LADRANG BALABAK
&
SERAT JOKO LODANG
Lirik ladrang Balabak
Balabak
Tulodho iki dijupuk saka Serat Jaka Lodhang anggitan Ki Ranggowarsito
byar rahina Ken Rara wus maring sendang
mamet we
turut margo nyambi reramban janganan
antuke
prapteng wisma wusing nyapu atetebah
jogane
SERAT JOKO LODANG
Serat Jaka Lodang adalah syair / karangan dalam bahasa Jawa dari pujangga Rangga Warsita yang mengandung petuah akan adanya suatu zaman yang penuh dengan pancaroba.
Serat Jaka Lodang ini terdiri dari dua bagian :
1. Nagian pertama dalam bentuk gambuh dengan 3 bait/paragraf (masing-masing mengandung 5 baris) dan.
2. Bagian kedua dalam bentuk sinom.
Pada bagian kedua yang juga terdiri dari 3 bait (masing-masing mengandung 9 baris), terdapat petuah sebagai berikut :
Sasedyane tanpa dadya =
Suatu waktu seluruh kehendak tidak ada yang terwujud,
Sacipta-cipta tan polihapa =
yang dicita-citakan akan berantakan,
Kang reraton-raton rantasapa =
yang dirancang menjadi gagal,
Mrih luhur asor pinanggih =
yang ingin menang malah kalah,
Bebendu gung nekanikarena =
datangnya hukuman yang berat dari Tuhan.
Kongas ing kanistanipun =
Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela,
Wong agung nis gungira =
orang besar akan kehilangan kebesarannya,
Sudireng wirang jrih lalis =
lebih baik nama tercemar daripada bertanggung jawab (mati),
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira =
sedangkan yang kecil juga tidak mau tahu akan keterbatasannya.
Wong alim-alim pulasan =
Banyak orang yang alim, tetapi hanyalah bersifat hiasan saja,
Njaba putih njero kuning =
di luar tampak baik (putih) tetapi di dalamnya kuning,
Ngulama mangsah maksiat =
banyak ulama berbuat maksiat,
Madat madon minum main =
mengisap ganja, berbuat selingkuh, minum minuman keras, berjudi.
Kaji-kaji ambataning =
Banyak haji melemparkan,
Dulban kethu putih mamprung = dan melepas ikat kepala hajinya,
Wadon nir wadorinapara =
wanita kehilangan kewanitaannya,
Prabaweng salaka rukmikarena = pengaruh harta benda,
Kabeh-kabeh mung marono tingalira =
semuanya itu hanya kebendaan-lah yang menjadi tujuannya.
Para sudagar ingargya =
Di antara para saudagar dan pedagang,
Jroning zaman keneng sarikhanya =
harta bendalah yang dihormati pada zaman itu,
Marmane saisiningrat =
seluruh isi dunia penuh dengan penderitaan,
Sangsarane saya mencit =
kesengsaraan makin menjadi-jadi,
Nir sad estining urippada tahun Jawa 1860 (sengkalan: Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1) atau 1930 MasehiIku ta sengkalanipun,
yang akan menjadi tonggak sejarahnya.
Pantoging nandang sudra =
Pada akhirnya penderitaan yang akan terjadi,
Yen wus tobat tanpa mosik =
pada saat semua mulai bertobat dan menyerahkan diri,
Sru nalangsa narima ngandel ing suksma =
kepada kekuasaan Tuhan dengan sepenuh hati.
SERAT JOKO LODANG
Gambuh
1. Jaka Lodang gumandhul
Praptaning ngethengkrang sru muwus
Eling-eling pasthi karsaning Hyang Widhi
Maknanya :
Gunung mendhak jurang mbrenjul
Ingusir praja prang kasor
Joko Lodang datang berayun-ayun diantara dahan-dahan pohon
kemudian duduk tanpa kesopanan dan berkata dengan keras.
Ingat-ingatlah sudah menjadi kehendak Tuhan
bahwa gunung-gunung yang tinggi itu akan merendah
sedangkan jurang yang curam akan tampil kepermukaan
(akan terjadi wolak waliking jaman), karena kalah perang maka akan diusir dari negerinya.
2. Nanging awya kliru
Sumurupa kanda kang tinamtu
Nadyan mendak mendaking gunung wis pasti
Maksih katon tabetipun
Beda lawan jurang gesong
Maknanya :
Namun jangan salah terima menguraikan kata-kata ini.
Sebab bagaimanapun juga meskipun merendah kalau gunung
akan tetap masih terlihat bekasnya.
Lain sekali dengan jurang yang curam.
3. Nadyan bisa mbarenjul
Tanpa tawing enggal jugrugipun
Kalakone karsaning Hyang wus pinasti
Yen ngidak sangkalanipun
Sirna tata estining wong
Maknanya :
Jurang yang curam itu meskipun dapat melembung,
namun kalau tidak ada tanggulnya sangat rawan dan mudah longsor.
(Ket. Karena ini hasil sastra maka tentu saja multi dimensi.
Yang dimaksud dengan jurang dan gunung bukanlah pisik
tetapi hanyalah sebagai yang dilambangkan).
Semuanya yang dituturkan diatas sudah menjadi kehendak Tuhan
akan terjadi pada tahun Jawa 1850.
(Sirna=0, Tata=5, Esthi=8 dan Wong=1).
Tahun Masehi kurang lebih 1919-1920.
Sinom
1. Sasedyane tanpa dadya
Sacipta-cipta tan polih
Kang reraton-raton rantas
Mrih luhur asor pinanggih
Bebendu gung nekani
Kongas ing kanistanipun
Wong agung nis gungira
Sudireng wirang jrih lalis
Ingkang cilik tan tolih ring cilikira
Maknanya :
Waktu itu seluruh kehendaki tidak ada yang terwujud,
apa yang dicita-citakan buyar, apa yang dirancang berantakan,
segalanya salah perhitungan, ingin menang malah kalah,
karena datangnya hukuman (kutukan) yang berat dari Tuhan.
Yang tampak hanyalah perbuatan-perbuatan tercela.
Orang besar kehilangan kebesarannya, lebih baik tercemar nama daripada mati,
sedangkan yang kecil tidak mau mengerti akan keadaannya.
2. Wong alim-alim pulasan
Njaba putih njero kuning
Ngulama mangsah maksiat
Madat madon minum main
Kaji-kaji ambataning
Dulban kethu putih mamprung
Wadon nir wadorina
Prabaweng salaka rukmi
Kabeh-kabeh mung marono tingalira
Maknanya :
Banyak orang yang tampaknya alim, tetapi hanyalah semu belaka.
Diluar tampak baik tetapi didalamnya tidak.
Banyak ulama berbuat maksiat.
Mengerjakan madat, madon minum dan berjudi.
Para haji melemparkan ikat kepala hajinya.
Orang wanita kehilangan kewanitaannya karena terkena pengaruh harta benda.
Semua saja waktu itu hanya harta bendalah yang menjadi tujuan.
3. Para sudagar ingargya
Jroning jaman keneng sarik
Marmane saisiningrat
Sangsarane saya mencit
Nir sad estining urip
Iku ta sengkalanipun
Pantoging nandang sudra
Yen wus tobat tanpa mosik
Sru nalangsa narima ngandel ing suksma
Maknanya :
Hanya harta bendalah yang dihormati pada jaman tersebut.
Oleh karena itu seluruh isi dunia penderitaan kesengsaraannya makin menjadi-jadi.
Tahun Jawa menunjuk tahun 1860 (Nir=0, Sad=6, Esthining=8, Urip=1).
Tahun Masehi kurang lebih tahun 1930.
Penghabisan penderitaan bila semua sudah mulai bertobat dan menyerahkan diri
kepada kekuasaan Tuhan seru sekalian alam.
Megatruh
1. Mbok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu
Jaka Lodang nabda malih
Nanging ana marmanipun
Ing waca kang wus pinesthi
Estinen murih kelakon
Maknanya :
Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.
Kemudian Joko Lodang berkata lagi :
“Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab musabab,
didalam ramalan yang sudah ditentukan haruslah diusahakan supaya
segera dan dapat terjadi “.
2. Sangkalane maksih nunggal jamanipun
Neng sajroning madya akir
Wiku Sapta ngesthi Ratu
Adil parimarmeng dasih
Ing kono kersaning Manon
Maknanya :
Jamannya masih sama pada akhir pertengahan jaman.
Tahun Jawa 1877 (Wiku=7, Sapta=7, Ngesthi=8, Ratu=1).
Bertepatan dengan tahun Masehi 1945.
Akan ada keadilan antara sesama manusia. Itu sudah menjadi kehendak Tuhan.
3. Tinemune wong ngantuk anemu kethuk
Malenuk samargi-margi
Marmane bungah kang nemu
Marga jroning kethuk isi
Kencana sesotya abyor
Maknanya :
Diwaktu itulah seolah-olah orang yang mengantuk mendapat kethuk (gong kecil)
yang berada banyak dijalan.
Yang mendapat gembira hatinya sebab didalam benda tersebut
isinya tidak lain emas dan kencana.