burung
siluman tersebut berhasil membunuh naga siluman yang dipanggil Irawan. Hal itu
membuat Irawan terpaku menyaksikan kekalahannya. Pada saat itu juga, Alambusa
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memenggal leher Irawan.
Hari kesembilan
Pada
hari kesembilan, Abimanyu putra Arjuna menghancurkan laskar Korawa sambil
mengamuk. Para kesatria terkemuka di pihak Korawa tidak mampu menghadapinya,
karena seolah-olah Abimanyu merupakan Arjuna yang kedua. Melihat prajuritnya
tercerai-berai, Duryodana memutuskan untuk mengirim raksasa Alambusa, putra
Resyasringga. Raksasa tersebut menuruti perintah Duryodana. Ribuan prajurit
Pandawa mati di tangannya, sehingga lima putra Dropadi bertindak. Mereka
mencoba menahan serangan raksasa tersebut, tetapi tidak berhasil. Sebaliknya,
justru nyawa mereka yang terancam. Setelah melihat para saudara tirinya sedang
terancam, Abimanyu segera datang membantu mereka sekaligus menghadapi raksasa
Alambusa. Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit antara Abimanyu
melawan raksasa Alambusa. Dengan kemahirannya menggunakan senjata panah,
Abimanyu berhasil mengalahkan Alambusa sehingga raksasa tersebut turun dari
keretanya sambil melarikan diri karena kesakitan.
Setelah
Alambusa mengalami kekalahan, Bisma segera menghadapi Abimanyu. Dengan dikawal
oleh para kesatria tangguh dari pihak Korawa, Bisma maju menerjang Abimanyu.
Pada saat itu juga, Arjuna datang membantu Abimanyu. Kemudian Krepa menyerang
Arjuna sehingga terjadilah pertarungan sengit di antara mereka. melihat keadaan
tersebut, Satyaki datang membantu Arjuna. Aswatama putra Drona, datang membantu
Krepa dengan meluncurkan panah-panahnya. Namun ternyata Satyaki mampu bertahan,
bahkan membalas serangan Aswatama secara bertubi-tubi. Setelah Aswatama lelah
menghadapinya, Drona muncul untuk membantu putranya tersebut. Sedangkan dari
pihak Pandawa, Arjuna maju membantu Satyaki. Tak lama kemudian, terjadilah
pertempuran sengit antara Arjuna melawan Drona. Meskipun demikian, baik Arjuna
maupun Drona mampu bertahan hidup sebab mereka sama-sama sakti.
Kemudian,
Kresna mengingatkan Arjuna untuk segera membunuh Bisma. Maka dari itu, Arjuna
segera memerintahkan Kresna untuk menjalankan keretanya menuju Bisma. Saat
menghadapi Bisma, Arjuna masih segan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya,
sehingga pertarungan terlihat tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Melihat
keadaan itu, Kresna menjadi marah. Ia turun dari keretanya sambil membawa
cemeti dengan tujuan membunuh Bisma. Bisma tidak mengelak saat melihat tindakan
Kresna. Sebaliknya, ia ikhlas apabila nyawanya melayang di tangan Kresna.
Menanggapi hal tersebut, Arjuna segera meloncat dari keretanya, lalu memeluk
kaki Kresna untuk menghentikan gerakan Kresna. Sekali lagi, Arjuna memohon agar
Kresna meredam amarahnya. Kresna hanya diam setelah mendengar permohonan
Arjuna. Kemudian mereka kembali menaiki kereta untuk melanjutkan peperangan.
Hari kesepuluh
Pada
hari kesepuluh, Pandawa yang merasa tidak mungkin untuk mengalahkan Bisma
menyusun suatu strategi. Mereka berencana untuk menempatkan Srikandi di depan
kereta Arjuna, sementara Arjuna sendiri akan menyerang Bisma dari belakang
Srikandi. Srikandi dipilih sebagai tameng Arjuna sebab ia merupakan seorang
wanita yang berganti kelamin menjadi pria, dan hal itu membuat Bisma enggan
menyerang Srikandi. Disamping itu, Srikandi merupakan reinkarnasi Amba, wanita
yang mati karena perasaannya disakiti oleh Bisma, dan bersumpah akan terlahir
kembali sebagai pembunuh Bisma yang menjadi penyebab atas penderitaannya.
Srikandi
menyerang Bisma, tetapi Bisma tidak menghiraukan serangannya. Sebaliknya, ia
malah tertawa, sebab ia tahu bahwa kehadiran Srikandi merupakan pertanda buruk
yang mampu mengantarnya menuju takdir kekalahan. Bisma juga tahu bahwa ia
ditakdirkan gugur karena Srikandi, maka dari itu ia merasa sia-sia untuk
melawan takdirnya. Bisma yang tidak tega untuk menyerang Srikandi, tidak bisa
menyerang Arjuna karena tubuh Srikandi menghalanginya. Hal itu dimanfaatkan
Arjuna untuk mehujani Bisma dengan ribuan panah yang mampu menembus baju
zirahnya. Ratusan panah yang ditembakkan Arjuna menembus tubuh Bisma dan
menancap di dagingnya.
Bisma
terjatuh dari keretanya, tetapi badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang
oleh panah-panah yang menancap di tubuhnya. Setelah Bisma jatuh, pasukan
Pandawa dan Korawa menghentikan pertarungannya sejenak lalu mengelilingi Bisma.
Bisma menyuruh Arjuna untuk meletakkan tiga anak panah di bawah kepalanya
sebagai bantal. Kemudian, Bisma meminta dibawakan air. Tanpa ragu, Arjuna
menembakkan panahnya ke tanah, lalu menyemburlah air dari tanah ke mulut Bisma.
Meskipun tubuhnya ditancapi ratusan panah, Bisma masih mampu bertahan hidup
sebab ia diberi anugrah untuk bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Dalam
keadaan seperti itu, ia memberi wejangan kepada para cucunya yang melakukan
peperangan. Meskipun sudah tak berdaya, Bisma mampu hidup selama beberapa hari
sambil menyaksikan kehancuran pasukan Korawa.
Hari kesebelas
Setelah
kekalahan Bisma pada hari kesepuluh, Karna memasuki medan laga dan melegakan
hati Duryodana. Ia mengangkat Drona sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa.
Karna dan Duryodana berencana untuk menangkap Yudistira hidup-hidup. Membunuh
Yudistira di medan laga hanya membuat para Pandawa semakin marah, sedangkan
dengan adanya Yudistira para Pandawa mendapatkan strategi perang. Drona
membantu Karna dan Duryodana untuk menaklukkan Yudistira. Ia memanah busur Yudistira
hingga patah. Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi tawanan perang.
Melihat hal itu, Arjuna turun tangan dan menghujani Drona dengan panah dan
menggagalkan rencana Duryodana.
Hari kedua belas
Setelah
menerima kegagalan, Drona yakin bahwa rencana untuk menaklukkan Yudistira sulit
diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja Trigarta Susarma bersama dengan 3
saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk
membunuh Arjuna atau sebaliknya, gugur di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan
laga pada hari kedua belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak
berhasil sehingga gugur satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa
semakin bertambah dan memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa.
Hari ketiga belas
Duryodana
memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha (pada zaman sekarang disebut Assam,
sebuah wilayah di India). Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja
yang dibunuh oleh Kresna beberapa tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan
gajah yang berukuran sangat besar sebagai kekuatan pasukannya, dan ia dianggap
sebagai kesatria terkuat di antara seluruh kesatria penunggang gajah pada
zamannya. Bhagadatta menyerang Arjuna dengan mengendarai gajah raksasanya yang
bernama Supratika. Pertempuran antara Arjuna melawan Bhagadatta terjadi dengan
sangat sengit.
Saat
Arjuna sibuk dalam pertarungan yang sengit, di tempat lain, empat Pandawa sulit
mematahkan formasi Cakrabyuha yang disusun Drona. Yudistira melihat hal
tersebut dan menyuruh Abimanyu, putera Arjuna, untuk merusak formasi
Cakrabyuha, sebab Yudistira tahu bahwa hanya Arjuna dan Abimanyu yang bisa
mematahkan formasi tersebut. Saat Abimanyu memasuki formasi tersebut, empat
Pandawa melindunginya di belakang. Namun, keempat Pandawa dihadang Jayadrata
sehingga Abimanyu memasuki formasuki Cakrabyuha tanpa perlindungan. Akhirnya,
Abimanyu dikepung oleh para kesatria Korawa, lalu terbunuh oleh serangan
serentak.
Menjelang
akhir hari kedua belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta
dan Susarma gugur di tangan Arjuna. Sementara itu, Abimanyu gugur karena
terjebak dalam formasi Cakrabyuha. Setelah mengetahui kematian putranya, Arjuna
marah pada Jayadrata yang menghalangi usaha para Pandawa untuk melindungi
Abimanyu. Ia bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari keempat belas. Ia juga
bersumpah bahwa jika ia tidak berhasil melakukannya sampai matahari terbenam,
ia akan membakar dirinya sendiri.
Hari keempat belas
Saat
berusaha mencari Jayadrata di medan pertempuran, Arjuna menghancurkan satu
aksauhini (109.350 tentara) prajurit Korawa. Pasukan Korawa melindungi
Jayadrata dengan baik, untuk mencegah Arjuna menyerangnya. Akhirnya, menjelang
sore, Arjuna mendapati bahwa Jayadrata dikawal oleh Karna dan lima kesatria
perkasa lainnya. Setelah melihat keadaan temannya, Kresna mengangkat Sudarsana
Cakra-nya untuk menutupi matahari, menipu seolah-olah matahari terbenam.
Seluruh prajurit menghantikan pertempuran karena merasa bahwa siang hari telah
berakhir. Dengan demikian, Jayadrata tanpa perlindungan. Saat matahari
menampakkan sinar terakhirnya pada hari tersebut, Arjuna menembakkan panah
dahsyatnya yang kemudian memenggal kepala Jayadrata.
Pertempuran
berlanjut setelah matahari terbenam. Saat bulan tampak bersinar, Gatotkaca,
putra Bima membunuh banyak kesatria, dan menyerang lewat udara. Karna
menghadapinya lalu mereka bertarung dengan sengit, sampai akhirnya Karna
mengeluarkan Indrastra, sebuah senjata surgawi yang diberikan kepadanya oleh
Dewa Indra. Gatotkaca yang menerima serangan tersebut lalu memperbesar ukuran
tubuhnya. Ia gugur seketika kemudian jatuh menimpa ribuan prajurit Korawa.
Hari kelima belas
Setelah
Raja Drupada dan Raja Wirata dibunuh oleh Drona, Bima dan Drestadyumna
bertarung dengannya pada hari kelima belas. Karena Drona amat kuat dan memiliki
brahamastra (senjata ilahi) yang tak terkalahkan, Kresna memberi isyarat pada
Yudistira bahwa Drona akan menyerah apabila Aswatama putranya gugur dalam
perang tersebut. Kemudian Bima membunuh seekor gajah bernama Aswatama, dan
berteriak dengan keras bahwa Aswatama gugur.
Drona
mendekati Yudistira untuk mencari kepastian tentang kematian putranya.
Yudistira berkata "Ashwathama Hatha Kunjara", tetapi dua kata
terakhir "Hatha Kunjara" yang menerangkan bahwa seekor gajah telah
mati, tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang dan terompet atas
perintah Kresna (versi yang berbeda menyebutkan bahwa Yudistira melafalkan
kata-kata terakhir tersebut dengan sangat pelan sehingga Drona tidak mendengar
kata "gajah"). Sebelum peristiwa tersebut, kereta perang Yudistira,
yang disebut Dharmaraja (Raja Kebenaran), melayang beberapa inci dari tanah.
Setelah peristiwa tersebut, keretanya menyentuh tanah. Setelah menduga bahwa
putranya telah tiada, Drona merasa berdukacita, dan menjatuhkan senjatanya.
Kemudian ia dibunuh oleh Drestadyumna untuk membalaskan dendam ayahnya
sekaligus melaksanakan sumpahnya.
Setelah
perang pada hari itu berakhir, Kunti (ibu para Pandawa) secara rahasia pergi
menemui Karna, putra yang dibuangnya, dan memintanya untuk mengampuni nyawa
para Pandawa, karena mereka adalah adiknya. Karna berjanji pada Kunti bahwa ia
akan mengampuni nyawa para Pandawa, kecuali Arjuna.
Hari keenam belas
Pada
hari keenam belas, Karna menjadi panglima tertinggi pasukan Korawa. Ia membunuh
banyak prajurit pada hari itu. Sebuah pertempuran sengit terjadi antara Arjuna
melawan Karna. Bahkan Kresna memuji Karna atas keberaniannya. Akhirnya Karna
berhasil memutuskan tali busur Arjuna. Tepat saat Karna akan membunuh Arjuna,
matahari terbenam. Karena memperhatikan peraturan peperangan, Karna mengampuni
nyawa Arjuna.
Ada
versi berbeda mengenai akhir hari kedelapan belas. Diceritakan bahwa Karna
bertempur dengan gagah berani meski dikelilingi para jendral pasukan Pandawa.
Mereka semua tidak mampu melawannya. Karna memberi serangan mematikan pada pasukan
Pandawa sehingga mereka melarikan diri. Kemudian Arjuna berhasil mematahkan
senjata Karna dengan senjatanya sendiri, dan juga memberikan serangan mematikan
pada pasukan Korawa. Tak lama kemudian matahari terbenam, dan karena kegelapan
dan debu membuat pertempuran berlangsung dengan sulit, maka pasukan Korawa
ditarik mundur, dengan tujuan menghindari pertempuran di malam hari.
Hari ketujuh belas
Karna
mendorong roda keretanya yang terperosok ke dalam lumpur pada saat perang
Baratayuda sebelum kematiannya
Bima
memenuhi sumpahnya terhadap Dursasana di medan Kurukshetra
Pada
hari ketujuh belas, Karna mengalahkan Bima dan Yudistira dalam pertempuran,
tetapi nyawa mereka diampuni. Kemudian, Karna melanjutkan pertarungannya
melawan Arjuna. Saat bertarung, roda kereta Karna terperosok ke dalam lumpur
sehingga Karna meminta izin untuk menghentikan pertarungan sejenak. Melihat
kesempatan tersebut, Kresna mengingatkan Arjuna tentang sikap Karna yang tidak
berbelas kasihan pada Abimanyu saat Abimanyu terbunuh setelah kehilangan
senjata dan keretanya. Terungkitnya kenangan pahit tersebut membuat hati Arjuna
perih kembali. Kemudian, Arjuna menembakkan panahnya untuk memenggal Karna,
pada saat Karna berusaha mengangkat roda keretanya yang terprosok ke dalam lumpur.
Pada hari yang sama, Bima menghancurkan kereta Dursasana dengan gadanya. Bima
menangkap Dursasana lalu membunuhnya, sehingga terpenuhilah sumpah yang
dibuatnya saat Dropadi dipermalukan.
Hari kedelapan belas
Pada
hari kedelapan belas, Salya Raja Madra diangkat sebagai panglima tertinggi
pasukan Korawa, menggantikan posisi Karna. Pada hari itu juga, Yudistira
membunuh Raja Salya, Sadewa membunuh Sangkuni, dan Bima membunuh para adik
Duryodana yang masih bertahan. Setelah sadar bahwa ia telah dikalahkan,
Duryodana lari dari medan pertempuran lalu beristirahat di sebuah danau.
Ahirnya para Pandawa berhasil menangkapnya. Di bawah pengawasan Baladewa,
pertandingan gada berlangsung antara Bima melawan Duryodana, dimana akhirnya
Duryodana mengalami kekalahan.
Aswatama,
Krepa, dan Kertawarma bertemu Duryodana pada saat kesatria tersebut sedang
sekarat. Mereka berjanji akan membalaskan dendamnya. Kemudian pada malam hari,
mereka menyerang perkemahan para Pandawa, lalu membunuh lima putra Pandawa
(Pancawala), Drestadyumna dan Srikandi.
Akhir peperangan
Hanya
sepuluh kesatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah: Lima
Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma. Aswatama ditangkap
oleh para Pandawa setelah ia melakukan pembunuhan di malam hari kedelapan
belas, saat sekutu Pandawa sedang tidur. Krepa kembali ke Hastinapura,
sedangkan Kertawarma ke kediaman Wangsa Yadu. Akhirnya, Yudistira dinobatkan
sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah selama beberapa lama, Yudistira
menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, Parikesit. Kemudian, ia bersama Pandawa
dan Dropadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka.
Dropadi dan empat Pandawa, kecuali Yudistira, meninggal dalam perjalanan.
Akhirnya Yudistira berhasil mencapai puncak Himalaya, dan dengan ketulusan
hatinya, oleh anugerah Dewa Dharma ia diizinkan masuk surga sebagai seorang
manusia.
Perkiraan kapan terjadinya perang
Para
sarjana berusaha mencari tahu pada tahun berapa sebenarnya perang di
Kurukshetra terjadi. Mereka menggunakan catatan dalam Mahābhārata,
memperhitungkan posisi benda langit, menggunakan sistem kalender, bahkan sampai
melakukan analisis radiokarbon.
Hasil
perhitungan mereka sebagai berikut :
1.
Dr.
S. Balakrishna menyatakan bahwa perang tersebut terjadi tahun 2559 SM dengan
memperhitungkan gerhana bulan.
2.
Prof.
I.N. Iyengar memperkirakan perang tersebut terjadi tahun 1478 SM dengan
memperhitungkan gerhana dan garis lurus planet Saturnus, Jupiter.
3.
Dr.
B.N. Achar menyatakan bahwa perang tersebut terjadi tahun 3067 SM dengan
memperhitungkan posisi planet-planet yang dicantumkan dalam Mahabharata.
4.
Shri
P.V. Holey yakin bahwa perang tersebut terjadi tanggal 13 November tahun 3143
SM dengan memperhitungkan posisi planet dan sistem kalender.
5.
Dr.
P.V.Vartak mengatakan bahwa perang tersebut terjadi tanggal 16 Oktober tahun
5561 SM dengan memperhitungkan posisi planet.
6.
Beberapa
sarjana memperkirakan usia perang di Kurukshetra tidak setua yang diperkirakan oleh
sarjana di atas. John L Brockington memperkirakan perang tersebut sangat
mungkin terjadi 900 SM. Pertempuran Sepuluh Raja, pertempuran antara Raja
Bharata bernama Sudas dan perserikatan sepuluh suku yang muncul dalam Rgveda,
dipercaya sebagai asal mula mitologi perang di Kurukshetra terjadi. Beberapa
arkeolog India mencoba mencari tahu kapan sebenarnya perang di Kurukshetra
terjadi, seperti penelitian belanga yang ditemukan di Ganges. Penelitian
radiokarbon menunjukkan artifak tersebut berasal dari periode 800 - 350 SM.
Bharatayuddha
Bharatayuddha
(Bhāratayuddha) adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut kisah
perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa, tokoh utama wiracarita
Mahabharata. Kata Bhāratayuddha adalah kata Sanskerta yang berarti Perang
keturunan Bharata. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu
sebuah wiracarita terkenal dari India yang telah diadaptasi di Jawa sebagai
karya seni dalam bentuk kakawin dan wayang.
Istilah
Bharatayuddha diambil dari judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuno yang
ditulis pada tahun 1157 oleh Empu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja
Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab Bharatayuddha yang ditulis pada masa Kediri
itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala
yang sama-sama keturunan Raja Erlangga. Keadaan perang saudara itu digambarkan
seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Byasa, yaitu
perang antara Pandawa dan Korawa yang sebenarnya juga keturunan Byasa sang
penulis.
Kisah
Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan
judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan
Surakarta.
Di
Yogyakarta, cerita Bharatayuddha ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha
pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada
29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.
Latar belakang
Kakawin
Bharatayuddha yang ditulis kembali oleh Gunning.
Sama
halnya dengan versi Mahabharata dari India, Bharatayuddha merupakan puncak
perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa (atau
Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh
Duryodana. Baik Pandawa maupun Korawa merupakan keturunan Bharata, yang
dikisahkan dalam kitab Mahabharata sebagai seorang Cakrawartin (raja diraja),
penguasa daratan Asia Selatan (India dan sekitarnya). Namun versi pewayangan
Jawa menyebutkan bahwa perang Bharatayuddha sebagai peristiwa yang sudah
ditetapkan kejadiannya oleh dewata, bahkan sebelum Pandawa dan Korawa
dilahirkan. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut
pewayangan bukan berlokasi di India Utara, melainkan berada di Jawa, tepatnya
di dataran tinggi Dieng. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi
Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa.
Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gandari, dan Madri. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memilih ketiga putri itu dengan cara mengangkat satu per satu. Akhirnya terpilihlah Gandari yang mempunyai bobot paling berat, karena Dretarastra berpikir bahwa kelak Gandari akan mempunyai banyak anak, sama seperti impian Dretarastra. Hal ini membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Gandari merasa ia tak lebih dari piala bergilir. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu.
Gandari
dan adiknya, bernama Sangkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus
orang (Korawa) untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu yang berjumlah lima orang
(Pandawa). Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. Nyawa mereka
selalu diincar oleh para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda
dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana
yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta kerajaan yang didirikan
Yudistira melalui permainan dadu.
Akibat
kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman
pengasingan di hutan selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai
rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para
Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Sebenarnya Yudhistira
(saudara sulung dari Pandawa), hanya menginginkan lima desa saja untuk dikembalikan
ke Pandawa, alih-alih Amarta seutuhnya. Namun Korawa tidak sudi memberikan
sejengkal tanah pun kepada Pandawa. Akhirnya keputusan diambil lewat perang
Bharatayuddha yang tidak dapat dihindari lagi.
Kitab Jitapsara
Dalam
cerita pewayangan Jawa disebutkan adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam
cerita Mahabharata dari India. Kitab tersebut bernama Jitabsara atau Jitapsara,
yang berisi skenario (Jw.: pakem) jalannya pertempuran dalam Bharatayuddha,
termasuk urutan siapa saja yang akan menjadi korban. Kitab ini ditulis oleh
Batara Penyarikan, sebagai juru catat atas apa yang dibahas oleh Batara Guru
(raja kahyangan) dengan Batara Narada mengenai skenario tersebut.
Kresna,
raja Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa, berhasil mencuri dengar
pembicaraan dan penulisan kitab tersebut dengan cara berubah wujud menjadi
seekor lebah putih (Jw: Klanceng Putih). Ketika tiba pada bagian Prabu Baladewa
(kakak Kresna) dipertarungkan dengan Antareja (anak Bima), Klanceng Putih
menumpahkan tinta yang dipakai, sehingga bagian atau bab itu batal ditulis.
Klanceng Putih kemudian menjelma menjadi Sukma Wicara, yakni bentuk halus
(sukma) dari Batara Kresna. Sukma Wicara memprotes rencana pertarungan antara
Prabu Baladewa dengan Antareja, karena Baladewa pasti akan kalah dari Antareja.
Selain itu, Sukma Wicara meminta agar diperbolehkan memiliki Kitab Jitapsara
itu.
Batara
Guru merelakan kitab Jitapsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga
kerahasiaan isinya, serta bersedia menukarnya dengan Kembang Wijayakusuma,
yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang
mati. Di samping itu, Batara Guru juga meminta Kresna untuk mengatur
penyelesaian soal Baladewa dan Antareja. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu
Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, tetapi ia
mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Bharatayuddha
sesuai isi Kitab Jitapsara yang telah ditakdirkan oleh dewata. Kresna juga akan
meminta Baladewa untuk bertapa di Grojogan Sewu selama Bharatayuddha, dan
meminta kesediaan Antareja untuk kembali ke alam abadi, sehingga pertempuran di
antara kedua kesatria itu tidak terjadi.
Aturan peperangan
Pertarungan
terakhir dalam Bharatayuddha antara Duryodana (kiri) melawan Bima.
Jalannya
perang Bharatayuddha versi pewayangan Jawa sedikit berbeda dengan perang
Kurukshetra versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur
sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju
perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh,
apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat
pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu
sekali, yaitu pada babak terakhir ketika Duryodana tewas di tangan Bima.
Dalam
pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang
berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara
itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh para penasihat Duryodana yaitu Bisma,
Durna (Drona), dan Salya.
Pembagian babak
Di
bawah ini disajikan pembagian kisah Bharatayuddha menurut versi pewayangan
Jawa.
Babak
1: Jabelan (Kresna Duta)
Babak
2: Tawuran (Bisma Gugur)
Babak
3: Ranjapan/Renyuhan (Abimanyu Gugur)
Babak
4: Timpalan (Jayadrata/Burisrawa Lena)
Babak
5: Paluhan (Bogadenta Gugur)
Babak
6: Suluhan (Gatotkaca Gugur)
Babak
7: Jambakan (Durna/Dursasana Gugur)
Babak
8: Tandhingan (Karna Gugur)
Babak
9: Rubuhan (Salya/Duryodana Gugur)
Babak
10: Landakan (Aswatama Nglandak/Parikesit Lahir)
Jalannya pertempuran
Karena
kisah Bharatayuddha yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan
yang tidak terdapat dalam kitab aslinya (kitab dari India berbahasa Sanskerta),
mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun
demikian, inti kisahnya sama.
Babak pertama
Dikisahkan,
Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang
kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta (Sweta) sebagai pimpinan
perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya
Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata
yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang
berarti senjata tajam. Sementara di pihak Korawa mengangkat Bisma (Resi Bisma)
sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Durna (Drona) dan prabu
Salya, raja Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat
Wukirjaladri yang berarti gunung samudra.
Tentara
Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang
pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti
senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra
Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan
anggota pasukan perang dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar
aturan perang dengan bermaksud membunuh Resi Seta. Rukmarata memanah Resi Seta
namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya,
Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta
Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada
(pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putra
mahkota Mandaraka tewas seketika.
Dalam
peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya
Wratsangka tewas oleh Pendeta Durna. Bisma dengan bersenjatakan Aji
Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata
Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati,
pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan
sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta.
Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena
kematian pimpinan perang Pandawa.
Babak Kedua
Setelah
Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Trustajumena (Drestadyumna)
sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap
menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan
siasat yang sama yaitu Garudanglayang (Garuda terbang).
Dalam
pertempuran ini dua anggota Korawa kembar, yaitu Wikataboma dan Bomawikata,
terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja
sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma
(Susarma), raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh
Arya Setyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak Setyaki),
Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu
Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna.
Bisma
setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan
pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa
kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan
tampilnya prajurit wanita tersebut di medan pertempuran menghadapi Bisma. Bisma
merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba
yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali
milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi.
Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha
Kutipan
di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak
Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi
nama Garuda yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa.
Ri
huwusira pinūjā dé sang wīra sira kabèh, kṣana rahina kamantyan mangkat sang
Drupadasuta, tka marêpatatingkah byūhānung bhaya bhisama, ngarani glarirèwêh
kyāti wīra kagêpati
Setelah
selesai dipuja oleh kesatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah sang
putra raja Drupada (Drestadyumna), setibanya telah siap mengatur barisan yang
sangat membahayakan; nama barisannya yang berbahaya ialah Garuda yang masyhur
gagah berani.
Drupada
pinaka têndas tan len Pārtha sira patuk, pararatu sira pṛṣṭa śrī Dharmātmaja
pinuji, hlari têngênikī sang Dṛṣṭadyumna saha bala, kiwa Pawanasutā kas kocap
Satyaki ri wugat.
Raja
Drupada adalah kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para raja merupakan
punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan
Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bima yang terkenal
kekuatannya dan Satyaki pada ekornya.
Ya
ta tiniru ṭkap Sang Śrī Duryodhana pihadhan, Śakuni pinaka têndas manggêh Śālya
sira patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang Bhīṣma Droṇa panalinga, Kurupati sira pṛṣṭa
dyah Duśśāsana ri wugat.
Hal
itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sangkuni adalah kepala dan ditetapkan
Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Resi Bisma dan pendeta Drona
yang merupakan telinga, Kurupati (Duryodana) adalah punggung dan Sang Dursasana
pada ekor.
Ri
tlasira ma
tingkah
ngkā Ganggāsuta numaso, rumusaki pakekesning byuhē pāndawa pinanah, dinasa guna
tkap Sang Pārthāng lakṣa mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah.
Setelah
semuanya selesai mengatur barisan, kala itu Resi Bisma maju ke muka, merusak
bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda
menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak
bergelimpangan.
Karananika
rusāk syuh norā pakṣa mapuliha, pira ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati
Kṛpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padha malajêngumungsir Bhīṣma Droṇa pinaka
toh.
Sebab
itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus
pahlawan yang gugur dipanah, Kurupati (Duryodana), Pendeta Krepa, Raja Salya, dan
Sang Dursasana serta Sang Sangkuni, sama-sama lari menuju Resi Bisma dan
Pendeta Drona yang merupakan taruhan.
Niyata
laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī Bhīṣma Droṇa
sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngda lêwu wulangun, wkasanawa tkapning
rah lumrā madhêmi lêbū.
Niscaya
akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Korawa, jika tidak
disuruh oleh Resi Bisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula
keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu
keadaan; akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu.
Ri
marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti
mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang
śārā tan wêdi mapulih.
Niscaya
akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Korawa, jika tidak
disuruh oleh Resi Bisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula
keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan;
akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu.
Ri
marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti
mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang
śārā tan wêdi mapulih.
Setelah
gelap menghilang, darah seakan-akan air laut pasang. Yang merupakan lumpurnya
adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan
kuda sebagai batu karangnya, dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan
yang rimbun. Bagai orang menyusun suatu karangan, para pahlawan yang tak gentar
pun membalas dendam.
Irika
nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha
karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan
Sang Ṣṛnggi rākṣasa nipunna.
Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat raja-raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya. Di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang raksasa yang ulung.
7 Perbedaan Kisah Perang Baratayuda India dan Jawa,
Mahabarata
Kisah
Mahabharata merupakan salah satu kisah epos (peperangan) yang berasal dari
India.
Kisah peperangan antara Pandawa melawan Kurawa
ini awalnya ditulis dalam sebuah kitab yang kemudian di zaman modern ini banyak
diadaptasi dalam bentuk serial televisi.
Cerita Mahabharata tidak habis-habisnya menjadi salah satu cerita favorit bagi
kebanyakan orang. Selain karena menyajikan aktor-aktor dengan wajah rupawan,
Mahabharata juga menyuguhkan alur cerita yang sarat akan pelajaran hidup.
Di Jawa, terdapat cerita dengan inti sama yang
tercantum dalam kitab bernama Kakawin Baratayuda yang ditulis oleh Mpu Sedah
atas perintah Raja Jayabaya dari Kerajaan Kediri.
Cerita
tersebut kemudian diadaptasi dan disajikan kepada masyarakat melalui wayang
kulit dan terkadang wayang orang.
Meskipun cerita Baratayuda dalam Mahabarata
versi India dan Indonesia memiliki alur cerita yang hampir sama, ada beberapa
perbedaan baik yang sangat kontras maupun yang tidak terlalu mencolok di
dalamnya.
Berikut
perbedaan cerita Mahabarata versi India dan Jawa :
1.
Status
Drupadi. Dalam Mahabarata versi India, Drupadi dari Kerajaan Pancala merupakan
istri dari kelima Pandawa. Namun, dalam cerita Mahabarata versi Jawa, Drupadi
adalah istri dari Pandawa tertua yakni Yudistira seorang. Perbedaan ini dikarenakan
menyesuaikan dengan budaya Jawa bahwa tidak elok jika seorang wanita melakukan
'poliandri' alias bersuami banyak.
2.
Perbedaan
Senjata Bima. Mahabarata versi India menyajikan sosok Bima yang berbadan besar
dengan senjata khasnya berupa gada raksasa. Dalam cerita versi Jawa, Bima juga
memiliki senjata gada bernama Gada Rujakpala. Namun, senjata itu jarang
digunakan. Bima versi Jawa lebih sering menggunakan kuku berukuran besar yang
tumbuh di ibu jarinya bernama Kuku Pancanaka. Kuku Pancanaka inilah yang
menjadi identitas seorang Bima dalam bentuk wayang selain badannya yang besar.
3.
Terbunuhnya
Sengkuni. Sengkuni yang merupakan tokoh paling licik sekaligus paman dari semua
Kurawa, dalam versi India diceritakan mati karena jantungnya ditikam oleh
Sadewa dengan kapak.Berbeda dengan versi India, Sengkuni versi Jawa mati dalam
perang karena tusukan Kuku . Pancanaka milik Bima pada anusnya. Diceritakan
Sengkuni pernah berguling-guling pada minyak Tala yang tumpah. Minyak Tala
merupakan ramuan yang membuat semua orang kebal terhadap senjata. Namun, ketika
berguling-guling, Krisna mengetahui bahwa Sengkuni melewatkan satu bagian
tubuhnya yaitu anusnya. Krisna pun memberitahu Bima ketika Pandawa menghadapi
amukan Sengkuni yang menewaskan lebih banyak prajurit mereka.
4.
Kemampuan
Gatotkaca. Penampilan Gatotkaca yang dapat berubah wujud menjadi raksasa
terbilang singkat dalam Mahabarata versi India. Hanya beberapa saat setelah
kemunculannya untuk mengobrak abrik pertahanan pasukan Kurawa, Gatotkaca mati
oleh senjata pemberian Dewa Indra yang dimiliki Karna. Dalam cerita pewayangan
Jawa, Gatotkaca memiliki kemampuan yang berbeda dari versi India. Gatotkaca
versi Jawa tidak bisa mengubah tubuhnya hingga sebesar yang diperlihatkan pada
versi India. Namun, Gatotkaca memiliki seperangkat ageman (pakaian) yang
membantunya seperti Kutang Anatakusuma yang bisa membuatnya terbang ke sana
kemari, Selendang Basunanda, dan alas kaki bernama Padakacarma.
5.
Punakawan.
Perbedaan paling mencolok dari cerita Mahabarata versi India dan Jawa adalah
keberadaan Punakawan. Pada Mahabarata versi India tidak terdapat Punakawan yang
selalu memberikan nasihat-nasihat baik pada Pandawa. Sebagai gantinya,
nasihat-nasihat baik diberikan oleh Krishna. Punakawan yang terdiri dari Semar
dan anak-anaknya Petruk, Gareng, Bagong dalam pewayangan Jawa menggambarkan
abdi atau pengikut yang setia. Hal ini terbukti dalam alur cerita bahwa
Punakawan selalu mengikuti tuannya para Pandawa, khususnya Arjuna.
6.
Anak-anak
Pandawa. Dalam bersi India, anak-anak Pandawa antara lain adalah Abimanyu,
Gatotkaca, dan lima orang anak dari Drupadi dengan Pandawa. Sementara itu,
anak-anak Pandawa lebih banyak dalam cerita versi Jawa. Hal ini karena selain
Yudistira, Pandawa lain memiliki istri lebih dari satu. Anak-anak Pandawa yang
cukup terkenal dalam pewayangan Jawa selain yang ditampilkan dalam versi India
(kecuali lima anak Drupadi dan Pandawa) antara lain yaitu Wisanggeni (anak
Arjuna) serta Antareja dan Antasena (anak Bima)
7.
Kompleksitas
Alur Cerita dan TokohPoin ini menyambung dua poin sebelumnya. Tak hanya
perbedaan dengan adanya Punakawan dan anak-. . anak Pandawa lainnya, cerita
versi Jawa memiliki alur dan kompleksitas tokoh yang lebih banyak dari cerita
versi India. Dalam cerita versi Jawa, selain dewa-dewa versi India, ada pula
Bathara Guru dan Bathara Narada yang menjadi panutan bagi Pandawa. Selain itu,
ada pula beberapa tokoh antagonis di luar pihak Kurawa seperti Brajadenta
(kakak Arimbi yang tidak suka pada Gatotkaca) dan Buto (raksasa) Cakil, serta
tokoh protagonis lain seperti Batara
Kamajaya.
Daftar nama para Korawa
Daftar
nama para Korawa juga terdapat dalam teks Adiparwa berbahasa Jawa Kuno yang
diterbitkan ulang oleh I Gusti Putu Phalgunadi, seorang ahli di bidang sastra
Jawa Kuno, dan disertai dengan terjemahan dalam bahasa Inggris. Namun nama-nama
tokoh Korawa di dalam naskah yang digunakan Phalgunadi tidak lengkap, dan
kadang-kadang berbeda dengan nama dalam Mahabharata dari India yang memakai
bahasa Sanskerta. Kemudian Phalgunadi melengkapinya dengan nama-nama yang ia
dapatkan dari Mahabharata versi bahasa Sanskerta.
Karena
adanya beberapa versi naskah Mahabharata, maka ada beberapa versi nama yang
ditampilkan bersamaan dalam tabel di bawah ini. Dalam versi wayang kulit,
daftar nama para Korawa disusun sesuai urutan abjad, bukan urutan kelahiran.
Nama-Nama
Tokoh Kurawa :
1.
Duryodana
2.
Dursasana
3.
Abaswa (Dursaha)
4.
Adityaketu (Dursala)
5.
Alobha (Jalaganda)
6.
Anadhresya (Sama)
7.
Anudhara (Saha)
8.
Anuradha (Winda)
9.
Anuwinda
10.
Aparajita (Durdarsa)
11.
Aswaketu (Subahu)
12.
Bahwasi (Dusprasada)
13. Balawardana (Durmarsana)
14.
Bhagadatta (Durmuka)
15.
Bima (Duskarna)
16.
Bimabala (Karna)
17.
Bimadewa (Wikarna)
18.
Bimarata (Sala)
19.
Carucitra (Satwa)
20.
Citradharma (Sulocana)
21.
Citrakala (Citra)
22.
Citraksa (Upacitra)
23.
Citrakunda (Citraksa)
24.
Citralaksaya (Carucitra)
25.
Citrangga (Sarasana)
26.
Citrasanda (Durmada)
27.
Citrasraya (Durwigaha)
28.
Citrawarman (Wiwitsu)
29.
Dharpasandha (Wikatinanda)
30.
Dhreksetra (Urnanaba)
31.
Dirgagorma (Sunaba)
32.
Dirghabahu (Nanda)
33.
Dirghacitra (Upananda)
34.
Dredhahasta (Citrabana)
35.
Dredhawarman (Citrawarma)
36.
Dredhayuda (Suwarma)
37.
Dretapara (Durwimoca)
38.
Duhpradharsana (Ayobahu)
39.
Duhsa (Mahabahu)
40.
Duhsah (Citrangga)
41.
Durbalaki (Citrakundala)
42.
Durbharata (Bimawiga)
43.
Durdharsa (Bimabela)
44.
Durmada (Walaki)
45.
Durmarsana (Belawardana)
46.
Durmukha (Ugrayuda)
47.
Durwimocana (Susena)
48.
Duskarna (Kundadara)
49.
Dusprajaya (Mahodara)
50.
Duspramana (Citrayuda)
51.
Hayabahu (Nisanggi)
52.
Jalasandha (Pasa)
53.
Jarasanda (Wrendaraka)
54.
Jayawikata (Dredawarma)
55.
Kanakadhwaja (Dredaksatra)
56.
Kanakayu (Somakirti)
57.
Karna (Antudara)
58.
Kawacin (Dresdasanda)
59.
Krat (Jarasanda)
60.
Kundabhedi (Satyasanda)
61.
Kundadhara (Sadasuwaka)
62.
Mahabahu (Ugasrawa)
63.
Mahacitra (Ugrasena)
64.
Nandaka (Senani)
65.
Pandikunda
66.
Prabhata (Aparajita)
67.
Pramathi (Kundase)
68.
Rodrakarma (Wisalaksa)
69.
Sala
70.
Sama
71.
Satwa
72.
Satyasanda
73.
Senani
74.
Sokarti
75.
Subahu
76.
Sudatra
77.
Suddha
78.
Sugrama
79.
Suhasta
80.
Sukasananda
81.
Sulokacitra
82.
Surasakti
83.
Tandasraya
84.
Ugra
85.
Ugrasena
86.
Ugrasrayi
87.
Ugrayudha
88.
Upacitra
89.
Upanandaka
90.
Urnanaba (Wirawi)
91.
Wedha
92.
Wicitrihatana
93.
Wikala
94.
Wiktanana
95.
Winda
96.
Wirabahu
97.
Wirada
98.
Wisakti
99.
Wiwitsu
100.
Wyudoru
Korawa (Kaurava / Kurawa)
Korawa
(Kaurava / Kurawa) adalah istilah dalam bahasa Sanskerta yang dipakai untuk
merujuk kepada suatu kumpulan tokoh dalam wiracarita Hindu Mahabharata. Dalam
bahasa Sanskerta, kata Kaurava berarti keturunan raja Kuru, seorang raja dalam
legenda India yang dikisahkan sebagai leluhur bagi para tokoh Mahabharata.
Selain Mahabharata, istilah tersebut juga ditemukan dalam beberapa kitab-kitab
lain yang memuat legenda Hindu, contohnya Purana.
Dalam
budaya pewayangan Jawa yang telah mengadaptasi susastra Hindu, istilah ini
merujuk kepada kelompok antagonis dalam Mahabharata, sedangkan kelompok
protagonisnya ialah Pandawa (keturunan Pandu). Maka dari itu, istilah Korawa
identik sebagai musuh bebuyutan para Pandawa.
Dalam
kisah Mahabharata, kata Korawa awalnya dipakai untuk menyebut keturunan Kuru
atau anggota Dinasti Kuru, yang berlatar belakang keraton Hastinapura di India
Utara. Secara khusus, makna kata tersebut menyempit menjadi anak-anak
Dretarastra, karena Dretarastra merupakan pangeran sulung di Dinasti Kuru,
sebelum lahirnya Pandawa. Dalam Mahabharata, jumlah para Korawa (sebagai anak
Dretarastra) ialah seratus dua orang; seratus satu orang dilahirkan oleh
Gandari, sedangkan yang seorang lagi dilahirkan oleh dayang-dayangnya. Yang
terkemuka adalah Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu. Hampir seluruh
Korawa berjenis laki-laki, kecuali seorang (anak perempuan Gandari), yang
bernama Dursilawati atau Dursala.
Istilah
Korawa (Kaurava) yang digunakan dalam kitab Mahabharata memiliki dua
pengertian:
Arti
luas: Korawa merujuk kepada seluruh keturunan Kuru. Kuru adalah nama seorang
maharaja yang merupakan keturunan Bharata, dan menurunkan tokoh-tokoh besar
dalam wiracarita Mahabharata. Dalam pengertian ini, Pandawa juga termasuk
Korawa, dan kadang kala disebut demikian dalam Mahabharata, khususnya pada
beberapa bagian awal.
Arti
sempit: Korawa merujuk kepada garis keturunan Kuru yang lebih tua. Istilah ini
hanya terbatas untuk anak-anak Dretarastra, sebab Dretarastra merupakan putra
sulung Wicitrawirya (keturunan Raja Kuru), yang berhak menjadi raja menurut
urutan kelahiran tetapi digantikan oleh adiknya, Pandu, karena Dretarastra
buta. Istilah ini tidak mencakup anak-anak Pandu, yang mendirikan garis
keturunan baru, yaitu para Pandawa.
Riwayat
singkat
lustrasi
Resi Byasa memberikan restu kepada Gandari, dari buku Mahabharata, terbitan
Geeta Press, Gorakhpur.
Dalam
Mahabharata diceritakan bahwa Gandari, istri Dretarastra, menginginkan putra.
Kemudian ia memohon kepada Byasa, seorang pertapa sakti yang masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan Dinasti Kuru. Akhirnya permohonan Gandari terkabul
sehingga ia pun hamil. Namun setelah sekian lama, kandungannya belum juga
lahir. Sementara itu, iparnya yang bernama Kunti sudah melahirkan putra bernama
Yudistira. Gandari pun iri setelah mendengar kabar tersebut, lalu ia frustasi
sambil memukul-mukul kandungannya. Akhirnya air ketuban pun pecah. Setelah
melalui masa persalinan, yang lahir dari rahimnya hanyalah segumpal daging.
Byasa kemudian memotong-motong daging tersebut menjadi seratus bagian dan
memasukkannya ke dalam guci, yang kemudian ditanam ke dalam tanah selama satu
tahun. Setelah satu tahun, guci tersebut dibuka kembali dan dari dalam setiap
guci, munculah bayi laki-laki. Yang pertama muncul adalah Duryodana, diiringi
oleh Dursasana, dan saudaranya yang lain.
Seluruh
putra-putra Dretarastra tumbuh menjadi pria yang gagah-gagah, bergelar
atiratha, dan semuanya menikah saat dewasa. Mereka memiliki lima saudara sepupu
yang disebut Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa), yaitu kelima
putra Pandu, saudara tiri ayah mereka. Meskipun mereka bersaudara, Duryodana
yang merupakan saudara tertua para Korawa, selalu merasa iri terhadap Pandawa,
terutama si sulung Yudistira yang hendak dicalonkan menjadi raja di
Hastinapura. Perselisihan pun timbul dan memuncak pada sebuah pertempuran akbar
di Kurukshetra, India Utara.
Setelah
pertarungan sengit berlangsung selama delapan belas hari, seratus putra
Dretarastra gugur, termasuk cucu-cucunya. Yang terakhir gugur dalam pertempuran
tersebut adalah Duryodana, saudara sulung para Korawa. Sebelumnya, adiknya yang
bernama Dursasana yang gugur di tangan Bima. Yuyutsu, putra Dretarastra yang
lahir dari seorang dayang-dayang, adalah satu-satunya Korawa yang selamat dari
pertarungan di Kurukshetra karena memihak para Pandawa. Ia melanjutkan garis
keturunan ayahnya, serta membuatkan upacara bagi para saudara dan
teman-temannya yang gugur di medan perang Kurukshetra.
Korawa (Kitab Mahabharata)
Banyak
anggota Korawa yang disebutkan dalam kitab Mahabharata hanya bersifat trivial
dan sebagai deretan nama saja, demikian pula dalam lakon pewayangan. Namun,
beberapa anggota Korawa mendapatkan posisi atau perwatakan yang menonjol dalam
suatu plot cerita/babak pewayangan, dan beberapa di antaranya dikisahkan
sebagai tokoh yang signifikan dalam jalan cerita. Beberapa nama di antaranya
disajikan dalam daftar di bawah ini, baik yang terdapat dalam kitab Mahabharata
berbahasa Sanskerta, maupun yang dikisahkan dalam lakon pewayangan Jawa.
Anuwinda
Anuwinda
atau Anuwenda adalah salah satu Korawa yang tercatat dalam naskah-naskah
Mahabharata berbahasa Sanskerta maupun terjemahannya. Tokoh ini tidak
mendapatkan banyak cerita dalam Mahabharata, tetapi ia dikisahkan sebagai
seorang patih dalam pewayangan Jawa. Menurut pewayangan, ia merupakan saudara
kesayangan Widandini, anggota Korawa yang lain. Widandini berhasil mengalahkan
raja negeri Purantara lalu mengangkat dirinya sebagai penguasa di sana,
sementara Anuwinda diangkat sebagai patih. Dalam Bharatayuddha (Perang
Kurukshetra), Anuwinda gugur di tangan Arjuna.
Aparajita
Aparajita,
menurut kitab Bhismaparwa, adalah Korawa yang memiliki hidung yang tampan.
Dalam perang Kurukshetra, ia bertarung dengan sengit melawan Bima. Pada perang
pada hari kedelapan, bersama dengan Adityaketu, Panditaka, Wisalaksa, Kundara,
dan Wahwasin (Bahwasi), ia menyerbu Bima dengan hujan panah. Namun Bima tidak
kalah oleh serangan mereka. Dengan sepucuk anak panah, Bima memenggal kepala
Aparajita.
Bomawikata
Bomawikata
merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam
Mahabharata berbahasa Sanskerta. Bomawikata memiliki hubungan yang sangat erat
dengan saudaranya yang bernama Wikataboma. Mereka berdua merupakan saudara
tunggal guru dan hidup dalam satu jiwa. Artinya apabila yang satu diantara
mereka mati dan dilangkahi saudara yang masih hidup, maka yang mati akan hidup
kembali. Karena kesaktiannya itu, dalam perang Bharatayuda ketika Resi Drona
menjadi Senapati Agung Kurawa dengan tata gelar perangnya (Cakraswandana),
Wikataboma dan Bomawikata diangkat menjadi senapati pengapit. Sepak terjang
mereka sangat menakutkan keluarga Pandawa. Tapi akhirnya Wikataboma dan
Bomawikata tewas dalam peperangan melawan Bima. Kepala mereka diadu kumba
(saling dibenturkan) hingga hancur, dan keduanya mati secara bersamaan.
Citraksa
Citraksa
tercatat dalam berbagai versi daftar Korawa berbahasa Sanskerta. Menurut
pewayangan Jawa, ia mempunyai saudara kembar, yaitu Citraksi. Sering dikisahkan
dalam cerita pedalangan, Citraksa dan Citraksi mempunyai sifat dan karakter
yang sama, seperti gagap dalam berbicara sehingga sering menjadi bahan ejekan
bagi Patih Sengkuni, serta tindakannya yang dinilai grusa-grusu. Dalam
peperangan di luar Bharatayuddha, Citraksa dan Citraksi sering menjadi
bulan-bulanan anak-anak Pandawa seperti Antareja, Antasena, Gatotkaca, Abimanyu
dan lain-lain.
Citrayuda
Citrayuda
merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam
Mahabharata berbahasa Sanskerta. Citrayuda memiliki perwatakan: lucu, banyak
akal, pandai bicara dan suka mencela. Sebagai murid Resi Drona, Citrayuda juga
mahir dalam olah keprajuritan mempermainkan senjata gada dan lembing. Pada saat
berlangsungnya perang Bharatayuda, Citrayuda tampil memimpin pasukan
balatentara Kurawa mendampingi senapati perang Resi Drona. Ia bersama Citraksa,
Surtayu, Citrakundala dan Dirgalasara tewas dalam peperangan melawan Arya
Wratsangka, senapati perang Pandawa, putra Prabu Matswapati dari negara Wirata.
Dirgabahu
Dirgabahu
dikenal dalam pewayangan sebagai Raden Dirgabahu atau Arya Dirgabahu. Namanya
tercatat dalam beberapa versi daftar nama Korawa berbahasa Sanskerta. Dalam
kisah pewayangan Jawa, Dirgabahu muncul dalam cerita pewayangan dengan lakon
Kresna Duta, dengan akhir riwayat diceritakan bahwa ia tewas setelah
terinjak-injak oleh Brahalasewu (Raksasa perwujudan dari Prabu Kresna) bersama
saudara yang lain yaitu Jalasaha, Citramarma, dan Widandini.
Durmagati
Durmagati
merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam
Mahabharata berbahasa Sanskerta. Dalam pewayangan, ia diceritakan sebagai salah
satu Korawa yang paling kocak apabila sedang dimainkan/dibawakan sifatnya oleh
dalang. Tokoh ini merupakan tokoh ciptaan pujangga Jawa, dan tidak ditemukan
dalam naskah kitab Mahabharata dari India. Durmagati mempunyai badan yang lebih
pendek dan gemuk dari kebanyakan saudara-saudaranya, dengan ciri khas leher
yang sangat pendek dan kepala seperti tertekan ke bawah sehingga wajahnya
menengadah ke atas.
Dursasana
Dursasana
merupakan adik Duryodana, pemimpin para Korawa. Ia dikenal sebagai Korawa yang
nomor dua di antara seratus Korawa. Tokoh ini mendapat peran signifikan dalam
Sabhaparwa (kitab kedua Mahabharata), yang mengisahkan permainan dadu antara
lima Pandawa melawan seratus Korawa. Dropadi, istri para Pandawa menjadi budak
para Korawa setelah dipertaruhkan dalam permainan tersebut. Merasa sebagai
pemilik budak, Dursasana berusaha melucuti pakaian Dropadi secara paksa, tetapi
tidak berhasil berkat pertolongan Kresna. Peristiwa itu memperkeruh
permusuhannya dengan Bima. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh Bima dalam perang di
Kurukshetra pada hari ke-16.
Dursilawati
Dursilawati
atau Dursala adalah satu-satunya Korawa yang berjenis kelamin perempuan. Ia
merupakan adik bungsu dari Duryodana, pemimpin para Korawa. Ia menikah dengan
Raja Sindhu bernama Jayadrata.
Duryodana
Duryodana
atau Suyodana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata.
Duryodana merupakan yang pertama di antara seratus Korawa. Duryodana menikah
dengan putri Prabu Citranggada dari Kalinga dan mempunyai dua anak,
masing-masing bernama Laksmanakumara (Lesmana Mandrakumara) dan Laksmana
(Lesmanawati). Meskipun nama istri Duryodana tidak disebutkan secara khusus
dalam naskah Mahabharata berbahasa Sanskerta, tetapi ia disebut Banumati dalam
cerita rakyat India, atau Banowati dalam lakon pewayangan Jawa.
Widandini
Widandini
atau Arya Widandini merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak
terdapat dalam Mahabharata berbahasa Sanskerta. Dalam pewayangan, ia dikisahkan
berwatak keras hati, cerdik pandai dan angkuh. Ia pandai dalam mempergunakan
senjata gada dan trisula. Dengan kesaktiannya ia berhasil merebut negara
Purantara dan mengangkat dirinya menjadi raja bergelar Prabu Windandini. Adik
kesayangannya Anuwinda diangkat menjadi patih negara Purantara. Pada saat
berlangsungnya perang Bharatayuddha, Prabu Widandini diangkat sebagai senapati
perang Korawa dan mengerahkan seluruh balatentara negara Purantara ke medan
perang Kurukshetra. Prabu Widandini dan Anuwinda gugur dalam pertempuran
melawan Arjuna.
Wikarna
Wikarna
disebut-sebut sebagai Korawa yang ketiga (setelah Duryodana dan Dursasana),
tetapi dalam sumber lainnya diindikasikan bahwa ia menempati peringkat ketiga
dari segi reputasi di antara seratus Korawa. Wikarna adalah satu-satunya Korawa
yang membela Putri Dropadi, sebelum putri tersebut hendak ditelanjangi oleh
Dursasana saat permainan dadu di selenggarakan di Hastinapura. Namun
pembelaannya tidak dianggap oleh para Korawa dan Karna. Saat perang
Kurukshetra, ia gugur di tangan Bima.
Wikataboma
Wikataboma
merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya tidak terdapat dalam
Mahabharata berbahasa Sanskerta. Dalam pewayangan, ia dikisahkan memiliki
hubungan yang sangat erat dengan saudaranya yang bernama Bomawikata. Mereka
berdua merupakan saudara tunggal guru dan hidup dalam satu jiwa. Artinya
apabila yang satu diantara mereka mati dan dilangkahi saudara yang masih hidup,
maka yang mati akan hidup kembali. Karena kesaktiannya itu, dalam perang
Bharatayuda ketika Resi Drona menjadi Senapati Agung Kurawa dengan tata gelar
perangnya (Cakraswandana), Wikataboma dan Bomawikata diangkat menjadi senapati
pengapit. Sepak terjang mereka sangat menakutkan keluarga Pandawa. Tapi
akhirnya Wikataboma dan Bomawikata tewas dalam peperangan melawan Bima. Kepala
mereka diadu kumba (saling dibenturkan) hingga hancur, dan keduanya mati secara
bersamaan.
Wisalaksa
Wisalaksa
adalah nama salah satu Korawa yang tercatat dalam naskah-naskah Mahabharata
berbahasa Sanskerta maupun terjemahannya. Dalam buku Mahabharata ke-6
(Bhismaparwa) dikisahkan bahwa ia enggan dibunuh oleh Bima, selain Wikarna.
Dalam perang Kurukshetra, ia memihak Duryodana. Saat peperangan menginjak hari
kedelapan, ia dan saudara-saudaranya mencoba mengalahkan Bima dengan serangan
panah bertubi-tubi. Hal itu membuat Bima sangat marah sehingga ia membalas
serangan para Korawa dengan garang. Saat menghadapi Wisalaksa, Bima tidak
marah. Ia berpikir sejenak. Setelah mengenang berbagai kejadian yang dialaminya
pada masa lalu, maka Bima tidak segan untuk membunuh Wisalaksa. Dengan tiga
batang anak panah, ia memenggal kepala Wisalaksa.
Wiwingsati
Wiwingsati
adalah nama salah satu Korawa yang tercatat dalam naskah-naskah Mahabharata. Ia
sering disebut sebagai kesatria Korawa yang kerap berada di sisi Duryodana dan
membantunya dalam invasi ke kerajaan Matsya. Dalam perang Kurukshetra, ia
terlibat dalam pertarungan sengit melawan Bima dan putranya, Sutasoma. Pada
akhirnya, ia gugur di tangan Bima. Kematiannya diratapi oleh Gandari, tercatat
dalam kitab Striparwa. Dalam kitab, Gandari menyebutnya sebagai seorang
pangeran yang berpenampilan muda dan tampan.
Wresaya
Wresaya
atau Raden Dredasetra merupakan salah satu Korawa versi pewayangan. Namanya
tidak terdapat dalam Mahabharata berbahasa Sanskerta. Dalam pewayangan, ia
dikisahkan memiliki watak keras hati, cerdik, pandai, licik, tetapi pandai
dalam olah ketrampilan mempergunakan senjata khususnya gada, karena dia juga
merupakan murid Resi Drona. Ia kemudian mengembara, setelah terpental dalam
peristiwa timbangan (adu berat badan antara Korawa melawan keluarga Pandawa),
dan kesaktiannya membuatnya berhasil merebut negara Glagahtinalang, dan
mengangkat diri sebagai raja begelar Prabu Wresaya. Saat perang Bharatayuddha,
ia menjadi senapati perang pihak Korawa, tetapi tewas di tangan Bima dengan
tubuh hancur oleh hantaman Gada Rujakpala.
Yuyutsu
Yuyutsu adalah seorang tokoh protagonis dari wiracarita Mahabharata. Ia merupakan satu-satunya Korawa yang tidak dilahirkan oleh Ratu Gandari. Ibunya merupakan pelayan Ratu Gandari yang bernama Sugada, berasal dari kasta waisya. Ia adalah satu-satunya Korawa yang memihak Pandawa dalam perang Kurukshetra (Bharatayuddha), dan merupakan satu-satunya putra Dretarastra yang bertahan hidup sampai perang tersebut berakhir. Setelah Yudistira makzul, para Pandawa pensiun dari kehidupan duniawi (sanyasin), lalu Yuyutsu diangkat menjadi penasihat raja muda Parikesit, cucu Arjuna.
****
Imajner Nuswantoro